공유

5. Menyusun Rencana

작가: Raisaa
last update 최신 업데이트: 2025-09-20 08:01:19

Udara ruangan seketika membeku. Para pelayan yang berdiri di sudut hampir lupa bernapas. Kata-kata Selene jatuh begitu saja, dingin dan tajam, menghantam jantung dua orang di hadapannya.

Viviene terpaku, wajah pucatnya tak sanggup menyembunyikan keterkejutan. Dirian pun tak kalah terguncang. Tatapannya melekat pada istrinya, seolah baru pertama kali melihat sosok wanita itu.

“Ini… tidak seperti dirimu,” gumamnya pelan.

Viviene menoleh, curiga pada reaksi lelaki itu. Dirian jelas terusik, jauh lebih dari yang ia perkirakan.

“Seperti diriku yang bagaimana?” Selene menoleh perlahan, senyum miris menyungging di bibirnya. “Aku cukup terkejut, karena sepertinya kau baru mulai memperhatikanku.”

“Selene, cukup—” Dirian membuka mulut, tapi Viviene buru-buru memotong. “Apakah kau tidak malu dengan ucapanmu barusan?”

Selene hanya menatapnya datar. “Aku hanya mencoba menyamakan diri dengan kalian. Jadi kenapa kalian yang justru merasa terusik?”

Viviene menggigit bibir, lalu berdiri cepat. “Lebih baik aku kembali saja.”

“Vivi!” Dirian spontan ikut bangkit, menyusulnya keluar ruangan—meninggalkan Selene seorang diri.

Wanita itu menghela napas panjang. Keheningan kembali turun. Senyum tipis menghiasi wajahnya, dingin namun puas. Setidaknya kali ini ia bisa menikmati makanannya tanpa dua pendosa itu merusak seleranya.


“Ilard,” panggil Selene setelah suapan terakhirnya habis. Ia mengambil sepotong buah persik, menggigitnya perlahan.

“Ya, Nyonya,” jawab Ilard sambil menunduk hormat.

“Apakah kau mengenal seseorang yang bisa… menyelundupkan orang?” tanya Selene tiba-tiba.

Ilard membeku. Tenggorokannya tercekat, ia menelan ludah kasar. “Maksud Anda?”

Tatapan Selene terarah, tenang namun dalam. “Kita bicarakan di ruanganku.”

Ia bangkit tanpa menunggu jawaban. Ilard segera memberi isyarat pada pelayan lain untuk membersihkan meja, lalu mengikuti Nyonya menuju ruang kerja.

“Ilard, aku akan pergi.” Suara Selene terdengar tegas, tanpa ragu.

“Nyonya… tapi—” kalimat itu terhenti, ia tak berani melanjutkan.

“Jangan katakan pada siapa pun. Hanya kau yang boleh tahu.” Tatapan Selene menancap, penuh kekuatan yang membuat rahasia itu terkunci.

Ilard menarik napas berat. Ia tahu Selene tak pernah benar-benar mempercayai siapa pun di kastil ini. Namun, mendengar perintah itu, hatinya justru bergetar. Ia ingin wanita itu benar-benar bisa menemukan kebahagiaannya. Selene sudah terlalu lama berjuang sendirian, hanya untuk diperlakukan seolah tak berarti.

“Kau tahu situasiku, Ilard. Bahkan kau juga tahu… semua bayiku gugur karena Duke, bukan?”

Ilard terdiam, wajahnya menegang.

“Tidak perlu menyangkal. Aku sudah tahu kau orangnya. Tapi kali ini… bisakah kau membantuku?” Suara Selene lembut, namun sorot matanya tajam seperti pisau.

Ilard menutup mata sejenak, lalu menarik napas panjang. “Kemana Anda akan pergi, Nyonya?”

Selene tersenyum samar. Ia menyodorkan sebuah dokumen.

Ilard membukanya perlahan. Saat melihat tanda wilayah jauh di peta, wajahnya menegang. “Ini… sangat jauh.”

“Aku harus pergi sejauh mungkin,” jawab Selene mantap.

Ilard menunduk dalam. “Baik. Saya mengerti.”

“Kau tampak senang,” Selene mengangkat alis, menatapnya tajam.

Ilard tersenyum tipis, matanya bergetar. “Saya hanya… mendoakan kebahagiaan Anda, Nyonya.”

Ada ketulusan dalam ucapannya yang membuat hati Selene sejenak menghangat. Bukan hal mudah meninggalkan orang-orang yang tulus padanya.

“Apakah Anda ingin saya menyiapkan sesuatu?” tanya Ilard hati-hati.

Selene menggeleng. “Tidak.”

“Namun, Anda masih memiliki banyak anggaran yang bahkan tak pernah disentuh,” Ilard mengingatkan.

“Aku tidak akan membawa satu sen pun.”

“...Nyonya.” Suara Ilard tercekat. Ia tahu betul ketidakadilan itu: Viviene begitu boros, sementara Selene—wanita sah Duke—tak pernah menyentuh haknya.

“Tapi aku ingin menjual sahamku pada toko adikmu. Apakah itu boleh?”

Ilard terbelalak, lalu segera mengangguk. “Tentu saja, Nyonya. Saya akan mengurusnya segera.”

“Maaf merepotkanmu.”

“Nyonya,” suara Ilard serak, matanya memerah, “Anda sudah mengangkat keluarga saya. Itu budi yang tak bisa saya balas sampai mati.”

Selene tersenyum lembut, meski matanya menyimpan luka. “Aku harap kau juga selalu bahagia, Ilard.”

Ia menunduk dalam-dalam, menahan gejolak di dadanya.

“Kapan Anda akan pergi?” tanyanya akhirnya.

“Lima hari dari sekarang.”

“Secepat itu?” Ilard terkejut.

“Ya. Waktunya tepat.” Selene tak menjelaskan lebih jauh. Ia tahu, dari kehidupannya yang lalu, tiga hari lagi perang akan meletus di perbatasan barat. Dua hari setelahnya, Dirian akan berangkat memimpin pasukan. Saat itulah pengamanan kastil melemah, dan ia bisa lolos tanpa dihalangi.

Ilard mengepalkan tangan. “Saya akan mengusahakan semuanya.”

Selene mengangguk pelan. “Terima kasih, Ilard.”

Dengan hormat, Ilard membungkuk dalam, lalu mundur perlahan, meninggalkan Selene sendiri bersama pikirannya.


Tak lama kemudian, ketukan lembut terdengar di pintu.

“Masuk,” sahut Selene.

Mona dan Daisy melangkah masuk, wajah mereka tegang. Tanpa diduga, mereka tiba-tiba berlutut, bahkan bersujud.

Selene terkejut, segera bangkit. “Apa yang terjadi?”

“Nyonya, jangan tinggalkan kami…” suara Daisy pecah dalam isakan.

Deg. Selene menelan ludah, menahan gelombang emosi. “Kalian menguping?” tanyanya, datar namun penuh arti.

Keduanya mengangguk, air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Selene menarik mereka untuk duduk, lalu ikut turun duduk di lantai bersama mereka. Sikapnya itu justru membuat keduanya makin panik.

“Aku bukan tipe yang menuduh tanpa bukti,” Selene berkata lembut. “Kenapa kalian tak ingin aku pergi?”

“Jika Nyonya pergi, kami ikut!” seru Daisy di sela tangisnya.

“Saya juga,” sahut Mona, suara bergetar tapi tegas.

“Aku tak punya banyak uang untuk kalian,” Selene memperingatkan.

“Kami tidak butuh bayaran. Asalkan bisa bersama Anda, kami rela,” Daisy menjawab cepat.

“Keluarga kalian di rumah Count?” Selene bertanya, meneliti.

Mona menggigit bibir. “Mereka akan tunduk pada Count. Mereka tidak akan membantu kami.”

Selene mengangguk paham. Mereka berdua memang yatim piatu, tak ada lagi yang benar-benar melindungi.

“Baiklah,” katanya akhirnya, meletakkan tangan di kepala keduanya. “Aku akan pergi lima hari dari sekarang. Siapkan apa pun yang bisa kalian bawa.”

Wajah mereka langsung berbinar, air mata bercampur senyum lega.

“Kami sangat bahagia, Nyonya!” seru mereka bersama.

Selene mengangkat satu sudut bibirnya, lalu menegaskan dengan nada menusuk. “Ingat. Jika ini gagal dan aku tertangkap, kalian berdua akan dihukum mati.”

Ancaman itu terdengar nyata, namun keduanya mengangguk mantap. “Kami bersumpah demi nama orang tua kami, Nyonya,” kata Daisy.

Selene menatap mereka dalam, lalu tersenyum tipis. Hatinya sedikit menghangat. Ia masih memiliki kesetiaan, meski kecil, meski rapuh.

“Kalau begitu…” Selene mengerling, suaranya serupa bisikan rahasia. “Kita harus mulai menyusun rencana.”

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   14. Hanya satu hari sampai aku bebas

    Dirian benar-benar kembali sebelum makan malam, seperti janjinya. Namun bukan sendirian—ia pulang bersama Viviene, yang menempel erat di sisinya. Dari pembatas lantai dua, Selene berdiri diam. Pandangannya lurus, dingin, tetapi sorot matanya menyembunyikan riak yang tak bisa dikendalikan. Ia menyaksikan keduanya masuk ke aula besar, berjalan beriringan seolah dunia hanya milik mereka.“Dirian…” suara Viviene terdengar manja, namun penuh tekanan. Jari-jarinya mencengkeram lengan lelaki itu erat-erat, tanpa peduli tatapan puluhan pelayan yang memenuhi aula. “Ibu dan nenekmu sudah pergi. Kau masih akan mengusirku juga?”Gema suaranya memantul di dinding tinggi aula, membuat suasana menegang. Biasanya, Viviene dan Dirian cukup berhati-hati menjaga kedekatan mereka di hadapan Selene. Tapi hari ini? Se

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   13. Dirian aneh

    “Mati?” suara Dirian meninggi, tubuhnya bangkit dari pembaringan. Tatapannya tajam, nyaris menusuk.“Jangan bicara omong kosong,” sambungnya, lalu berdiri. Ia harus membersihkan diri—masih banyak hal menantinya.“Aku juga pasti akan mati,” ucap Selene lirih, tapi penuh kesungguhan.Dirian menoleh, matanya menancap pada wajah istrinya.“Kaupun juga akan mati… kalau waktunya tiba,” Selene melanjutkan dengan nada tenang.Keheningan menebal. Dirian diam, sorotnya tak bergeser sedikit pun.“Aku hanya ingin tahu,” suara Selene pelan, namun setiap kata menggetarkan, “bagaimana kau… jika aku mati?”Dirian menghela napas, menepis beban yang tak ingin ia hadapi.“Jangan bicarakan hal yang tidak masuk akal,” sahutnya dingin, lalu melangkah masuk ke ruang mandi.Selene tetap berbaring. Aroma khas suaminya memenuhi ruangan, melekat di udara, menenangkan sekaligus menusuk kalbunya. Mungkin benar kata orang—kita akan selalu merasa lebih nyaman di dekat orang yang kita cintai. Namun bagi Dirian, tent

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   12 Bagaimana jika aku mati ?

    Pagi hari, Selene membuka mata dengan berat. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menerangi sebagian wajahnya. Ia menoleh sedikit, dan matanya langsung menangkap sosok Dirian yang masih terlelap di sampingnya.Itu adalah pemandangan langka. Biasanya, saat ia bangun, tempat di sampingnya selalu kosong. Dirian jarang—atau hampir tidak pernah—menemaninya tidur hingga pagi. Ada banyak perubahan akhir-akhir ini, dan Selene sendiri tidak tahu harus menafsirkannya bagaimana.mungkin karena mereka melakukannya hingga hampir pagi , sehingga Dirian kelelahan sekarang dan tidak sadar dia masih tidur disamping Selene . atau mungkin karena ini adalah kamarnya sendiri sehingga dia cukup nyaman tertidur hingga pagi seperti sekarang iniIa mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi gagal. Lengan Dirian yang berat melingkari perutnya, menahan tubuhnya erat agar tak bisa kabur. Nafas hangat lelaki itu b

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   11. Maniak mesum dan Gila

    Puas?Selene tidak pernah tidak terpuaskan, bahkan tidak pernah memikirkan lelaki lain karena Dirian yang selalu mendominasinya . Dimana letak ketidakpuasannya ketika dia harus mengimbangi hasrat suaminya?Dirian memiliki libido yang tinggi sehingga tidak pernah puas bahkan dengan tiga kali permainan. Apalagi mereka memiliki jadwal malam intim sehingga tidak melakukanya setiap hari, itu menyebabkan tingkat kemesumannya bisa tinggi jika malam intim seperti ini. Pernah sekali ketika mereka bersama pergi kewilayah utara dimana disana adalah wilayah kekuasaan Dirian yang dipegang oleh nenek dan ibunya serta beberapa orang kepercayaannya. Selama satu bulan disana setiap malam Dirian tidak membiarkan dia tidur dan terus menggagahinya sampai dia hampir keguguran. Itu adalah kehamilan pertamanya dan tentu saja setelah itu dia benar benar keguguran hanya karena suaminya tidak membiarkan dia hamil benihnya. Miris !Mereka kembali ke ruang tidur. Dirian membaringkan Selene di atas ranjang besar

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   10. Bercinta dengan Duke

    Air hangat sudah disiapkan pelayan. Dirian membuka pakaian tanpa ragu, tubuhnya tampak sempurna dalam cahaya redup. Ia masuk ke bak mandi, membuka botol wine, menuang isinya ke dalam gelas. Dia duduk dengan tenang didalam bak.“Aku tidak boleh minum alkohol,” ucap Selene, mengingatkan. Tubuhnya masih rapuh setelah keguguran.“Aku akan minum sendiri. Kemarilah.” Dirian mengulurkan tangan.Selene melepas jubah, lalu menurunkan gaun tidurnya hingga jatuh ke lantai. Tubuh polosnya terekspos sempurna , Dirian menatapnya tanpa berkedip, matanya penuh dengan hasrat yang tak ia sembunyikan. Selene kemudian meraih tangan Dirian dan masuk ke bak, duduk di pangkuannya. Dia duduk membelakangi Dirian walaupun dia dipangku oleh Dirian.Air hangat menyelimuti tubuh mereka. Sentuhan kulit tanpa sehelai kain membuat wajah Selene merona. Aroma wine dan tubuh Dirian bercampur, menjeratnya dalam suasana yang intim. Suasana yang selalu ada ketika mereka melakukan hal ini bahkan sejak malam pertama . Jika

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   9. Palsu

    Begitu pintu kastil menutup di belakang mereka, Selene melepaskan genggamannya dari tangan Viviene. Udara sore terasa berat, langit merona merah keemasan, namun hawa di antara kedua saudara itu dingin membeku. Para pengawal yang tadi mengikuti langkah mereka sudah menjauh, sengaja memberi ruang.Selene menatap lurus ke depan, suaranya datar tanpa getar.“Ibu memang seperti itu. Keras, sulit dihadapi… apalagi ditenangkan.”Viviene hanya menatapnya, matanya berkilat, masih menyimpan luka dari makian Odette barusan.“Dan jika beliau sudah membenci seseorang,” lanjut Selene lirih, “selamanya takkan ada pengampunan. Beliau tidak pernah lupa.”Viviene mendengus, senyum getir muncul.“Apa kau sedang memperingatkanku? Tentang apa yang terjadi sebelumnya?”“Aku hanya memberitahumu,” jawab Selene, menoleh sebentar lalu kembali menatap ke depan. “Setidaknya, kau bisa bersiap mencari cara merebut hatinya.”Viviene menyipitkan mata. “Kau bicara seolah kau mampu melakukannya.”Selene tertawa pendek

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status