FAZER LOGINSuara Dirian dalam, dingin, dan cukup untuk membuat seluruh aula membisu.
Selene menatap tangan yang masih menggenggamnya, tapi Dirian sudah melepaskannya perlahan. Ia melangkah turun sendirian, langkahnya tenang namun membawa aura mengancam yang membuat siapa pun enggan bersuara.
Begitu Dirian berdiri di bawah, Countess Moreau yang tadi berteriak kini menelan ludah, wajahnya menegang.
Tatapan Dirian saja sudah cukup menjelaskan — permainan ini baru saja berubah.
“Duke.”
Suara Countess Moreau terdengar tegas tapi bergetar menahan amarah.
Dirian menoleh perlahan. “Apa yang terjadi?” tanyanya datar, namun cukup dingin untuk membuat bebe
“Kau dengar, Ibu? Aku tidak akan jadi wanita yang menunggu lelaki yang bahkan tak tahu bagaimana caranya pulang dengan hati yang bersih.”Setelah itu, sunyi.Tak ada lagi suara dari balik pintu, hanya angin yang berhembus lembut melalui jendela koridor.Odet menatap pintu itu lama, lalu berbisik lirih,“Kalau saja kau tahu, Selene… bahkan lelaki sekeras Dirian pun, sekarang sedang kehilangan arah hanya karena satu kalimat darimu.”Selene bersandar di dinding kamar, napasnya masih naik turun. Tangannya mencengkeram dadanya, mencoba menenangkan degup jantung yang berlari tak tentu arah. Ia bahkan tidak tahu sejak kapan air matanya
Dirian memejamkan mata, menggenggam tangan dengan kuat, tapi tidak bergeming.“Kalau aku pergi, kau akan semakin berpikir yang tidak-tidak.”“Kalau kau tetap di sana, aku akan benar-benar membencimu!”Suara itu membuatnya terdiam.Ia memejamkan mata lebih lama kali ini, menarik napas panjang, lalu menurunkannya perlahan.Dari balik pintu, Selene bersandar di dinding, air matanya menetes satu per satu. Ia menggigit bibirnya, menahan isak agar tidak terdengar.“Terserah…” ucapnya lagi, kali ini jauh lebih pelan, nyaris seperti bisikan putus asa. “Kau selalu melakukan yang kau mau, jadi… terserah.”
Teriakan Dirian menggema keras di aula marmer, memantul di antara tiang-tiang tinggi dan langit-langit berhias kristal. Suaranya dalam dan bergema, memecah ketenangan sore di dalam kastil.Selene sudah berada di atas tangga besar yang menghubungkan lantai satu dan dua. Di belakangnya, tergantung potret besar pernikahan mereka—Dirian Leventis dan Selene Moreau—lukisan yang megah dan sempurna, namun kini terasa seperti ironi pahit.Wanita itu berhenti sejenak dan menoleh. Wajahnya tenang, tapi matanya dingin.“Kau pulang juga akhirnya,” ucap Selene datar, nyaris tanpa emosi.Dirian berdiri di bawah, menatapnya dari tangga, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. “Ada urusan yang harus kuselesaikan,” jawabnya pe
Ketiganya menoleh bersamaan.Dirian berdiri di sisi mobil, sosoknya tegap dan berwibawa, diselimuti mantel hitam panjang yang kontras dengan semburat cahaya jingga senja. Bayangan tubuhnya jatuh memanjang di halaman batu, menegaskan betapa besar kehadirannya di antara mereka. Tatapannya tajam—menembus—dan jelas bukan diarahkan pada siapa pun... selain Selene.Udara sore yang tadinya hangat mendadak terasa dingin.Odet spontan menegakkan punggungnya, sedikit melirik ke arah putranya dengan ekspresi antara kaget dan geli yang berusaha disembunyikan. Zayn, yang berdiri tak jauh darinya, segera menunduk sopan, mencoba menahan keterkejutannya meski napasnya terdengar pelan.Sementara itu, Selene… tetap diam di tempat.Tidak bergerak,
Dirian tidak pulang.Itu hal pertama yang disadari Selene pagi itu—setelah menyelesaikan rutinitasnya seperti biasa. Semua berjalan normal: ia bangun, mandi, bekerja, dan menandatangani tumpukan dokumen yang menunggu di mejanya. Namun satu hal tetap sama sejak semalam: kamar itu kosong.Dirian tidak kembali.Selene menatap jendela ruang kerjanya yang memantulkan bayangan dirinya sendiri, lalu tersenyum tipis—senyum yang hambar, nyaris tak berarti.“Dia pasti sedang bersenang-senang dengan wanitanya,” gumamnya pelan, nada suaranya datar tapi matanya menyimpan gurat kecewa yang tak bisa disembunyikan.Bjorn sudah memberitahu semuanya.Duke Leventis, suaminya, memilih menghabiskan waktu bersama V
Dirian menatapnya lama—diam, tanpa jawaban.Dan dalam diam itu, Viviene akhirnya mengerti…bahwa tidak peduli seberapa keras ia memohon, hati pria itu sudah bukan miliknya lagi.“Vivi, masih banyak hal yang harus aku lakukan.”Suara Dirian terdengar tenang, tapi tegas. “Jikapun kau memintaku untuk tinggal di sini, aku tidak bisa. Namun aku berjanji akan mengunjungimu setiap hari.”Viviene terdiam. Bibirnya sedikit mengerucut, seperti anak kecil yang sedang menahan kecewa.“Kau janji?” tanyanya ragu, menatap Dirian dengan mata yang mulai lembap.Dirian mengangguk, senyum tipis terlukis di wajahnya.“Tentu. Kita bisa belanja, berjalan







