LOGINSelene membuka mata, cahaya siang menembus tirai kamarnya. Tubuhnya terasa pegal dan remuk, bekas gejolak masih terasa di setiap sendi. Dirian sudah tiada; ranjang kosong di sisinya membuatnya merasa sepi sekaligus lega.
Dengan langkah lambat, Selene berdiri dan kembali ke kamar tidurnya sendiri, tubuhnya masih terasa berat setiap kali digerakkan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan rasa sakit yang menjalar dari leher hingga pinggang.
“Daisy,” panggilnya pelan, suaranya serak.
“Ya, Nyonya?” jawab pelayan yang segera menghampiri.
“Panggilkan Megan, aku ingin diperiksa,” ucap Selene, menahan rasa lelah.
Daisy mengangguk cepat, lalu segera meninggalkan ruangan untuk memanggil dokter keluarga itu.
Kata-kata itu jatuh seperti palu.Semua orang di sana melihatnya kini dengan jelas, pasukan Dirian tidak meminta diselamatkan, tidak menjerit, bahkan tidak berharap keajaiban.Mereka tahu siapa yang mereka ikuti.Dan mereka memilih mati di belakangnya daripada hidup sebagai alasan ia harus menyerah.Dagny terisak pelan, menutup mulutnya dengan satu tangan kecilnya. Mata kecilnya yang basah menatap ayahnya dan untuk pertama kalinya, ia tidak hanya melihat ketakutan.Ia melihat kemarahan yang melindungi.Dan Utoh… untuk pertama kalinya…merasakan sesuatu yang asing menyusup ke dadanya.B
Semua orang terpaku.Para prajurit Ruzkar yang bertato di wajah dan tangan berhenti bergerak. Para penyihir yang sedari tadi bersorak membeku dengan napas tertahan. Bahkan Utoh yang mulutnya penuh janji darah dan kemenangan kehilangan suara sesaat.Tidak ada yang menyangka Dirian akan memilih itu.Dalam pikiran mereka, lelaki itu pasti akan mencari jalan lain. Memutar. Menghindar. Mengatur siasat. Tidak mungkin seorang manusia, betapapun mengerikannya reputasinya, melompat masuk ke dalam bayangan iblis dengan sadar.Mereka lupa satu hal paling mendasar. Dirian tidak sedang berpikir sebagai jenderal, Ia tidak sedang bertindak sebagai Duke dan Ia bahkan tidak sedang menjadi Pembantai.Ia adalah seorang ayah yang putrinya direnggut dari pe
Selene menutup mata sejenak. Nama itu seperti pisau yang ditusukkan perlahan ke dadanya.“Tidak,” sahut Odet lebih dulu, suaranya tenang namun mengandung peringatan. “Ayahmu akan marah jika kita masih di sini. Dia tidak ingin kalian berada dalam bahaya.”“Tapi Dagny—” suara Divrio bergetar.Selene membuka matanya. Ia berlutut sedikit agar sejajar dengan putranya, kedua tangannya memegang wajah kecil itu.“Div,” ucapnya pelan namun tegas, “kita menunggu di istana. Di sana lebih aman. Di sini… kita hanya akan menjadi alat. Orang-orang jahat bisa memanfaatkan kita untuk menghancurkan ayahmu.”Divrio menelan ludah. Matanya berkedip cepat, mencoba mencerna kata-kat
Angin malam berhembus lebih kencang, membawa dingin yang menusuk. Di tengah hamparan salju itu, seorang anak kecil menunggu ibunya di punggung kuda setia, sementara para pria dewasa bersiap menuju perang yang tidak hanya akan menentukan nasib wilayah utara, tetapi juga nasib sebuah keluarga yang akhirnya mulai dipertautkan kembali oleh darah, keberanian, dan pengorbanan.Selene tiba ketika fajar belum sepenuhnya lahir. Langit masih pucat, seolah ragu memutuskan apakah hari ini pantas dimulai. Kereta bahkan belum berhenti sempurna saat Selene sudah melompat turun, sepatu tipisnya menapak salju dingin tanpa ia pedulikan. Nafasnya terengah, dadanya terasa sesak, namun kakinya terus berlari seakan tubuhnya digerakkan oleh satu hal saja: putranya.Odet menyusul dari belakang, memanggil namanya, namun suara itu tenggelam oleh desir angin pagi.“Divrio!” teriak Sel
Kuda hitam itu terus berlari, membelah kesunyian malam seperti bayangan maut yang menolak tunduk pada apa pun. Salju terbelah di bawah kuku-kukunya, pepohonan pinus berlalu begitu saja, dan udara dingin terbelah oleh napasnya yang berat namun stabil.Beberapa bayangan bergerak di sisi hutan, serigala, lynx salju, bahkan sesuatu yang lebih besar. Mata-mata liar berkilat di kegelapan. Ada yang mencoba mengejar, ada yang hanya mengaum rendah, namun kuda hitam itu tidak melirik sedikit pun. Jalurnya lurus. Tujuannya jelas.Ia berlari seolah dunia ini tidak ada artinya selain perintah terakhir tuannya.Di punggungnya, Divrio terhuyung-huyung, tubuh kecilnya terikat pada tali kekang. Rambutnya berkibar, wajahnya merah oleh dingin dan air mata yang belum benar-benar kering. Namun di balik rasa takut itu, matanya berbinar.
Dirian menjatuhkan Divrio ke tanah dengan kasar namun aman, lalu melesat kembali ke dalam tenda. Pedangnya terangkat tinggi.Bayangan hitam merembes dari bawah alas jerami, menjalar seperti asap hidup dan membelit kaki Dagny, menariknya makin cepat.“JANGAN! AKU TAKUT!”Dagny menangis histeris, kukunya mencakar tanah, berusaha menahan tubuhnya sendiri.Divrio bangkit sambil terhuyung, wajahnya pucat.“Ayah! Ayah, Dagny diambil!”“PEGANG AKU!” bentak Dirian, tapi Divrio terlalu panik untuk mendekat.Dirian menebas.Satu tebasan. Dua. Tiga.Pedan







