“Itu memang hakku, Mas! Silahkan bertanya ke yang lebih paham,” sergah Diah kesal.
“Wow! Sudah bicara hak! Bagaimana dengan hakku?” seru laki-laki itu jumawa.
“Hakmu selama masa iddah adalah bisa tetap di rumah ini, meski bukan atas namamu. Aku juga tidak mengusirmu, Mas. Kamu saja yang ingin pergi,” jelas Diah panjang lebar.
Dion mendengus mendengarnya, dia tidak bisa membalas ucapan perempuan yang secara hukum negara masih menjadi istrinya itu.
“Aku juga tidak akan menghambat komunikasimu dengan anak-anak,” Diah masih melanjutkan ucapannya.
“Kita tetap pisah, kamu sudah nusyuz kepada suamimu,” sergah Dion.
“Bagian mana pada diriku disebut nusyuz, Mas? Apa ada kewajibanku sebagai istrimu dan ibunya anak-anak yang kulalaikan? Kalau ada, tolong sebutkan, biar kuperbaiki,” Diah masih sabar membujuk Dion.
“Sudah lah! Aku tetap ingin kita bercerai. Tidak ada lagi yang perlu diperbaiki,” pungkas laki-laki itu. Dia sudah tidak mau dibujuk. Keputusannya sudah final, tidak lagi bisa diganggu-gugat.
Dion menyeret dua kopernya keluar dari kamar yang sudah 13 tahun jadi sarang cinta mereka. Dengan langkah tegap, laki-laki yang tetap ganteng di usia 40 tahun tersebut berjalan keluar.
“Ayah,” Dion menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Ada Mya yang berdiri di depan kamar tidurnya. Kemudian anak sulungnya itu memeluk pinggangnya erat. Kepalanya dibenamkan di perut sang ayah.
Dion mengusap kepala Mya lembut. “Maaf, Ayah harus pergi,” ucapnya.
Mya mendongakkan kepalanya. Matanya menatap dalam ke arah pengelihatan sang ayah. “Kemana? Berapa lama? Kapan Ayah kembali?” tanyanya beruntun.
Dion tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. Disejajarkannya kepalanya dengan kepala anak sulungnya itu. “Maaf, Ayah dan Ibu harus berpisah, jadi nggak bisa lagi tinggal bareng. Tetapi sesekali akan menjengukmu dan adik,” Dion mencoba menjelaskan.
“Siapa yang mengharuskan, Yah?” tanya Mya. Mata beningnya sudah berkaca-kaca. Dion hanya mengusap kepala putri sulungnya. Sesungguhnya hatinya berat untuk berpisah dengan anak-anaknya. Tetapi dirinya terpaksa.
“Ibu punya salah apa ke Ayah? Nanti aku paksa buat minta maaf, asal Ayah dan Ibu nggak pisah,” Mya melanjutkan pertanyaannya. Dion masih memilih diam.
“Aku dan adik ngabisin uang Ayah sama Ibu ya? Makanya berantem. Kami nggak minta uang lagi deh, janji!” Mya terus bicara, berusaha menahan kepergian ayahnya.
Dio mengusap wajah Mya secara perlahan. “Atau Mya ikut Ayah pergi?” dia menawarkan kepada putri sulungnya tersebut. Mungkin jika anak-anaknya ikut, tidak akan ada masalah.
“Lalu adik gimana?” tanya Mya, kemudian dia menoleh ke pintu kamar Qilla. Adiknya itu sudah keluar dan berdiri dengan berpegangan gagang pintu.
“Ikut juga,” balas Dion.
“Aku mau di sini saja. Mau nemenin Ibu!” seru Qilla tegas. Dia bergegas ke kamar orang tuanya.
“Dek,” panggil Mya menahan langkah adiknya.
Anak perempuan berusia 10 tahun itu berhenti, menolehkan sedikit kepalanya ke arah kedua orang yang masih dalam posisi awal. Saling berpelukan.
“Kalau Ayah mau pergi dan Kakak mau ikut, ya udah. Aku mau di sini sama Ibu,” kembali Qilla menjawab dengan tegas.
Diteruskannya langkah yang tadinya menuju ke kamar ibunya.
“Ayah nanti sering nengok kami, kan?” Mya bertanya, mencari kepastian dari Dion.
Laki-laki itu mengangguk dengan tegas.
“Tidak ada yang berubah, Nak. Ayah tetap menyayangi kalian,” jawabnya.
“Ya sudah, aku di sini saja bareng Ibu dan Adik,” putus Mya pada akhirnya.
Dion mengangguk mengerti. Dipeluknya erat tubuh anak sulungnya itu, kemudian dilepaskan seraya mengusap kepala Mya dengan lembut.
“Jagain Ibu dan Adik Qilla, ya,” ucap Dion, disambut dengan anggukan kepala Mya.
Lalu laki-laki itu berdiri, mencium kedua pipi Mya. “Ayah pergi dulu, ya,” pamit Dion.
Kemudian dia keluar dari rumah, memasukkan barang-barangnya ke bagasi, dan masuk ke dalam mobil.
Dion tidak langsung pergi. Ditatapnya lama rumah almarhum mertuanya yang sudah dihuninya selama 13 tahun.
Dia mengingat semua, saat Mya dan Qilla lahir, kemudian tumbuh besar bersama di sana.
“Maaf, Nak. Maafkan Ayah,” bisik Dion sendu.
Telepon genggamnya berbunyi, ada telepon masuk di sana. Dilihatnya sejenak nama kontaknya. Dia menghela nafasnya, kemudian mengangkat ponselnya.
“Hallo,” sapanya kepada orang yang menelponnya.
Dion diam sejenak, mendengar yang di seberang sana bicara. Berkali-kali dirinya menghembuskan nafasnya berat.
“Aku sudah keluar dari rumah, tinggal proses cerainya saja. Kamu tenang saja!” sergahnya, kesal dengan perkataan lawan bicaranya.
Dion menghela nafas mendengarkan lagi orang di seberang sana berkata.
“Iya, besok aku akan ke rumahmu. Sudah dulu, ya,” sahutnya, mengakhiri panggilan itu.
Lagi-lagi Dion menghela nafasnya saat menatap rumah di depannya. Perlahan, dilajukannya mobil menjauhi rumahnya.
Sementara di dalam rumah, Diah masih menangis sambil memeluk Qilla.
“Maaf, maafin Ibu ya, Nak,” bisik Diah. Anak bungsunya itu hanya membalas pelukan ibunya. Dia pun menangis, meski tidak jelas mengapa air matanya keluar.
Mya masuk, memperhatikan ibu dan adiknya yang sedang berpelukan dengan wajah yang basah dengan air mata.
“Bu, apa benar Ayah dan Ibu berpisah?” getar suaranya terdengar, dia sedang menahan tangisnya. Dia ingin marah, tetapi tak tahu akan meluapkannya pada siapa.
Diah meraih lengan putri sulungnya, menarik pelan tubuhnya untuk dipeluk. Mya mengikutinya dalam diam. Qilla menyusup ke tengah pelukan antara ibu dan Kakaknya.
“Maaf, maafkan Ibu,” hanya itu yang mampu diucapkan oleh perempuan cantik itu.
“Ibu punya salah apa, sampai Ayah meninggalkan kita?” Mya masih bertanya.
Diah hanya menggelengkan kepalanya, berkali-kali hanya kata maaf yang keluar dari bibirnya.
“Apa karena Ibu boros?” Mya terus bertanya. Sakit hati Diah mendengar pertanyaan yang bertubi-tubi keluar dari bibir anak sulungnya.
“Ibu boros karena kami?” pertanyaan terakhir Mya terdengar memilukan hati.
“Tidak, Nak. Bukan itu,” lirih, Diah menjawab pertanyaan anak sulungnya.
“Mya dengar semua, Ibu boros makanya Ayah pergi,” gadis remaja itu bersikeras membicarakan kejadian yang baru saja berlalu. Tidak menyadari dengan rasa sakit dan sedih yang dialami oleh Diah.
Dilepaskannya pelukan terhadap anak-anaknya. Mereka duduk di pinggir ranjang, kemudian Diah berjongkok berhadapan di depan keduanya.
“Ibu akan berusaha membuat Ayah pulang ya, Nak. Bantu dengan doa-doa kalian,” ucap Diah dengan sungguh-sungguh.
“Gimana caranya?” tanya Qilla dengan polos.
“Ibu nggak tahu, nanti difikirkan. Yang jelas, bantu dengan banyak-banyak berdoa,” jawab Diah jujur.
Qilla hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Sedang wajah Mya masih tidak puas. Dia ingin secepatnya mengembalikan Dion ke dalam hidup mereka.
“Aku dan adik bisa pindah sekolah yang bayarnya murah, biar Ibu nggak boros. Atau uang jajan kami dikurangi juga ngga apa-apa,” usul gadis SMP itu.
Diah kembali menangis, tersentuh dan juga miris mendengar kata-kata anaknya. Ditutupnya wajah dengan kedua telapak tangannya untuk menahan isakannya.
“Kak, sudah. Ibu pasti sedih,” ujar Qilla mengingatkan.
Kemudian adiknya itu turun dari ranjang, memeluk pinggang ibunya dari arah depan. Diah masih sengungukan sambil tetap menutup wajahnya.
Mya menghela nafas, kemudian ikut juga memeluk ibunya.
“Maaf, maafkan Mya yang tidak peka terhadap keadaan Ibu,” ucapnya lirih, ikut memeluknya.
Diah semakin mengeratkan pelukan mereka.
Cukup lama ketiganya saling memeluk dan menangis. Sampai kemudian perut Mya dan Qilla berbunyi. Mereka tertawa bersama.
“Kalian belum sarapan, biar ibu masak dulu ya,” ucap Diah, melepaskan pelukan mereka dan berdiri.
“Iya, Bu,” kata anaknya secara bersamaan.
“Kamarnya sudah dibersihkan?” tanya sang ibu seraya berjalan mendekati pintu kamar.
“Belum, Bu,” lagi-lagi kedua anak itu serempak menjawab.
“Ya sudah, Ibu masak sarapan dan kalian bersihkan kamar masing-masing,” kata Diah, mencoba mengukir senyum. Sesedih apa pun dirinya, ada Mya dan Qilla yang harus diprioritaskan olehnya.
Kedua anak itu menganggukkan kepala mereka, kemudian pelaksanakan permintaan ibunya tersebut.
“Mungkin kami harus kehilangan kamu di rumah ini, Mas. Tetapi aku harus kuat demi anak-anak,” bisik Diah lirih, saat dirinya sudah sampai di dapur.
Segera dihapusnya air mata yang masih membanjiri wajahnya. Mencoba bersikap optimis untuk hari esok bersama anak-anaknya.
Baru saja dia memilih sayur mayur yang akan dimasak olehnya, ada sebuah panggilan masuk.
“Mas Dion?” bisiknya bertanya. Wajahnya begitu ceria dan penuh harap.
Diah segera mengambil telepon selularnya. Nomor tidak dikenal yang memanggilnya. Dia pun mengangkatnya sambil mengerutkan dahinya.“Halo,” sapa Diah lirih."Halo Ibu direktur, atau mantan ibu direktur?" sambut suara di seberang sana seraya tertawa. Dia bingung dengan sapaan itu. Apalagi suara itu terdengar familiar di telinganya.“Ini siapa ya?” tanya Diah kebingungan."Saya Sari, pegawai Pak Dion...oh! Atau calon istri Pak Dion?" Suara itu semakin kurang ajar menghina Diah.Calon istri? Mantan Ibu direktur? Diah tidak mengerti arah pembicaraan lawan bicaranya di telepon.“Ada apa menelpon saya?” tanya Diah. Dadanya bergemuruh, perasaannya tidak nyaman hinggap di hatinya.Dia mempunyai firasat jelek pada panggilan telepon ini."Oh nggak, hanya ingin serah terima jabatan saja," semakin menjadi-jadi perempuan yang bernama Sari itu bicara.Serah terima jabatan? Diah semakin dibuat bingung dengan pernyataan-pernyataan yang dilontarkan perempuan itu.“Serah terima jabatan apa?” D
“Ibu kenapa?” tanya Rika kepada Mya yang sudah berdiri di ruang tamu.“Pingsan, Tan,” jawab Mya gugup.Sekilas dilihatnya anak sulung Diah itu tampak menyembunyikan sesuatu. Tetapi diabaikan rasa ingin tahunya biar secepatnya tahu keadaan sahabatnya.Rika langsung masuk ke dalam rumah bersama Heri, sang suami.“Di mana Ibu?” tanya Rika tanpa menghentikan jalannya.“Di dapur,” jawab Mya, sedikit berlari mengikuti langkah para tamu dewasanya yang lebih cepat darinya.Rika menghentikan langkahnya.“Di dapur?” dia bertanya, mengulangi lagi perkataan Mya.Mya ikut berhenti, balas menatap Rika yang bingung dengan ucapannya.“Bunda pingsan di dapur, Tan,” Mya kemudian memberikan penjelasan.Begitu mendengar penjelasan Mya lebih lanjut, Rika langsung menarik suaminya ke arah dapur. Langkahnya lebih cepat dan gadis remaja di belakangnya makin sulit mengikuti.“Di!” seru Rika begitu masuk ke dapur. Dilihatnya sang sahabat yang berbaring di atas kursi bambu. Dia trenyuh melihat posisi tubuh saha
Setelah dibujuk bahkan sampai diancam oleh Rika, Diah pun mau diantar oleh sahabatnya itu pergi ke dokter kandungan yang dirujuk oleh Dokter Edy.Anak-anak masih betah bermain dengan Heri, sehingga Diah bisa meninggalkan mereka dengan tenang. Keduanya memang dekat dengan suami sahabatnya tersebut selain dengan sang ayah.Di ruang tunggu dokter kandungan, Diah gelisah. Sungguh, dia berharap jika dugaan Dokter Edy itu salah. Dirinya tidak tahu harus bagaimana bersikap jika benar-benar hamil.Suaminya berselingkuh, bahkan sudah menalaknya. Hamil dan melahirkan sendiri mungkin masih mampu dilaluinya. Tetapi bagaimana dengan membesarnya? Selama menikah saja dia sudah pontang-panting mengurusi kedua anaknya. Bagaimana kalau mereka sudah sah bercerai?Perempuan itu tidak mampu lagi untuk berfikir secara benar. Dia merasa buntu. Harapannya hanyalah, perkiraan dari Dokter Edy itu salah.“Ibu Diah Prameswari!” seorang perawat memanggil namanya untuk masuk ke dalam ruang periksa.“Di,” panggil R
Diah langsung melengos setelah melihat Dion dan perempuan itu berdiri di hadapannya. Talak karena nusyuz? Siapa yang selingkuh? Geram Diah dalam hatinya. Rika yang justru maju ke hadapan kedua pengkhianat itu. “Oh, istri lagi hamil diceraikan, jalan sama pelakor? Suami macam sih kamu?” teriak Rika memancing rasa ingin tahu orang sekitar mereka. Dion tersentak, memandang nanar ke arah Diah yang sibuk menarik Rika dari area itu. “Ayo Ka, ambil obat terus pulang,” bisik Diah jengah, orang-orang sudah memperhatikan mereka. Bahkan ada yang merekam lewat telepon seluler. “Nanti dulu, aku belum puas, Di,” tolak Rika. “Nggak usah cari ribut, Ka. Ayo pergi,” bisik Diah, tangannya sibuk menarik-narik sahabatnya. Sejujurnya, dia sudah malas berurusan dengan Dion. “Diah, benar kamu hamil?” Dion bertanya, dia pun berusaha melepaskan lengannya yang dibelit oleh Sari. “Ya! istrimu yang baru kamu talak demi pelakormu itu tadi pagi, sedang hamil empat minggu!” Rika yang menjawab, sedangkan Di
Diah tidak mengindahkan pertanyaan Dion. Dia langsung menarik tangan Rika, meneruskan langkah mereka untuk segera pulang. “Didi, jelaskan apa maksud perkataanmu,” Dion terus mengejar, tidak peduli banyak mata yang memperhatikan mereka. Begitu sampai ke depan lift, Dion meraih kembali lengan Diah. “Jelaskan apa maksudmu,” kejar Dion. “Apanya?” Diah balik bertanya, tidak acuh. “Kamu tadi bilang siapa yang mau hamil,” Dion mengingatkan kembali. Diah nyegir begitu mengingatnya. “Aku nggak mau hamil, puas?” Diah berkata, dan itu membuat Dion menatapnya waspada. “Kamu sekarang lagi hamil,” sergah Dion. Diah mengangkat bahunya. Acuh tak acuh menjawabnya. “Ya, tinggal digugurin. Repot amat,” dengan santai Diah menjawabnya. Rika memilih diam, walau hatinya teriris mendengarnya. Sedangkan Dion terkejut dengan jawaban yang keluar dari lisan istrinya itu. “Kamu tidak bisa menggugurkannya, aku tidak mengijinkanmu!” seru Dion marah. Diah berdecak mendengar kemarahan laki-laki berkulit
“Kamu yakin?” tanya Rika memastikan ucapan sahabatnya itu.Diah menganggukkan kepalanya. Kali ini dia sudah yakin memutuskan. Setidaknya, anak dalam kandungannya akan punya masa depan yang baik.“Aku yakin anak ini akan baik-baik saja jika bersama kalian,” Diah berkata, mengelus perutnya lembut.“Oke, nanti aku rundingkan dulu dengan suamiku,” Putus Rika.Meski dia sangat yakin bahwa suaminya akan setuju, tetapi tidak boleh asal bicara sebelum ada perundingan antara dirinya dan suaminya.“Pulang yuk, sudah malam,” ajak Rika seraya menutup pintu mobilnya. Diah mengikuti yang dikerjakan oleh sahabatnya.Makanan mereka sudah dibayar saat memesan. Di beberapa warung gudeg, cara itu sudah biasa dilakukan.Jadi Rika tinggal menjalankan mobilnya, membelah jalanan kota yang dikenal sebagai pusat budaya Jawa.“Ka, sementara ini jangan bilang ke anak-anak tentang kehamilanku ya,” pinta Diah.Rika hanya menganggukkan kepalanya, mengikuti apa pun keinginan sang sahabat.Sementara malam semakin lar
Sementara di ruang tamu, Mya heboh menyambut ayahnya. Berbeda dengan Qilla yang bersikap biasa saja.Gadis remaja itu langsung memeluk ayahnya. Raut wajahnya tampak bahagia.“Ayah pulang? Nggak pergi lagi, kan?” tanyanya beruntun. Dion terkekeh mendengar antusiasnya anak sulungnya tersebut.“Nggak, Ayah pulang dan nggak pergi lagi,” jawab Dion dengan keyakinan yang kuat.Bagaimana kalau Sari marah? Dion tidak peduli, perempuan itu harus menerima pengaturan darinya atau mereka tidak jadi menikah.“Ibu mana, Kak?” tanya Dion pada Mya. Diliriknya Qilla yang masih sibuk membersihkan sofa ruang tamu. Anak bungsunya itu terus bekerja tanpa memperdulikan kehadiran sang ayah.Dion menghela nafasnya. Dia tahu seperti apa hati anaknya yang bungsu itu. Kalau kecewa, susah untuk menerima kembali.Untuk sementara dia memilih untuk mengabaikan dulu. Yang terpenting adalah bertemu istrinya terlebih dahulu."Di kamar, Yah. Masih sakit," jawab Mya, menginga
Dion menghela nafas panjang. Jelas dia dalam posisi sulit.“Aku tidak mungkin menceraikan kamu, Didi,” kata Dion, mencoba memberi pengertian kepada istrinya.“Karena aku hamil, kan?” Diah memberikan penegasan.“Aku harus bertanggung jawab kepada kalian,” Dion terus berkilah. Diah sampai kesal melihatnya.“Memang kalau aku nggak hamil, kamu tidak akan bertanggung jawab dengan Mya dan Qilla?” skakmat! Dion terdiam mendengar pertanyaan Diah.Diah ternganga melihat respon yang diberikan Dion atas pertanyaannya.“Kamu? Setega itu sama anak-anakmu sendiri?” tanya perempuan berusia 35 tahun tersebut.“Bukan seperti itu, Di!” Dion gelagapan mencoba menjelaskan.“Lalu seperti apa?” tanya Diah dengan suara yang keras.Dion ingin menjawab, tetapi telepon seluler miliknya berbunyi.Ada nama Sari di layar telepon seluler miliknya.“Angkat saja,” kata Diah sinis, saat dilihatnya Dion kebingungan.Ragu-ragu, Dion akhirnya menjawab panggilan telepon itu.“Halo,” sapa Dion.Nak Dion, maaf mengganggu! I