Share

Engkau Talak, Aku Tak Menolak
Engkau Talak, Aku Tak Menolak
Author: Namira P

1. Talaq

“Kamu boros banget, sih!” teriak si lelaki.

“Uang sekolah anak-anak naik, Mas. Sembako juga,” Diah mencoba menjelaskan.

“Berapa sih naiknya? Kamu minta kenaikannya banyak banget!” Dion masih tidak terima.

“Lalu terus gimana? Apa aku kerja aja?” suara Diah agak kencang. Dia frustasi atas sikap si suami.

Baru kali ini mereka berselisih masalah keuangan. Diah tidak pernah meributkan seberapa pun suaminya itu memberikan uang kepadanya. Dan Dion juga bukan tipe orang yang pelit untuk kebutuhan rumah tangga mereka.

Dan kali ini, baru kali ini, Dion meributkan hal yang tidak pernah jadi masalah besar buat rumah tangganya.

“Kita cerai!”

Deg-

Dada Diah langsung terasa nyeri mendengar perkataan Dion, laki-laki yang sudah menjadi suaminya selama 13 tahun terakhir.

Cerai? Semudah itu kah suaminya bicara? Ribut masalah keuangan lalu mengucapkan talak?

“Mas, kamu serius dengan perkataanmu?” lirih suara perempuan berusia 35 tahun itu bertanya. Ditahannya air mata yang tiba-tiba ingin tumpah.

“Ya, aku serius. Kamu boros, tidak mendengarkan kata-kataku, sering menolakku, tidak ijin kalau keluar rumah. Kamu nusyuz, aku berhak menceraimu!”. Seru Dion dengan amarah yang berkobar-kobar.

Hari ini mereka memang sedang berselisih. Tetapi sekali lagi, Diah merasa tidak perlu sampai keluar kata cerai dari bibir suaminya. Makanya, dia kaget sekali ketika suaminya bilang hal itu dengan mudah, tanpa beban.

“Ini kita lagi bahas tentang kemungkinan ada penambahan uang bulanan rumah lho, Mas Dion. Kenapa sampai ada kata cerai?” tanya Diah tidak mengerti.

“Ya karena kamu boros, minta tambahan uang belanja terus! Kemana itu larinya yang yang kukasih ke kamu?” tanya Dion dengan suara yang terus meninggi.

Hari ini libur sekolah, masih sangat pagi untuk adanya keributan yang besar antara suami istri. Anak-anak mereka berdiri di balik pintu kamar masing-masing. Sejak keduanya bertengkar, Mya dan Qilla tidak berani keluar kamar.

Kedua putri cantik mereka tidak terbiasa mendengar keributan orang tuanya. Makanya Mya dan Qilla stok dan memilih untuk tidak keluar kamar sampai keadaan memungkinkan.

Perempuan berusia 35 tahun itu menghela nafasnya. “Ada rinciannya, Mas. Ini aku minta karena uang sekolah dan beberapa keperluan ada yang naik,” jawab Diah sambil menyodorkan buku catatan pengeluaran kepada Dion. Tetapi, laki-laki itu menepisnya.

“Bisa saja kamu manipulasi, tidak ada nota-notanya,” sergah Dion dengan suara yang dingin.

“Astaga, Mas. Masa beli bawang seperempat kilo saja harus pakai nota?” Diah mendesah, frustasi dengan segala kemarahan suaminya.

Suaminya? Apakah mereka masih bisa disebut suami istri? Tadi Dion sudah menceraikannya secara lisan. Ini baru talak satu kan? Masih bisa rujuk kan? Diah malah bertanya-tanya dalam hatinya.

“Kamu selalu berani membantahku! Kamu nusyuz! Kamu istri yang tidak bisa jadi penenang suami!”. Semakin menggebu Dion marah kepadanya.

Ini apalagi? Diah semakin pusing dengan segala ucapan yang keluar dari bibir suaminya secara membabi-buta.

Nusyuz? Semarah apa pun kepada suaminya, dia tidak pernah berani bersuara melebihi suaminya. Diah juga tipe yang mementingkan Dion dibanding kepentingannya. Lalu di mana letak nusyuz-nya? Sakit kepala rasanya mendengar segala argumentasi yang keluar dari bibir laki-laki tampan itu.

“Jangan sembarangan bicara cerai, Mas,” Diah mencoba mengingatkan.

Dion tidak lagi menggubris perempuan yang sudah menemaninya selama 13 tahun ini. Dia langsung masuk kamar, kemudian membereskan barang-barangnya.

Perempuan itu mengikuti suaminya. Kaget dengan yang dilakukan laki-laki itu. Dicobanya untuk mencegah sikap laki-laki itu. Tetapi dia menepis istrinya.

“Mas mau apa?” tangisnya sudah tidak lagi bisa dibendungnya. Air matanya sudah tumpah membasahi wajahnya.

“Pergi dari sini, kan kita sudah cerai. Tunggu saja surat dari Pengadilan,” ujar Dion sambil terus melakukan kegiatannya.

“Mas, jangan gitu. Kalau memang nggak mau nambahin uang bulanan kan kita nggak perlu cerai,” Diah terus menangis dan berusaha terus mencegah tindakan Dion. “Aku nanti cari tambahan sendiri saja,” Diah terus membujuk. Tetapi laki-laki itu tidak peduli.

Didorongnya ibu dari dua anaknya itu dan bergegas menyelesaikan kegiatannya untuk memasukkan segala barangnya ke dua koper yang ada di hadapan mereka.

“Ingat anak-anak kita, Mas,” Diah masih berusaha membuat suaminya membatalkan niatnya untuk bercerai.

Dion bergeming, dia tetap meneruskan kegiatannya merapikan barang-barangnya. Dari ekspresi wajahnya, Diah tahu jika laki-laki itu sudah teguh pada pendiriannya.

Akhirnya perempuan itu memilih diam sambil memperhatikan dengan semua yang dikerjakan laki-laki tersebuk. Tangisnya tetap mengiringi kegiatan Dion.

“Gimana dengan nafkah kami, Mas?” tanya Diah dengan suara memelas. Bukannya dia gila harta. Tetapi kedua putrinya masih jadi tanggung jawab ayahnya sampai nanti menikah.

Selama ini, Dion adalah penopang satu-satunya ekonomi keluarga. Dia benar-benar ibu rumah tangga sejati. Kesehariannya hanya mengurusi rumah, suami dan anak-anak mereka. Uang darimana untuk mengurusi anak-anaknya kalau bukan dari Dion?

Pernah ketika Mya masih kelas 3 SD, dia coba bekerja di luar rumah, ikut jadi tour guide di biro wisata milik Dion. Laki-laki itu memang tidak melarangnya bekerja, tetapi dia pun tidak mau bekerja sama untuk mengurusi rumah dan anak-anak. Bahkan tawaran untuk mempekerjakan ART ditolaknya.

Flashback On

“Kamu siap bekerja, berarti sudah bisa untuk membagi waktu untuk mengurusi rumah dan pekerjaan. Jangan minta aku buat membantumu mengurus semua itu. Tugasku hanya mencari nafkah, kamu tugasnya ngurus rumah!” jawab Dion saat diajak diskusi untuk membahas bekerja sama mengatur rumah.

“Ini kan rumah tangga dan anak-anak kita. Apa salahnya kita bareng mengurusinya?” Diah masih sabar menerangkan.

“Tugasku bekerja, ngasih kamu dan anak-anak nafkah. Mencukupi kalian. Sudah kupenuhi kan? Apa ada yang kurang dariku untuk kalian?” tanya balik Dion. Diah menggelengkan kepalanya.

“Lalu tugasmu ngurus rumah, anak-anak dan aku. Apa aku pernah memintamu patungan untuk keuangan rumah?” laki-laki itu bertanya lagi. Lagi-lagi Diah hanya menggelengkan kepalanya.

“Lalu kenapa kamu harus bekerja? Uang yang kuberikan kurang?” beruntun laki-laki itu bicara.

Diah diam. Dan diskusi itu berhenti tanpa adanya solusi yang saling menguntungkan.

Begitulah mungkin yang dirasakan oleh banyak perempuan yang sudah menikah. Ketika perempuan itu mencoba untuk bekerja dan tetap mengurusi rumah sendiri. Dia keteteran. Suaminya tidak mau mengurusi dirinya sendiri, semua harus tetap seperti biasa. Segala keperluan semua tetap diurusnya.

Akhirnya Diah memutuskan fokus ke urusan rumah saja. Toh Dion tidak pernah kurang memberi nafkah.

Flashback off

“Mas, gimana?” tanya Diah lagi.

“Aku akan kasih nafkah untuk anak-anak. Atau mereka ikut denganku?” Dion memberikan penawaran.

“Mereka masih dibawah umur, Mas. Aku juga tidak lalai mengurus mereka,” sergah Diah.

Dion mengangkat bahunya. “Mya bisa ditanya mau ikut siapa, dia sudah besar. Atau kita bagi saja, Mya ikut aku dan Qilla ikut kamu. Tenang saja, aku tetap memberi nafkah untuknya,” ujarnya santai.

“Nggak bisa begitu, Mas. Mereka bersaudara, kenapa harus dipisahkan?” tolak Diah. “Lagipula, aku masih berhak nafkah selama masa iddah,” lanjutnya.

Dion tertawa sinis. “Belum ada satu jam kutalak, kamu sudah minta nafkah iddah,” ujarnya meremehkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status