LOGINKeheningan panjang menyelimuti ruangan. Jay dan Sven tak berani bergerak sedikit pun.
Dirian memalingkan wajahnya, rahangnya mengeras, matanya gelap tanpa emosi.
Buku besar yang tadi dilempar masih terbuka di ujung meja, menampilkan angka-angka yang rapi — namun di balik semua itu, satu hal jadi jelas: Selene telah bersiap untuk pergi, dan itu bukan sekadar ancaman kosong.
“Kau sangat jujur,” sahut Dirian datar.
Ilard tidak langsung menjawab sebab melirik Jay.
“Jika saya berbohong, maka Anda tidak akan melihat saya berdiri di sini, sebab Sir Jay pasti sudah memenggal kepala saya,” ucap Ilard tenang tapi tegas.
Sudut bibir Dirian menegang. “Semakin hari k
Ada jeda hening. Kalimat itu mengandung sesuatu yang tak ia ucapkan—sesuatu yang membuat Dirian membeku sesaat.Odet mengepalkan tangannya. “Jangan pikirkan wanita itu, Selene, dia harus menanggung akibatnya.”Selene tersenyum lemah, suaranya nyaris tak terdengar.“Jangan sampai kau menyesal, Dirian,” ucapnya, menatapnya dalam. “Kau tahu apa yang aku maksud.”Hening panjang menyelimuti ruangan.Hanya suara api di perapian yang berderak pelan, seolah menahan napas bersama mereka.Odet akhirnya menarik napas panjang. Wajahnya masih dingin, tapi ada sedikit kelonggaran di sana. Melihat Dirian yang diam, d
“Yang Mulia, mohon, jangan bawa keluarga saya ke dalam masalah ini,” Count Moreau mencoba bicara, tapi Dirian langsung menatapnya dingin. “Masalah ini sudah membawa keluargamu sejak Viviene berani melakukan hal ini.” Semua orang menunduk. Beberapa bangsawan menutup mulut, berusaha menyembunyikan keterkejutan mereka. Odet menoleh pada Dirian. “Anakku, aku tidak akan biarkan ini berlalu begitu saja. Perintahkan penjaga untuk menahan wanita ini di ruang tunggu istana sampai kaisar sendiri memutuskan hukumannya.” “Ibu—” Dirian kaget dengan ucapan Odet. “Tidak ada tapi.” Tatapan Odet dingin. “Kau mungkin masih punya belas kasihan, tapi aku tidak.” Viviene menatapnya dengan mata penuh air mata, suaranya pecah, “Duchess, saya mohon...” “Berhenti menangis,” potong Odet dingin. “Air matamu tidak pantas ditumpahkan di lantai istana.” Dirian masih diam, tapi rahan
“Apa yang kau lakukan?!”Suara Dirian menggema keras, memenuhi balkon yang kini dikelilingi para tamu istana.Tangannya masih menggenggam kuat lengan Selene, menariknya ke atas dari tepian pembatas. Begitu memastikan Selene tidak terluka, ia menoleh tajam ke arah Viviene.“Dirian, aku—”“Lancang sekali dia memanggil Duke dengan namanya,” bisik seseorang di antara tamu.“Bukankah dia Lady Moreau? Pelakor itu?”Bisikan lain segera mengikuti, berdesir seperti angin tajam di antara kerumunan bangsawan.“Aku tanya, apa yang kau lakukan!” bentak Dirian lagi, suaranya menggema,
Tawa dan tepuk tangan pun memenuhi aula, membuat suasana pesta semakin gemuruh. Namun di antara semua tepuk tangan dan sorakan, Selene menatap Dirian dengan tatapan sulit dijelaskan. Entah marah, haru, atau justru sesuatu yang lain — sesuatu yang perlahan menghangat di dadanya.Dan di luar aula yang ramai, Viviene berdiri di balkon, sendiri, menggenggam surat yang tak sempat sampai… sementara angin malam membawa isak kecilnya menghilang di balik musik dan tawa.Setelah lagu usai, Selene sedikit menjauh dari Dirian. Pipinya masih bersemu karena dansa tadi. Ia mengambil napas dan melangkah menuju meja minuman.Tangannya terulur mengambil segelas wine merah di nampan perak, tapi sebelum sempat menyentuh bibir gelas itu, Dirian tiba-tiba
Musik dansa bergema lembut di aula megah istana kekaisaran. Dirian dan Selene tak henti disapa oleh para bangsawan, dari jenderal perang hingga putri keluarga agung. Senyum Selene tenang, langkahnya anggun di samping Dirian yang malam itu tampak sangat berwibawa dalam jubah resmi kebesarannya. Namun di sisi lain ruangan, di tengah kerumunan wanita bergaun indah, Viviene berdiri dengan wajah tegang. Sejak awal pesta dimulai, ia telah mengirim beberapa surat kecil lewat pelayan, memohon agar Dirian menemuinya di balkon barat. Namun, setiap surat itu tiba di tangan sang duke, Dirian hanya melirik sekilas lalu meremasnya hingga hancur sebelum membuangnya ke meja terdekat — bahkan tanpa ekspresi. Sementara itu, seolah ingin memastikan semua orang tahu siapa yang berada di sisinya, Dirian terus menggandeng Selene ke setiap sudut aula, memperkenalkannya, menemaninya bicara dengan para bangsawan, bahkan sesekali menatap siapapun yang ter
Mereka akhirnya tiba di tempat pesta — terlambat, tentu saja. Musik dan tawa sudah memenuhi seluruh halaman istana kekaisaran, sementara cahaya dari ribuan lilin dan lentera membuat malam tampak berkilau.Begitu mobil berhenti, para prajurit dan rakyat yang berpesta di luar serentak menunduk memberi hormat kepada Dirian — sang Duke yang kehadirannya selalu menjadi pusat perhatian. Namun kali ini, pandangan mereka tidak hanya tertuju padanya.Semua mata perlahan beralih pada wanita di sisinya — Selene, sang Duchess Leventis. Ia turun dengan anggun, mengenakan gaun berwarna lembut yang membuat kulitnya tampak bercahaya di bawah cahaya malam. Rambutnya disanggul elegan, hanya menyisakan beberapa helai yang jatuh lembut di bahu. Ketika tangannya melingkar di lengan Dirian, dunia seolah berhenti sejenak.Bisik-bisik mul







