ログインUdara ruang makan membeku. Kata-kata Selene jatuh dingin, membuat Viviene pucat dan Dirian tertegun, seolah baru mengenalnya kembali.
“Ini… tidak seperti dirimu,” gumam Dirian.
Selene tersenyum tipis. “Aku justru terkejut, karena kau baru mulai memperhatikanku.”
Viviene memotong cepat. “Apa kau tak malu dengan ucapanmu?”
Tatapan Selene datar. “Aku hanya menyesuaikan diri dengan kalian. Kenapa malah kalian yang terusik?”
Viviene bangkit panik, pergi. Dirian menyusulnya, meninggalkan Selene sendiri.
Ia menarik napas panjang, lalu tersenyum dingin. Akhirnya, ia bisa menikmati makanannya tanpa dua pendosa itu.
“Ilard,” panggil Selene setelah menyelesaikan suapan terakhirnya, sambil menggigit sepotong buah persik dengan tenang.
“Ya, Nyonya,” jawab Ilard dengan hormat, menunduk.
“Apakah kau mengenal seseorang yang bisa… menyelundupkan orang?” tanyanya tiba-tiba.
Ilard terhenti, tenggorokannya tercekat. “Maksud Anda?”
Tatapan Selene tenang tapi dalam. “Kita bicarakan di ruanganku.”
Tanpa menunggu jawaban, ia berdiri. Ilard memberi isyarat pada pelayan untuk membersihkan meja dan mengikuti Selene ke ruang kerja.
“Ilard, aku akan pergi,” kata Selene tegas.
“Nyonya… tapi—” Ilard ragu, takut melanjutkan.
“Jangan katakan pada siapa pun. Hanya kau yang boleh tahu.” Selene menatap tajam, membuat rahasia itu terkunci.
Ilard menarik napas panjang. Selene jarang sekali mempercayai orang. Namun kali ini hatinya tergerak. Ia ingin Selene benar-benar menemukan kebahagiaan.
“Kau tahu situasiku, Ilard. Kau tahu… semua bayiku gugur karena Duke, bukan?” Selene berkata lirih.
Ilard menunduk, wajahnya tegang.
“Tidak perlu menyangkal. Aku tahu kau orangnya. Tapi kali ini… bisakah kau membantu?” Suara Selene lembut, tapi matanya tajam.
Ilard menutup mata sebentar lalu menarik napas. “Kemana Anda akan pergi, Nyonya?”
Selene tersenyum samar dan mengulurkan dokumen berisi peta. Ilard membuka peta itu perlahan; matanya melebar melihat tanda wilayah yang sangat jauh.
“Ini… sangat jauh,” gumamnya.
“Aku harus pergi sejauh mungkin,” jawab Selene mantap.
Ilard menunduk. “Baik. Saya mengerti.”
“Kau tampak lega,” kata Selene, mengangkat alis.
Ilard tersenyum tipis, matanya berair. “Saya hanya mendoakan kebahagiaan Anda, Nyonya.”
Kata-katanya tulus. Itu membuat Selene sedikit hangat. Menyerahkan semuanya bukanlah hal mudah bagi orang yang setia padanya.
“Perlukah aku menyiapkan sesuatu?” tanya Ilard hati-hati.
Selene menggeleng. “Tidak.”
“Tapi anggaran Nyonya masih banyak yang tak terpakai,” Ilard mengingatkan.
“Aku tidak akan membawa satu sen pun,” tegas Selene.
“...Nyonya.” Suara Ilard tercekat. Ia tahu ketidakadilan itu: Viviene boros, sementara Selene, istri Duke, jarang menyentuh haknya.
“Aku ingin menjual sahamku pada toko adikmu. Boleh?”
Ilard terkejut, lalu cepat mengangguk. “Tentu, Nyonya. Saya akan urus.”
Selene tersenyum lembut. “Aku berharap kau juga selalu bahagia, Ilard.”
Ia menunduk sebentar, menahan emosi.
“Kapan Anda pergi?” tanya Ilard akhirnya.
“Lima hari dari sekarang.”
“Secepat itu?” Ilard kaget.
“Ya. Waktunya tepat.” Selene tidak menjelaskan banyak: tiga hari lagi perang akan meletus di perbatasan barat, dan dua hari setelah itu Dirian akan memimpin pasukan — saat itulah pengamanan kastil akan melemah.
Ilard mengepalkan tangan. “Saya akan mengusahakan semuanya.”
Selene mengangguk, menahan kerentanannya. Ilard membungkuk hormat, lalu mundur, meninggalkannya sendiri dengan pikirannya.
Tidak lama kemudian terdengar ketukan lembut di pintu.
“Masuk,” jawab Selene.
Mona dan Daisy masuk dengan wajah tegang. Tanpa aba-aba, keduanya berlutut dan bahkan bersujud.
Selene terkejut lalu cepat bangkit. “Ada apa?”
“Nyonya, jangan tinggalkan kami…” suara Daisy pecah.
Selene menelan ludah, menahan perasaan. “Kalian menguping?” tanyanya datar, penuh arti.
Keduanya mengangguk, air mata mengalir. Selene menarik mereka duduk, lalu ikut duduk di lantai. Sikap itu malah membuat keduanya makin panik.
“Aku bukan tipe yang menuduh tanpa bukti,” Selene berkata lembut. “Kenapa kalian tak ingin aku pergi?”
“Kalau Nyonya pergi, kami ikut!” seru Daisy sambil terisak.
“Aku juga,” tambah Mona, suaranya bergetar tapi tegas.
“Aku tak punya banyak uang untuk kalian,” Selene memperingatkan.
“Kami tidak butuh uang. Asalkan bisa bersama Anda, kami rela,” jawab Daisy cepat.
“Tentang keluarga kalian di rumah Count?” Selene menanyakan.
Mona menggigit bibir. “Mereka tunduk pada Count. Mereka tidak akan membantu kami.”
Selene mengerti. Dua gadis itu yatim dan tak punya pelindung.
“Baiklah,” katanya akhirnya, meletakkan tangan di kepala mereka. “Aku akan pergi lima hari dari sekarang. Siapkan barang yang bisa kalian bawa.”
Wajah mereka langsung bersinar, air mata bercampur senyum.
“Kami sangat bahagia, Nyonya!” seru keduanya.
Selene mengangkat satu sudut bibir, lalu menegaskan dengan nada tajam: “Ingat. Jika ini gagal dan aku tertangkap, kalian akan dihukum mati.”
Ancaman itu nyata, tapi keduanya tidak mundur. “Kami bersumpah demi nama orang tua kami, Nyonya,” kata Daisy.
Selene menatap lama, lalu tersenyum tipis. Hatinya sedikit terhangat. Kesetiaan mereka kecil, namun nyata.
“Kalau begitu…” bisiknya, suaranya seperti rahasia. “Kita harus mulai menyusun rencana.”
Dirian melangkah masuk ke area yang dijaga ketat. Obor-obor dipasang di sepanjang dinding, menerangi puluhan orang yang kini berlutut dengan tangan terikat. Begitu melihatnya, Lucien menghampiri.“Kau datang?” tanya Lucien pelan.Dirian hanya mengangguk, matanya langsung tertuju pada para tawanan.“Apa yang kau dapatkan?” tanya Dirian.Lucien tidak menjawab dengan kata-kata terlebih dulu. Ia menarik salah satu tawanan ke depan dan merenggut lengan bajunya. Di sana, tepat di bawah siku, terpampang tato ular yang melingkar.“Mereka adalah sisa pemberontak yang kabur saat itu,” jelas Lucien. “Kelompok yang dulu mencoba menggulingkan ayahku. Kau pasti familiar dengan tato ini.”
Selene menelan ludah. Dadanya terasa sesak, matanya panas. Lelaki itu… justru berada di depan dirinya.Dalam hitungan detik, Selene merasakan sesuatu di dalam dirinya runtuh dan hidup kembali pada saat yang sama. Sebuah harapan kecil yang berani muncul, meski ia takut mempercayainya.Selene meraih tangan Dirian, dan begitu tubuh mereka bersentuhan, Dirian menariknya hingga Selene memeluknya erat. Kakinya melingkar di tubuh Dirian, mencari pegangan apa pun. Tepat pada saat itu, besi penyangga dan tirai yang sebelumnya menahan mereka runtuh ke bawah, jatuh menabrak dinding dengan suara keras. Selene gemetar hebat.“Tidak apa,” bisik Dirian lembut namun tegas, satu lengannya menopang tubuh Selene, “aku akan membawamu naik.”Selene tidak mampu mengat
Suara Selene menggema ke seluruh ruangan runtuh itu, bergetar namun tegas.Gemanya terdengar oleh Count, Sylar, Dirian, bahkan para ksatria yang tengah mencari jalur aman untuk turun.Masalahnya… posisi mereka bertiga berada di tengah lubang besar akibat longsoran. Dari titik mana pun, jika salah langkah sedikit saja, mereka semua bisa jatuh ke dasar yang bahkan belum terlihat karena gelap.Dirian sudah berteriak memerintahkan penerangan.Namun cahaya obor hanya menembus sebagian, memperlihatkan betapa dalamnya lubang itu. Dasarnya tak tampak.“SELEEEENE!!” seru Count. “Apa pun yang dia katakan, jangan dengarkan! Ayah mohon, jangan lepaskan tangannya!”Sylar menatap ayahnya dan bisa
Ksatria-ksatria bayangan milik Dirian langsung menghilang ke segala penjuru, bergerak secepat bayangan. Bjorn memimpin beberapa orang menuju sisi tebing, sementara yang lain menerobos kembali ke dalam bangunan yang masih runtuh pelan di tengah jeritan dan debu tebal.“Apa yang terjadi?!” Lucien menghampiri Dirian, yang tengah berteriak menembus keributan.“Istriku di atas!” ketus Dirian tanpa menoleh sedikit pun, napasnya terputus-putus oleh panik.“Aku akan meminta orang mencarinya juga-”“Tidak!” Dirian membentak keras.Lucien terdiam, terkejut dengan amarah yang jarang sekali ia dengar dari mulut Dirian.“Kerahkan orangmu mencari tahu apa
Selene terpaku sejenak. Hatinya berdegup tak karuan, bukan karena terkejut… tetapi karena ia tahu siapa yang menulisnya.Dan orang itu tidak seharusnya berada di sini.Selene mendongak, menatap ke atas. Mansion Flurries menjulang megah dengan banyak lantai dan balkon-balkon kaca yang memantulkan cahaya lampu kristal raksasa. Kristal-kristal itu berkilau, membuat seluruh ruangan tampak seperti istana dari cerita dongeng.Tatapannya turun kembali ke Sylar yang sedang mendengarkan Duke Ragnar berbicara dengan beberapa bangsawan pria. Kemudian ia mencari Dirian, berdiri tak jauh di sisi lain aula, berbicara datar namun tegas seperti biasa. Odet yang tadi menemaninya kini tertawa bersama Estela dan beberapa bangsawan wanita lainnya.A
Suara Selene membuat restoran itu membeku.Dalam satu tarikan penuh kemarahan, Selene menyeret Sylar hingga Sylar tak bisa menolak dan akhirnya mengikuti langkah kakaknya.Dirian menatap Viviene.Ragnar menatap Viviene.Viviene mencoba tersenyum. “Dia hanya membual.”Ragnar menggeleng kecil. “Duchess sampai bereaksi begitu? Itu jelas bukan bualan. Lady… apakah Anda memang sejahat itu?”Tanpa menunggu jawaban, Ragnar bangkit dan pergi, meninggalkan Dirian dan Viviene.“Dirian, aku tidak seperti itu,” ujar Viviene gelagapan.“Sepertinya ada banyak







