Share

Part 1 I Found You

Pria berwajah blasteran Asia dan Amerika itu terlihat menghela napas panjang. Ia tahu perdebatan ini tidak akan menemukan titik terangnya. Percuma baginya untuk mendengar keluhan lelaki tua yang terus menggerutu.

"Jika tahun depan kau tak menikah juga maka ayah akan mencarikanmu jodoh," tutur seorang ayah kepada anak lelakinya.

"Apa yang kau tunggu, Kak?" tanya sang adik dengan memakan kue muffinnya.

"Aku akan mencari istriku sendiri. Kalian tidak perlu mencampuri urusanku." Lelaki itu segera beranjak meninggalkan ayah dan adiknya.

Di usianya sudah hampir memasuki kepala tiga, Ken belum jua mendapatkan jodohnya. Tak ada satupun gadis yang cocok dengannya, banyak dari mereka yang ingin dinikahi oleh Ken.

Namun Ken selalu menolak, tak ada getaran dari hatinya. Ia ingin mencari sendiri cintanya.

"Kalau kamu tidak mau ayah carikan. Maka ayah terpaksa menyuruh pamanmu mencarikannya. Maka kamu tidak akan bisa menolak!" teriak sang ayah dengan tegas.

Meskipun sang ayah sudah menyebut nama sang paman, tak serta merta membuat Ken takut. Ia memiliki pendiriannya sendiri yang teguh.

"Ya bicara saja ayah sama paman. Aku tak peduli!"

Ken dan keluarganya adalah keturunan kerajaan di mana sang ayah adalah adik dari raja. Sang ayah tak pernah mau menggantikan kakaknya dan lebih senang menjadi seorang pengusaha.

*****

"Tuan Muda, mau ke mana?" tanya sang sopir pribadinya yang siap mengantar ke manapun Ken pergi.

"Aku bosan, Nthan. Kita ke kampus saja," sahut Ken malas. Hari-harinya hanya ditemani omelan sang ayah bukan sang ibu yang sudah meninggal.

Ke kampus bagi Ken bukan kuliah melainkan mencari kesenangan dan mengajak mahasiswi di sana untuk sekedar berjalan-jalan tanpa niatan untuk meniduri mereka.

"Mencari gadis muda lagi? Maaf tuan muda, apa tidak bosan anda dengan gadis-gadis di sana?"

Nthan lebih tua lima tahun darinya. Selain menjadi sopir pribadi, Nthan juga seorang asisten di kantor Ken.

Ken tak pernah mau dijadikan perdana menteri oleh alm kakek atau pamannya. Ia dan ayahnya senang memiliki kehidupan yang bebas.

"Jumlah mereka kan banyak, Nthan. Tentu saja aku tak bosan."

Ken tak marah ataupun tersinggung, ia malah terkekeh mendengarnya. Baginya mencari wanita yang berpadu dengan hatinya seperti mencari duri dalam lumpur.

"Ayo berangkat saja, Nthan."

*****

Sementara itu di tempat lain, sepasang agen sedang kebingungan mencari tuannya. Mereka kehilangan jejak dan harus menemukannya jika tidak maka kepala mereka akan menjadi taruhannya.

"8221, apakah kau sudah menemukan nona kedua?" cerca seorang penjaga menggunakan Walkie Talkie.

"Kami sudah menemukannya 8220. Nona Ulmer ada di sini." Dengan napas yang terengah sang penjaga menemukan nonanya.

"Bukannya aku sudah ada di sini?" Gadis yang sering memakai syal itu menjewer telinga salah satu pengawalnya hanya sekedar bercanda.

"Nona, apa yang sedang anda lakukan di sini? Kami mencari anda satu jam yang lalu jika tidak tuan besar Ulmer akan marah."

Sang nona hanya tersenyum saat sang penjaga sedikit memarahinya.

Tak ada yang tahu jika gadis itu sedang diawasi dari jauh. Ada seorang lelaki yang mengawasi gadis itu di dalam mobil hitamnya. Ia terkekeh sendiri melihat kelakuan gadis tersebut.

"Akhirnya aku menemukanmu."

****

Seorang gadis dengan dress panjangnya memandang sebuah foto yang tergantung di ruangan pribadinya. Ada perasaan sedih saat ia menatap foto tersebut. Seorang wanita yang duduk dengan harpanya adalah ibu sang gadis tersebut. Leanore adalah nama gadis itu. Leanore tak pernah mengenal ibunya sejak bayi. Ibunya meninggal karena melahirkan.

Leanore mendekat ke alat musik kesayangan ibunya. Jemarinya yang halus mulai memainkan alat musik tersebut dengan penuh penghayatan.

"Sudah ayah katakan jangan memainkan alat musik itu!" Tiba - tiba saja sang ayah masuk yang membuatnya terkejut.

"Maaf nona. Saya tidak tahu jika tuan besar...," ujar Hellen sang pengawal pribadinya.

"Tidak apa - apa, Hellen," jawabnya dengan nada pelan.

"Mengapa Leanore tak boleh memainkannya, Ayah? Harpa ini peninggalan ibu," sahutnya tak berani menatap mata ayahnya.

"Jika kamu masih memainkan harpa itu maka jangan salahkan ayah jika harpa itu akan ayah buang jauh!" ancam ayahnya yang membuat Eleanore tak bisa berkutit.

"Dan kau Hellen. Awasi nonamu jangan sampai ia keluar tanpa izin lagi," kata ayahnya kepada Hellen.

Hellen yang merasa ketakutan hanya bisa menggangguk saja.

Selalu seperti ini jika Eleanore ingin memainkan alat musik itu maka ayahnya akan marah. Bukannya tidak boleh memainkan alat musik hanya saja Eleanore tidak boleh memainkan alat musik harpa.

Dari ia kecil, Eleanore di didik keras oleh ayahnya. Sebagai anak dari perdana menteri yang disegani maka Eleanore sudah disiapkan menjadi wanita yang bisa segalanya. Memainkan alat musik apa saja, harus bisa menguasai bahasa asing dan mematuhi tata krama di rumah besarnya.

Eleanore sudah bosan dengan semua aturan ketat yang ada di Kastil tempat ia dan keluarganya tinggal. Andai saja ia bukan keturunan darah biru maka ia akan bisa menikmati kehidupan di luar sana. Sayang sekali semua itu tidak sesuai kenyataan yang ada. Sang paman yang tak lain adalah kakak ayahnya merupakan menantu dari kerajaan.

"Nona, anda tidak apa - apa?" tanya Hellen dengan wajah sedihnya.

"Aku tidak apa - apa, Hellen."

Selalu kata - kata itu yang di gunakan Eleanore untuk menggambarkan perasaannya yang sebenarnya.

"El, kau di mana?" Panggilan dari kakak pertamanya membuat ia tersenyum. Ia tak ingin kakaknya tahu jika ia sedang bersedih.

"Aku di sini Naval," ujarnya sumringah.

"Apa ayah memarahimu lagi?" Mengecup kening adiknya dengan penuh cinta.

"Tidak. Ayah hanya mampir sebentar ke kamarku."

"Tumben sekali ayah ke kamarmu kecuali jika ayah sedang marah denganmu."

Benar kata Naval sang ayah jarang sekali mau berbicara dengan putri bungsunya. Entah karena kesibukannya atau ada hal lain yang tidak diketahui.

"Kau memainkan harpa milik ibu lagi, El?" Naval dapat melihat harpa yang bergeser dari tempatnya.

Eleanore hanya mengulum senyumannya. Hanya pada sang kakak pertama dirinya bisa bebas menjadi pribadi yang berbeda.

"Pasti ayah tidak memperbolehkanmu, bukan?" Naval mendekati adiknya yang duduk di depan jendela. Tempat favorit sang adik untuk melepas rasa lelah ataupun rasa bosannya.

"Tidak apa - apa Naval. Aku bisa memainkan yang lainnya," ucap Eleanore dengan lembutnya.

Naval membelai rambut adiknya dengan penuh kasih sayang. Adik bungsu yang perlu ia perhatikan daripada saudara lainnya.

"Kau mau ikut aku menghadiri pernikahan rekan bisnisku?" Naval menawarkan Eleanore untuk ikut, tetapi ditolaknya. Gadis itu tak menyukai keramaian.

"Baiklah. Jangan kemanapun sampai aku kembali ya. Smith dan Ez tidak ada di rumah juga." Mengecup kening adiknya sebelum melangkah pergi dari kamar pribadi Eleanore.

Tidak ada yang tahu jika El sebenarnya menangis dalam diam. Ia merasa kesepian dan tak ada yang memahami dirinya.

****

"Ini sudah sembilan belas tahun sejak kematian kakakmu. Apa masih kamu merindukannya, Nak?"

Pria paruh baya itu tampak berdiri di samping sang anak sambil memandang foto di dinding yang menampilkan sosok pria muda sedang berkuda.

"Tentu saja, Yah. Dia kakakku satu-satunya yang paling memahamiku."

Sang ayah tersenyum lalu menepuk punggung anaknya, ia tahu kedekatan putra keduanya dengan sang kakak yang tak bisa dipisahkan.

Namun beberapa tahun mereka dipisahkan oleh kematian, putra pertamanya dibunuh dan pelakunya kini sedang menjalani hukuman seumur hidup.

"Seumur hidup aku tak akan pernah bisa memaafkan wanita itu yang telah membunuhnya," ucap Ken dengan nada emosi dan tatapan marah.

"Bukankah wanita itu sudah menerima hukumannya, Nak? Tidak bisakah kamu memaafkannya, Ken?"

Ken tersenyum sinis, tak ada kata maaf di hatinya untuk seorang pembunuh kakaknya.

"Aku tak akan pernah mau memaafkannya sampai kapanpun." Ken berlalu dari hadapan sang ayah.

Pria paruh baya tersebut merasa sedih, tatapannya teralihkan ke arah foto putra pertamanya sambil berkata lirih.

"Mengapa kamu harus melakukannya kepada adikmu?"

=Bersambung=

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status