LOGINKeheningan langsung jatuh.
Jayreth mengumpat pelan di bawah napas. Lucien menatap tanah, rahangnya mengeras.
Selene berdiri membeku, jantungnya seperti berhenti sesaat.
Dirian… tidak bereaksi.
Wajahnya tetap sama sekali tidak menunjukkan emosi dan hal itu justru membuat udara semakin mencekam.
“Dimana mayatnya ditemukan?” tanya Dirian akhirnya.
“Di sungai utara, Yang Mulia. Tubuhnya tersangkut di antara akar-akar pohon. Luka-lukanya… banyak. Sepertinya ia disiksa sebelum dibuang.” jawab Erik.
Selene menghembuskan napas pendek, merasakan rasa dingin merayap di punggungnya.
Selene menutup mata sejenak. Nama itu seperti pisau yang ditusukkan perlahan ke dadanya.“Tidak,” sahut Odet lebih dulu, suaranya tenang namun mengandung peringatan. “Ayahmu akan marah jika kita masih di sini. Dia tidak ingin kalian berada dalam bahaya.”“Tapi Dagny—” suara Divrio bergetar.Selene membuka matanya. Ia berlutut sedikit agar sejajar dengan putranya, kedua tangannya memegang wajah kecil itu.“Div,” ucapnya pelan namun tegas, “kita menunggu di istana. Di sana lebih aman. Di sini… kita hanya akan menjadi alat. Orang-orang jahat bisa memanfaatkan kita untuk menghancurkan ayahmu.”Divrio menelan ludah. Matanya berkedip cepat, mencoba mencerna kata-kat
Angin malam berhembus lebih kencang, membawa dingin yang menusuk. Di tengah hamparan salju itu, seorang anak kecil menunggu ibunya di punggung kuda setia, sementara para pria dewasa bersiap menuju perang yang tidak hanya akan menentukan nasib wilayah utara, tetapi juga nasib sebuah keluarga yang akhirnya mulai dipertautkan kembali oleh darah, keberanian, dan pengorbanan.Selene tiba ketika fajar belum sepenuhnya lahir. Langit masih pucat, seolah ragu memutuskan apakah hari ini pantas dimulai. Kereta bahkan belum berhenti sempurna saat Selene sudah melompat turun, sepatu tipisnya menapak salju dingin tanpa ia pedulikan. Nafasnya terengah, dadanya terasa sesak, namun kakinya terus berlari seakan tubuhnya digerakkan oleh satu hal saja: putranya.Odet menyusul dari belakang, memanggil namanya, namun suara itu tenggelam oleh desir angin pagi.“Divrio!” teriak Sel
Kuda hitam itu terus berlari, membelah kesunyian malam seperti bayangan maut yang menolak tunduk pada apa pun. Salju terbelah di bawah kuku-kukunya, pepohonan pinus berlalu begitu saja, dan udara dingin terbelah oleh napasnya yang berat namun stabil.Beberapa bayangan bergerak di sisi hutan, serigala, lynx salju, bahkan sesuatu yang lebih besar. Mata-mata liar berkilat di kegelapan. Ada yang mencoba mengejar, ada yang hanya mengaum rendah, namun kuda hitam itu tidak melirik sedikit pun. Jalurnya lurus. Tujuannya jelas.Ia berlari seolah dunia ini tidak ada artinya selain perintah terakhir tuannya.Di punggungnya, Divrio terhuyung-huyung, tubuh kecilnya terikat pada tali kekang. Rambutnya berkibar, wajahnya merah oleh dingin dan air mata yang belum benar-benar kering. Namun di balik rasa takut itu, matanya berbinar.
Dirian menjatuhkan Divrio ke tanah dengan kasar namun aman, lalu melesat kembali ke dalam tenda. Pedangnya terangkat tinggi.Bayangan hitam merembes dari bawah alas jerami, menjalar seperti asap hidup dan membelit kaki Dagny, menariknya makin cepat.“JANGAN! AKU TAKUT!”Dagny menangis histeris, kukunya mencakar tanah, berusaha menahan tubuhnya sendiri.Divrio bangkit sambil terhuyung, wajahnya pucat.“Ayah! Ayah, Dagny diambil!”“PEGANG AKU!” bentak Dirian, tapi Divrio terlalu panik untuk mendekat.Dirian menebas.Satu tebasan. Dua. Tiga.Pedan
Suara itu masuk begitu saja ke dalam kepalanya, datar namun tajam, membuat Dirian refleks menarik tangannya dan langsung siaga. Otot-ototnya menegang, mata merahnya menyala di kegelapan.“Lamina,” ucapnya pelan, bukan bertanya, melainkan memastikan.Terdengar tawa kecil, rendah, hampir seperti desahan angin di sela dahan.“Masih secerdas itu rupanya.”Dirian berdiri perlahan, matanya tak lepas dari kodok itu. “Kenapa ada makhluk hidup di hutan es?” tanyanya dingin. “Dan kenapa kau melarangku menyentuhnya?”“Karena itu milikku.” Suara Lamina kini terdengar lebih jelas, lebih dekat, seolah ia berdiri tepat di balik pepohonan. “Aku yang menaruh kodok itu.”
Gerbang istana kekaisaran terbuka lebar ketika kereta kuda berhenti dengan derit panjang. Salju masih melekat di sisi roda, seolah ikut membawa dingin dan ketakutan dari utara masuk ke jantung kekuasaan.Selene turun dengan langkah yang nyaris goyah, diapit oleh Odet dan Sylar. Wajahnya pucat, matanya kosong seperti seseorang yang tubuhnya sudah tiba, tetapi jiwanya tertinggal jauh bersama dua anak yang direnggut dari pelukannya.Mereka bahkan belum sempat menarik napas panjang ketika dua sosok telah menunggu di aula depan.Putra Mahkota Kekaisaran, Lucien, berdiri tegak dengan jubah kebesarannya, dan di sisinya, Putra Mahkota Kerajaan Utara, Eisach, dengan raut wajah keras khas bangsanya. Keduanya menoleh hampir bersamaan saat Selene melangkah masuk.Lucien membeku.







