INICIAR SESIÓNDeg.
Dirian membuka mata, tangannya refleks menegang saat merasakan ada yang berbeda pada perut Selene. Dahi Dirian mengernyit, firasatnya langsung disergap kegelisahan tak beralasan. Ia terlalu peka—setiap perubahan sekecil apa pun dari Selene selalu mengusiknya, seolah dunianya harus tetap pada poros yang sama dan stabil. Tapi kali ini, ada sesuatu yang mengguncangkan.
Selene bergerak pelan, merasa pelukan Dirian mulai longgar. Ia berbalik, wajahnya lelah tapi damai, semalam mereka hanya tidur dan tidak melakukan apapun. Dirian memandang Selene dalam diam, tiba-tiba menyadari aroma mawar dari tubuh istrinya begitu menenangkan, seolah menutupi segala bekas luka dan perang batin di balik kulit putih itu.
Tanpa sadar, Dirian menunduk, mengecup bibir Selene lembut. Mata biru Selene terbuka, menatap Dirian dengan sisa kantuk dan bekas air mata yang mengering di sudut matanya.
“Ini masih pagi,” gumam Selene, membalikkan badan, enggan digangg
Tawa dan tepuk tangan pun memenuhi aula, membuat suasana pesta semakin gemuruh. Namun di antara semua tepuk tangan dan sorakan, Selene menatap Dirian dengan tatapan sulit dijelaskan. Entah marah, haru, atau justru sesuatu yang lain — sesuatu yang perlahan menghangat di dadanya.Dan di luar aula yang ramai, Viviene berdiri di balkon, sendiri, menggenggam surat yang tak sempat sampai… sementara angin malam membawa isak kecilnya menghilang di balik musik dan tawa.Setelah lagu usai, Selene sedikit menjauh dari Dirian. Pipinya masih bersemu karena dansa tadi. Ia mengambil napas dan melangkah menuju meja minuman.Tangannya terulur mengambil segelas wine merah di nampan perak, tapi sebelum sempat menyentuh bibir gelas itu, Dirian tiba-tiba
Musik dansa bergema lembut di aula megah istana kekaisaran. Dirian dan Selene tak henti disapa oleh para bangsawan, dari jenderal perang hingga putri keluarga agung. Senyum Selene tenang, langkahnya anggun di samping Dirian yang malam itu tampak sangat berwibawa dalam jubah resmi kebesarannya. Namun di sisi lain ruangan, di tengah kerumunan wanita bergaun indah, Viviene berdiri dengan wajah tegang. Sejak awal pesta dimulai, ia telah mengirim beberapa surat kecil lewat pelayan, memohon agar Dirian menemuinya di balkon barat. Namun, setiap surat itu tiba di tangan sang duke, Dirian hanya melirik sekilas lalu meremasnya hingga hancur sebelum membuangnya ke meja terdekat — bahkan tanpa ekspresi. Sementara itu, seolah ingin memastikan semua orang tahu siapa yang berada di sisinya, Dirian terus menggandeng Selene ke setiap sudut aula, memperkenalkannya, menemaninya bicara dengan para bangsawan, bahkan sesekali menatap siapapun yang ter
Mereka akhirnya tiba di tempat pesta — terlambat, tentu saja. Musik dan tawa sudah memenuhi seluruh halaman istana kekaisaran, sementara cahaya dari ribuan lilin dan lentera membuat malam tampak berkilau.Begitu mobil berhenti, para prajurit dan rakyat yang berpesta di luar serentak menunduk memberi hormat kepada Dirian — sang Duke yang kehadirannya selalu menjadi pusat perhatian. Namun kali ini, pandangan mereka tidak hanya tertuju padanya.Semua mata perlahan beralih pada wanita di sisinya — Selene, sang Duchess Leventis. Ia turun dengan anggun, mengenakan gaun berwarna lembut yang membuat kulitnya tampak bercahaya di bawah cahaya malam. Rambutnya disanggul elegan, hanya menyisakan beberapa helai yang jatuh lembut di bahu. Ketika tangannya melingkar di lengan Dirian, dunia seolah berhenti sejenak.Bisik-bisik mul
Suasana di dalam mobil menjadi senyap. Hanya derap roda mobil yang terdengar dari luar, berpadu dengan embusan angin musim gugur yang dingin. Selene bersandar perlahan, menatap keluar jendela, sementara pikirannya berputar.Kata-kata Dirian barusan masih terngiang di kepalanya — tidak ada yang boleh melihatnya selain aku.Entah kenapa, kalimat itu terdengar seperti kepemilikan sekaligus penjara.“Kenapa diam?” tanya Dirian tiba-tiba tanpa menoleh.Selene menatapnya singkat. “Aku hanya tidak tahu harus bicara apa. Kau tidak suka semua yang kulakukan.”Dirian menarik napas, matanya menatap lurus ke jalan di depan. “Bagus, Aku tidak suka ketika orang lain memandangmu.”
Suara Dirian rendah, matanya menyalak. Tegas tanpa celah.Selene menatap Odet mencari jawaban, tetapi sang mertua hanya membalas dengan keraguan.“Apa maksudmu ganti gaun?” bisik Selene, dadanya naik-turun oleh ketegangan.Dirian kini berjalan mendekat, aura kuasanya menekan udara sekitar.“Ganti atau aku akan merobek gaunmu detik ini juga!” suaranya membelah keheningan kastil, membuat Odet tercekat, tak mampu berkata-kata.Selene masih diam, mencoba menimbang rasa malu dan marah.“Kau mau pakai gaun seperti ini untuk menggoda siapa?” nada Dirian sarat kecurigaan dan kecemburuan yang buas.Selene berusaha tenang. “Kupikir ini gaun yang cukup bagus.”Odet menimpali, suara lemah, “Benar, Selene sangat cantik dan juga dewasa…”“Aku bilang GANTI!” teriak Dirian, sabarnya habis. Suaranya menggema di seluruh aula.Selene menghela napas, sesaa
Nadanya lirih tapi menusuk, seperti racun manis meluncur di udara panas kamar. Tubuhnya gemetar di bawah himpitan Dirian, paha menegang melingkari pinggang pria itu, tangan masih mencengkeram keras punggungnya seolah menantang dan menyerah di waktu bersamaan.Ucapan itu membakar dada Dirian lebih dalam—tak ada ruang bagi keraguan atau ampun. Dengan brutal, Dirian membenamkan tubuh Selene lebih dalam ke ranjang, seolah ingin menghancurkan sisa perlawanan perempuan itu hingga tak bersisa. Bibirnya kembali melumat bibir Selene dengan nafsu penuh amarah; gigi dan lidah berpadu antara ciuman, gigitan, dan dengusan liar yang terdengar seperti desis hewan buas.Tangannya menjalar liar dari leher ke dada Selene, meremas keras hingga tubuh Selene terangkat. Suara napas keduanya bercampur, panas dan berat, aroma tubuh mereka memenuhi udara—pinus, peony, keringat, dan sisa cairan memekat di antara sprei kusut.Selene mengerang, matanya setengah terbuka sambil men







