공유

13. Dirian aneh

작가: Raisaa
last update 최신 업데이트: 2025-09-28 08:01:46

“Mati?” suara Dirian meninggi, tubuhnya bangkit dari pembaringan. Tatapannya tajam, nyaris menusuk.

“Jangan bicara omong kosong,” sambungnya, lalu berdiri. Ia harus membersihkan diri—masih banyak hal menantinya.

“Aku juga pasti akan mati,” ucap Selene lirih, tapi penuh kesungguhan.

Dirian menoleh, matanya menancap pada wajah istrinya.

“Kaupun juga akan mati… kalau waktunya tiba,” Selene melanjutkan dengan nada tenang.

Keheningan menebal. Dirian diam, sorotnya tak bergeser sedikit pun.

“Aku hanya ingin tahu,” suara Selene pelan, namun setiap kata menggetarkan, “bagaimana kau… jika aku mati?”

Dirian menghela napas, menepis beban yang tak ingin ia hadapi.

“Jangan bicarakan hal yang tidak masuk akal,” sahutnya dingin, lalu melangkah masuk ke ruang mandi.

Selene tetap berbaring. Aroma khas suaminya memenuhi ruangan, melekat di udara, menenangkan sekaligus menusuk kalbunya. Mungkin benar kata orang—kita akan selalu merasa lebih nyaman di dekat orang yang kita cintai. Namun bagi Dirian, tentu tidak sesederhana itu. Tanpa sadar, Selene kembali terlelap.

Matahari sudah tinggi saat Selene terbangun. Tubuhnya remuk, lelah, setelah semalaman menjadi pelampiasan suaminya. Dengan napas panjang ia memaksa bangkit, merapikan kamar itu sedikit—sebab ia tahu, Dirian tidak suka pelayan lain menyentuh ruang pribadinya.

Barulah ia kembali ke kamarnya sendiri, bersiap rapi, lalu menuju ruang makan. Hari sudah terlalu siang untuk sarapan; ia mungkin harus makan ganda. Namun begitu pintu ruang makan terbuka, langkahnya terhenti.

Di sana sudah duduk Odete, nenek, dan… Dirian.

Tiga pasang mata langsung beralih padanya. Selene tampil rapi—rambut tersisir indah, gaun menawan—tapi satu hal tak bisa ia sembunyikan: bekas merah di lehernya, jelas sekali terlihat.

Nenek, yang duduk di ujung meja, menatapnya lalu tersenyum penuh arti.

“Pantas saja kau tidak ikut sarapan. Sepertinya semalaman kau bekerja keras… untuk membuat bayi lagi.” Ucapannya menggoda, namun menampar diam-diam.

Selene hanya mengangguk sopan, tersenyum.

“Maaf aku terlambat, Nenek. Ibu.”

Ia sengaja menatap nenek, bukan Dirian. Sedikit pun ia tidak melirik suaminya—dan itu justru membuat Dirian resah. Biasanya Selene selalu terikat padanya, seolah dunia hanya berputar di sekitar dirinya. Namun akhir-akhir ini, Selene justru seperti menjauh. Bahkan semalam, meski tubuh mereka menyatu berkali-kali, tatapan Selene yang sesekali jatuh padanya meninggalkan kegelisahan yang sulit ia pahami.

Odete ikut membuka percakapan, suaranya samar tapi jelas.

“Tidak apa-apa terlambat. Sepertinya kali ini kau lebih berusaha untuk memiliki bayi lagi.”

“Benar,” timpal nenek, matanya melirik pada gigitan merah di leher Dirian. “Bahkan sepertinya kau yang mengalahkan suamimu semalam, ya?”

Selene menunduk cepat, baru sadar betapa besar bekas yang ditinggalkannya di kulit putih suaminya.

“Cukup,” potong Dirian singkat, meski ada rona tipis di wajahnya. “Jangan terus menggodanya. Biarkan dia makan.”

Dingin, tapi samar-samar ada nada canggung. Namun Dirian tetap Dirian—pesona yang tak tergoyahkan.

Pipi Selene hangat, tapi ia hanya tersenyum kecil, lalu duduk di samping nenek. Pelayan segera menyiapkan makanan khusus untuknya.


Mereka berbincang ringan, hingga pintu ruang makan terbuka. Seorang lelaki berseragam perang masuk dan memberi hormat.

Jay. Jenderal kepercayaan Dirian.

Selene langsung menegang. Tangannya meremas roknya erat. Ia tahu apa yang akan datang.

“Ada apa?” tanya Dirian, suaranya dalam.

Jay berdiri tegak. “Perbatasan diserang. Yang Mulia Kaisar memanggil Anda segera ke istana.”

Hening.

Selene memejamkan mata sesaat. Hatinya berdegup keras. Persis seperti dulu. Di kehidupan sebelumnya, kabar perang datang—dan Dirian pergi, meninggalkannya sendirian di kastil. Setahun penuh ia hidup dalam sepi dan hampa. Kenangan itu menyesakkan, namun kini datang kembali.

“Apa maksudnya? Kau akan pergi perang lagi?” Odete langsung panik. Wajahnya cemas.

“Dirian, kau tidak bisa terus-menerus begini,” nenek menambahkan. “Kau sudah berkeluarga. Kau punya orang yang harus kau lindungi.”

Selene diam. Ia tahu Dirian tak mungkin menolak. Ia tahu jalan cerita ini. Dulu, suaminya bahkan membawa Viviene bersamanya, meninggalkan dirinya sendirian.

Tapi kali ini, Selene tidak peduli.

“Kita tidak tahu apa yang diputuskan Kaisar,” jawab Dirian akhirnya. Sorotnya serius, dingin. “Ibu, Nenek—lebih baik kalian kembali ke wilayah setelah sarapan.”

Nenek buru-buru menoleh pada Selene.

“Selene, ayo ikut kami. Di wilayah jauh lebih aman daripada di perbatasan.”

Selene hendak menjawab, “Ti—”

“Tidak bisa!” potong Dirian lantang.

Semua mata terarah padanya.

“Dia bisa kembali ke wilayah, menunggumu di sana. Itu lebih baik,” ujar Odete menengahi. “Selene juga butuh pemulihan.”

Tatapan dingin Dirian menohok ibunya. “Tidak ada yang akan mengurus kastil ini kalau dia pergi. Itu sudah menjadi keputusan.”

Suasana menegang.

“Kau benar-benar tak berperasaan!” seru Odete, suaranya meninggi. “Bagaimana kalau perang sampai ke sini?”

“Benar, Dirian,” nenek ikut menekan. “Itu bisa membahayakan Selene. Kau tega?”

Dirian berdiri, auranya menguasai ruangan. “Aku tidak akan membiarkan perang sampai ke sini. Itu tugasku. Lebih baik Ibu dan Nenek kembali ke wilayah.”

Tak ada ruang untuk bantahan. Ia melangkah pergi bersama Jay.

Selene menatap punggung suaminya. Datar, tapi dalam hati ia tahu: ia tetap ditinggalkan.


Setelah sarapan, Odete dan nenek benar-benar pulang. Selene mengantar mereka sampai halaman, menatap kereta yang perlahan hilang. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada yang membelanya. Aneh, tapi hangat.

Saat ia berbalik, Dirian sudah berjalan menuju pintu besar. Tubuh tegap, wajah datar, aura dinginnya begitu kuat.

“Aku akan ke istana,” ucapnya tanpa menoleh, terus melangkah melewati Selene.

Selene menunduk hormat, diam.

Namun langkah Dirian berhenti. Jay, di belakangnya, menoleh bingung.

Dirian berbalik. Tatapan tajamnya menembus Selene. “Aku akan ke istana sekarang.”

Selene menoleh pelan, bingung. Mengapa ia mengulang? Dirian tidak pernah melakukan itu.

“Selene!” panggilnya lagi, nadanya meninggi. Bukan marah, melainkan menuntut.

Selene menarik napas. Suaranya datar, letih.

“Baik. Pergilah.” Ia membalikkan badan, hendak pergi.

Namun suara itu menahannya lagi.

“Selene.”

Langkahnya terhenti. Kali ini ia menatap langsung mata suaminya.

Dirian terdiam sesaat, lalu akhirnya berkata dengan nada asing, penuh kerahasiaan:

“Aku akan pulang sebelum makan malam.”

Hening.

Jay menatap tuannya dengan mata terbelalak. Pelayan saling bertukar pandang. Tak ada yang pernah mendengar Duke Levantis memberi janji seperti itu.

Selene terpaku. Hatinya bergemuruh, namun wajahnya tetap tenang.

“Baik,” katanya singkat. “Hati-hati di jalan.”

Tatapan Dirian sedikit melunak sebelum akhirnya ia berbalik lagi. Dengan langkah pasti, ia meninggalkan aula kastil, sementara Jay membungkuk hormat pada Selene sebelum cepat-cepat menyusul tuannya.

Dirian aneh. Perkataannya aneh. Perilakunya aneh.

Bahkan dunia ini terasa semakin asing, meski ia sudah pernah menjalaninya sekali.

“Semua ini… aneh,” batinnya.

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   14. Hanya satu hari sampai aku bebas

    Dirian benar-benar kembali sebelum makan malam, seperti janjinya. Namun bukan sendirian—ia pulang bersama Viviene, yang menempel erat di sisinya. Dari pembatas lantai dua, Selene berdiri diam. Pandangannya lurus, dingin, tetapi sorot matanya menyembunyikan riak yang tak bisa dikendalikan. Ia menyaksikan keduanya masuk ke aula besar, berjalan beriringan seolah dunia hanya milik mereka.“Dirian…” suara Viviene terdengar manja, namun penuh tekanan. Jari-jarinya mencengkeram lengan lelaki itu erat-erat, tanpa peduli tatapan puluhan pelayan yang memenuhi aula. “Ibu dan nenekmu sudah pergi. Kau masih akan mengusirku juga?”Gema suaranya memantul di dinding tinggi aula, membuat suasana menegang. Biasanya, Viviene dan Dirian cukup berhati-hati menjaga kedekatan mereka di hadapan Selene. Tapi hari ini? Se

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   13. Dirian aneh

    “Mati?” suara Dirian meninggi, tubuhnya bangkit dari pembaringan. Tatapannya tajam, nyaris menusuk.“Jangan bicara omong kosong,” sambungnya, lalu berdiri. Ia harus membersihkan diri—masih banyak hal menantinya.“Aku juga pasti akan mati,” ucap Selene lirih, tapi penuh kesungguhan.Dirian menoleh, matanya menancap pada wajah istrinya.“Kaupun juga akan mati… kalau waktunya tiba,” Selene melanjutkan dengan nada tenang.Keheningan menebal. Dirian diam, sorotnya tak bergeser sedikit pun.“Aku hanya ingin tahu,” suara Selene pelan, namun setiap kata menggetarkan, “bagaimana kau… jika aku mati?”Dirian menghela napas, menepis beban yang tak ingin ia hadapi.“Jangan bicarakan hal yang tidak masuk akal,” sahutnya dingin, lalu melangkah masuk ke ruang mandi.Selene tetap berbaring. Aroma khas suaminya memenuhi ruangan, melekat di udara, menenangkan sekaligus menusuk kalbunya. Mungkin benar kata orang—kita akan selalu merasa lebih nyaman di dekat orang yang kita cintai. Namun bagi Dirian, tent

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   12 Bagaimana jika aku mati ?

    Pagi hari, Selene membuka mata dengan berat. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menerangi sebagian wajahnya. Ia menoleh sedikit, dan matanya langsung menangkap sosok Dirian yang masih terlelap di sampingnya.Itu adalah pemandangan langka. Biasanya, saat ia bangun, tempat di sampingnya selalu kosong. Dirian jarang—atau hampir tidak pernah—menemaninya tidur hingga pagi. Ada banyak perubahan akhir-akhir ini, dan Selene sendiri tidak tahu harus menafsirkannya bagaimana.mungkin karena mereka melakukannya hingga hampir pagi , sehingga Dirian kelelahan sekarang dan tidak sadar dia masih tidur disamping Selene . atau mungkin karena ini adalah kamarnya sendiri sehingga dia cukup nyaman tertidur hingga pagi seperti sekarang iniIa mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi gagal. Lengan Dirian yang berat melingkari perutnya, menahan tubuhnya erat agar tak bisa kabur. Nafas hangat lelaki itu b

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   11. Maniak mesum dan Gila

    Puas?Selene tidak pernah tidak terpuaskan, bahkan tidak pernah memikirkan lelaki lain karena Dirian yang selalu mendominasinya . Dimana letak ketidakpuasannya ketika dia harus mengimbangi hasrat suaminya?Dirian memiliki libido yang tinggi sehingga tidak pernah puas bahkan dengan tiga kali permainan. Apalagi mereka memiliki jadwal malam intim sehingga tidak melakukanya setiap hari, itu menyebabkan tingkat kemesumannya bisa tinggi jika malam intim seperti ini. Pernah sekali ketika mereka bersama pergi kewilayah utara dimana disana adalah wilayah kekuasaan Dirian yang dipegang oleh nenek dan ibunya serta beberapa orang kepercayaannya. Selama satu bulan disana setiap malam Dirian tidak membiarkan dia tidur dan terus menggagahinya sampai dia hampir keguguran. Itu adalah kehamilan pertamanya dan tentu saja setelah itu dia benar benar keguguran hanya karena suaminya tidak membiarkan dia hamil benihnya. Miris !Mereka kembali ke ruang tidur. Dirian membaringkan Selene di atas ranjang besar

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   10. Bercinta dengan Duke

    Air hangat sudah disiapkan pelayan. Dirian membuka pakaian tanpa ragu, tubuhnya tampak sempurna dalam cahaya redup. Ia masuk ke bak mandi, membuka botol wine, menuang isinya ke dalam gelas. Dia duduk dengan tenang didalam bak.“Aku tidak boleh minum alkohol,” ucap Selene, mengingatkan. Tubuhnya masih rapuh setelah keguguran.“Aku akan minum sendiri. Kemarilah.” Dirian mengulurkan tangan.Selene melepas jubah, lalu menurunkan gaun tidurnya hingga jatuh ke lantai. Tubuh polosnya terekspos sempurna , Dirian menatapnya tanpa berkedip, matanya penuh dengan hasrat yang tak ia sembunyikan. Selene kemudian meraih tangan Dirian dan masuk ke bak, duduk di pangkuannya. Dia duduk membelakangi Dirian walaupun dia dipangku oleh Dirian.Air hangat menyelimuti tubuh mereka. Sentuhan kulit tanpa sehelai kain membuat wajah Selene merona. Aroma wine dan tubuh Dirian bercampur, menjeratnya dalam suasana yang intim. Suasana yang selalu ada ketika mereka melakukan hal ini bahkan sejak malam pertama . Jika

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   9. Palsu

    Begitu pintu kastil menutup di belakang mereka, Selene melepaskan genggamannya dari tangan Viviene. Udara sore terasa berat, langit merona merah keemasan, namun hawa di antara kedua saudara itu dingin membeku. Para pengawal yang tadi mengikuti langkah mereka sudah menjauh, sengaja memberi ruang.Selene menatap lurus ke depan, suaranya datar tanpa getar.“Ibu memang seperti itu. Keras, sulit dihadapi… apalagi ditenangkan.”Viviene hanya menatapnya, matanya berkilat, masih menyimpan luka dari makian Odette barusan.“Dan jika beliau sudah membenci seseorang,” lanjut Selene lirih, “selamanya takkan ada pengampunan. Beliau tidak pernah lupa.”Viviene mendengus, senyum getir muncul.“Apa kau sedang memperingatkanku? Tentang apa yang terjadi sebelumnya?”“Aku hanya memberitahumu,” jawab Selene, menoleh sebentar lalu kembali menatap ke depan. “Setidaknya, kau bisa bersiap mencari cara merebut hatinya.”Viviene menyipitkan mata. “Kau bicara seolah kau mampu melakukannya.”Selene tertawa pendek

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status