Setelah dibujuk bahkan sampai diancam oleh Rika, Diah pun mau diantar oleh sahabatnya itu pergi ke dokter kandungan yang dirujuk oleh Dokter Edy.
Anak-anak masih betah bermain dengan Heri, sehingga Diah bisa meninggalkan mereka dengan tenang. Keduanya memang dekat dengan suami sahabatnya tersebut selain dengan sang ayah.
Di ruang tunggu dokter kandungan, Diah gelisah. Sungguh, dia berharap jika dugaan Dokter Edy itu salah. Dirinya tidak tahu harus bagaimana bersikap jika benar-benar hamil.
Suaminya berselingkuh, bahkan sudah menalaknya. Hamil dan melahirkan sendiri mungkin masih mampu dilaluinya. Tetapi bagaimana dengan membesarnya? Selama menikah saja dia sudah pontang-panting mengurusi kedua anaknya. Bagaimana kalau mereka sudah sah bercerai?
Perempuan itu tidak mampu lagi untuk berfikir secara benar. Dia merasa buntu. Harapannya hanyalah, perkiraan dari Dokter Edy itu salah.
“Ibu Diah Prameswari!” seorang perawat memanggil namanya untuk masuk ke dalam ruang periksa.
“Di,” panggil Rika yang sudah berdiri di hadapannya.
Diah mendongakkan kepalanya, menatap pada Rika yang masih menunggunya dengan sabar. Dihembuskannya nafas berkali-kali. Rika menganggukkan kepalanya, mencoba memberikan semangat.
Dengan berat hati, dilangkahkannya kaki ke ruang periksa. Rika mengikutinya tepat di belakang.
“Pasrah sama Tuhan,” Rika terus berusaha memberikan kekuatan.
Entah bagaimana caranya, Diah sudah duduk di hadapan dokter kandungan yang direkomendasikan oleh Dokter Edy.
Diah melihat name tag dokter tersebut. Dokter Ervina.
“Selamat sore, Ibu Diah,” sapa Dokter Ervina setelah melihat data yang ada di hadapannya.
“Selamat sore, Dok,” jawab Diah lesu.
Dokter Ervina mengernyitkan dahinya. Melihat ekspresi pasiennya, dia berfikir jika ada ketidakbahagiaan yang terpancar dari wajahnya.
Seperti yang dilakukan oleh Dokter Edy, Dokter Ervina pun bertanya seputar haid dan gejala yang dirasakannya. Setelah dirasa cukup, Diah pun diminta untuk berbaring pada ranjang periksa, membuka sedikit atasan yang dipakai oleh Diah, mengoleskan clear ultrasound gel di bagian perut. Kemudian mulai memeriksa dengan alat USG.
Dokter Ervina tampak serius melihat ke arah monitor. Menoleh ke arah wajah Diah, tersenyum seperti akan mengabarkan berita baik.
“Selamat, Ibu hamil,” kata Dokter Ervina lembut.
Telapak tangan Diah mengepal kuat, begitu mendengar perkataan dari Dokter Ervina
Sekilas, dokter yang sudah berusia paruh baya melihat pergerakan tangan Diah. Tetapi dia memilih diam dan melihat ke arah monitor.
“Usianya sekitar empat minggu, keadaan janinnya sehat,” lanjut Dokter Ervina memberi keterangan.
Rika yang masih duduk di meja periksa memandang ke arah Diah dengan perasaan khawatir.
Beberapa menit kemudian, Dokter Ervina kembali ke meja periksa, disusul oleh Diah yang menampilkan wajah muram.
Tatapan Diah menerawang seperti hilang jiwanya. Rika semakin khawatir melihatnya. Dokter Ervina pun memperhatikan keadaan pasien barunya dengan seksama.
“Ini anak ketiga ya?” Dokter Ervina membaca dengan seksama laporan status pasien. Tidak ada nama suami di sana. Hanya nama ibu, jumlah dan usia anak sebelumnya.
Diah hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Dia masih tampak syok dan menolak berita kehamilannya itu.
“Tekanan darah Ibu normal, berat badan normal, janin dalam keadaan sehat,” Dokter Ervina tetap menjelaskan status kesehatan janin dan ibu, meskipun Diah terlihat tidak mengacuhkannya.
“Usia kandungannya berapa minggu, Dok?” Rika yang berinisial untuk bertanya.
“Empat Minggu, Bu,” jawab Dokter Ervina, kemudian menatap Rika untuk menilai. “Ibu kerabatnya Bu Diah?”
Dokter paruh baya itu menatap Rika yang tersenyum mendengar pertanyaannya.
“Saya sahabatnya,” jawabnya apa adanya. Dokter tersebut menganggukkan kepalanya, tanpa tahu harus bagaimana menanggapinya.
“Dokter,” suara lemah Diah menginterupsi keduanya, menoleh ke arah perempuan berusia 35 tahun itu. Keduanya menunggu kelanjutan dari perkataannya.
“Usia empat minggu masih bisa diaborsi?”
Rika dan Dokter Ervina sama-sama menampilkan wajah syok begitu mendengar pertanyaan dari Diah. Tetapi dokter senior tersebut langsung merubah ekspresi wajahnya menjadi datar. Sedangkan sahabatnya histeris.
“Diah! Apa maksudmu?” Rika jelas kaget, meski dirinya tahu tidak bisa menyalahkan Diah sepenuhnya.
“Kenapa ingin digugurkan, Bu?” tanya Dokter Ervina sambil menulis status tambahan di buku periksa milik Diah.
Dia mulai mencari nama psikolog yang dapat direkomendasikan untuk mendampingi Diah.
“Saya-,” perkataan Diah terjeda, masih bingung untuk menjelaskan keinginannya.
“Ya, Bu?” Dokter Ervina mendorong Diah untuk berani berbicara.
Rika memandang sahabatnya dengan trenyuh. Dia tahu beban ibu dua anak itu pasti berat.
“Saya baru pisah dari suami, tidak tahu bisakah menjalani kehamilan ini dengan baik,” dalam satu tarikan nafas, Diah bercerita.
Dokter Ervina tercenung. Jelas dia kaget dengan status pernikahan yang rumit itu.
“Kalau Ibu bicara ke suami, siapa tahu pernikahan kalian bisa diselamatkan,” ragu-ragu Dokter Ervina memberi saran. Tetapi tetap diungkapkan olehnya.
Diah menggelengkan kepalanya. Rasanya mustahil dirinya berharap dari laki-laki yang sedang gila dengan perempuan lain, seperti suaminya sekarang.
“Bolehkah saya menggugurkan kandungan ini?” sepertinya Diah tetap ngotot ingin melakukannya.
“Di, jangan gila,” desis Rika, kesal dengan pertanyaan sahabatnya.
Diah menoleh ke arah ke arah Rika. Wajahnya muram.
“Percayalah, jika Mas Dion tidak menalakku, pasti bahagia dapat kabar ini,” ujarnya, meyakinkan sahabatnya untuk mengerti dengan apa yang dipikirkannya.
Rika menggelengkan kepalanya. Semakin kesal karena sahabatnya memikirkan tentang aborsi.
“Kalau kamu keberatan membesarnya, biar kami adopsi,” ujar Rika, merujuk dirinya dan sang suami yang memang mendambakan anak.
Diah tersenyum miris.
“Aku juga tidak mau merasakan hamil,” sergahnya.
Sebuah kehamilan adalah proses paling emosional yang akan dirasakan para perempuan. Justru selama sembilan bulan ke depan, ibu hamil merasakan pertalian erat dengan calon buah hati. Pada fase itu, dia butuh support dari pasangan.
Dengan statusnya yang sudah ditalak oleh Dion, sudah bisa dibayangkan hari-hari yang pasti akan berat dijalaninya.
“Ada aku dan Mas Heri yang akan mendampingimu,” bujuk Rika, mencoba menggagalkan niat Diah.
Diah memilih diam, tidak menjawab perkataan sahabatnya itu.
Dokter Ervina menghela nafasnya. Sebenarnya dia pun ingin berbicara banyak kepada Diah. Tetapi disadarinya masih banyak pasien yang harus diperiksa olehnya.
“Bu Diah, nanti akan saya hubungi lebih lanjut ya,” katanya mengakhiri sesi konsultasi kandungan ini. Diserahkannya kertas resep kepada Diah, tetapi diabaikan olehnya.
Rika yang berinisiatif mengambilnya, kemudian mengucapkan terima kasih.
“Jangan lupa makan yang bergizi dan minum susu,” nasehat yang standar dia berikan kepada semua pasiennya.
“Terima kasih, Dok,” Rika yang mewakili Diah berbasa-basi kepada Dokter Ervina.
Setelah dokter senior itu mengangguk, Rika pun menuntun sahabatnya keluar dari ruang periksa.
“Vitamin dan suplemennya bisa diambil di apotek rumah sakit ya, Bu,” perawat yang mengantarkan mereka keluar pun mengingatkan.
Rika menganggukkan kepalanya, sedangkan Diah kembali dalam mode diam.
“Kita ke apotek dulu, ya,” kata Rika, ketika mereka berjalan beriringan meninggalkan poli kandungan.
“Buat apa? Nanti juga anaknya nggak akan dilahirkan,” sahut Diah santai.
Ingin rasanya Rika marah, tetapi mengerti dengan kondisi kejiwaan sahabatnya yang sedang tidak bahagia.
“Didi? Sedang apa di sini?”
Diah dan Rika ke arah sumber suara. Mereka mendapati Dion yang sedang berdiri bersama seorang perempuan.
Diah langsung melengos setelah melihat Dion dan perempuan itu berdiri di hadapannya. Talak karena nusyuz? Siapa yang selingkuh? Geram Diah dalam hatinya. Rika yang justru maju ke hadapan kedua pengkhianat itu. “Oh, istri lagi hamil diceraikan, jalan sama pelakor? Suami macam sih kamu?” teriak Rika memancing rasa ingin tahu orang sekitar mereka. Dion tersentak, memandang nanar ke arah Diah yang sibuk menarik Rika dari area itu. “Ayo Ka, ambil obat terus pulang,” bisik Diah jengah, orang-orang sudah memperhatikan mereka. Bahkan ada yang merekam lewat telepon seluler. “Nanti dulu, aku belum puas, Di,” tolak Rika. “Nggak usah cari ribut, Ka. Ayo pergi,” bisik Diah, tangannya sibuk menarik-narik sahabatnya. Sejujurnya, dia sudah malas berurusan dengan Dion. “Diah, benar kamu hamil?” Dion bertanya, dia pun berusaha melepaskan lengannya yang dibelit oleh Sari. “Ya! istrimu yang baru kamu talak demi pelakormu itu tadi pagi, sedang hamil empat minggu!” Rika yang menjawab, sedangkan Di
Diah tidak mengindahkan pertanyaan Dion. Dia langsung menarik tangan Rika, meneruskan langkah mereka untuk segera pulang. “Didi, jelaskan apa maksud perkataanmu,” Dion terus mengejar, tidak peduli banyak mata yang memperhatikan mereka. Begitu sampai ke depan lift, Dion meraih kembali lengan Diah. “Jelaskan apa maksudmu,” kejar Dion. “Apanya?” Diah balik bertanya, tidak acuh. “Kamu tadi bilang siapa yang mau hamil,” Dion mengingatkan kembali. Diah nyegir begitu mengingatnya. “Aku nggak mau hamil, puas?” Diah berkata, dan itu membuat Dion menatapnya waspada. “Kamu sekarang lagi hamil,” sergah Dion. Diah mengangkat bahunya. Acuh tak acuh menjawabnya. “Ya, tinggal digugurin. Repot amat,” dengan santai Diah menjawabnya. Rika memilih diam, walau hatinya teriris mendengarnya. Sedangkan Dion terkejut dengan jawaban yang keluar dari lisan istrinya itu. “Kamu tidak bisa menggugurkannya, aku tidak mengijinkanmu!” seru Dion marah. Diah berdecak mendengar kemarahan laki-laki berkulit
“Kamu yakin?” tanya Rika memastikan ucapan sahabatnya itu.Diah menganggukkan kepalanya. Kali ini dia sudah yakin memutuskan. Setidaknya, anak dalam kandungannya akan punya masa depan yang baik.“Aku yakin anak ini akan baik-baik saja jika bersama kalian,” Diah berkata, mengelus perutnya lembut.“Oke, nanti aku rundingkan dulu dengan suamiku,” Putus Rika.Meski dia sangat yakin bahwa suaminya akan setuju, tetapi tidak boleh asal bicara sebelum ada perundingan antara dirinya dan suaminya.“Pulang yuk, sudah malam,” ajak Rika seraya menutup pintu mobilnya. Diah mengikuti yang dikerjakan oleh sahabatnya.Makanan mereka sudah dibayar saat memesan. Di beberapa warung gudeg, cara itu sudah biasa dilakukan.Jadi Rika tinggal menjalankan mobilnya, membelah jalanan kota yang dikenal sebagai pusat budaya Jawa.“Ka, sementara ini jangan bilang ke anak-anak tentang kehamilanku ya,” pinta Diah.Rika hanya menganggukkan kepalanya, mengikuti apa pun keinginan sang sahabat.Sementara malam semakin lar
Sementara di ruang tamu, Mya heboh menyambut ayahnya. Berbeda dengan Qilla yang bersikap biasa saja.Gadis remaja itu langsung memeluk ayahnya. Raut wajahnya tampak bahagia.“Ayah pulang? Nggak pergi lagi, kan?” tanyanya beruntun. Dion terkekeh mendengar antusiasnya anak sulungnya tersebut.“Nggak, Ayah pulang dan nggak pergi lagi,” jawab Dion dengan keyakinan yang kuat.Bagaimana kalau Sari marah? Dion tidak peduli, perempuan itu harus menerima pengaturan darinya atau mereka tidak jadi menikah.“Ibu mana, Kak?” tanya Dion pada Mya. Diliriknya Qilla yang masih sibuk membersihkan sofa ruang tamu. Anak bungsunya itu terus bekerja tanpa memperdulikan kehadiran sang ayah.Dion menghela nafasnya. Dia tahu seperti apa hati anaknya yang bungsu itu. Kalau kecewa, susah untuk menerima kembali.Untuk sementara dia memilih untuk mengabaikan dulu. Yang terpenting adalah bertemu istrinya terlebih dahulu."Di kamar, Yah. Masih sakit," jawab Mya, menginga
Dion menghela nafas panjang. Jelas dia dalam posisi sulit.“Aku tidak mungkin menceraikan kamu, Didi,” kata Dion, mencoba memberi pengertian kepada istrinya.“Karena aku hamil, kan?” Diah memberikan penegasan.“Aku harus bertanggung jawab kepada kalian,” Dion terus berkilah. Diah sampai kesal melihatnya.“Memang kalau aku nggak hamil, kamu tidak akan bertanggung jawab dengan Mya dan Qilla?” skakmat! Dion terdiam mendengar pertanyaan Diah.Diah ternganga melihat respon yang diberikan Dion atas pertanyaannya.“Kamu? Setega itu sama anak-anakmu sendiri?” tanya perempuan berusia 35 tahun tersebut.“Bukan seperti itu, Di!” Dion gelagapan mencoba menjelaskan.“Lalu seperti apa?” tanya Diah dengan suara yang keras.Dion ingin menjawab, tetapi telepon seluler miliknya berbunyi.Ada nama Sari di layar telepon seluler miliknya.“Angkat saja,” kata Diah sinis, saat dilihatnya Dion kebingungan.Ragu-ragu, Dion akhirnya menjawab panggilan telepon itu.“Halo,” sapa Dion.Nak Dion, maaf mengganggu! I
Diah membawa motor maticnya ke sekolah anak-anak dengan kecepatan penuh.Di dalam hatinya, perempuan manis itu mengomel panjang pendek kepada Dion. Janji yang meleset lagi, membuatnya kesal. Bukan untuk dirinya yang memang sudah tidak berharap, tetapi dilihatnya Mya yang begitu mencintai ayahnya.“Ibu!” teriak Qilla, begitu melihat ibunya masuk ke halaman sekolah. Dia berlari menghampirinya.Mya terlihat lesu di atas bangku taman. Pasti kecewa sekali dengan sikap ayahnya yang belum hadir di sekolahnya.Diah memeluk Qilla seraya menghampiri putri sulungnya.“Pulang, yuk,” ajak Diah kepada si sulung. Mya mengangguk dengan wajah murung. Kemudian berjalan gontai ke arah motor ibunya.Diah menghela nafas, benar-benar kesal dengan kelakuan Dion. Laki-laki itu kembali mematahkan hati sulungnya.“Yuk, kita pulang,” Diah pun membawa putri bungsunya ke motornya.Baru saja melangkah, mobil milik mantan suaminya itu masuk ke halaman sekolah. Dion asal memarkirnya, kemudian keluar.Wajah Mya langsu
Dion mengambil telepon seluler milik Diah. Dibacanya pesan masuk yang diperlihatkan oleh mantan istrinya tersebut.Dia hafal betul, itu nomer kontak ibunya Sari.Sudah ditalak, jangan mengemis cinta sama Mas Dion! Dasar gatel!Wajah Dion merah padam membacanya. Hatinya tetap tidak bisa menerima Diah dimaki-maki oleh Sari.Diah meminta telepon selularnya. Ragu-ragu, diberikan alat komunikasi itu kepada perempuan manis itu.Mantan istrinya itu seperti memanggil seseorang. Dion langsung bersikap waspada.“Kamu mau menghubungi siapa, Di?” tanyanya gugup.Diah tidak menjawab, sambil tetap menempelkan telepon itu pada telinganya, dia menjauhi mantan suaminya.Dion mengikuti langkah Diah yang menuju ke teras belakang. Telepon seluler masih ditempelkan pada telinga.“Di, Kamu menghubungi siapa? Sari? Jangan, dia lagi hamil. Kasihan!” Dion secara beruntun, memberondong Diah dengan berbagai pertanyaan dan permohonan.Diah berbalik, menghadap pada mantan suaminya. Kesal tergambar dari ekspresi wa
“Di, jangan asal ngomong! Kita baru saja rujuk,” sergah Dion.Diah mendengus, memberikan telepon seluler milik Qilla kepada suaminya.Dion menerimanya, kemudian dibaca pesan teks yang membuat istrinya marah besar dan minta pisah.Bilang ke ibumu yang gatel itu. Balikin calon suamiku!Dion terperangah. Kali ini dia merasa Sari sudah sangat keterlaluan. Anaknya ikut diserang juga.Qilla mendorong piringnya menjauh. Matanya sudah berkaca-kaca. Lalu berdiri, tidak ingin lagi meneruskan makanannya.“Lho Dek, belum selesai makannya,” tegur Diah, diliriknya piring si bungsu yang masih ada setengahnya.“Udah kenyang, Bu,” jawab Qilla, kemudian melipir ke kamarnya.Mya hanya mengikuti drama meja makan ini dalam diam. Dia belum begitu faham, apa yang sebenarnya diributkan oleh kedua orang tuanya.“Kenapa, Bu?” tanya Mya. Diah menghela nafasnya. Bingung, bagaimana menerangkan kepada putri sulungnya.“Tante yang kemarin, marahin Adek lewat chatting,” akhirnya Diah bersuara. Ada ekspresi keberatan