LOGINOdet terkekeh kecil, menegakkan tubuhnya.
“Ah, kau memang tidak pernah mengecewakan.”
“Siapa yang kau pikir akan menjadi pemain utama kali ini?” tanyanya dengan tatapan penuh antusias seolah tengah menanti pertunjukan teater.
Selene melangkah mendekat, menatap hujan yang masih turun di luar jendela.
“Yang paling pantas mendapat panggungnya,” ucapnya datar, tapi senyum di ujung bibirnya membuat Odet tahu — badai berikutnya baru saja dimulai.
Langit sore tampak muram ketika gerbang penjara dibuka perlahan. Udara dingin bercampur bau lembab batu dinding menyambut langkah seorang wanita yang baru saja keluar — Viviene. Rambutnya kusut, pipinya pucat, dan matanya sembab.
Tid
“Apa maksudmu, hah?!” teriak Viviene, suaranya menggema di aula marmer yang dingin.Sven menatapnya dengan sorot mata tajam yang tak lagi bisa ia bendung. “Walaupun Anda bersama beliau, Lady... tapi apakah Yang Mulia pernah mengakui Anda?”Keheningan mendadak menggantung di udara. Ilard hanya bisa menatap Sven—terkejut karena lelaki itu, yang biasanya paling tenang dan patuh, kini berani bicara seberani itu.“Sven!” bentak Viviene dengan nada tinggi. “Apa kau ingin aku melaporkan kelancanganmu pada Duke karena berbicara tidak sopan?”Sven mengangkat dagunya sedikit, suaranya tenang tapi dingin. “Jika membahas kesopanan, maka seharusnya Anda yang lebih dulu mengingat—tidak sopan, menerobos masuk ke kastil Duke tanpa
Odet terkekeh kecil, menegakkan tubuhnya.“Ah, kau memang tidak pernah mengecewakan.”“Siapa yang kau pikir akan menjadi pemain utama kali ini?” tanyanya dengan tatapan penuh antusias seolah tengah menanti pertunjukan teater.Selene melangkah mendekat, menatap hujan yang masih turun di luar jendela.“Yang paling pantas mendapat panggungnya,” ucapnya datar, tapi senyum di ujung bibirnya membuat Odet tahu — badai berikutnya baru saja dimulai.Langit sore tampak muram ketika gerbang penjara dibuka perlahan. Udara dingin bercampur bau lembab batu dinding menyambut langkah seorang wanita yang baru saja keluar — Viviene. Rambutnya kusut, pipinya pucat, dan matanya sembab.Tid
Count terdiam lama, namun akhirnya melangkah mendekat — dan tanpa kata, ia ikut berlutut di samping istrinya. Countess menatap kearah suaminya lama dan setelahnya mengalihkan pandangan dan melihat kearah Selene.Selene terkekeh kecil, lalu berbalik masuk ke dalam kastil. Di belakangnya, Odet masih tertawa puas, sementara di halaman, dua bangsawan tua itu bersujud di bawah matahari yang terik — tanpa ada satu pun yang berani menolong mereka.Dirian tidak pulang malam itu, Selene tahu dia tengah sibuk dari laporan Bjorn. Kali ini dia benar benar mengabaikan Viviene dan tidak mencarinya, bukankah biasanya dia yang paling perduli pada Viviene? Selene merasa Dirian seperti orang lain yang tidak dia kenal sama sekali.Baru ketika matahari sudah men
Selene berdiri di depan jendela ruangannya, menatap ke arah taman depan yang disinari terik matahari. Dari balik kaca yang dingin, ia melihat pemandangan yang sama sejak kemarin — Countess Moreau masih berlutut di tanah, tubuhnya gemetar, sementara sang Count berdiri di sampingnya, memayunginya dengan tangan yang sudah lemah.“Mereka masih di sana?” gumam Selene pelan. Ia sempat berpikir pasangan itu tak akan sanggup bertahan lebih dari sehari.“Benar, Nyonya,” jawab Ilard, kepala pelayan yang berdiri di belakangnya dengan tenang. “Nyonya Countess tidak makan dan tidak minum sejak kemarin.”Selene menoleh sedikit. “Kau kasihan pada mereka?”Ilard menggeleng, ekspresinya tetap
Sven masih berdiri tegak di tempatnya.“Tapi bagaimanapun Lady Moreau pasti menderita di penjara, apalagi beliau dipenjara rakyat, bukan bangsawan,” ucapnya pelan, tapi cukup jelas untuk terdengar.“Berhentilah bicara, Sven.”Nada suara Dirian terdengar seperti peringatan.Sven langsung mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia menunduk dan membuka tas kerjanya, mengeluarkan beberapa map dan dokumen baru di atas meja.Suara lembaran kertas yang berserakan menjadi satu-satunya bunyi di ruangan besar itu.Dirian memandangi tumpukan dokumen yang belum tersentuh, kepalanya berat. Musim dingin akan segera datang, dan mereka harus bersiap kembali
Suara Countess parau, nyaris tak terdengar. “Dia sudah tak sanggup lagi dipenjara!”Selene menatapnya lama, lalu memandang ke arah Count Moreau, ayahnya, yang berdiri kaku tanpa sepatah kata pun.“Bukan aku yang memasukkannya ke penjara,” ucap Selene tenang.“Aku mohon, Selene. Katakan pada Duke… dia sudah sadar, dia menyesal.” Air mata Countess jatuh di lantai batu, mengalir bersama suaranya yang pecah.Baru kali ini, Selene melihat wanita sombong itu berlutut di hadapannya.“Duke sudah pergi sejak tadi,” jawab Selene datar.“Selene… aku mohon, demi keluarga kita…” Countes







