Diah langsung melengos setelah melihat Dion dan perempuan itu berdiri di hadapannya.
Talak karena nusyuz? Siapa yang selingkuh? Geram Diah dalam hatinya.
Rika yang justru maju ke hadapan kedua pengkhianat itu.
“Oh, istri lagi hamil diceraikan, jalan sama pelakor? Suami macam sih kamu?” teriak Rika memancing rasa ingin tahu orang sekitar mereka.
Dion tersentak, memandang nanar ke arah Diah yang sibuk menarik Rika dari area itu.
“Ayo Ka, ambil obat terus pulang,” bisik Diah jengah, orang-orang sudah memperhatikan mereka. Bahkan ada yang merekam lewat telepon seluler.
“Nanti dulu, aku belum puas, Di,” tolak Rika.
“Nggak usah cari ribut, Ka. Ayo pergi,” bisik Diah, tangannya sibuk menarik-narik sahabatnya.
Sejujurnya, dia sudah malas berurusan dengan Dion.
“Diah, benar kamu hamil?” Dion bertanya, dia pun berusaha melepaskan lengannya yang dibelit oleh Sari.
“Ya! istrimu yang baru kamu talak demi pelakormu itu tadi pagi, sedang hamil empat minggu!” Rika yang menjawab, sedangkan Diah sama sekali tidak mau melihat wajah Dion.
Suara bisik-bisik para pengunjung rumah sakit santer terdengar. Wajah’ Sari memerah karena hampir semua orang yang ada di sana mencibir ke arah dirinya.
“Oh, istri sama pelakor lagi hamil semua?”
“Padahal cantik istrinya, si pelakor cuma menang makeup aja.”
“Bisa ya nyakitin perempuan lain?”
“Kasihan istrinya.”
Sari tidak tahan digunjingkan. Dia berteriak membela dirinya.
“Itu perempuan diceraikan karena boros, tahu nggak!” serunya kesal. Dion menoleh ke arah Sari, wajahnya menahan kekesalan dengan keributan yang diciptakan oleh Sari
“Boros atau habis dimakan pelakor?” tanya Rika pedas.
“Nah bener, tuh!”
“Boros yang pakai anak istri, pelakor cuma maling!”
Sari gelagapan, kata-katanya malah jadi bumerang untuk dirinya sendiri. Sedangkan Dion gelagapan karena banyak juga yang menuding dirinya.
Diah yang sudah lelah, melangkah ke hadapan mereka.
“Kamu ingin suami saya? Ambil! Sampah memang pantas dengan ampas!” dengan sisa keberanian yang dimilikinya, Diah menyerang Sari.
Kemudian dirinya menoleh ke arah Dion. Senyum sinisnya terukir di bibir penuh miliknya.
“Kamu talak aku dengan alasan nusyuz? Padahal hanya untuk menutupi borokmu,” perkataannya keluar dari bibirnya, mencibir sang lelaki pecundang.
“Didi,” panggil Dion lemah. Didi adalah panggilan kesayangan Dion kepada Diah.
“Tenang saja, aku bersedia kamu cerai!” seru Diah. Orang-orang memberikan semangat pada dirinya.
Diah tidak peduli dengan reaksi para penonton. Dirinya langsung menarik tangan Rika, meninggalkan pasangan selingkuh itu.
Dion hampir menyusul kedua perempuan itu, tetapi ditahan oleh Sari.
“Kamu ke sini untuk mengantarkan aku periksa, Mas,” desis Sari tidak suka.
Dion menghela napas, jengkel dengan keadaan yang dihadapinya. Dengan terpaksa, diikuti kemauan kekasihnya itu.
Tetapi Dion seperti tidak mau meninggalkan Diah begitu saja. Setelah mendaftar ulang Sari di poli kandungan, memastikan kekasihnya itu sudah duduk tenang di kursi tunggu. Dia pun beranjak pergi.
“Mau kemana?” tanya Sari seraya mencekal lengan Dion erat.
Laki-laki berusia 40 tahun itu menghela nafasnya. Sepertinya dirinya harus bisa meminta kekasihnya untuk mengerti keadaan yang menjepit dirinya.
“Aku harus memastikan sesuatu dengan Diah,” dengan sabar, dijawabnya pertanyaan Sari.
“Tentang apa?” Sari masih bertahan dengan cekalannya pada lengan Dion.
“Dia hamil, sama dengan kamu. Aku harus memastikan keadaannya,” sergah Dion, menyentak cekalan tangan Sari. Memaksa perempuan itu melepaskan dirinya.
“Aku mau periksa,” Sari bersikeras menahan langkah Dion.
“Kamu masih antri, tunggu saja,” sergah Dion. Tanpa menggubris kemarahan kekasihnya, dirinya bergegas ke apotek. Dia yakin Diah dan Rika ada di sana.
Benar saja, dia melihat Diah yang duduk termenung sendirian. Entah kemana Rika berada.
Perlahan, Dion mendekati Diah, duduk di sampingnya yang memang kosong.
“Didi,” panggilnya lembut.
Diah menoleh, kemudian menghela nafasnya begitu tahu siapa yang memanggilnya. Kembali berpaling dari wajah yang kini tidak ingin dilihatnya.
“Ada apa?” tanyanya dengan suara datar.
Tidak ada lagi kesedihan, seperti tadi pagi yang dirasakan olehnya. Tidak sanggup untuk marah, karena dirasakannya itu semua tidak berguna.
Dia hanya sedang mempertimbangkan, apakah tetap hamil atau digugurkan.
“Kamu hamil anak kita?” tanya Dion dengan suara tercekat.
Diah mengangkat bahunya, dengan ekspresi wajah yang menampakkan bahwa dia tidak peduli.
Dion menghela nafasnya. Dia menyadari bahwa ibu dari kedua putrinya sedang marah kepadanya.
“Maaf, seharusnya tadi pagi tidak bicara kasar kepadamu,” Dion berkata pelan.
Tetapi Diah tidak meresponnya. Perempuan itu tetap memilih untuk tutup mulut. Tatapan wajahnya menerawang entah kemana.
“Sari hamil, aku harus bertanggung jawab,” kali ini dia memilih bicara jujur, bermaksud meraih kembali hati istrinya.
Diah hanya menganggukkan kepalanya tanpa kata. Dielusnya perut yang masih rata. Begitu tahu pacar Dion sedang hamil, semakin malas rasanya untuk mempertahankan janinnya.
Dion tersenyum melihat pergerakan tangan Diah. Tanpa sadar, dirinya mengulurkan tangannya ke arah perut perempuan berwajah ayu itu
Diah yang melihat gelagat Dion, segera menepis tangan lelaki itu.
“Kamu sudah menalakku, kita bukan mahram,” katanya tegas.
“Masih talak satu, Didi. Kita bisa rujuk,” sergah Dion. Dirinya kesal karena ditolak untuk menyentuh calon anaknya itu.
Diah tersenyum dingin. Kemudian mendengus, menyepelekan perkataan laki-laki tersebut.
“Kalau gitu aku yang akan menggugat cerai,” jawab Diah di sela senyum dinginnya.
Dion terperangah. Menatap Diah dengan ekspresi tidak percaya.
Belum sempat menjawab perkataan Diah, Rika datang dengan wajah marah.
“Ngapain kamu ke sini?” tanyanya dengan suara yang keras.
Dion menghela nafasnya. Belum selesai dirinya bicara dengan Diah, Rika sudah mengganggunya.
“Aku mau bicara dengan istriku, Ka,” jawab Dion dengan suara yang diusahakannya tidak mengganggu pengunjung lain.
Dia menyadari, bahwa diam-diam mereka jadi pusat perhatian untuk malam ini.
“Istri yang sudah ditalak,” sergahnya keras.
Awalnya Rika masih berharap sahabatnya bisa rujuk dengan sang suami. Tetapi kehadiran pelakor yang sudah hamil, membuatnya mengurungkan niatnya.
“Kami masih bisa rujuk,” bantah Dion, Diah menanggapinya dengan tatapan datar.
“Kamu ingin rujuk sama pecundang ini, Di?” tanya Rika memastikan.
Diah menggelengkan kepalanya. Dirinya langsung berdiri begitu namanya dipanggil oleh apoteker.
Suasananya terasa canggung saat Diah pergi ke loket obat. Rika tetap dalam posisi berdiri, melipat dadanya seraya menatap Dion tajam.
Suami Diah itu duduk sambil menundukkan kepalanya. Pusing dengan situasi yang sedang dialaminya.
Diah kembali dengan membawa sekantung vitamin dan suplemen untuk dirinya. Diraihnya tas selempang miliknya. Setelah memasukkan semua suplemen untuknya ke dalam tas, disampirkan ke bahunya.
Diacuhkannya Dion yang terus menatapnya intens.
“Sudah?” tanya Rika begitu dilihatnya Diah sudah tegak berdiri.
“Yuk, pulang Ka,” ajak Diah dengan ekspresi yang sudah tenang.
Mereka pergi meninggalkan Dion begitu saja.
“Di, kita belum selesai bicara,” Dion bergegas mengejar kedua perempuan itu. Tetapi tidak diacuhkan oleh keduanya.
Laki-laki berkulit eksotik itu meraih lengan Diah begitu dapet mensejajarkan langkahnya terhadap sang istri. Mau tidak mau kedua perempuan itu menghentikan langkah mereka.
“Ada apa lagi?” tanya Diah kesal.
“Kita belum selesai bicara,” Dion ngotot berbicara.
“Tentang apa?” datar suara Diah bertanya.
“Kehamilanmu,” Dion terus memaksa.
“Ada apa dengan kehamilanku?”:tanya Diah datar.
“Kita harus rujuk, tetapi ijinkan aku menikah dengan Sari. Dia juga sedang hamil anakku,” Dion berusaha membujuk Diah.
“Silahkan tanggung jawab pada perempuan itu,” sergah Diah, menjawab penjelasan laki-laki itu.
“Iya, aku harus bertanggung jawab pada kalian berdua,” Dion masih terus memaksa.
“Memangnya aku mau hamil?” sarkas Diah.
Dion menatap istrinya dengan waspada.
“Apa maksudmu?”
Selamat sore, semoga pembaca suka dengan tulisanku
Diah tidak mengindahkan pertanyaan Dion. Dia langsung menarik tangan Rika, meneruskan langkah mereka untuk segera pulang. “Didi, jelaskan apa maksud perkataanmu,” Dion terus mengejar, tidak peduli banyak mata yang memperhatikan mereka. Begitu sampai ke depan lift, Dion meraih kembali lengan Diah. “Jelaskan apa maksudmu,” kejar Dion. “Apanya?” Diah balik bertanya, tidak acuh. “Kamu tadi bilang siapa yang mau hamil,” Dion mengingatkan kembali. Diah nyegir begitu mengingatnya. “Aku nggak mau hamil, puas?” Diah berkata, dan itu membuat Dion menatapnya waspada. “Kamu sekarang lagi hamil,” sergah Dion. Diah mengangkat bahunya. Acuh tak acuh menjawabnya. “Ya, tinggal digugurin. Repot amat,” dengan santai Diah menjawabnya. Rika memilih diam, walau hatinya teriris mendengarnya. Sedangkan Dion terkejut dengan jawaban yang keluar dari lisan istrinya itu. “Kamu tidak bisa menggugurkannya, aku tidak mengijinkanmu!” seru Dion marah. Diah berdecak mendengar kemarahan laki-laki berkulit
“Kamu yakin?” tanya Rika memastikan ucapan sahabatnya itu.Diah menganggukkan kepalanya. Kali ini dia sudah yakin memutuskan. Setidaknya, anak dalam kandungannya akan punya masa depan yang baik.“Aku yakin anak ini akan baik-baik saja jika bersama kalian,” Diah berkata, mengelus perutnya lembut.“Oke, nanti aku rundingkan dulu dengan suamiku,” Putus Rika.Meski dia sangat yakin bahwa suaminya akan setuju, tetapi tidak boleh asal bicara sebelum ada perundingan antara dirinya dan suaminya.“Pulang yuk, sudah malam,” ajak Rika seraya menutup pintu mobilnya. Diah mengikuti yang dikerjakan oleh sahabatnya.Makanan mereka sudah dibayar saat memesan. Di beberapa warung gudeg, cara itu sudah biasa dilakukan.Jadi Rika tinggal menjalankan mobilnya, membelah jalanan kota yang dikenal sebagai pusat budaya Jawa.“Ka, sementara ini jangan bilang ke anak-anak tentang kehamilanku ya,” pinta Diah.Rika hanya menganggukkan kepalanya, mengikuti apa pun keinginan sang sahabat.Sementara malam semakin lar
Sementara di ruang tamu, Mya heboh menyambut ayahnya. Berbeda dengan Qilla yang bersikap biasa saja.Gadis remaja itu langsung memeluk ayahnya. Raut wajahnya tampak bahagia.“Ayah pulang? Nggak pergi lagi, kan?” tanyanya beruntun. Dion terkekeh mendengar antusiasnya anak sulungnya tersebut.“Nggak, Ayah pulang dan nggak pergi lagi,” jawab Dion dengan keyakinan yang kuat.Bagaimana kalau Sari marah? Dion tidak peduli, perempuan itu harus menerima pengaturan darinya atau mereka tidak jadi menikah.“Ibu mana, Kak?” tanya Dion pada Mya. Diliriknya Qilla yang masih sibuk membersihkan sofa ruang tamu. Anak bungsunya itu terus bekerja tanpa memperdulikan kehadiran sang ayah.Dion menghela nafasnya. Dia tahu seperti apa hati anaknya yang bungsu itu. Kalau kecewa, susah untuk menerima kembali.Untuk sementara dia memilih untuk mengabaikan dulu. Yang terpenting adalah bertemu istrinya terlebih dahulu."Di kamar, Yah. Masih sakit," jawab Mya, menginga
Dion menghela nafas panjang. Jelas dia dalam posisi sulit.“Aku tidak mungkin menceraikan kamu, Didi,” kata Dion, mencoba memberi pengertian kepada istrinya.“Karena aku hamil, kan?” Diah memberikan penegasan.“Aku harus bertanggung jawab kepada kalian,” Dion terus berkilah. Diah sampai kesal melihatnya.“Memang kalau aku nggak hamil, kamu tidak akan bertanggung jawab dengan Mya dan Qilla?” skakmat! Dion terdiam mendengar pertanyaan Diah.Diah ternganga melihat respon yang diberikan Dion atas pertanyaannya.“Kamu? Setega itu sama anak-anakmu sendiri?” tanya perempuan berusia 35 tahun tersebut.“Bukan seperti itu, Di!” Dion gelagapan mencoba menjelaskan.“Lalu seperti apa?” tanya Diah dengan suara yang keras.Dion ingin menjawab, tetapi telepon seluler miliknya berbunyi.Ada nama Sari di layar telepon seluler miliknya.“Angkat saja,” kata Diah sinis, saat dilihatnya Dion kebingungan.Ragu-ragu, Dion akhirnya menjawab panggilan telepon itu.“Halo,” sapa Dion.Nak Dion, maaf mengganggu! I
Diah membawa motor maticnya ke sekolah anak-anak dengan kecepatan penuh.Di dalam hatinya, perempuan manis itu mengomel panjang pendek kepada Dion. Janji yang meleset lagi, membuatnya kesal. Bukan untuk dirinya yang memang sudah tidak berharap, tetapi dilihatnya Mya yang begitu mencintai ayahnya.“Ibu!” teriak Qilla, begitu melihat ibunya masuk ke halaman sekolah. Dia berlari menghampirinya.Mya terlihat lesu di atas bangku taman. Pasti kecewa sekali dengan sikap ayahnya yang belum hadir di sekolahnya.Diah memeluk Qilla seraya menghampiri putri sulungnya.“Pulang, yuk,” ajak Diah kepada si sulung. Mya mengangguk dengan wajah murung. Kemudian berjalan gontai ke arah motor ibunya.Diah menghela nafas, benar-benar kesal dengan kelakuan Dion. Laki-laki itu kembali mematahkan hati sulungnya.“Yuk, kita pulang,” Diah pun membawa putri bungsunya ke motornya.Baru saja melangkah, mobil milik mantan suaminya itu masuk ke halaman sekolah. Dion asal memarkirnya, kemudian keluar.Wajah Mya langsu
Dion mengambil telepon seluler milik Diah. Dibacanya pesan masuk yang diperlihatkan oleh mantan istrinya tersebut.Dia hafal betul, itu nomer kontak ibunya Sari.Sudah ditalak, jangan mengemis cinta sama Mas Dion! Dasar gatel!Wajah Dion merah padam membacanya. Hatinya tetap tidak bisa menerima Diah dimaki-maki oleh Sari.Diah meminta telepon selularnya. Ragu-ragu, diberikan alat komunikasi itu kepada perempuan manis itu.Mantan istrinya itu seperti memanggil seseorang. Dion langsung bersikap waspada.“Kamu mau menghubungi siapa, Di?” tanyanya gugup.Diah tidak menjawab, sambil tetap menempelkan telepon itu pada telinganya, dia menjauhi mantan suaminya.Dion mengikuti langkah Diah yang menuju ke teras belakang. Telepon seluler masih ditempelkan pada telinga.“Di, Kamu menghubungi siapa? Sari? Jangan, dia lagi hamil. Kasihan!” Dion secara beruntun, memberondong Diah dengan berbagai pertanyaan dan permohonan.Diah berbalik, menghadap pada mantan suaminya. Kesal tergambar dari ekspresi wa
“Di, jangan asal ngomong! Kita baru saja rujuk,” sergah Dion.Diah mendengus, memberikan telepon seluler milik Qilla kepada suaminya.Dion menerimanya, kemudian dibaca pesan teks yang membuat istrinya marah besar dan minta pisah.Bilang ke ibumu yang gatel itu. Balikin calon suamiku!Dion terperangah. Kali ini dia merasa Sari sudah sangat keterlaluan. Anaknya ikut diserang juga.Qilla mendorong piringnya menjauh. Matanya sudah berkaca-kaca. Lalu berdiri, tidak ingin lagi meneruskan makanannya.“Lho Dek, belum selesai makannya,” tegur Diah, diliriknya piring si bungsu yang masih ada setengahnya.“Udah kenyang, Bu,” jawab Qilla, kemudian melipir ke kamarnya.Mya hanya mengikuti drama meja makan ini dalam diam. Dia belum begitu faham, apa yang sebenarnya diributkan oleh kedua orang tuanya.“Kenapa, Bu?” tanya Mya. Diah menghela nafasnya. Bingung, bagaimana menerangkan kepada putri sulungnya.“Tante yang kemarin, marahin Adek lewat chatting,” akhirnya Diah bersuara. Ada ekspresi keberatan
“Oke! Kami akan tetap bercerai!” teriak Dion histeris, saat dilihatnya Sari semakin dalam menekan pisau.Dengan teriakan itu, orang-orang bisa lega karena Sari langsung membuang pisaunya. Sungguh, drama queen perempuan ular itu.Sari pun langsung memeluk Dion, wajahnya terlihat cerah. Hilang sudah drama pengancaman tadi.“Sungguh? Kamu akan menceraikan perempuan itu, Mas?” tanya Sari, memastikan kebenaran ucapan laki-laki itu.Dion mengangguk, tubuhnya lemas. Di dalam isi kepalanya, sudah dapat diperkirakan reaksi apa yang diberikan Diah dan anak-anaknya.“Telepon dia sekarang, Mas,” perempuan itu mendesak Dion.“Nanti saja,” tolak laki-laki itu. Dia merasa perlu menghargai perasaan Diah dan anak-anaknya. Beberapa hari ini, mereka harus jungkir balik gara-gara kesalahannya.“Kenapa nggak sekarang?” Sari semakin mendesaknya. Dion menatapnya dengan perasaan marah yang ditahannya.Dion melirik sekitarnya. Semua orang sudah pergi, begitu Sari tidak jadi mencelakai dirinya.“Aku nggak mungk