“Masuk gak ya? Masuk, enggak, masuk, enggak.” Diana menghitung jari jemarinya sambil sesekali menggigiti kuku.
Resah! Sejak dua menit yang lalu telah tiba di depan ruangan dosen barunya itu. Namun, hatinya dilanda gelisah lantaran takut bila pria yang ada di dalam sana akan memangsanya hidup-hidup. “Masuk kena sembur sama si singa, kalo enggak kena DO. Lebih baik masuk, hadapin singanya. Siapa tahu dia mau daging, ‘kan? Di bawah ada daging wagyu, gurih dan legit pula! Siapa tahu, ... itu bisa gue gunain buat pelet dosen killer itu. Lagi pula ... ya wajar aja sih kalau pria di dalam sana marah. Kemarin ‘kan gue nguras 3 kartu kreditnya sampai 250 juta lebih. Ya ampun! Gue emang suka banget berhadapan dengan maut.” Setelah mempertimbangkan matang-matang mengenai apa yang harus Diana lakukan, pada akhirnya dia mengetuk pelan. Ketukan ke tiga kali, hingga terdengar sahutan dari dalam sana. “Masuk!” “Mampus! Dari suaranya yang datar itu, gue udah tahu kalau pria itu benar-benar galak! Ya ampun! Apa ini beneran akhir nasib gue?” Meskipun ketakutan setengah mati, namun Diana tidak memiliki pilihan lain. Gadis muda itu lantas menekan handle pintu dan mendorongnya menggunakan bahu kanan. Ketika Diana masuk, wajah tampan dengan jambang tipis terlihat datar ketika menatapnya. Dia membatin dengan dahi yang mengerut, “Heh, kenapa dia gak langsung marah? Apa dia amnesia sama gue? Gak inget kah sama apa yang gue lakuin ke dia? Tapi, gak mungkin dia amnesia! Dari tatapannya aja jelas kalo dia nyimpan dendam kesumat sama gue.” Begitu Diana melangkah lebih dekat, suara bariton pria itu menyadarkannya. “Sepertinya ada banyak hal yang harus kita bahas, Diana Putri Atmaja!” “Ba-bapak tahu nama lengkap saya?” “Apa itu penting?” Diana bahkan sampai menelan ludah. Tatapan Damar yang tajam bagaikan elang begitu menusuk. Sudah dapat dipastikan kalau pria itu telah mengetahui latar belakangnya, semuanya. Diana mendekat, dia menundukkan wajahnya sambil meremas ujung kaos press body yang dia kenakan. Tatapan pria itu yang begitu buas, seolah-olah ingin menerkamnya mencabik-cabiknya, lalu mengunyahnya sampai halus, seperti tiga hari lalu. “Ma-maaf. A-ada apa Bapak manggil saya ke sini?” tanya Diana berusaha untuk berbasa-basi. Pria itu terlihat meletakkan dokumen ke atas meja yang ada di belakang tubuhnya. Kemudian, raga tinggi dan tegap itu bersandar sambil melipat tangan di depan dada. “Saya rasa kamu belum amnesia.” Ketika Diana tidak membalas pernyataannya sama sekali, Damar mengambil berkas lainnya ada di atas meja. Kemarin, ada lembar surat yang dikirim ke rumahnya. Itu semua tagihan kartu kredit yang dicuri Diana dengan nominal sangat fantastis! Lebih dari 260 juta! Lalu, Damar sodorkan kertas berisi tagihan kartu kredit itu tepat ke muka diana. Dengan nada dingin, dia berucap, “Lihat dan baca dengan teliti. Kamu pikir saya tidak tahu apa yang kamu lakuin. Bukankah itu namanya pencurian? Kau tahu itu salah, tapi kau tetap melakukannya.” Tanpa menunggu lebih lama lagi, akhirnya Diana menjatuhkan bobot tubuhnya ke lantai. Sambil menangkupkan tangan di depan dadanya, Diana memohon-mohon kepada pria itu. “Tolong jangan apa-apakan saya, Pak! Saya tahu saya salah! Saya mohon! Saya ... hanya ingin mengambil hak saya! Saya terpaksa melakukan itu karena saya benar-benar terdesak oleh kebutuhan!” “Hak kamu?” Pria itu bertanya demikian sambil memangkas jarak ke arah Diana. Setelahnya, dia ikut berjongkok. Dengan tatapan penuh intimidasi, pria itu bertanya lagi. “Hak mana yang seharusnya menjadi milikmu? Kamu jelas tak berhak menggunakan uang saya,” katanya datar nan menusuk. Diana tercekat sesaat, dia kemudian memberanikan diri menatap pria tersebut meski raut wajahnya masih ketakutan dan panik. “Saya ... kemarin, saya udah nyerahin diri sama Bapak, seenggaknya Bapak harus bayar saya, ‘kan? Sesuai dengan kesepakatan kita di awal! Saya kasih tubuh, Bapak kasih saya uang!” Tidak terima dengan pernyataan itu, Damar lantas memojokkan Diana ke dinding sambil memindai wajah cantik itu yang pucat pasi seperti mayat. “Kesepakatan mana yang kamu maksud? Bukankah kita tidak memiliki kesepakatan apapun sebelum melakukan semuanya? Apa kamu memiliki bukti hitam di atas putih tentang perjanjian kita?” Mampus! Diana kalah telak, dia tidak bisa berbicara sedikitpun untuk menyanggah pernyataan tersebut. Bodohnya! Diana memang tidak memiliki pergantian tersebut tetapi dia yakin kalau pria ini bukanlah pria pembual yang akan mengingkari ucapannya. “Kenapa diam? Gak bisa jawab?” Tanpa memberi Diana kesempatan untuk bereaksi, Damar menggebrak tembok di sisi kanan dan kiri kepala Diana dengan keras. Suara menggelegar itu membuat Diana tersentak dan memejamkan mata, jantungnya berdebar kencang seperti genderang perang. Rasa takut mencengkeram Diana. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan Damar selanjutnya. Apakah ingin melahapnya hidup-hidup, atau justru membunuhnya? “Pak, saya terpaksa melakukan itu karena saya ....” “Oke, lupain itu! Saya gak mau dengar alasan kamu!” sela Damar dengan cepat. Bahkan ia tidak memperdulikan pernyataan yang akan terucap dari bibir Diana kala itu. “Sekarang ... saya ingin kamu kembalikan nominal uang yang kamu curi!” Diana tak tahu harus bagaimana. Uang tersebut telah dia gunakan sebagian besarnya. “Pak, saya tidak bisa mengembalikan uang itu dengan cepat, karena kemarin saya sudah menggunakannya untuk membayar uang UKT yang—” Damar tak mau menunggu. Dia tak bisa kehilangan 260 juta dalam semalam. Meski dia kaya raya, tapi nominal itu tak pernah dia habiskan semalam. “Kembalikan uang itu sekarang atau ... kita ke kantor polisi, akan saya laporkan kamu dengan pasal pencurian!” sela Damar dengan suara lirih. Setelah Damar melepaskan Diana, Diana tak juga merasa lega sedikit pun. Diana segera memohon lagi pada pria itu sambil bersujud. “Jangan, jangan! Tolong, tolong jangan laporkan saya, Pak! Saya janji akan bayar.” “Bayar pakai apa? Katanya gak punya uang?” “Saya ... saya bisa menjadi pelayan Bapak, pembantu, tukang kebun, atau ... apa saja! Asal Bapak gak menjarain saya. Tolonglah, Pak! Dari bangun sampai tidur, saya akan layanin Bapak. Bahkan ... bahkan saya bersedia jadi—”“Hah?” Tercengang! Damar tak menyangka Diana merendahkan diri sampai seperti itu.“Asal Bapak anggap lunas hutang saya, saya rela dijadikan budak sama Bapak! Termasuk budak di atas ranjang, saya mau, Pak! Tolong, Pak pertimbangan lagi! Bapak pria pertama untuk Saya, dan Bapak gak akan rugi! Saya ... saya—”
Akhirnya, Damar tergoda dengan tawaran itu. Dia pun menyela ucapan Diana dengan cepat dengan nada penuh ejekan, “Ya sudah, datanglah ke apartemen saya besok, lakukan semua tugas yang kamu sebutkan tadi.”Beberapa hari setelahnya, keintiman mereka semakin membara. Aktivitas ranjang seolah menjadi ritual wajib yang tak pernah mereka lewatkan. Setiap sentuhan, setiap ciuman, terasa begitu istimewa dan membangkitkan gairah yang tak pernah padam. Contohnya seperti pagi ini. Damar sudah siap bekerja, mengenakan kemeja rapi yang membungkus tubuh atletisnya. Aroma parfumnya yang maskulin memenuhi ruangan, membuat Diana semakin terpikat. Namun, saat Damar hendak melangkah keluar kamar, Diana tiba-tiba merengek manja, menarik ujung kemejanya dengan tatapan memelas. "Mas ... jangan pergi dulu, dong .." rengek Diana dengan suara yang dibuat-buat, bibirnya mengerucut lucu. "Aku pengen lagi ... pengen banget ...." Ia melingkarkan tangannya di pinggang Damar, mendekatkan tubuhnya hingga dadanya menyentuh dada bidang suaminya. Lalu, ia mendongak, menatap Damar dengan mata berbinar
Diana mengangguk, menyetujui ajakan suaminya. Dengan gerakan anggun, ia bangkit sejenak dari posisi berbaringnya. Dalam posisi duduk, Diana melepaskan gamis tidur dan pakaian dalamnya hingga tubuhnya telanjang sempurna, memamerkan lekuk tubuhnya yang indah dan menggoda. "Ayo, Mas. Aku sudah siap dijenguk 'adek'!" bisiknya dengan nada menggoda, matanya berbinar nakal menatap suaminya. "Oke, Sayang. Sebentar, ya?" jawab Damar dengan suara serak yang membangkitkan gairah. Ia menggelengkan kepalanya samar, berusaha menenangkan diri dan mengendalikan hasratnya yang sudah membara. Melihat kelakuan manja Diana, ia makin terbuai dalam pesonanya. Bibit-bibit cinta di hatinya telah tertanam sejak lama, menghujamkan akarnya erat-erat, tak tergoyahkan oleh badai dan cobaan. Ia tak pernah menginginkan kata berpisah, apalagi mengucapkan kata talak yang dibenci oleh Tuhannya. Baginya, Diana
Dalam keheningan kamar, dua insan itu berpelukan erat, menyatukan jiwa. Diana, dengan pipi merona dan suara berbisik, menyampaikan hasratnya yang membara. Tak ada kata terucap setelah itu, hanya debaran jantung yang saling bersahutan. Damar larut dalam gelora cinta, membalas pelukan istrinya dengan erat, seolah tak ingin melepaskannya sedetik pun. Ia sengaja mengosongkan jadwal mengajarnya hari ini, semata-mata hanya untuk menemani sang istri yang tengah mengandung, yang akhir-akhir ini menjadi sedikit lebih rewel dari biasanya. "Kau yakin ingin melakukannya, hum?" bisik Damar lembut, menyelami tatapan penuh gairah Diana. "Pelan-pelan saja tidak masalah, kan, Mas?" jawab Diana dengan nada manja menggoda, bibirnya sedikit mengerucut, matanya berbinar nakal. Jemari lentiknya mulai menari-nari di dada bidang suaminya, seolah memanggilnya untuk mendekat. Dengan gerakan gemulai, Di
"Lah iya. Kamu maunya apa? Biar kubelikan di luar. Makanan, minuman, atau jus buah naga putih seperti tempo hari?" ujar Damar. Kenangan tentang kejadian kemarin, usai mengantar Diana dari dokter kandungan, kembali menyeruak. Setelah mengantarkan istrinya pulang, barulah Damar bergegas mencari jus buah naga yang diidamkan. **** Kilasan balik ke hari sebelumnya. "Ini jus buah naganya, Sayang," sapa Damar. Senja telah lama berlabuh, menyulitkan pencarian jus buah naga sesuai keinginan istrinya. Atau lebih tepatnya, rasa lelah dan enggan menyeret langkah Damar untuk mencari terlalu jauh. Rasa girang membuncah saat berhasil menggenggam minuman yang diidamkan sang istri. Sebuah tugas baru yang mulai kini menjadi favoritnya. Namun, begitu tiba di rumah, Diana justru menyambutnya dengan wajah masam. "Mas, aku tidak mau jus buah naga merah. Maunya yang putih
Senin pagi itu, Diana kembali merasakan tubuhnya kurang sehat. Walaupun tidak mengalami morning sickness seperti kehamilan sebelumnya, sensasi berat di kepala membuatnya enggan meninggalkan tempat tidur barang sekejap. Usia kandungannya kini menginjak lima minggu, terhitung sejak pemeriksaan USG kemarin sore. Dokter menyarankannya untuk menghindari aktivitas berat dan menjauhi pikiran negatif. "Masih pusing?" tanya seorang pria sambil membelai rambut Diana yang sedikit berantakan. "Iya, Mas," jawab Diana, bermanja sambil memeluk suaminya erat saat jam menunjukkan pukul 07.00 pagi. Ia mendekap Damar, seolah tak ingin membiarkannya pergi. "Tidak mual atau muntah seperti dulu?" Damar menatapnya dengan cemas. Ia merasa tidak tenang harus pergi ke kampus, meninggalkan istrinya yang tampak tak berdaya. Diana menggeleng lemah. "Pusing, rasanya seperti berputar. Tapi tidak mual sama sekali. Hanya berat saja. Seperti
“Maaas,” Diana memanggil dengan suara lirih. Damar langsung menyingkirkan bahu Dokter Lidia, ia menerobos masuk ke dalam brankar perawatan yang ditutupi tirai hijau setinggi tiga meter. “Diana, apa yang sakit? Di mana? Kamu mau apa?” Damar memberondong istrinya dengan berbagai pertanyaan, matanya menelisik setiap inci wajah Diana, mencari tanda-tanda kesakitan. Dadanya hampir saja berhenti berdetak kala Diana tak sadarkan diri tadi. “Aku masih benci kamu, Mas!” jawab Diana ketus, lalu memalingkan wajahnya, teringat kembali kejadian di parkiran. Damar mengalah, mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah. “Oke, benci boleh. Silakan. Tapi aku—” “Maaf, Tuan Damar. Ada yang ingin bertemu dengan Anda,” potong seorang perawat sambil membuka tirai. Perawat itu membawa seorang wanita cantik dan seorang anak laki-laki. Bukan Yola, wanita yang tadi. Tapi wanita yang berbeda, sedikit lebih tua, dan bersama seorang pria yang berp