Share

5. Bukan Sebuah Harapan

Setelah dibujuk bahkan sampai diancam oleh Rika, Diah pun mau diantar oleh sahabatnya itu pergi ke dokter kandungan yang dirujuk oleh Dokter Edy.

Anak-anak masih betah bermain dengan Heri, sehingga Diah bisa meninggalkan mereka dengan tenang. Keduanya memang dekat dengan suami sahabatnya tersebut selain dengan sang ayah.

Di ruang tunggu dokter kandungan, Diah gelisah. Sungguh, dia berharap jika dugaan Dokter Edy itu salah. Dirinya tidak tahu harus bagaimana bersikap jika benar-benar hamil.

Suaminya berselingkuh, bahkan sudah menalaknya. Hamil dan melahirkan sendiri mungkin masih mampu dilaluinya. Tetapi bagaimana dengan membesarnya? Selama menikah saja dia sudah pontang-panting mengurusi kedua anaknya. Bagaimana kalau mereka sudah sah bercerai?

Perempuan itu tidak mampu lagi untuk berfikir secara benar. Dia merasa buntu. Harapannya hanyalah, perkiraan dari Dokter Edy itu salah.

“Ibu Diah Prameswari!” seorang perawat memanggil namanya untuk masuk ke dalam ruang periksa.

“Di,” panggil Rika yang sudah berdiri di hadapannya.

Diah mendongakkan kepalanya, menatap pada Rika yang masih menunggunya dengan sabar. Dihembuskannya nafas berkali-kali. Rika menganggukkan kepalanya, mencoba memberikan semangat.

Dengan berat hati, dilangkahkannya kaki ke ruang periksa. Rika mengikutinya tepat di belakang.

“Pasrah sama Tuhan,” Rika terus berusaha memberikan kekuatan.

Entah bagaimana caranya, Diah sudah duduk di hadapan dokter kandungan yang direkomendasikan oleh Dokter Edy.

Diah melihat name tag dokter tersebut. Dokter Ervina.

“Selamat sore, Ibu Diah,” sapa Dokter Ervina setelah melihat data yang ada di hadapannya.

“Selamat sore, Dok,” jawab Diah lesu.

Dokter Ervina mengernyitkan dahinya. Melihat ekspresi pasiennya, dia berfikir jika ada ketidakbahagiaan yang terpancar dari wajahnya.

Seperti yang dilakukan oleh Dokter Edy, Dokter Ervina pun bertanya seputar haid dan gejala yang dirasakannya. Setelah dirasa cukup, Diah pun diminta untuk berbaring pada ranjang periksa, membuka sedikit atasan yang dipakai oleh Diah, mengoleskan clear ultrasound gel di bagian perut. Kemudian mulai memeriksa dengan alat USG.

Dokter Ervina tampak serius melihat ke arah monitor. Menoleh ke arah wajah Diah, tersenyum seperti akan mengabarkan berita baik.

“Selamat, Ibu hamil,” kata Dokter Ervina lembut.

Telapak tangan Diah mengepal kuat, begitu mendengar perkataan dari Dokter Ervina

Sekilas, dokter yang sudah berusia paruh baya melihat pergerakan tangan Diah. Tetapi dia memilih diam dan melihat ke arah monitor.

“Usianya sekitar empat minggu, keadaan janinnya sehat,” lanjut Dokter Ervina memberi keterangan.

Rika yang masih duduk di meja periksa memandang ke arah Diah dengan perasaan khawatir.

Beberapa menit kemudian, Dokter Ervina kembali ke meja periksa, disusul oleh Diah yang menampilkan wajah muram.

Tatapan Diah menerawang seperti hilang jiwanya. Rika semakin khawatir melihatnya. Dokter Ervina pun memperhatikan keadaan pasien barunya dengan seksama.

“Ini anak ketiga ya?” Dokter Ervina membaca dengan seksama laporan status pasien. Tidak ada nama suami di sana. Hanya nama ibu, jumlah dan usia anak sebelumnya.

Diah hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Dia masih tampak syok dan menolak berita kehamilannya itu.

“Tekanan darah Ibu normal, berat badan normal, janin dalam keadaan sehat,” Dokter Ervina tetap menjelaskan status kesehatan janin dan ibu, meskipun Diah terlihat tidak mengacuhkannya.

“Usia kandungannya berapa minggu, Dok?” Rika yang berinisial untuk bertanya.

“Empat Minggu, Bu,” jawab Dokter Ervina, kemudian menatap Rika untuk menilai. “Ibu kerabatnya Bu Diah?”

Dokter paruh baya itu menatap Rika yang tersenyum mendengar pertanyaannya.

“Saya sahabatnya,” jawabnya apa adanya. Dokter tersebut menganggukkan kepalanya, tanpa tahu harus bagaimana menanggapinya.

“Dokter,” suara lemah Diah menginterupsi keduanya, menoleh ke arah perempuan berusia 35 tahun itu. Keduanya menunggu kelanjutan dari perkataannya.

“Usia empat minggu masih bisa diaborsi?”

Rika dan Dokter Ervina sama-sama menampilkan wajah syok begitu mendengar pertanyaan dari Diah. Tetapi dokter senior tersebut langsung merubah ekspresi wajahnya menjadi datar. Sedangkan sahabatnya histeris.

“Diah! Apa maksudmu?” Rika jelas kaget, meski dirinya tahu tidak bisa menyalahkan Diah sepenuhnya.

“Kenapa ingin digugurkan, Bu?” tanya Dokter Ervina sambil menulis status tambahan di buku periksa milik Diah.

Dia mulai mencari nama psikolog yang dapat direkomendasikan untuk mendampingi Diah.

“Saya-,” perkataan Diah terjeda, masih bingung untuk menjelaskan keinginannya.

“Ya, Bu?” Dokter Ervina mendorong Diah untuk berani berbicara.

Rika memandang sahabatnya dengan trenyuh. Dia tahu beban ibu dua anak itu pasti berat.

“Saya baru pisah dari suami, tidak tahu bisakah menjalani kehamilan ini dengan baik,” dalam satu tarikan nafas, Diah bercerita.

Dokter Ervina tercenung. Jelas dia kaget dengan status pernikahan yang rumit itu.

“Kalau Ibu bicara ke suami, siapa tahu pernikahan kalian bisa diselamatkan,” ragu-ragu Dokter Ervina memberi saran. Tetapi tetap diungkapkan olehnya.

Diah menggelengkan kepalanya. Rasanya mustahil dirinya berharap dari laki-laki yang sedang gila dengan perempuan lain, seperti suaminya sekarang.

“Bolehkah saya menggugurkan kandungan ini?” sepertinya Diah tetap ngotot ingin melakukannya.

“Di, jangan gila,” desis Rika, kesal dengan pertanyaan sahabatnya.

Diah menoleh ke arah ke arah Rika. Wajahnya muram.

“Percayalah, jika Mas Dion tidak menalakku, pasti bahagia dapat kabar ini,” ujarnya, meyakinkan sahabatnya untuk mengerti dengan apa yang dipikirkannya.

Rika menggelengkan kepalanya. Semakin kesal karena sahabatnya memikirkan tentang aborsi.

“Kalau kamu keberatan membesarnya, biar kami adopsi,” ujar Rika, merujuk dirinya dan sang suami yang memang mendambakan anak.

Diah tersenyum miris.

“Aku juga tidak mau merasakan hamil,” sergahnya.

Sebuah kehamilan adalah proses paling emosional yang akan dirasakan para perempuan. Justru selama sembilan bulan ke depan, ibu hamil merasakan pertalian erat dengan calon buah hati. Pada fase itu, dia butuh support dari pasangan.

Dengan statusnya yang sudah ditalak oleh Dion, sudah bisa dibayangkan hari-hari yang pasti akan berat dijalaninya.

“Ada aku dan Mas Heri yang akan mendampingimu,” bujuk Rika, mencoba menggagalkan niat Diah.

Diah memilih diam, tidak menjawab perkataan sahabatnya itu.

Dokter Ervina menghela nafasnya. Sebenarnya dia pun ingin berbicara banyak kepada Diah. Tetapi disadarinya masih banyak pasien yang harus diperiksa olehnya.

“Bu Diah, nanti akan saya hubungi lebih lanjut ya,” katanya mengakhiri sesi konsultasi kandungan ini. Diserahkannya kertas resep kepada Diah, tetapi diabaikan olehnya.

Rika yang berinisiatif mengambilnya, kemudian mengucapkan terima kasih.

“Jangan lupa makan yang bergizi dan minum susu,” nasehat yang standar dia berikan kepada semua pasiennya.

“Terima kasih, Dok,” Rika yang mewakili Diah berbasa-basi kepada Dokter Ervina.

Setelah dokter senior itu mengangguk, Rika pun menuntun sahabatnya keluar dari ruang periksa.

“Vitamin dan suplemennya bisa diambil di apotek rumah sakit ya, Bu,” perawat yang mengantarkan mereka keluar pun mengingatkan.

Rika menganggukkan kepalanya, sedangkan Diah kembali dalam mode diam.

“Kita ke apotek dulu, ya,” kata Rika, ketika mereka berjalan beriringan meninggalkan poli kandungan.

“Buat apa? Nanti juga anaknya nggak akan dilahirkan,” sahut Diah santai.

Ingin rasanya Rika marah, tetapi mengerti dengan kondisi kejiwaan sahabatnya yang sedang tidak bahagia.

“Didi? Sedang apa di sini?”

Diah dan Rika ke arah sumber suara. Mereka mendapati Dion yang sedang berdiri bersama seorang perempuan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status