Share

7. YIsla Arundel

Author: Raisaa
last update Last Updated: 2025-09-22 08:01:54

Pagi itu terasa berbeda bagi Selene. Jarang sekali Dirian berada di kastil saat sarapan, apalagi duduk bersamanya di meja makan. Biasanya, jika ia ada di rumah, lelaki itu lebih sering bersembunyi di ruang kerja atau kamarnya. Selene pun sudah berhenti mencoba mendekat. Ia sadar—apapun yang ia lakukan hanya dianggap gangguan. Luka di hatinya menahan langkahnya, membuatnya berhenti berusaha.

“…Nenek dan Ibu akan datang nanti,” ucap Dirian setelah meletakkan sendok.

Selene menatapnya sebentar. “Kau sudah bilang kalau aku masih dalam masa pemulihan?”

“Untuk itulah mereka ingin menjengukmu,” jawab Dirian tenang.

Selene menarik napas, lalu mengangguk. “Baiklah.”

Hening sejenak, lalu Dirian berkata lagi.

“Malam ini aku akan tidur di kamarmu.”

Selene terdiam. Hatinya menolak. Ia takut melemah dan batal melangkah pergi.

“Kau tidak perlu, kau tidak perlu mengikuti apa yang diinginkan oleh nenek dan ibu . Tidurlah di kamarmu sendiri,” ucapnya dingin.

“Ini keinginanku,” jawab Dirian mantap.

Selene menatapnya, senyum tipis penuh sindiran. “Kalau begitu, mengapa kita tidak tidur di kamarmu saja?”

Dirian menatap tajam. “Kau ingin itu?”

“Kebetulan aku tidak merasa cukup istimewa untuk tidur di kamarku sendiri,” sahut Selene, teringat Viviene yang pernah diizinkan masuk ke sana.

Dirian mengangguk. “Baiklah. Malam ini kita tidur di kamarku.”

Selene hampir kehilangan kata-kata. Selama ini, bahkan berdiri di depan pintu kamarnya bisa memicu amarah Dirian. Ia selalu menjaga kamar itu sendiri. Seolah semuanya cukup mudah sekarang.

“Baiklah. Aku keluar sebentar. Kembali sebelum makan malam. Kita makan bersama,” ucap Dirian, lalu pergi.

Selene menatap punggungnya hingga menghilang. Piringnya kosong bersih—seperti biasa, Dirian selalu menghabiskan masakannya, tanda ia menghargai usaha Selene.

Siang harinya, Selene berada di ruang kerja.

Dokter yang dipanggil menunduk hormat. “Saya hanya ingin memastikan keadaan Anda, Nyonya.”

“Aku baik-baik saja. Sudah minum obat dan mengikuti anjuranmu,” jawab Selene tegas.

“Setelah keguguran—”

“Tidak perlu. Katakan saja aku sudah pulih,” potong Selene dingin. Tubuhnya menolak pemeriksaan semacam itu. Dokter pun menunduk dan pergi.

Begitu pintu menutup, Ilard masuk membawa map cokelat.

“Ini semua dokumen Anda, termasuk kartu identitas dan tiket perjalanan. Karena Anda akan menggunakan kereta api, semuanya sudah siap,” ucap Ilard, meletakkan map di meja.

Selene membuka map itu. Identitas baru dengan nama ibunya: Ysla Arundel. Arundel, keluarga kecil berpangkat baron yang sudah punah sebelum ia lahir. Ayahnya, Count Moreau mengambil semuanya tanpa tersisa bahkan tanpa mengingat jika Selene berhak atas itu semua.

Matanya berhenti pada kartu berukir lambang yang familiar.

“Apa ini?” tanyanya.

“Jika Anda butuh pengawal atau bantuan mendesak, datanglah ke alamat ini. Guild itu tersebar di seluruh benua,” jawab Ilard tenang.

Selene terkejut. “Bagaimana kau bisa memilikinya?”

“Kenalan lama. Kartu ini membuat Anda diprioritaskan,” jawab Ilard.

Selene menahan senyum getir. “Ini berlebihan…”

“Tidak. Aku hanya ingin Anda aman. Terutama sendirian di luar negeri,” kata Ilard.

Ia kemudian menyerahkan kartu bank. “Semua uang Anda sudah ada di sini. Aku menjual setengah saham, jadi Anda tidak kekurangan apa pun. Keuntungan masuk tiap bulan.”

Selene menelan ludah. “Terlalu banyak…”

“Ini memang milik Anda,” jawab Ilard tulus.

Selene menggenggam kartu itu erat. “Andai saja kau bukan milik Dirian…”

“Saya justru berharap bisa ikut,” sahut Ilard.

“Tapi perjanjian keluarga membuatmu tetap setia pada Duke,” kata Selene.

“Cukup Anda bahagia, Nyonya. Sampai kita bertemu lagi,” jawab Ilard sambil menunduk hormat.

Selene mengangguk.

“Ngomong-ngomong… tetap akan pergi ke tanah itu?” tanya Ilard hati-hati.

“Itu warisan ibuku. Aku tidak tahu kenapa beliau memilikinya,” jawab Selene.

“Apakah beliau dari sana?”

Selene menggeleng. Dokumen itu hanya diserahkan pelayan ibunya sebelum ia diusir. Pelayan itu mati sebulan kemudian. Tidak ada lagi yang bisa ditanya.

Ilard mengangguk. “Mungkin dulu beliau sempat membelinya.”

“Mungkin. Aku akan memastikannya sendiri. Jika tidak, aku akan mencari tempat lain,” jawab Selene mantap.

“Baik, Nyonya. Aku pamit. Masih ada urusan lain yang harus diselesaikan.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   181. Kebenaran

    Dirian melangkah masuk ke area yang dijaga ketat. Obor-obor dipasang di sepanjang dinding, menerangi puluhan orang yang kini berlutut dengan tangan terikat. Begitu melihatnya, Lucien menghampiri.“Kau datang?” tanya Lucien pelan.Dirian hanya mengangguk, matanya langsung tertuju pada para tawanan.“Apa yang kau dapatkan?” tanya Dirian.Lucien tidak menjawab dengan kata-kata terlebih dulu. Ia menarik salah satu tawanan ke depan dan merenggut lengan bajunya. Di sana, tepat di bawah siku, terpampang tato ular yang melingkar.“Mereka adalah sisa pemberontak yang kabur saat itu,” jelas Lucien. “Kelompok yang dulu mencoba menggulingkan ayahku. Kau pasti familiar dengan tato ini.”

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   180. Tidak perlu lagi

    Selene menelan ludah. Dadanya terasa sesak, matanya panas. Lelaki itu… justru berada di depan dirinya.Dalam hitungan detik, Selene merasakan sesuatu di dalam dirinya runtuh dan hidup kembali pada saat yang sama. Sebuah harapan kecil yang berani muncul, meski ia takut mempercayainya.Selene meraih tangan Dirian, dan begitu tubuh mereka bersentuhan, Dirian menariknya hingga Selene memeluknya erat. Kakinya melingkar di tubuh Dirian, mencari pegangan apa pun. Tepat pada saat itu, besi penyangga dan tirai yang sebelumnya menahan mereka runtuh ke bawah, jatuh menabrak dinding dengan suara keras. Selene gemetar hebat.“Tidak apa,” bisik Dirian lembut namun tegas, satu lengannya menopang tubuh Selene, “aku akan membawamu naik.”Selene tidak mampu mengat

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   179. Pilihan diantara lubang

    Suara Selene menggema ke seluruh ruangan runtuh itu, bergetar namun tegas.Gemanya terdengar oleh Count, Sylar, Dirian, bahkan para ksatria yang tengah mencari jalur aman untuk turun.Masalahnya… posisi mereka bertiga berada di tengah lubang besar akibat longsoran. Dari titik mana pun, jika salah langkah sedikit saja, mereka semua bisa jatuh ke dasar yang bahkan belum terlihat karena gelap.Dirian sudah berteriak memerintahkan penerangan.Namun cahaya obor hanya menembus sebagian, memperlihatkan betapa dalamnya lubang itu. Dasarnya tak tampak.“SELEEEENE!!” seru Count. “Apa pun yang dia katakan, jangan dengarkan! Ayah mohon, jangan lepaskan tangannya!”Sylar menatap ayahnya dan bisa

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   178. Dua Putri Count

    Ksatria-ksatria bayangan milik Dirian langsung menghilang ke segala penjuru, bergerak secepat bayangan. Bjorn memimpin beberapa orang menuju sisi tebing, sementara yang lain menerobos kembali ke dalam bangunan yang masih runtuh pelan di tengah jeritan dan debu tebal.“Apa yang terjadi?!” Lucien menghampiri Dirian, yang tengah berteriak menembus keributan.“Istriku di atas!” ketus Dirian tanpa menoleh sedikit pun, napasnya terputus-putus oleh panik.“Aku akan meminta orang mencarinya juga-”“Tidak!” Dirian membentak keras.Lucien terdiam, terkejut dengan amarah yang jarang sekali ia dengar dari mulut Dirian.“Kerahkan orangmu mencari tahu apa

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   177. Lain kali kau mati

    Selene terpaku sejenak. Hatinya berdegup tak karuan, bukan karena terkejut… tetapi karena ia tahu siapa yang menulisnya.Dan orang itu tidak seharusnya berada di sini.Selene mendongak, menatap ke atas. Mansion Flurries menjulang megah dengan banyak lantai dan balkon-balkon kaca yang memantulkan cahaya lampu kristal raksasa. Kristal-kristal itu berkilau, membuat seluruh ruangan tampak seperti istana dari cerita dongeng.Tatapannya turun kembali ke Sylar yang sedang mendengarkan Duke Ragnar berbicara dengan beberapa bangsawan pria. Kemudian ia mencari Dirian, berdiri tak jauh di sisi lain aula, berbicara datar namun tegas seperti biasa. Odet yang tadi menemaninya kini tertawa bersama Estela dan beberapa bangsawan wanita lainnya.A

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   176. Flurries

    Suara Selene membuat restoran itu membeku.Dalam satu tarikan penuh kemarahan, Selene menyeret Sylar hingga Sylar tak bisa menolak dan akhirnya mengikuti langkah kakaknya.Dirian menatap Viviene.Ragnar menatap Viviene.Viviene mencoba tersenyum. “Dia hanya membual.”Ragnar menggeleng kecil. “Duchess sampai bereaksi begitu? Itu jelas bukan bualan. Lady… apakah Anda memang sejahat itu?”Tanpa menunggu jawaban, Ragnar bangkit dan pergi, meninggalkan Dirian dan Viviene.“Dirian, aku tidak seperti itu,” ujar Viviene gelagapan.“Sepertinya ada banyak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status