Share

Part 2 My Name Eleanore

Namaku Eleanore semua orang memanggilku dengan El. Sejak kecil hidupku sudah diatur dengan tata cara kerajaan. Paman Pedro adalah menantu dari kerajaan yang ada di negara ini. Aku dibesarkan tanpa mengenal seorang ibu. Kata kakak pertamaku, ibu meninggal saat melahirkan di usia yang tidak begitu muda lagi.

Ibu pemain harpa yang terkenal di masanya. Sejak ibu meninggal ayah tidak pernah mengijinkan siapapun untuk memainkan alat musik itu. Ayah tidak pernah dekat denganku. Aku tidak tahu apa yang menjadi sebab ayah tak pernah mau mendekatiku. Apakah ayah begitu membenciku? Apa aku yang menjadi sebab ibu meninggal?

Di kastil ini yang disebut rumah bagiku adalah pemberian raja untuk ayah karena jasanya. Ayah adalah perdana menteri kepercayaan raja. Apakah aku beruntung bisa hidup dengan segala kemewahan di kastil ini? Tidak. Aku justru membenci tempat ini di mana semua serba diatur.

Aku memiliki dua pengawal pribadi yang setia menemani kemanapun aku pergi. Bukan itu yang kuinginkan. Aku ingin kebebasan yang tak pernah dimiliki olehku sejak lahir.

"Anda belum tidur, Nona?"

Bibi Brigith adalah kepala rumah tangga yang mengurusi segala keperluan di kastil ini. Beliau juga yang menjaga aku ketika masih bayi. Aku sudah mengganggap beliau adalah ibu.

"Belum, Bi.''

"Cepatlah tidur, Nona. Jangan sampai Tuan Naval tahu jika anda belum tidur." Bibi Brigith selalu memperhatikanku layaknya anak yang masih kecil.

"Apakah kakak pertamaku selalu datang ke sini, Bibi?" Bibi menyelimuti dan mematikan semua lampu kamarku.

"Iya Nona. Tuan Naval senantiasa berada di kamar nona sampai benar-benar anda terlelap."

Aku tahu Naval selalu datang tiap malam hanya untuk menjagaku sampai aku benar - benar tertidur.

"Sampai bertemu esok, Nona. Di depan kamar anda pengawal yang mengawasi anda." Bibi menutup pintu kamarku.

Pintu kamarku hanya bisa di buka melalui sensor mata. Tidak semua orang bisa memasuki kamarku. Ayah merancangnya seperti itu. Di depan kamar dan di luar kamarku selalu ada penjaga yang mengawasi 24 jam.

Sekali - kali aku ingin pergi tanpa adanya pengawalan tapi ayah semakin memperketat penjagaan ketika aku berusaha kabur untuk menyendiri. Aku tidak memiliki teman yang benar - benar sudi bersahabat denganku. Rata - rata mereka semua mundur jika aku dekati. Apakah sebegitu menakutkannya kekuasaan yang ayah miliki?

"Andai ada yang menyelamatkan aku dari penjara ini."

*******

Kampus ini benar - benar membuatku muak. Ya tahu sendirilah. Aku merasa ingin muntah berada di sini. Kampus elite yang terletak di kota besar yang dibangun oleh keluarga kerajaan ini terkenal dengan anak didik dan dosen yang berkualitas. Mungkin nantinya akan dijadikan pejabat negara.

"El, siang bolong melamun lagi." Jason menegurku dengan tepukan keras.

"Siapa juga yang melamun. Dasar beruang."

Hanya Jason yang membuat aku nyaman berteman dengannya. Aku dan dirinya bukan hanya berteman, tetapi dia layaknya saudara bagiku. Jason hanya terpaut 3 bulan. Dia lebih tua usianya. Kami sama - sama mengambil jurusan Ekonomi hal yang tak aku sukai. Ayah yang menentukan bukan aku yang putuskan.

"Setelah selesai ayah akan mencarikanmu jodoh dan menikah."

Nah buat apa aku kuliah jika ujung - ujungnya aku bakalan menikah dengan orang yang tak aku kenal?

Oh, ya kembali lagi ke topik awal. Jason ini adalah anak dari sahabat baik keluargaku. Hanya dia teman pria satu-satunya yang boleh berkunjung ke kastil.

Jason termasuk anak dan cucu pengusaha terkenal di New York dan juga mafia yang tak bisa disentuh oleh hukum, karena itulah ayah begitu akrab dengan ayahnya Jason.

"Tumben hari ini kamu nggak banyak bicara, El?" Jason melototiku pas di depan wajahku.

"Apaan sih Jas?" Kusingkirkan wajahnya dengan tanganku. Dia malah tertawa. Dasar aneh.

Tidak banyak yang tahu jika aku ini sebenarnya bukan seorang yang pendiam dan tidak suka bergaul. Di depan Jason dan Naval saja aku bisa menjadi diriku sendiri.

"Keluar yuk. Aku ingin makan Tuna Salad di kantin," ajakku menggandeng tangannya.

"Memangnya boleh sama pengawalmu tuh kamu makan di kantin?" Dengan enggan Jason mengikutiku.

Di kampus ini hanya Jason yang menjadi temanku yang lain cuek dan tak ramah. Meskipun menyapa hanya tersenyum tipis saja. Aku melirik ke seluruh penjuru lorong ternyata dua tengil itu tidak ada. Kemana tuh dua tengil?

"Ya udah kalau kamu nggak mau aku bisa ke sana sendiri."

"Aku temanin, El. Nanti bisa - bisa kakakmu itu bakal marah sama aku."

"Nggak mungkin mereka marah sama kamu, Jason. Ayah dan kakekmu itu kan ditakuti semua orang."

"Terserah kamu saja deh. Aku selalu kalah berurusan denganmu."

Memang beginilah keseharian kami, kadang bertengkar dan kadang bagai kucing tikus. Karena itulah kami berteman akrab.

*****

"Maaf Nona Muda, kami sedang makan siang tadi."

Dua pengawalku itu tampak tersengal karena belarian. Aku menghela napas, tentu saja mereka harus makan siang. Kenapa harus meminta maaf padaku?

"Kalian ini aneh. Untuk apa meminta maaf? Bukannya ini sudah waktunya makan siang?"

"Ya kami takut kalau anda jauh dari jangkauan kami," sela Juliano mengelap keringatnya.

"Aku tak mungkin kabur, Hellen. Di manapun aku bersembunyi ayah akan mengerahkan tenaganya untuk mencariku."

Meski aku bersembunyi di bawah lautanpun ayah akan menemukanmu dengan bantuan paman.

"Ayo Nona. Kita segera pulang. Anda harus pergi ke pernikahan tuan putri raja."

"Boleh tidak ya aku tidak pergi?" Aku menggoda mereka dan mereka seketika membisu dengan bibir yang ditekuk.

"Ya nggak mungkin aku nggak pergi, Juliano. Bisa-bisa aku akan dihukum oleh ayah."

Setiap pertemuan yang dihadiri kerajaan membuatku tak menyukainya. Banyak mata yang memandangku dengan tatapan palsu. Mereka hanya ingin berkenalan denganku tak tulus hanya karena ayah bekerja untuk raja.

"Nona, melamun?" Hanna menyeletuk sambil memegang pundakku.

"Aku nggak melamun kok," kataku mengusap poninya yang ia potong. Penampilannya berbeda.

"Ya sudah yuk kita pulang."

Kalau boleh memilih aku ingin naik sepeda motor bersama Jason. Tapi lagi-lagi terhalang aturan yang harus aku taati.

Pernah sekali aku bersama Jason dan bukannya Jason yang kena marah karena telah mengajakku. Justru akulah yang dihukum ayah. Sejak saat itu Jason tak pernah mau lagi bersamaku kecuali ia membawa mobil.

"Hellen, untuk kali ini biarkan aku memilih gaunku sendiri ya?" pintaku dengan wajah memelas tentunya.

"Tapi nona. Gaun anda sudah dipersiapkan untuk nanti malam."

Aku hanya bisa menghela napas panjang. Benar-benar memuakkan menjadi diriku yang tak bisa melakukan apa keinginanku sendiri.

"Oh ya kalian itu sedang pendekatan? Tumben kalian tak bertengkar?"

"Dan cincin kalian pun sama."

"Wah nona. Ini hanya hadiah saja kok," kata mereka bersamaan gugup.

"Ya sudah kalian pacaran saja. Aku mendukung kalian," sahutku sembari meninggalkan mereka yang sedang adu pendapat lagi.

Aku ingin ada seseorang yang membawaku pergi dari sangkar emas ini. Namun adakah seseorang itu?

=Bersambung=

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status