LOGINSuara Countess parau, nyaris tak terdengar. “Dia sudah tak sanggup lagi dipenjara!”
Selene menatapnya lama, lalu memandang ke arah Count Moreau, ayahnya, yang berdiri kaku tanpa sepatah kata pun.
“Bukan aku yang memasukkannya ke penjara,” ucap Selene tenang.
“Aku mohon, Selene. Katakan pada Duke… dia sudah sadar, dia menyesal.”
Baru kali ini, Selene melihat wanita sombong itu berlutut di hadapannya.
“Duke sudah pergi sejak tadi,” jawab Selene datar.
“Selene… aku mohon, demi keluarga kita…” Countes
Selene berdiri di depan jendela ruangannya, menatap ke arah taman depan yang disinari terik matahari. Dari balik kaca yang dingin, ia melihat pemandangan yang sama sejak kemarin — Countess Moreau masih berlutut di tanah, tubuhnya gemetar, sementara sang Count berdiri di sampingnya, memayunginya dengan tangan yang sudah lemah.“Mereka masih di sana?” gumam Selene pelan. Ia sempat berpikir pasangan itu tak akan sanggup bertahan lebih dari sehari.“Benar, Nyonya,” jawab Ilard, kepala pelayan yang berdiri di belakangnya dengan tenang. “Nyonya Countess tidak makan dan tidak minum sejak kemarin.”Selene menoleh sedikit. “Kau kasihan pada mereka?”Ilard menggeleng, ekspresinya tetap
Sven masih berdiri tegak di tempatnya.“Tapi bagaimanapun Lady Moreau pasti menderita di penjara, apalagi beliau dipenjara rakyat, bukan bangsawan,” ucapnya pelan, tapi cukup jelas untuk terdengar.“Berhentilah bicara, Sven.”Nada suara Dirian terdengar seperti peringatan.Sven langsung mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia menunduk dan membuka tas kerjanya, mengeluarkan beberapa map dan dokumen baru di atas meja.Suara lembaran kertas yang berserakan menjadi satu-satunya bunyi di ruangan besar itu.Dirian memandangi tumpukan dokumen yang belum tersentuh, kepalanya berat. Musim dingin akan segera datang, dan mereka harus bersiap kembali
Suara Countess parau, nyaris tak terdengar. “Dia sudah tak sanggup lagi dipenjara!”Selene menatapnya lama, lalu memandang ke arah Count Moreau, ayahnya, yang berdiri kaku tanpa sepatah kata pun.“Bukan aku yang memasukkannya ke penjara,” ucap Selene tenang.“Aku mohon, Selene. Katakan pada Duke… dia sudah sadar, dia menyesal.” Air mata Countess jatuh di lantai batu, mengalir bersama suaranya yang pecah.Baru kali ini, Selene melihat wanita sombong itu berlutut di hadapannya.“Duke sudah pergi sejak tadi,” jawab Selene datar.“Selene… aku mohon, demi keluarga kita…” Countes
Suara Selene pelan tapi jelas.Dirian menatapnya sebentar, rahangnya menegang. “Kau tidak usah mencampuri.”Ia lalu menarik pergelangan tangan Selene dan menuntunnya menaiki tangga menuju lantai atas.Selene menoleh ke arah Odet yang hanya berdiri di sisi ruangan.“Dia dokter keluarga kita. Kenapa jadi seperti ini?”Odet hanya mengangkat bahu tipis dan kembali menatap ke arah bawah, ke tubuh dokter yang kini diseret keluar oleh pengawal.“Masih banyak dokter yang setia. Istirahatlah. Jangan terlalu banyak berpikir,” ujar Dirian pelan, masih menggenggam tangan Selene erat, seolah takut dia akan hilang lagi.
“Jalang!”Kata itu meluncur dari mulut Viviene, diikuti teriakannya yang memecah udara.“KAU JALANG SIALAN!”Selene menunduk sedikit, menatapnya dari balik helai rambutnya yang jatuh di sisi wajah.Lalu tertawa — ringan, lembut, tapi tajam seperti belati.“Kalau kau ingin memanggilku begitu…”Dia menegakkan tubuhnya, menatap Viviene penuh kemenangan.“…pastikan kau mengucapkannya pada seseorang yang masih bisa diraih.”“Kau benar-benar sangat licik! Dirian pasti akan melihat wajah aslimu! Kau—”
Air mata jatuh dari mata Viviene, tapi kali ini bukan karena luka di wajahnya.Ia tahu—lelaki di hadapannya, yang dulu pernah lembut dan hangat padanya, kini sudah benar-benar menjauh.“Apa sekarang kau tidak malu memintaku berjanji,” suara Viviene serak, penuh getir dan kemarahan yang ditahan, “sementara selama ini kau juga seperti apa memperlakukannya?”Tatapannya menembus jeruji, penuh tuduhan dan luka lama.Dirian menatapnya dengan wajah dingin. “Tidak perlu membahas yang lain.”Viviene terkekeh pendek, sarkastik. “Tidak perlu? Sebelumnya kau tidak pernah masalah dengan apapun. Kalau pun dia mati, bukankah kau bilang kau akan menikahiku?”Dirian menatapnya lama, seperti tak percaya dengan kata-kata yang baru ia dengar."Kapan aku mengatakan hal itu?" Dirian menatapnya heran."Dirian kau bilang kau cinta aku!" teriak Viviene."Ak







