Dirian benar-benar kembali sebelum makan malam, seperti janjinya. Namun bukan sendirian—ia pulang bersama Viviene, yang menempel erat di sisinya. Dari pembatas lantai dua, Selene berdiri diam. Pandangannya lurus, dingin, tetapi sorot matanya menyembunyikan riak yang tak bisa dikendalikan. Ia menyaksikan keduanya masuk ke aula besar, berjalan beriringan seolah dunia hanya milik mereka.
“Dirian…” suara Viviene terdengar manja, namun penuh tekanan. Jari-jarinya mencengkeram lengan lelaki itu erat-erat, tanpa peduli tatapan puluhan pelayan yang memenuhi aula. “Ibu dan nenekmu sudah pergi. Kau masih akan mengusirku juga?”
Gema suaranya memantul di dinding tinggi aula, membuat suasana menegang. Biasanya, Viviene dan Dirian cukup berhati-hati menjaga kedekatan mereka di hadapan Selene. Tapi hari ini? Seolah semua batas runtuh. Mereka berdiri di ruang terbuka, tanpa malu, menunjukkan sesuatu yang tak bisa ditolak mata siapa pun.
Tatapan Dirian dingin, namun kalimatnya lebih tajam dari pedang.
Hening. Semua mata membelalak. Itu bukan bantahan, bukan penyangkalan—melainkan pengakuan.
“Aku mencintaimu, Dirian.” Suara Viviene bergetar, pecah oleh emosi.
Dulu, kata-kata itu pasti akan merobek hati Selene. Tapi sekarang, ia hanya berdiri kaku, dadanya menahan sesak. Ia pikir dirinya sudah kebal. Ternyata tidak. Luka itu tetap menyayat, bahkan lebih dalam karena ia mengingat jelas bagaimana lelaki yang sama baru saja menidurinya semalam, membisikkan namanya dengan suara yang lembut. Dan kini, lelaki itu membiarkan wanita lain mengklaim dirinya di hadapan semua orang.
“Dirian…” tangis Viviene pecah. “Kau benar-benar tidak membiarkanku masuk ke sini lagi? Kau benar-benar akan mengabaikanku?”
Tatapan lelaki itu mengeras. “Aku akan pergi berperang. Tidak ada yang bisa kau lakukan di sini selama aku tidak ada.”
“Aku tahu.” Viviene mengangguk, penuh isak. “Tapi… tentu saja aku selalu punya tempat di hatimu.”
Dirian menghela napas berat. Sekilas, ia menoleh ke lantai atas. Matanya bertemu dengan mata Selene. Hanya sesaat—tapi cukup untuk membuat Selene tercekat. Ia segera berbalik, melangkah pergi, menolak jadi saksi lebih lama.
Refleks, tangan Dirian terlepas dari Viviene. Namun ketika wanita itu terisak makin keras, ia kembali merengkuhnya. “Jangan menangis.”
Semua orang yang menyaksikan tahu: kelembutan itu hanya pernah ia berikan pada satu orang—Viviene.
“Sekarang pulanglah. Aku harus bersiap pergi.”
“Apakah… kita tidak akan bertemu lagi dalam waktu dekat?” suara Viviene pecah.
“Aku tidak tahu,” jawab Dirian jujur. “Perang tidak bisa diprediksi. Bisa jadi aku mati… atau tetap hidup.”
Tubuh Viviene bergetar. Ia menggigit bibir, menahan isak. “Aku akan datang lagi besok, sebelum kau berangkat.”
Dirian menatapnya sesaat, lalu mengangguk singkat. “Jay akan mengantarmu pulang. Jangan keras kepala.”
Viviene menunduk, pasrah. Tapi dalam hatinya, api cemburu membakar. Ia tahu—semalam Dirian bersama Selene. Fakta itu membuat darahnya mendidih.
Selene… kau harus disingkirkan.
Senyum tipis penuh kebencian merekah di balik tangisnya.
Malam merayap. Kastil tenggelam dalam cahaya lampu minyak yang berkelap-kelip, bayang-bayang panjang menari di lorong. Selene sibuk bersama Ilard di ruang persiapan. Zirah Dirian bergantung dingin, memantulkan cahaya seperti mayat yang menunggu dikubur.
“Apakah semua sudah siap?” tanya Selene, menelusuri setiap detail dengan mata yang teliti namun penuh beban.
“Sudah, Nyonya,” jawab Ilard lirih, tangannya masih membetulkan helm seakan merawat anaknya sendiri.
Selene mengangguk. “Jangan lupa pastikan ransum untuk perjalanan. Baik untuk mereka… maupun untuk kita.”
“Sudah saya perintahkan,” balas Ilard.
Senja berubah pekat. Selene merasa lelah hingga ke sumsum. Ia menutup mata, menarik napas panjang. “Cukup untuk hari ini. Aku ingin tidur.”
Ilard menunduk, matanya merah menahan kata-kata yang tak pantas diucapkan. Hanya bisikan pelan keluar dari bibirnya: “Istirahatlah, Nyonya.”
Selene meninggalkan ruang itu, tidak melewati kamar Dirian. Setelah malam kemarin, ia tidak ingin lagi menyentuh apa pun tentang lelaki itu. Tubuhnya masih mengingat, tapi jiwanya menolak.
Di kamarnya, Mona dan Daisy menunggu. Wajah mereka letih, tetapi penuh tekad.
“Bersiaplah,” ucap Selene pendek. “Kita akan pergi satu hari setelah Duke berangkat.”
Kedua pelayan itu mengangguk, tanpa protes, tanpa ragu. Mereka tahu: garis hidup mereka kini terikat pada perempuan yang sudah mereka pilih untuk ikuti sampai akhir.
Selene berdiri di jendela, menatap pekarangan yang sunyi. Angin malam menyusup, membawa dingin sekaligus kebebasan yang belum sempat ia genggam.
Satu hari lagi. Hanya satu hari lagi sampai aku bebas.
Ia menutup mata, merasakan denyut darahnya sendiri—seperti genderang perang, seperti janji.
“Aku akan hidup,” bisiknya pada pantulan wajahnya di cermin. “Aku akan hidup dengan baik.”
Mona dan Daisy masuk lagi, membawa bungkusan. Ilard muncul sebentar di ambang pintu, matanya merah. Tidak ada kata-kata perpisahan, hanya isyarat yang cukup untuk membuat hati siapa pun retak.
"apa kau masih memiliki urusan ?" tanya Selene pada Ilard
"tidak nyonya , saya hanya menunggu apakah anda membutuhkan sesuatu ?" tanya Ilard
"tidak , aku akan mandi dan juga tidur " sahut Selene sambil melihat Mona dan Daisy yang bersiap
"baiklah kalau begitu saya akan pamit " ucap Ilard
Selene mengangguk dan Ilard pun pergi
Dirian benar-benar kembali sebelum makan malam, seperti janjinya. Namun bukan sendirian—ia pulang bersama Viviene, yang menempel erat di sisinya. Dari pembatas lantai dua, Selene berdiri diam. Pandangannya lurus, dingin, tetapi sorot matanya menyembunyikan riak yang tak bisa dikendalikan. Ia menyaksikan keduanya masuk ke aula besar, berjalan beriringan seolah dunia hanya milik mereka.“Dirian…” suara Viviene terdengar manja, namun penuh tekanan. Jari-jarinya mencengkeram lengan lelaki itu erat-erat, tanpa peduli tatapan puluhan pelayan yang memenuhi aula. “Ibu dan nenekmu sudah pergi. Kau masih akan mengusirku juga?”Gema suaranya memantul di dinding tinggi aula, membuat suasana menegang. Biasanya, Viviene dan Dirian cukup berhati-hati menjaga kedekatan mereka di hadapan Selene. Tapi hari ini? Se
“Mati?” suara Dirian meninggi, tubuhnya bangkit dari pembaringan. Tatapannya tajam, nyaris menusuk.“Jangan bicara omong kosong,” sambungnya, lalu berdiri. Ia harus membersihkan diri—masih banyak hal menantinya.“Aku juga pasti akan mati,” ucap Selene lirih, tapi penuh kesungguhan.Dirian menoleh, matanya menancap pada wajah istrinya.“Kaupun juga akan mati… kalau waktunya tiba,” Selene melanjutkan dengan nada tenang.Keheningan menebal. Dirian diam, sorotnya tak bergeser sedikit pun.“Aku hanya ingin tahu,” suara Selene pelan, namun setiap kata menggetarkan, “bagaimana kau… jika aku mati?”Dirian menghela napas, menepis beban yang tak ingin ia hadapi.“Jangan bicarakan hal yang tidak masuk akal,” sahutnya dingin, lalu melangkah masuk ke ruang mandi.Selene tetap berbaring. Aroma khas suaminya memenuhi ruangan, melekat di udara, menenangkan sekaligus menusuk kalbunya. Mungkin benar kata orang—kita akan selalu merasa lebih nyaman di dekat orang yang kita cintai. Namun bagi Dirian, tent
Pagi hari, Selene membuka mata dengan berat. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menerangi sebagian wajahnya. Ia menoleh sedikit, dan matanya langsung menangkap sosok Dirian yang masih terlelap di sampingnya.Itu adalah pemandangan langka. Biasanya, saat ia bangun, tempat di sampingnya selalu kosong. Dirian jarang—atau hampir tidak pernah—menemaninya tidur hingga pagi. Ada banyak perubahan akhir-akhir ini, dan Selene sendiri tidak tahu harus menafsirkannya bagaimana.mungkin karena mereka melakukannya hingga hampir pagi , sehingga Dirian kelelahan sekarang dan tidak sadar dia masih tidur disamping Selene . atau mungkin karena ini adalah kamarnya sendiri sehingga dia cukup nyaman tertidur hingga pagi seperti sekarang iniIa mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi gagal. Lengan Dirian yang berat melingkari perutnya, menahan tubuhnya erat agar tak bisa kabur. Nafas hangat lelaki itu b
Puas?Selene tidak pernah tidak terpuaskan, bahkan tidak pernah memikirkan lelaki lain karena Dirian yang selalu mendominasinya . Dimana letak ketidakpuasannya ketika dia harus mengimbangi hasrat suaminya?Dirian memiliki libido yang tinggi sehingga tidak pernah puas bahkan dengan tiga kali permainan. Apalagi mereka memiliki jadwal malam intim sehingga tidak melakukanya setiap hari, itu menyebabkan tingkat kemesumannya bisa tinggi jika malam intim seperti ini. Pernah sekali ketika mereka bersama pergi kewilayah utara dimana disana adalah wilayah kekuasaan Dirian yang dipegang oleh nenek dan ibunya serta beberapa orang kepercayaannya. Selama satu bulan disana setiap malam Dirian tidak membiarkan dia tidur dan terus menggagahinya sampai dia hampir keguguran. Itu adalah kehamilan pertamanya dan tentu saja setelah itu dia benar benar keguguran hanya karena suaminya tidak membiarkan dia hamil benihnya. Miris !Mereka kembali ke ruang tidur. Dirian membaringkan Selene di atas ranjang besar
Air hangat sudah disiapkan pelayan. Dirian membuka pakaian tanpa ragu, tubuhnya tampak sempurna dalam cahaya redup. Ia masuk ke bak mandi, membuka botol wine, menuang isinya ke dalam gelas. Dia duduk dengan tenang didalam bak.“Aku tidak boleh minum alkohol,” ucap Selene, mengingatkan. Tubuhnya masih rapuh setelah keguguran.“Aku akan minum sendiri. Kemarilah.” Dirian mengulurkan tangan.Selene melepas jubah, lalu menurunkan gaun tidurnya hingga jatuh ke lantai. Tubuh polosnya terekspos sempurna , Dirian menatapnya tanpa berkedip, matanya penuh dengan hasrat yang tak ia sembunyikan. Selene kemudian meraih tangan Dirian dan masuk ke bak, duduk di pangkuannya. Dia duduk membelakangi Dirian walaupun dia dipangku oleh Dirian.Air hangat menyelimuti tubuh mereka. Sentuhan kulit tanpa sehelai kain membuat wajah Selene merona. Aroma wine dan tubuh Dirian bercampur, menjeratnya dalam suasana yang intim. Suasana yang selalu ada ketika mereka melakukan hal ini bahkan sejak malam pertama . Jika
Begitu pintu kastil menutup di belakang mereka, Selene melepaskan genggamannya dari tangan Viviene. Udara sore terasa berat, langit merona merah keemasan, namun hawa di antara kedua saudara itu dingin membeku. Para pengawal yang tadi mengikuti langkah mereka sudah menjauh, sengaja memberi ruang.Selene menatap lurus ke depan, suaranya datar tanpa getar.“Ibu memang seperti itu. Keras, sulit dihadapi… apalagi ditenangkan.”Viviene hanya menatapnya, matanya berkilat, masih menyimpan luka dari makian Odette barusan.“Dan jika beliau sudah membenci seseorang,” lanjut Selene lirih, “selamanya takkan ada pengampunan. Beliau tidak pernah lupa.”Viviene mendengus, senyum getir muncul.“Apa kau sedang memperingatkanku? Tentang apa yang terjadi sebelumnya?”“Aku hanya memberitahumu,” jawab Selene, menoleh sebentar lalu kembali menatap ke depan. “Setidaknya, kau bisa bersiap mencari cara merebut hatinya.”Viviene menyipitkan mata. “Kau bicara seolah kau mampu melakukannya.”Selene tertawa pendek