LOGIN“What the hell? Apa-apaan dia bercumbu di sini?”Ara merasa dadanya bergemuruh hebat. Untuk mengalihkan rasa panas yang membakar hatinya, ia menyambar gelas di depannya dan menenggak cairan di dalamnya dengan asal. Rasa pahit yang menyengat seketika membakar lidah dan tenggorokannya, namun itu tak sebanding dengan pemandangan yang tersaji tepat di depan matanya.Hanya berjarak satu jengkal darinya, Sagara tampak sangat menikmati aksinya. Pria itu tengah berciuman cukup panas dengan Elista, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Sagara sengaja memperdalam cumbuan itu, memastikan Ara bisa mendengar decapan dan melihat betapa intimnya ia dengan wanita lain.“Shit! Dia memang gila!”Gelas di tangannya bergetar. Niat awal untuk pamer kemesraan dengan Louis justru berbalik menjadi senjata makan tuan. Ia merasa seperti pecundang yang menonton pertunjukan gratis. Padahal tadi pagi Sagara masih mengejarnya seperti orang gila,
”Hm, projek apa lagi yang dipikirkan anak ini?” batin Damar bingung. Ia mengenal betul tabiat putranya. Jika Sagara sudah menjentikkan jari seperti itu, biasanya akan ada kegaduhan baru yang muncul. “Kenapa firasatku makin nggak enak? Sagara pasti akan membuat ulah lagi!”Sagara tidak menjawab kebingungan ayahnya. Ia justru berbalik badan dengan langkah yang ringan, seolah beban berat di pundaknya baru saja menguap. “Makasih sarannya, Yah! Aku pergi dulu, mau jemput masa depan!” teriaknya sambil berlari keluar ruangan, meninggalkan Damar yang masih terpaku di kursi kebesarannya.Apapun rencana gila yang ada di kepala putranya, Damar setidaknya bisa bernapas lega karena Sagara tidak lagi merengek di hadapannya. Ia kembali fokus pada tumpukan berkas di meja, mencoba mengabaikan drama percintaan anak muda yang sempat membuang waktunya.Sedangkan Sagara? Ia melenggang pergi keluar kantor dengan langkah seringan kapas sambil bersiul-siu
Sagara menatap tajam ke arah Ara, tangannya masih mencengkeram lengan gadis itu tanpa ada niat untuk melepaskannya sedikit pun.“Oke, sekarang lo yang milih, Ra. Lo mau pulang sama cowok ini atau sama gue?” tuntut Sagara. Meski suaranya cukup rendah, namun nyatanya sarat akan ancaman.Ara mendadak dilanda kebingungan yang luar biasa. Niat hati ingin memberikan pelajaran pada Sagara agar pria itu berhenti mengusiknya, tapi ia tahu betul watak Sagara.Pria itu bisa saja berbuat nekat atau bahkan menghancurkan reputasi Louis dalam sekejap jika merasa dipermalukan. Namun, jika ia tunduk dan ikut dengan Sagara sekarang, egonya akan terluka dan Sagara pasti akan semakin besar kepala.Situasinya benar-benar serba salah.Akhirnya, dengan sisa-sisa keberaniannya, Ara menggigit bibir bawahnya sambil meringis kecil ke arah Sagara. “Gue ... gue ikut Louis aja, Gar. Kita udah ada janji mau pergi.”
Keesokan harinya, Sagara mendapatkan kabar bahwa gadis incarannya sedang berada di kampus untuk kuliah.Pria muda itu sudah menunggu sejak satu jam yang lalu di area parkir. Ia tampak mencolok, bersandar pada mobil Lamborghini Veneno miliknya dengan gaya yang sengaja dibuat sekeren mungkin. Namun, hingga detik ini, belum ada tanda-tanda Ara akan menampakkan batang hidungnya.“Hm, gue nunggu kayak orang tolol di sini! Mana sih gadis idaman gue? Dia angkrem apa ya di kampus sana? Bukannya ini liburan ya?” gerutunya pelan sambil sesekali melirik jam tangan mewahnya.Matanya celingak-celinguk, mengawasi ke arah kanan dan kiri dengan tidak sabar. Alih-alih bertemu dengan wanita yang ia tunggu, Sagara justru menjadi pusat perhatian. Berkali-kali Sagara digoda oleh banyak mahasiswi yang lewat. Ada yang terang-terangan melirik kagum pada ketampanannya, ada yang meninggalkan kartu nama, ada yang mengedipanja, dan ada pula yang matanya berbinar m
Setelah lelah mengitari pusat perbelanjaan kelas atas bersama Diana, Ara akhirnya kembali ke rumah Sagara. Ia turun dari mobil Diana dengan kedua tangan penuh dengan paper bag bermerek ternama, hanya untuk mengambil mobilnya sendiri yang masih terparkir di sana, lalu pulang.Namun, baru saja menginjakkan kaki di teras, ia sudah disambut oleh pemandangan yang menyebalkan. Sagara berdiri di sana sambil berkacak pinggang, bibirnya mencebik sinis menatap rentetan barang belanjaan Ara.“Hm, asyik ya yang baru pulang belanja?” sindir Sagara sarkastik. Matanya memicing tajam. “Udah lupa tugas, hm? Bosnya ditinggal kelaparan, asistennya malah asyik foya-foya.”Ara mengembuskan napas lelah, ia sedang tidak ingin berdebat. “Ini kalau bukan Bunda yang maksa ngajak, aku juga gak bakalan pergi, Gar.”“Oh ya?” Sagara melangkah mendekat, memangkas jarak di antara mereka. Ia menarik salah satu paper bag dari tangan Ara dengan kasar dan melirik
Bibir Diana pun melontarkan pertanyaan tajam pada Ara. Dia pandangi dari atas sampai bawah, sama sekali tak ada tanda-tanda keduanya habis … tidur bersama.“Bener kamu gak diapa-apain sama Sagara, Nak?” katanya. Dia telah berada di dekat Ara, memegangi Ara dan memutar badannya, takut ada sesuatu yang kurang.“Gak, Nyonya. Justru, saya yang mau minta maaf karena tadi … saya ….” Ara menggantung kalimatnya, merasa sangat tidak enak hati. Di depan tubuh, kedua tangannya saling meremas.“Kenapa?” tanya Diana penasaran.“Saya tadi banting Sagara ke lantai sampai dia pingsan karena dia … keterlaluan sama saya. Saya mohon maaf, Nyonya,” jawab Ara jujur sambil menunduk. Takut wanita ini akan memarahinya.Diana terdiam sejenak, lalu matanya berbinar seolah ia baru saja mendapatkan ide brilian. “Apa? Cuma banting doang? Gak kamu tonjok, gak kamu pukul, atau gak kamu tendang titid-nya?”“Hah? M–maksud Nyonya?” Ara melongo, benar-benar tidak







