LOGINSelene memejamkan mata erat-erat. Ia mendengar langkah berat Dirian menjauh, suara pintu terbuka lalu membanting pelan. Tangannya meraba perut, memohon dalam hati agar apa pun yang tumbuh di sana tetap bertahan meski tubuhnya terus dipaksa menanggung brutalnya cinta Dirian.
Pintu kamar kembali terbuka, langkah berat Dirian terdengar di sepanjang lantai kayu, diikuti aroma makanan panas yang segera memenuhi ruangan. Daisy masuk, membawa nampan perak, wajahnya pucat dan tegang karena takut. Di belakangnya, Megan — dokter keluarga yang dipanggil Dirian sendiri — melangkah pelan.
Dirian memanggil dokter karena Selene terlihat lemas, padahal baru dua kali permainan. Ia tahu betul, biasanya Selene tidak akan lemas jika tidak terlalu berat.
Atmosfer kamar mendadak tegang. Selene duduk menatap nanar, rambutnya yang acak-acakan menutupi sebagian wajahnya. Megan mul
Suasana di dalam mobil menjadi senyap. Hanya derap roda mobil yang terdengar dari luar, berpadu dengan embusan angin musim gugur yang dingin. Selene bersandar perlahan, menatap keluar jendela, sementara pikirannya berputar.Kata-kata Dirian barusan masih terngiang di kepalanya — tidak ada yang boleh melihatnya selain aku.Entah kenapa, kalimat itu terdengar seperti kepemilikan sekaligus penjara.“Kenapa diam?” tanya Dirian tiba-tiba tanpa menoleh.Selene menatapnya singkat. “Aku hanya tidak tahu harus bicara apa. Kau tidak suka semua yang kulakukan.”Dirian menarik napas, matanya menatap lurus ke jalan di depan. “Bagus, Aku tidak suka ketika orang lain memandangmu.”
Suara Dirian rendah, matanya menyalak. Tegas tanpa celah.Selene menatap Odet mencari jawaban, tetapi sang mertua hanya membalas dengan keraguan.“Apa maksudmu ganti gaun?” bisik Selene, dadanya naik-turun oleh ketegangan.Dirian kini berjalan mendekat, aura kuasanya menekan udara sekitar.“Ganti atau aku akan merobek gaunmu detik ini juga!” suaranya membelah keheningan kastil, membuat Odet tercekat, tak mampu berkata-kata.Selene masih diam, mencoba menimbang rasa malu dan marah.“Kau mau pakai gaun seperti ini untuk menggoda siapa?” nada Dirian sarat kecurigaan dan kecemburuan yang buas.Selene berusaha tenang. “Kupikir ini gaun yang cukup bagus.”Odet menimpali, suara lemah, “Benar, Selene sangat cantik dan juga dewasa…”“Aku bilang GANTI!” teriak Dirian, sabarnya habis. Suaranya menggema di seluruh aula.Selene menghela napas, sesaa
Nadanya lirih tapi menusuk, seperti racun manis meluncur di udara panas kamar. Tubuhnya gemetar di bawah himpitan Dirian, paha menegang melingkari pinggang pria itu, tangan masih mencengkeram keras punggungnya seolah menantang dan menyerah di waktu bersamaan.Ucapan itu membakar dada Dirian lebih dalam—tak ada ruang bagi keraguan atau ampun. Dengan brutal, Dirian membenamkan tubuh Selene lebih dalam ke ranjang, seolah ingin menghancurkan sisa perlawanan perempuan itu hingga tak bersisa. Bibirnya kembali melumat bibir Selene dengan nafsu penuh amarah; gigi dan lidah berpadu antara ciuman, gigitan, dan dengusan liar yang terdengar seperti desis hewan buas.Tangannya menjalar liar dari leher ke dada Selene, meremas keras hingga tubuh Selene terangkat. Suara napas keduanya bercampur, panas dan berat, aroma tubuh mereka memenuhi udara—pinus, peony, keringat, dan sisa cairan memekat di antara sprei kusut.Selene mengerang, matanya setengah terbuka sambil men
Alis Dirian berkerut. “Syarat?”“Mulai malam ini dan seterusnya, aku akan tidur di sini. Dan apa pun alasannya, kau juga harus tidur bersamaku. Jika tidak… kau tidak boleh menyentuhku lagi.”Sekejap, Dirian mematung; syarat itu menghantam egonya. Tapi aroma tubuh Selene, panas kulitnya, dan tatapan penuh tantangan membuat otaknya mendidih. Ia membalikkan tubuh Selene hingga berhadapan, tangan mencengkeram pinggang dan wajah menunduk menantang.“Nyalimu besar juga buat perjanjian denganku.”“Malam ini kau boleh dapatkan aku. Tapi selanjutnya? Ikuti syaratku atau kau tak dapat apa pun dariku!” tegas Selene, suaranya menggigit tapi sensual.Dirian menatap mata Selene, napasnya berat, aroma peony dan sisa pinus di kulitnya berpadu membakar udara kam
Senyum tipis muncul di wajahnya—senyum bukan lagi milik wanita lemah yang hanya bisa menangis, melainkan milik seseorang yang perlahan bangkit dari keterpurukan.Musim dingin akan segera datang, dan Selene tahu… kali ini, bukan dia yang akan membeku.Dirian saat tengah menemani Viviene memilih gaun, namun ia hanya diam, memperhatikan wanita itu dengan ekspresi tak terlihat.“Sayang! Apa aku cocok dengan ini?” tanya Viviene bersemangat.Dirian hanya mengangguk.“Kalau yang ini?” lanjutnya sambil memutar diri di depan cermin. Dirian kembali mengangguk.Viviene bisa merasakan ketidakpedulian lelaki itu, sehingga ia menghampirinya.“Apa yang terjadi padamu? Apakah kau menyesal m
Nada suara Dirian rendah, namun ada sedikit kekhawatiran yang terselip. Dia terus menatap Selene yang nampak terlihat baik baik saja, seolah apa yang terjadi kemarin hanyalah halusinasi.Selene menatapnya dengan senyum tipis, wajahnya berseri.“Siapa bilang aku sakit? Aku baik-baik saja,” jawab Selene santai, seolah-olah semalam sama sekali tidak terjadi.Dirian hanya menatap sebentar, lalu mulai menyuap makanannya tanpa bicara. Aroma masakan itu membuat dadanya sedikit hangat, tapi ego dan rasa ingin tahu tetap menahan lidahnya untuk tidak berkomentar lebih banyak.“Oh iya, aku akan hadir di pesta penyambutan besok,” ucap Selene tiba-tiba, suaranya ringan, seolah ingin menguji reaksinya saat Dirian sed







