Share

Part 3 If I Were A Boy

Tiga jam lagi menjelang pernikahan putri raja dan aku belum siap sama sekali. Berbanding terbalik dengan kakak perempuanku, ia sudah berhias diri satu jam lalu dan kini sudah berada di istana sebab Princess Emilita adalah kawannya. Ia akan menjadi pengiring pengantin nanti.

"Nona, apa tidak bersiap diri? Anda harus berdandan cantik hari ini."

Ada seorang wanita yang mengeluhkan penampilanku yang masih mengenakan pakaian santai, ia terlihat menggigit bibirnya sendiri dan sesekali duduk di sampingku. Aku sengaja melakukannya toh diriku tak ada andil dalam pernikahan tersebut.

"Nona, ayolah. Bibi Brigith tadi menyuruh saya untuk memberitahu nona agar segera mandi," ucap Hellen. Pengawal setia yang selalu menemaniku ke mana saja.

Lucu melihat mimik wajahnya yang memanyunkan bibir karena aku tak mendengarkannya. Ia akan kena omelan bibi Brigith jika tak menjalankan tugasnya.

"Nona ..." Aku pura-pura tak mendengar dan senang menggodanya kalau aku tak menanggapi perkataannya.

"Tinggal berpakaian saja, Hellen. Janganlah kamu terus hilir mudik seperti orang yang kebingungan," kataku mencandai wajahnya yang memerah.

"Bukan begitu, Nona. Nanti kami dimarahi oleh tuan besar. Nona tahu sendiri jika ayah anda marah itu menakutkan," keluhnya dan kuperhatikan ia memainkan jemarinya jika mencemaskan sesuatu.

Semua orang di sini begitu segan dan hormat pada ayah karena posisi ayah di mata mereka adalah orang kepercayaan raja yang tidak boleh disentuh atau dipergunjingkan. Ayah dan raja merupakan sahabat masa kecil jadi tak heran jika beliau mengangkat ayah selalu berada di sampingnya.

"Tenanglah Hellen. Ayahku tak akan ke sini, Naval sudah mengatakan pada ayah aku datang terlambat karena harus menyelesaikan tugas kuliah," sahutku mengajaknya duduk di ranjang.

"Tapi nona---"

"Hellen ...." Aku memotong kalimat selanjutnya, ia langsung terdiam dan menundukkan kepalanya karena terus berbicara padaku. Jika ada bibi Brigith, ia akan dimarahi karena berlaku tak sopan.

"Maaf nona. Kami tak ingin ayah anda melakukannya lagi pada anda. Kami di sini tak tega melihat anda harus di kunci di kamar ini," sahutnya pelan.

Teringat beberapa bulan lalu saat ayah memaksaku untuk ikut kelas khusus menjadi seorang istri karena begitu banyaknya kegiatan yang kujalani maka aku menolak. Aku belum siap menikah di usia sembilan belas tahun dan ayah berniat menjodohkanku dengan anak dari perdana menteri lainnya.

Aku tak terima dan kabur meski tak lama. Ayah dan kakak kedua mencari keberadaanku. Hebatnya ayah menemukan diriku di sebuah vila milik Jason, ayah langsung menyeretku dengan paksa dan mengurungku di kamar selama seminggu.

"Tidak akan terjadi lagi, Hellen. Aku tak akan mengulang kesalahan yang sama dan membuat kalian dihukum oleh ayah," kataku penuh sesal kalau mengingat peristiwa itu.

Ayah memang tak memberi hukuman berat, mereka hanya tak dapat gaji selama sebulan dan jatah libur akhir tahun. Justru ayah memberiku hukuman yang berat dan kalau bukan Naval langsung datang dari tugasnya maka aku akan dikurung sebulan oleh ayah.

Hanya Naval yang berani melawan perintah ayah sedangkan kedua kakakku bukannya tak mau menolong, mereka jarang sekali ada di sini dan kesibukan mereka menyita waktu kami untuk bersama. Berbeda ketika aku masih kecil.

"Nona, kenapa masih belum bersiap diri? Dan kamu Hellen apa saja yang kamu lakukan saat ini?"

Kami menghela napas bersamaan saat bibi Brigith datang dan memarahi Hellen sebab aku belum berpakaian cantik juga berdandan. Satu hal yang tak kusukai selain berhias diri adalah pesta tempat orang berkumpul. Aku tak takut bertemu orang melainkan suasana yang hiruk pikuk membuatku pusing.

"Bibi, aku memang menyuruh Hellen menemaniku di sini. Aku agak pusing, Bi. Benar begitu kan, Hellen?" Aku memandang Hellen dan ia langsung mengangguk cepat. Maafkan aku yang berbohong, Bi.

"Nona sakit? Bibi panggilkan dokter Martin ya?" Bibi langsung mengambil ponsel untuk menghubungi dokter pribadi ayah, tetapi aku merebut benda pipih itu dari tangannya.

"Aku baik-baik saja kok, Bi."

"Nona sakit itu jangan didiamkan," sahut Bibi dengan mengomel.

Bibi Birgith layaknya seorang ibu bagiku, ia selalu mencemaskan keadaanku bahkan rela tidur di depan pintu saat aku dikurung. Ia yang menyiapkan segala keperluanku sejak masih kecil dan tak pernah beranjak dari sisiku.

"Sudah agak lumayan sakit kepalanya, Bi. Tadi aku sudah minum obat dan sebentar lagi aku akan mandi juga bersiap diri."

"Kalau nona sakit, saya akan memberitahu tuan besar."

"Tidak usah, Bi. Aku harus pergi karena Princess Emilita khusus memberiku undangan," kataku segera beranjak dari ranjang dan memeluk bibi Brigith dari belakang.

Ayah tak bisa menerima alasan apapun kecuali jika ada di antara anaknya masuk rumah sakit barulah ayah percaya. Kami diharuskan hadir di setiap acara kerajaan dan tidak ada kata 'Tidak Mau' atau 'Aku Harus Pergi Ke Tempat lain', ayah tak akan menyukainya.

"Ada apa, Nona? Pasti ada sesuatu ya?"

Selagi Hellen mempersiapkan alat mandi juga perlengkapan lainnya, aku ingin sejenak merasakan pelukan hangat dari bibi Brigith yang memiliki tubuh gemuk dan terasa nyaman saat berada dalam dekapannya.

"Tidak ada, Bi. Aku hanya ingin memelukmu seperti ini," kataku mendekapnya erat. Bau tubuhnya yang harum ciri khas bibi menyukai aroma bunga segar.

"Peluklah suami anda nanti, Nona. Jangan memeluk bibi seperti ini," guraunya sembari mengacak rambutku.

"Kalau aku punya suami. Bibi harus ikut denganku. Siapa yang akan menjagaku nantinya?" Aku merajuk manja dalam rengkuhannya, ah betapa nyamannya saat bibi memelukku layaknya seorang ibu.

"Yang menjaga nona tentunya suami anda bukan bibi atau Hellen lagi. Bibi tetap di sini, Nona. Siapa yang akan mengurusi kastil sebesar ini?" Bibi merenggangkan pelukannya, ia mengusap anak rambutku dan menyunggingkan senyuman.

Tugas bibi Brigith berat, ia harus mengepalai pelayan di kastil ini. Entahlah ada berapa banyak pelayan dan penjaga di sini, aku tak pernah menghitungnya sama sekali. Mereka ada di setiap sudut bangunan dan mengawasi setiap orang yang berkunjung.

"Nona, air panasnya sudah selesai," ucap Hellen dari kamar mandi.

"Mandilah, Nona. Jangan sampai ayah anda marah lagi."

Bibi meraih tanganku lalu mengapitnya kemudian ia mengajakku ke kamar mandi. Jika dulu di masa kecil aku sering menghabiskan waktu berdua saja dengan bibi di sini dan bermain air sepuasnya, tapi kini kami tak bisa berlama-lama.

"Ah Nona ..."

"Nona Leanore, jangan bermain air. Lihat baju bibi basah."

Aku tahu mereka tak benar-benar marah saat aku ingin mengenang masa kecil dulu. Kami bercanda bersama siang ini dan tak peduli dengan suara panggilan Juliano yang terdengar dari earpiece milik Hellen. Biarkan aku bersenang-senang dulu sebelum pergi ke pesta yang membosankan itu.

=Bersambung=

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status