로그인Selene membeku saat mendengar kalimat itu keluar dari bibir Dirian. Nada suaranya datar, tapi ada sesuatu di baliknya—dingin, namun anehnya juga rapuh. Ia tidak tahu harus menanggapinya bagaimana.
“Tidak ada… apa sesuatu terjadi?” tanya Selene perlahan, matanya mencari jawaban di wajah lelaki itu.
Dirian tidak menjawab. Pandangannya sekilas jatuh pada Selene—lalu beralih cepat, seperti sedang melarikan diri dari sesuatu yang tak sanggup dihadapinya. Ia hanya menarik napas panjang dan keluar tanpa sepatah kata pun.
Pintu tertutup. Suara langkahnya menjauh, meninggalkan keheningan yang menggantung di udara.
Selene menatap pintu itu lama, merasa ada yang aneh dengan sikap Dirian. Tapi seperti biasa, ia
Senyum samar muncul di bibir Selene — tapi bukan senyum bahagia. Itu senyum yang menyakitkan, seperti luka yang tak bisa dijahit lagi. “Kenapa aku tidak boleh mati, Dirian?”"Kau boleh mengurung diri, tidak melakukan apapun juga tidak masalah. namun kau harus tetap makan." ucap Dirian."Apakah kau takut aku mati?" tanya Selene memastikan."Jangan bicara omong kosong lagi." Balasnya.Hening. Detik jam berdetak pelan, berpadu dengan napas mereka yang terdengar berat.Dirian ingin menjawab, tapi tak satu pun kata terasa benar. Ia sadar, luka yang sudah terlalu dalam tak bisa disembuhkan hanya dengan penyesalan.
Ruangan seketika hening.Dirian hanya menatap Megan, rahangnya mengeras, tapi tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia terlihat seperti seseorang yang baru saja ditampar kenyataan.Megan tahu batasnya. Ia tidak menyinggung tentang kehamilan Selene di hadapan sang duke, karena ia tahu itu bukan waktunya. Namun Odet, yang berdiri di belakang Dirian, mengerti betul makna di balik tatapan Megan — bahwa kondisi Selene lebih rapuh dari yang terlihat.Setelah semuanya dijelaskan, Megan memasang infus di tangan Selene dengan hati-hati. Jarum itu menusuk kulit pucat wanita itu, dan Dirian hanya bisa memandang — tanpa bergerak, tanpa berkata apa-apa. Tangannya mengepal di atas lutut, seolah menahan sesuatu di dadanya.“Dia harus banyak istirahat,” ujar Me
“Panggil Ilard,” ucap Dirian akhirnya.Bjorn segera keluar, memanggil kepala pelayan yang setia itu. Semua orang di kastil kini gelisah—tak ada yang menyangka Nyonya mereka benar-benar mengurung diri hingga malam.Tak biasanya Selene bertingkah seperti ini.“Ya, Tuan,” sahut Ilard berhati-hati ketika masuk.“Aku sudah meminta semua menu makanan yang dia sukai pada koki, tapi tak ada satu pun yang dia inginkan. Bahkan katanya semua itu membuatnya jijik,” ucap Dirian, nada suaranya mengandung frustasi yang jelas.Ilard menatap tuannya sejenak.“Tidak ada yang dia mau?” tanya Dirian lagi, seakan sulit mempercayai.
“Kau dengar, Ibu? Aku tidak akan jadi wanita yang menunggu lelaki yang bahkan tak tahu bagaimana caranya pulang dengan hati yang bersih.”Setelah itu, sunyi.Tak ada lagi suara dari balik pintu, hanya angin yang berhembus lembut melalui jendela koridor.Odet menatap pintu itu lama, lalu berbisik lirih,“Kalau saja kau tahu, Selene… bahkan lelaki sekeras Dirian pun, sekarang sedang kehilangan arah hanya karena satu kalimat darimu.”Selene bersandar di dinding kamar, napasnya masih naik turun. Tangannya mencengkeram dadanya, mencoba menenangkan degup jantung yang berlari tak tentu arah. Ia bahkan tidak tahu sejak kapan air matanya
Dirian memejamkan mata, menggenggam tangan dengan kuat, tapi tidak bergeming.“Kalau aku pergi, kau akan semakin berpikir yang tidak-tidak.”“Kalau kau tetap di sana, aku akan benar-benar membencimu!”Suara itu membuatnya terdiam.Ia memejamkan mata lebih lama kali ini, menarik napas panjang, lalu menurunkannya perlahan.Dari balik pintu, Selene bersandar di dinding, air matanya menetes satu per satu. Ia menggigit bibirnya, menahan isak agar tidak terdengar.“Terserah…” ucapnya lagi, kali ini jauh lebih pelan, nyaris seperti bisikan putus asa. “Kau selalu melakukan yang kau mau, jadi… terserah.”
Teriakan Dirian menggema keras di aula marmer, memantul di antara tiang-tiang tinggi dan langit-langit berhias kristal. Suaranya dalam dan bergema, memecah ketenangan sore di dalam kastil.Selene sudah berada di atas tangga besar yang menghubungkan lantai satu dan dua. Di belakangnya, tergantung potret besar pernikahan mereka—Dirian Leventis dan Selene Moreau—lukisan yang megah dan sempurna, namun kini terasa seperti ironi pahit.Wanita itu berhenti sejenak dan menoleh. Wajahnya tenang, tapi matanya dingin.“Kau pulang juga akhirnya,” ucap Selene datar, nyaris tanpa emosi.Dirian berdiri di bawah, menatapnya dari tangga, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. “Ada urusan yang harus kuselesaikan,” jawabnya pe







