LOGINPagi itu udara terasa sangat dingin. Seperti biasa, Selene tidak melihat Dirian. Ia sudah terbiasa—suaminya jarang pulang. Dulu ia masih mencoba percaya bahwa Dirian sibuk dengan urusan kastil, tapi setelah tahu kebenaran, yang tersisa hanya rasa muak. Luka di hatinya memang belum sembuh, tapi ia terus meyakinkan diri bahwa waktu akan membuatnya lebih kuat.
Namun pagi itu menjadi lebih berat saat ayahnya, Count Moreau, datang tiba-tiba ke kastil Duke.
“Apa sebenarnya yang kau katakan pada Viviene?” suara Count terdengar menekan, menuntut jawaban.
“Apa yang bisa kukatakan? Memangnya dia mengadu apa padamu?” Selene membalas, nadanya dingin, acuh tak acuh.
Count terdiam sejenak, menarik napas panjang. “Selene… Viviene dan Duke itu teman masa kecil. Mereka bahkan pernah bertunangan. Wajar jika mereka dekat. Kau tidak bisa sedikit mengalah?”
Selene menahan tawa sinis di balik bibirnya.
“Tuan Count…” ucapnya dengan nada sedingin es.
Mata Count terbelalak. Putrinya—anak sahnya sendiri—baru saja memanggilnya dengan sebutan yang menusuk.
“Aku sudah mengatakan pada Duke untuk menikahi Viviene. Kurang apa lagi aku mengalah?” Tatapan Selene lurus menembus Count, menusuk hingga ke dasar hati.
“Selene, bukan begitu maksudku—”
“Sekarang kau bilang mereka hanya teman?” Selene menyela, senyumnya sinis. “Teman macam apa yang berbagi ranjang?”
Kata-katanya menampar keras. Count menelan ludah, bibirnya terkatup rapat. Tidak ada bantahan yang bisa ia lontarkan.
“Jangan kira aku tidak tahu,” Selene melanjutkan dingin. “Dan sekarang kau datang ke sini hanya untuk menyudutkan putri sahmu demi membela putri tirimu.”
“Selene—”
“Aku penasaran,” tatap Selene menajam, suara lirih tapi menusuk. “Apakah dia benar hanya putri tiri… atau sebenarnya dia putrimu?”
“Selene! Kau sudah terlalu jauh!” suara Count meninggi.
Selene menghela napas panjang, mata sayu namun tetap penuh perlawanan.
“Seumur hidup ibuku, kau mungkin tidak pernah menduakan cintanya. Tapi kau… menduakan putrinya sendiri.”
Kata-kata itu menampar keras. Wajah Count perlahan meredup, amarah digantikan kesenduan. Untuk pertama kalinya, Selene menantangnya seperti ini.
“Pernahkah kau sedikit saja memikirkan perasaan putri sahmu sendiri, Ayah?” tanyanya lirih, menembus lebih dalam daripada teriakan.
Count menunduk, kata-kata tak lagi keluar.
“Seluruh hidupku… semua hal yang seharusnya milikku, selalu kau serahkan padanya. Apakah itu belum cukup? Sampai aku pun harus merelakan suamiku?” Suara Selene bergetar, pahit.
“Selene, aku tidak bermaksud begitu. Bagaimanapun, sebelumnya kaulah yang memberikannya padanya,” Count mencoba membela diri.
Selene tertawa hambar, sinis. “Kalau aku tidak memberikannya, aku akan berakhir dikurung di loteng… tidur di lantai, berbagi makanan dengan tikus. Kau lupa?”
“Selene—”
“Pulanglah, Ayah,” potong Selene dingin. “Jika kedatanganmu hanya untuk membela putri tirimu, lebih baik jangan pernah muncul lagi di hadapanku.” Ia bangkit, wajah keras tanpa sisa kelembutan.
Count menatapnya, tak berani membalas. Selene menyingkir, meninggalkan ayahnya sendiri di ruangan itu.
Dirian berdiri di balik pintu dan mendengar semuanya. Dadanya sesak. Selene tahu tentang perselingkuhannya, dan itu membuatnya berubah—dingin, tegas, tak lagi takut padanya.
Pikiran Dirian kalut. Siapa yang memberitahunya? Bagaimana ia tahu? Yang jelas, luka Selene lebih dalam dari yang ia kira—dari ayahnya, dan darinya sendiri.
Siang itu, Selene masuk ke ruang kerja Dirian membawa dokumen. Dirian duduk, tatapannya kosong.
“Aku ingin kau menandatangani ini,” kata Selene tenang, meletakkan berkas di meja.
Dirian menoleh, sedikit terkejut. “Apakah ini mendesak?” suaranya datar, tapi ada getaran jelas.
“Kalau tidak penting, tidak perlu tanda tangan,” jawab Selene sambil menarik dokumen, hendak pergi.
“Besok,” tiba-tiba Dirian bersuara.
Selene berhenti, menatapnya sulit dibaca.
“Besok… malam intim dan nenek akan datang,” ucap Dirian, seolah meminta pengertian.
“Aku belum pulih. Tak perlu berpura-pura. Katakan saja pada nenek,” jawab Selene.
Dirian bangkit, mendekat. “Aku akan tanda tangan,” katanya akhirnya.
Dengan hati berdebar, Selene menyerahkan dokumen lagi. Dirian menandatangani lembar demi lembar—hingga surat cerai terakhir. Dirian tidak membaca, hanya menahan napas. Rasanya sakit, tapi semuanya sudah sia-sia.
“Selene…” panggil Dirian saat ia hendak pergi.
Langkahnya terhenti. “Apa?”
“Apakah kau… baik-baik saja?” tanyanya ragu.
Pertanyaan itu membuat Selene tercekat. Sepanjang hidupnya, bahkan saat nyawa nyaris hilang, Dirian tak pernah menanyakannya. Air mata nyaris jatuh, tapi ia menahannya.
“Aku baik-baik saja. Tak perlu khawatir,” jawab Selene lirih, lalu pergi.
Sejak itu, Dirian gelisah. Sosok Selene terus menghantui pikirannya. Selene yang dulu lembut, kini tegas dan dingin.
Ia berdiri di jendela, menatap taman. Selene berjalan bersama dua pelayan, cahaya sore menyorot wajahnya, menampilkan kecantikan yang menyesakkan dada.
Jika jujur, Selene jauh lebih memesona dan berkarisma dibanding Viviene. Malam-malam intim mereka bukan kewajiban, tapi kenikmatan yang ia nikmati. Namun hatinya tetap pada Viviene—bukan karena pesona, tapi hutang budi. Gadis kecil itu pernah menyelamatkan nyawanya saat keluarganya hancur.
Itulah sebabnya ia memberi lebih pada Viviene—meski Selene adalah wanita yang sepenuhnya miliknya.
“Tuan.”
Sven masuk. “Ada apa?”
“Lady Moreau mengirim surat, menanyakan kapan Anda akan menyusulnya.”
Dirian menghela napas. “Hari ini dan besok tidak bisa. Nenek akan datang. Katakan begitu.”
“Baik, Tuan,” Sven menunduk hendak pergi.
“Tunggu,” panggil Dirian. “Sven.”
“Ya, Tuan?”
“Panggil dokter. Suruh dia memeriksa Nyonya.”
Dirian melangkah masuk ke area yang dijaga ketat. Obor-obor dipasang di sepanjang dinding, menerangi puluhan orang yang kini berlutut dengan tangan terikat. Begitu melihatnya, Lucien menghampiri.“Kau datang?” tanya Lucien pelan.Dirian hanya mengangguk, matanya langsung tertuju pada para tawanan.“Apa yang kau dapatkan?” tanya Dirian.Lucien tidak menjawab dengan kata-kata terlebih dulu. Ia menarik salah satu tawanan ke depan dan merenggut lengan bajunya. Di sana, tepat di bawah siku, terpampang tato ular yang melingkar.“Mereka adalah sisa pemberontak yang kabur saat itu,” jelas Lucien. “Kelompok yang dulu mencoba menggulingkan ayahku. Kau pasti familiar dengan tato ini.”
Selene menelan ludah. Dadanya terasa sesak, matanya panas. Lelaki itu… justru berada di depan dirinya.Dalam hitungan detik, Selene merasakan sesuatu di dalam dirinya runtuh dan hidup kembali pada saat yang sama. Sebuah harapan kecil yang berani muncul, meski ia takut mempercayainya.Selene meraih tangan Dirian, dan begitu tubuh mereka bersentuhan, Dirian menariknya hingga Selene memeluknya erat. Kakinya melingkar di tubuh Dirian, mencari pegangan apa pun. Tepat pada saat itu, besi penyangga dan tirai yang sebelumnya menahan mereka runtuh ke bawah, jatuh menabrak dinding dengan suara keras. Selene gemetar hebat.“Tidak apa,” bisik Dirian lembut namun tegas, satu lengannya menopang tubuh Selene, “aku akan membawamu naik.”Selene tidak mampu mengat
Suara Selene menggema ke seluruh ruangan runtuh itu, bergetar namun tegas.Gemanya terdengar oleh Count, Sylar, Dirian, bahkan para ksatria yang tengah mencari jalur aman untuk turun.Masalahnya… posisi mereka bertiga berada di tengah lubang besar akibat longsoran. Dari titik mana pun, jika salah langkah sedikit saja, mereka semua bisa jatuh ke dasar yang bahkan belum terlihat karena gelap.Dirian sudah berteriak memerintahkan penerangan.Namun cahaya obor hanya menembus sebagian, memperlihatkan betapa dalamnya lubang itu. Dasarnya tak tampak.“SELEEEENE!!” seru Count. “Apa pun yang dia katakan, jangan dengarkan! Ayah mohon, jangan lepaskan tangannya!”Sylar menatap ayahnya dan bisa
Ksatria-ksatria bayangan milik Dirian langsung menghilang ke segala penjuru, bergerak secepat bayangan. Bjorn memimpin beberapa orang menuju sisi tebing, sementara yang lain menerobos kembali ke dalam bangunan yang masih runtuh pelan di tengah jeritan dan debu tebal.“Apa yang terjadi?!” Lucien menghampiri Dirian, yang tengah berteriak menembus keributan.“Istriku di atas!” ketus Dirian tanpa menoleh sedikit pun, napasnya terputus-putus oleh panik.“Aku akan meminta orang mencarinya juga-”“Tidak!” Dirian membentak keras.Lucien terdiam, terkejut dengan amarah yang jarang sekali ia dengar dari mulut Dirian.“Kerahkan orangmu mencari tahu apa
Selene terpaku sejenak. Hatinya berdegup tak karuan, bukan karena terkejut… tetapi karena ia tahu siapa yang menulisnya.Dan orang itu tidak seharusnya berada di sini.Selene mendongak, menatap ke atas. Mansion Flurries menjulang megah dengan banyak lantai dan balkon-balkon kaca yang memantulkan cahaya lampu kristal raksasa. Kristal-kristal itu berkilau, membuat seluruh ruangan tampak seperti istana dari cerita dongeng.Tatapannya turun kembali ke Sylar yang sedang mendengarkan Duke Ragnar berbicara dengan beberapa bangsawan pria. Kemudian ia mencari Dirian, berdiri tak jauh di sisi lain aula, berbicara datar namun tegas seperti biasa. Odet yang tadi menemaninya kini tertawa bersama Estela dan beberapa bangsawan wanita lainnya.A
Suara Selene membuat restoran itu membeku.Dalam satu tarikan penuh kemarahan, Selene menyeret Sylar hingga Sylar tak bisa menolak dan akhirnya mengikuti langkah kakaknya.Dirian menatap Viviene.Ragnar menatap Viviene.Viviene mencoba tersenyum. “Dia hanya membual.”Ragnar menggeleng kecil. “Duchess sampai bereaksi begitu? Itu jelas bukan bualan. Lady… apakah Anda memang sejahat itu?”Tanpa menunggu jawaban, Ragnar bangkit dan pergi, meninggalkan Dirian dan Viviene.“Dirian, aku tidak seperti itu,” ujar Viviene gelagapan.“Sepertinya ada banyak







