Share

Part 4 I Don't Like A Party

"Aduh bibi pelan-pelan."

Inilah yang paling aku tak suka saat menghadiri sebuah pesta apapun. Aku harus memakai korset sebelum memakai gaun, pakaian dalam ini membuatku sesak napas jika sedang menggunakan dan benda ini dipakai hanya untuk memperlihatkan bentuk tubuh yang indah. Aneh, bukan?"

"Bibi sudah pelan, Nona," kata bibi Brigith membantuku memasangkan pakaian yang membuatku membenci benda satu ini.

"Aku benci pakai ini. Oh Tuhan aku ingin sekali merubah aturan berpakaian para wanita di sini. Aku merasa seperti benda yang diikat." Aku mendengkus kesal setengah mati, rasanya ada air panas di kepalaku dan siap dituang.

"Hellen, jangan tertawa! Bantuin bibi biar cepat selesai."

Hellen tertawa karena perkataanku. Namun benar juga perkataanku, bukan? Setiap kali bibi memasangkan kain yang ada talinya ini ke tubuhku lalu mengikatnya dari belakang maka aku seperti jemuran yang diikat di pohon.

"Apa tidak ada gaun yang membuat pemakainya nyaman?"

Aku terus menggerutu walau bibi sudah selesai, ia dibantu Hellen membawakan gaun dan memakaikannya ke tubuhku. Andai saja aku terlahir sebagai pria mungkin aku tak kesusahan dalam memiliki pakaian.

Namun untungnya di jaman sekarang kami sebagai wanita yang memakai gaun tak lagi menggunakan kawat di bawah gaun untuk mengembang. Crinoline namanya, kawat yang berbentuk sangkar dan membuat pemakainya tidak nyaman sekali dan berat.

Kalau itu terjadi aku akan protes pada paman dan menyuruh beliau untuk memberitahu raja agar mengubah aturan cara berpakaian. Apakah kalian tahu aku ingin sekali bebas dan memiliki kehidupan sendiri tanpa adanya aturan.

"Oh aku ingin segera pulang dan memakai piyama juga merebahkan diri di kasur."

Lagi, aku menggerutu tak jelas. Di kastil ini para penghuninya baru bisa berpakaian santai saat kami hendak tidur dan kesehariannya harus memakai gaun atau celana yang selaras dengan pakaian atas yaitu sama-sama panjang, tidak diperkenankan memakai bahan kekurangan kain alias ketat dan pendek.

"Nona, jika anda terus mengomel. Anda akan berkeringat dan riasan juga luntur," kata Bibi sambil berdiri di belakang saat aku dirias oleh penata rias yang sudah tersedia di kastil ini. Mereka akan datang jika kami memanggilnya.

"Hellen, tolong ambilkan aku es lemon ya. Aku haus sekali." Kebanyakan mengeluarkan umpatan kecil membuatku kehausan, satu gelas lemon dapat menyegarkan tenggorokanku.

"Jangan kebanyakan minumnya, Nona. Nanti perut anda kembung."

Tak kuhiraukan omelan bibi Brigith, aku menandaskan segelas es lemon yang memang menjadi kesukaanku sejak kecil. Hanya di kamar ini saja aku, bibi dan Hellen dapat bercanda layaknya sahabat. Aku akan kembali menjadi pendiam ketika berada di luar, di luar sana tak ada yang dapat membuatku bahagia seperti di sini.

"Nona, tuan besar menjemput anda."

Aku memalingkan wajah saat mendengar suara dari Juliano memberitahu kalau ayah yang kusangka membantu raja kini telah ada di ruang tunggu hanya untuk menjemputku. Apa ayah kira aku akan kabur?

"Tuan besar akan---"

"Iya Juliano aku tahu. Katakan pada ayah, lima menit lagi aku akan turun!"

Tak perlu diberitahu pun aku sudah menduga jika ayah akan menyuruh Juliano memanggilku. Ayah tak suka ada kata terlambat dan harus tepat waktu jika menghadari sebuah acara kalau perlu satu jam sebelumnya saat semua orang masih sibuk dengan urusan berhias diri.

"Ayo, Nona. Cepat turun! Ayah anda akan marah kalau terlambat," ucap Hellen tampak cemas seperti orang yang sedang menyeterika pakaian.

"Nona, jangan lupa kipas dan sarung tangan anda,"sambung bibi Brigith menyerahkan kedua benda keramat yang tak boleh ketinggalan.

Jika seperti ini aku layaknya siap berlomba ke pentas modeling memakai segala perlengkapan pesta yang dipertontonkan ke muka umum nantinya. Mereka maksudku adalah para orang tua dengan senang hati akan memperkenalkan anak-anaknya terutama yang perempuan kepada anak rekan kerja.

*****

Jarak antara istana dan kastil memang tak seberapa jauh, tetapi tak mungkin kami harus berjalan atau menggunakan kereta kuda. Itu tampak seperti kami anggota kerajaan saja, jadi ayah memakai mobil untuk mengantarkan kami ke sana.

"Di mana gaun yang ayah belikan untukmu?" tanya ayah penuh selidik.

"Naval membelikannya untukku, Yah. Kata Naval---" Belum sempat aku melanjutkan kalimatku, ayah sudah memotongnya.

"Iya Naval selalu seperti itu padamu. Ia akan membelikan apa saja yang kamu minta," kata ayah lagi dengan melihat gaunku lalu berdecak.

Aku beruntung memiliki Naval, kakak yang begitu sayang dan memperhatikan setiap detail pada diriku. Aku tahu Naval melakukannya karena permintaan terakhir ibu---itu yang kudengar dari bibi. Ayah menyuruh desainer membuatkanku gaun yang menurut Naval kuno sekali.

"Apa kamu selalu ingin ayah menjemputmu terus kalau ke pesta kerajaan? Apa tidak bisa datang satu jam sebelumnya?" Ayah memarahiku padahal aku bisa berangkat sendiri.

"Itu karena aku sedikit pusing setelah mengerjakan tugas kuliah, Yah." Entahlah sudah berapa kalinya aku berbohong pada semua orang hari ini.

Raut wajah ayah berubah seketika dan memegang tanganku, ada kalanya aku senang saat ayah mengkhawatirkan keadaanku dan itu jarang sekali terjadi. Aku berharap ayah mau lebih memerhatikanku daripada pekerjaannya.

"Brigith tidak menelepon dokter? Apa saja kerjaannya hari ini sampai tak memerhatikanmu?"

"Aku sudah agak baikan, Yah. Karena itulah aku tadi tidur biar bisa ke sini."

"Syukurlah kamu tidak sakit dan bisa datang hari ini," sahut ayah bernapas lega.

"Meskipun kamu perempuan, kamu harus kuat layaknya laki-laki. Kamu paham, Leanore?"

Aku mengangguk pelan. Tentu saja aku harus kuat, ayah tak suka pada anak perempuan yang cengeng dan lemah. Ayah mendidik kami anak-anaknya keras sejak kecil dan tak segan memberi hukuman jika kami melakukan kesalahan. Ayah memang tak pernah sampai memukul, ia hanya mengurung kami di kamar untuk merenungi perbuatan kami.

"Pulanglah bersama kakak-kakakmu nanti. Jangan menghilang lagi seperti yang lalu. Tetap berada di ruang pesta sampai berakhir," ucap ayah memberi perintah.

"Iya ayah." Hanya itu yang mampu kuucapkan.

Aku tidak menghilang waktu itu hanya saja aku menghindari keramaian di ruang dansa. Aku pergi ke taman bunga milik Princess Emilita dan duduk santai. Ayah dan semua panik mencariku, ketika mereka menemukanku. Ayah malah memberiku pelukan, entahlah itu perasaan khawatir atau menjaga martabat ayah di hadapan semua orang.

"Kita sudah sampai, Leanore. Jaga sikapmu di hadapan para tamu, ayah tak mau membuat pamanmu dan raja malu jika kamu berbuat hal yang salah."

Sekali lagi aku hanya mengangguk dan tersenyum sebagai tanda jawabanku. Ayah menggandengku saat kami menaiki anak tangga dan aku mencoba menyapa para rekan kerja ayah yang kebanyakan membawa istrinya. Aku berharap waktu cepat berlalu.

=Bersambung=

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status