LOGIN“Kenapa tidak? Lagi pula, Carol juga suka dengan anak-anak. Dia tidak masalah Shanum jika harus tinggal bersama kami dan juga kamu dalam satu rumah. Terlebih, dia mengijinkan kita segera menikah,” imbuh Danar lagi sambil membayangkan yang iya-iya.
Bukan serakah. Tetapi memiliki dua istri itu akan menjadi tantangan baru baginya. Bukankah dia bisa berlaku adil, kenapa Diana menolak terus?“Jangan karena kamu adalah ayah biologis dari Shanum, lantas kamu bersikap seenak jidat mu sendiri.” Diana membuang nafas kasar dan mengumpat pada dirinya sendiri yang selalu saja terjebak dengan keadaan memuakkan.Kenapa harus dipertemukan dalam kondisi seperti ini? Andaikan mereka berdua bertemu di saat Damar telah bercerai dengan Caroline, mungkin Diana tidak akan menolak ajakan pria itu untuk tinggal bersama lagi.Ada rasa perih akibat luka yang belum mengering sempurna di hatinya. Diana kemudian beristighfar karena sempat menyalahkan takdir Tuhan yang telah mempertemukannya denga"Pak, siapa itu, Pak? Apa itu penculik?" Diana bertanya cemas sambil menepuk pundak Alex, sopirnya. Nada suara Diana sedikit tercekat lantaran dia sangat panik. Jantungnya berdebar kencang, takut akan keselamatan dirinya dan janin yang dikandungnya.Kini, Alex melihat pria-pria di luar dengan tenang. Ia memberitahukan kalau laki-laki yang ada di luar mobil sana tidaklah berbahaya. “Tidak tahu, Nyonya. Sepertinya orang penting, pakaiannya rapi dan saya yakin bukan penculik. Kalau memang mereka lihat dengan kita atau pun mereka seorang penculik, berita tidak akan mengetuk pintu. mereka akan menggelar pintu dengan paksa sampai katanya pecah!”“Iya juga.” Diana pun membenarkan.Dengan penuh ketegasan dan sikap waspada, Alex meminta izin kepada nyonya nya. “Saya akan keluar dulu, Nyonya. Anda diam di sini saja dan jangan bukakan pintu untuk mereka.""Jangan! Jangan! Mengapa Pak Alex ninggalin aku? Aku gak mau, Pak. Aku takut!" cegah Diana dengan cepat, tangannya
“Sial! Damar melihatku, tapi dia sepertinya sengaja membuatku cemburu!” maki Raline kesal. Secara tak langsung, pemandangan itu membuat hatinya berdesir. Ia merasa marah, cemburu, dan pada saat yang sama, bagian intimnya berdenyut, meminta sentuhan dan sensasi yang sama. Rasa benci dan hasrat bercampur aduk, menciptakan gejolak emosi yang hampir tak tertahankan. Raline memaksakan dirinya untuk mengendalikan napas. Ia tidak boleh kehilangan akal di ketinggian ini. Ia harus segera pergi, atau ia akan melakukan hal bodoh lagi setelah ini. Saat itu, salah satu kru yang bersamanya di gondola, seorang wanita bernama Mega menyadari ada yang salah. “Hei, Raline, kenapa diam saja? Ayo bersihkan nodanya. Kita tidak bisa berlama-lama di sini," bisik Mega cemas dengan goncangan kecil yang dibuat Raline karena menahan emosi. Sedangkan Raline tidak menjawab. Ia hanya mengepalkan tangan yang memegang squeegee, tatapannya terpaku pada pasangan di balik kaca, mendesis pelan. “Awas saja n
"Apa? Gak, gak! Saya gak mau!" seru Raline kepada Pak Carlos. Raline menyesal, ia ternyata baru saja menerima instruksi baru yang jelas-jelas berniat menyiksanya.Demi apa pun, Raline ingin pergi saja dari dunia ini daripada bergelantungan bak monyet di luar kantor dan membersihkan kaca.Raline tak berpengalaman. Dan bagaimana ia bisa melakukannya?"Kalau Pak Damar mau bunuh saya, katakan padanya untuk nembak saya aja!" Raline meludah setelah mengungkapkan kata-kata itu. Ia tetap mencari pembelaan diri. "Enak sekali dia meminta saya berbuat seperti ini? Apa dia pikir saya monyet yang bisa dia suruh-suruh bergelantungan mencari noda tidak jelas? Tidak, aku pokoknya tidak mau, Pak! Itu bahaya!"Raline frustrasi. Ia menyadari sepenuhnya bahwa alih-alih dekat dengan Damar, ia justru membahayakan diri sendiri. Kini, Raline bagai masuk ke mulut singa! Masuk ke dalam perangkap yang ia ciptakan sendiri dan tidak bisa keluar!S
"Bagaimana? Jadi memecat saya?" Raline tidak membiarkan keheningan itu berlanjut. Ia mendongak angkuh, menantang keputusan Damar.Lalu, ia tatap wajah Damar yang memerah, sarat akan kemarahan yang kini harus ditahan.Sedangkan Damar sudah memikirkan matang-matang apa yang harus ia lakukan. Ia tidak akan membuang waktu dan uang untuk memecat Raline. Damar hanya perlu membuat Raline tidak betah bekerja di sini. Ia akan mengubah neraka Raline dari luar menjadi neraka yang lebih menyakitkan dari dalam."Tidak." Damar merespons dengan nada datar, senyuman tipis di wajahnya tidak mencapai mata. "Kamu boleh kembali. Silakan kerjakan pekerjaanmu sesuai kontrak yang berlaku."Setelah bicara begitu, Damar mengibarkan telapak tangannya. Sebuah gestur penguasa yang mengusir bawahan. Ia pun melirik tajam pada Daisy yang nyaris saja dia pecat."Dan kamu, Daisy, kembalilah ke ruanganmu!"“Baik, Tuan.”Pelototan Dama
"Mau apa kamu ke sini, hah?" Wanita yang mendongak itu ternyata adalah Raline.Damar mendelik, matanya memancarkan amarah dan kejengkelan yang luar biasa. Ia tak suka Raline kembali mengusik kehidupannya. Kemarin, Raline meminta Profesor Bima—ayahnya—untuk meluluhkannya dengan drama bunuh diri. Dan kini, Damar justru dipertemukan dengan Raline lagi. Bedanya, Raline kini tampil dalam balutan seragam Petugas Kebersihan atau Office Girl!"Sial benar hidupku! Kenapa hidupku selalu dibayangi oleh wanita gila ini?!" batin Damar.Sedangkan di hadapannya agak ek bawah, Raline memasang wajah tak bersalah yang sempurna. Dia tersenyum kecil, seringai tipis yang hanya bisa dilihat oleh Damar. "Oh, maaf, Tuan. Saya hanya bekerja karena membutuhkan uang. Em, mohon maaf saya lupa menaruh—""Shut up! Apa katamu tadi? Bekerja? Hah! Mustahil kamu bekerja di sini!" Damar berdecih jijik. Ia tak percaya Raline sudi bekerja sebag
Penyesalan Damar cepat berlalu, digantikan oleh gairah yang dipicu oleh aroma lemon fresh yang menenangkan itu. Lalu, ia mendekat, pandangannya penuh kerinduan."Aku merindukanmu, Yang," bisik Damar penuh rasa candu pada istrinya.Damar segera menyerang Diana dengan kelembutan yang memabukkan. Ia menarik istrinya ke tengah ranjang dan mulai menciumi Diana dengan dalam dari bibir, turun perlahan ke leher, hingga mencapai garis dada.Lalu, Damar menciumi leher dan dada Diana, meninggalkan bekas merah samar di kulit yang terhisap kuat, jejak hasrat yang tak tertahankan.Diana sendiri tidak tahan. Ia pun mulai meraba punggung Damar. Tangan Diana turun dan mengusap kejantanan Damar yang mengeras di balik bathrobe itu, memicu rintihan pelan dari Damar."Eungh!" Diana mendesah pelan. Meskipun Diana sempat mual, sentuhan Damar yang penuh hasrat dan kehangatan itu memicu gairah yang tertahan lama. Kini, Damar tetap memberinya sentuhan yang terasa memabukkan, ber







