“Ibu kenapa?” tanya Rika kepada Mya yang sudah berdiri di ruang tamu.
“Pingsan, Tan,” jawab Mya gugup.
Sekilas dilihatnya anak sulung Diah itu tampak menyembunyikan sesuatu. Tetapi diabaikan rasa ingin tahunya biar secepatnya tahu keadaan sahabatnya.
Rika langsung masuk ke dalam rumah bersama Heri, sang suami.
“Di mana Ibu?” tanya Rika tanpa menghentikan jalannya.
“Di dapur,” jawab Mya, sedikit berlari mengikuti langkah para tamu dewasanya yang lebih cepat darinya.
Rika menghentikan langkahnya.
“Di dapur?” dia bertanya, mengulangi lagi perkataan Mya.
Mya ikut berhenti, balas menatap Rika yang bingung dengan ucapannya.
“Bunda pingsan di dapur, Tan,” Mya kemudian memberikan penjelasan.
Begitu mendengar penjelasan Mya lebih lanjut, Rika langsung menarik suaminya ke arah dapur. Langkahnya lebih cepat dan gadis remaja di belakangnya makin sulit mengikuti.
“Di!” seru Rika begitu masuk ke dapur. Dilihatnya sang sahabat yang berbaring di atas kursi bambu. Dia trenyuh melihat posisi tubuh sahabatnya yang sepertinya tidak nyaman.
“Mas, tolong!” seru Rika. Dengan sigap Heri mengangkat tubuh lunglai Diah ala bridal style ke dalam kamarnya.
Di kamar, tubuh Diah dibaringkan di atas ranjangnya.
“Minta Dokter Edy ke sini, Ma,” Heri meminta Rika menghubungi dokter langganan mereka yang juga bisa diminta datang ke rumah.
Rika menganggukkan kepalanya, kemudian menghubungi dokter Edy. Sedangkan Heri segera keluar kamar setelah meminta Mya dan Qilka menjaga ibu mereka.
Diah siuman bersamaan dengan kedatangan dokter Edy.
“Aku kenapa?” bisik Diah setelah menyadari dirinya terbaring di ranjang kamarnya.
“Tadi Ibu pingsan di dapur," beritahu Qilla yang setia duduk di sebelahnya.
“Saya periksa dulu ya, Bu Diah,” Dokter Edy berkata sambil melakukan pemeriksaan.
Dilihatnya kelopak mata bagian dalam, tensi, dan beberapa bagian tubuhnya yang perlu diperiksa. Dokter Edy juga menanyakan kapan terakhir haid, apa yang dirasakan saat ini dan juga nafsu makannya.
“Ibu KB?”
Diah menggelengkan kepalanya. Dion melarangnya KB karena ingin punya anak laki-laki.
“Terakhir berhubungan sama suami kapan, Bu?” Dokter Edy bertanya lagi.
Diah mencoba mengingat-ingat. Mereka sudah jarang melakukan hubungan suami istri, tidak berselera setiap suaminya meminta haknya. Entah mengapa, Diah merasa badannya mudah remuk redam.
“Sepertinya dua minggu yang lalu,” jawab Diah setelah menghitung. Wajahnya memerah. Malu rasanya, sepertinya kehidupan rumah tangganya sudah begitu membosankan.
Dokter Edy tersenyum, kemudian menulis sebuah nota dan diberikan kepada Diah.
“Sebaiknya periksa dulu ke poli kandungan,” sambil menyerahkan nota tersebut, Dokter Edy bicara.
Diah mengerenyitkan keningnya, bingung dengan instruksi Dokter Edy.
“Ini maksudnya gimana, Dok?”
Dokter Edy tersenyum.
“Saya memperkirakan Ibu hamil. Makanya sarannya, sebaiknya periksa ke poli kandungan,” jawab Dokter Edy panjang lebar.
Diah ternganga, dia jelas merasa kaget dan kebingungan.
Hamil? Diah meringis, mengingat tadi pag suaminya baru saja memberikan talaknya.
Lalu sekarang bagaimana? Bahkan ada yang mengaku sebagai selingkuhannya.
Diah tercenung, pikirannya terasa penuh dan hampir meledak. Sampai-sampai ketika Dokter Edy pamit tidak digubrisnya.
Rika masuk kamar dan melihat jika sang sahabat masih duduk melamun.
Dimintanya Heri mengajak anak-anak Diah keluar, agar mereka berdua leluasa berbicara.
“Kenapa?” tanya Rika seraya mengusap lengan Diah.
Sahabatnya itu masih belum mampu bicara. Tetapi diserahkan nota rujukan untuk periksa ke Bagian kandungan.
Rika melihat nota tersebut secara bergantian dengan wajah sahabatnya.
“Kamu hamil?” senyum Rika semakin merekah. Dia sendiri sudah delapan tahun menikah dengan Heri. Tetapi belum dikaruniai seorang anak.
Jelas dirinya turut berbahagia mendengar berita kemungkinan sahabatnya hamil.
Diah menghela nafasnya. Hatinya bimbang untuk meneruskan kehamilannya ini.
“Aku-,” Diah bingung untuk meneruskan perkataannya.
“Kenapa?” tanya Rika yang bingung dengan tatapan kosong dari Diah.
“Mas Dion baru saja menalakku,” perlahan Diah menceritakan keadaannya kepada sahabatnya itu.
Rika melotot, menatapnya seolah sedang memandang hantu yang sedang bicara.
“Dia sudah membawa semua barangnya, pergi dari rumah ini,” lanjutnya bercerita, ditahannya air mata yang sudah ingin keluar. Rika langsung pindah duduk di sebelah Diah. Dipeluknya sang sahabat. Mencoba memberikan kekuatan kepada perempuan yang semakin hari semakin hilang sinarnya.
“Dan tadi-,” Diah menghembuskan nafasnya berkali-kali sebelum melanjutkan perkataannya, “tadi salah satu pegawainya menelpon, mereka ber-berse-ling-kuh,” tersendat-sendat dirinya menyelesaikan ceritanya.
Rika makin mengeratkan pelukannya.
“Hoax mungkin,” Rika mencoba menghibur sahabatnya.
Diah menggelengkan kepalanya. Dirinya pun ingin menolak fakta tersebut. Tetapi ada bukti yang dia terima.
“Perempuan itu mengirimkan bukti foto dan video perselingkuhan mereka,” sangkal Diah. Dadanya sudah sesak mengingat itu semua.
“Ya Tuhan! Diah, yang sabar ya,” hanya kata-kata itu yang keluar dari bibirnya untuk menghibur sang sahabat.
Diah sendiri tidak tahu harus bagaimana menanggapinya. Kali ini isakannya semakin terdengar ke penjuru rumah.
“Ak-aku tidak siap kalau hamil lagi,” lirih Diah menyatakan kegundahannya.
Rika terus memeluknya, mencoba memberi kekuatan.
“Kita periksa saja dulu, baru setelah itu dipikirkan langkah selanjutnya,” kata Rika memberikan saran.
Diah hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Untuk saat ini hanya Rika dan Heri yang bisa diharapkan dapat membantu.
Sementara di kantornya, Dion baru saja selesai dengan kegiatan yang seharusnya dilakukannya bersama istri sahnya, tetapi ini dilakukan bersama perempuan lain.
Pakaian Dion dan Sari masih berantakan. Keduanya masih dalam posisi saling berpelukan.
Laki-laki itu teringat tadi ada panggilan telepon yang ditolak oleh kekasihnya itu. Dirinya pun melepaskan pelukan mereka.
Sari terpaksa menggeser tubuhnya terpisah dari Dion. Sedangkan laki-laki itu meraih teleponnya untuk memeriksa panggilan masuk tadi.
Dengan wajah cemberut diperhatikannya Dion yang sibuk dengan telepon selularnya.
“Ah, kenapa panggilan telepon dari Mya kamu tolak,” suara Dion terdengar geram saat tahu tadi siapa yang memanggilnya.
Sari semakin cemberut mendengar Dion menegurnya. Tanpa melihat reaksi perempuan simpanannya itu, Dion segera melakukan panggilan kepada sang putri.
Begitu panggilannya terjawab, segera disapanya sang putri.
“Kakak kenapa telepon Ayah, Nak? Ada yang penting?” tanya Dion kepada putrinya dengan suara melembut.
Terdengar desahan kesal dari Mya.
"Tadi Ibu pingsan, Yah."
Dion mengerutkan keningnya. Ketika dia pergi keadaan Diah terlihat baik-baik saja.
“Sekarang keadaan Ibu gimana? Ini kamu di mana? Kog berisik sekali?” Dion memberondong putri sulungnya dengan banyak pertanyaan. Sedangkan Sari semakin sebal karena kekasihnya menyebutkan Diah di pertengahan panggilan telepon dengan sang putri.
"Ibu sudah siuman dan diperiksa dokter. Aku sama adik lagi di Game Center bareng Om Heri."
Mendengar nama Heri, Dion seperti tersentil hatinya. Harusnya dia yang menemani kedua putrinya bermain, bukan orang lain.
"Sudah ya Yah! Sudah dipanggil Om Heri!"
Lalu tanpa menunggu jawaban ayahnya, gadis remaja itu pun mematikan panggilan. Dion hanya mendengus, tapi tidak mungkin bisa marah dengan anak sulungnya.
“Kenapa, Mas? Bu Diah baik-baik saja, kan?” tanya Sari ingin tahu.
Dion menghela nafasnya panjang sebelum menjawab pertanyaan sang selingkuhan.
“Aku pulang dulu, mau lihat keadaannya,” kata Dion. Bagaimana pun Diah masih tercatat sebagai istrinya. Dia harus memastikan keadaan ibu anak-anaknya.
“Eh, nggak bisa! Nanti sore kita mau periksa kandungan!” tolak Sari dengan suara melengking.
Dion mendesah kesal. Mau tidak mau, saat ini ada yang harus lebih diprioritaskan olehnya dibandingkan yang lain.
Sari, kekasihnya, sedang hamil anaknya.
Setelah dibujuk bahkan sampai diancam oleh Rika, Diah pun mau diantar oleh sahabatnya itu pergi ke dokter kandungan yang dirujuk oleh Dokter Edy.Anak-anak masih betah bermain dengan Heri, sehingga Diah bisa meninggalkan mereka dengan tenang. Keduanya memang dekat dengan suami sahabatnya tersebut selain dengan sang ayah.Di ruang tunggu dokter kandungan, Diah gelisah. Sungguh, dia berharap jika dugaan Dokter Edy itu salah. Dirinya tidak tahu harus bagaimana bersikap jika benar-benar hamil.Suaminya berselingkuh, bahkan sudah menalaknya. Hamil dan melahirkan sendiri mungkin masih mampu dilaluinya. Tetapi bagaimana dengan membesarnya? Selama menikah saja dia sudah pontang-panting mengurusi kedua anaknya. Bagaimana kalau mereka sudah sah bercerai?Perempuan itu tidak mampu lagi untuk berfikir secara benar. Dia merasa buntu. Harapannya hanyalah, perkiraan dari Dokter Edy itu salah.“Ibu Diah Prameswari!” seorang perawat memanggil namanya untuk masuk ke dalam ruang periksa.“Di,” panggil R
Diah langsung melengos setelah melihat Dion dan perempuan itu berdiri di hadapannya. Talak karena nusyuz? Siapa yang selingkuh? Geram Diah dalam hatinya. Rika yang justru maju ke hadapan kedua pengkhianat itu. “Oh, istri lagi hamil diceraikan, jalan sama pelakor? Suami macam sih kamu?” teriak Rika memancing rasa ingin tahu orang sekitar mereka. Dion tersentak, memandang nanar ke arah Diah yang sibuk menarik Rika dari area itu. “Ayo Ka, ambil obat terus pulang,” bisik Diah jengah, orang-orang sudah memperhatikan mereka. Bahkan ada yang merekam lewat telepon seluler. “Nanti dulu, aku belum puas, Di,” tolak Rika. “Nggak usah cari ribut, Ka. Ayo pergi,” bisik Diah, tangannya sibuk menarik-narik sahabatnya. Sejujurnya, dia sudah malas berurusan dengan Dion. “Diah, benar kamu hamil?” Dion bertanya, dia pun berusaha melepaskan lengannya yang dibelit oleh Sari. “Ya! istrimu yang baru kamu talak demi pelakormu itu tadi pagi, sedang hamil empat minggu!” Rika yang menjawab, sedangkan Di
Diah tidak mengindahkan pertanyaan Dion. Dia langsung menarik tangan Rika, meneruskan langkah mereka untuk segera pulang. “Didi, jelaskan apa maksud perkataanmu,” Dion terus mengejar, tidak peduli banyak mata yang memperhatikan mereka. Begitu sampai ke depan lift, Dion meraih kembali lengan Diah. “Jelaskan apa maksudmu,” kejar Dion. “Apanya?” Diah balik bertanya, tidak acuh. “Kamu tadi bilang siapa yang mau hamil,” Dion mengingatkan kembali. Diah nyegir begitu mengingatnya. “Aku nggak mau hamil, puas?” Diah berkata, dan itu membuat Dion menatapnya waspada. “Kamu sekarang lagi hamil,” sergah Dion. Diah mengangkat bahunya. Acuh tak acuh menjawabnya. “Ya, tinggal digugurin. Repot amat,” dengan santai Diah menjawabnya. Rika memilih diam, walau hatinya teriris mendengarnya. Sedangkan Dion terkejut dengan jawaban yang keluar dari lisan istrinya itu. “Kamu tidak bisa menggugurkannya, aku tidak mengijinkanmu!” seru Dion marah. Diah berdecak mendengar kemarahan laki-laki berkulit
“Kamu yakin?” tanya Rika memastikan ucapan sahabatnya itu.Diah menganggukkan kepalanya. Kali ini dia sudah yakin memutuskan. Setidaknya, anak dalam kandungannya akan punya masa depan yang baik.“Aku yakin anak ini akan baik-baik saja jika bersama kalian,” Diah berkata, mengelus perutnya lembut.“Oke, nanti aku rundingkan dulu dengan suamiku,” Putus Rika.Meski dia sangat yakin bahwa suaminya akan setuju, tetapi tidak boleh asal bicara sebelum ada perundingan antara dirinya dan suaminya.“Pulang yuk, sudah malam,” ajak Rika seraya menutup pintu mobilnya. Diah mengikuti yang dikerjakan oleh sahabatnya.Makanan mereka sudah dibayar saat memesan. Di beberapa warung gudeg, cara itu sudah biasa dilakukan.Jadi Rika tinggal menjalankan mobilnya, membelah jalanan kota yang dikenal sebagai pusat budaya Jawa.“Ka, sementara ini jangan bilang ke anak-anak tentang kehamilanku ya,” pinta Diah.Rika hanya menganggukkan kepalanya, mengikuti apa pun keinginan sang sahabat.Sementara malam semakin lar
Sementara di ruang tamu, Mya heboh menyambut ayahnya. Berbeda dengan Qilla yang bersikap biasa saja.Gadis remaja itu langsung memeluk ayahnya. Raut wajahnya tampak bahagia.“Ayah pulang? Nggak pergi lagi, kan?” tanyanya beruntun. Dion terkekeh mendengar antusiasnya anak sulungnya tersebut.“Nggak, Ayah pulang dan nggak pergi lagi,” jawab Dion dengan keyakinan yang kuat.Bagaimana kalau Sari marah? Dion tidak peduli, perempuan itu harus menerima pengaturan darinya atau mereka tidak jadi menikah.“Ibu mana, Kak?” tanya Dion pada Mya. Diliriknya Qilla yang masih sibuk membersihkan sofa ruang tamu. Anak bungsunya itu terus bekerja tanpa memperdulikan kehadiran sang ayah.Dion menghela nafasnya. Dia tahu seperti apa hati anaknya yang bungsu itu. Kalau kecewa, susah untuk menerima kembali.Untuk sementara dia memilih untuk mengabaikan dulu. Yang terpenting adalah bertemu istrinya terlebih dahulu."Di kamar, Yah. Masih sakit," jawab Mya, menginga
Dion menghela nafas panjang. Jelas dia dalam posisi sulit.“Aku tidak mungkin menceraikan kamu, Didi,” kata Dion, mencoba memberi pengertian kepada istrinya.“Karena aku hamil, kan?” Diah memberikan penegasan.“Aku harus bertanggung jawab kepada kalian,” Dion terus berkilah. Diah sampai kesal melihatnya.“Memang kalau aku nggak hamil, kamu tidak akan bertanggung jawab dengan Mya dan Qilla?” skakmat! Dion terdiam mendengar pertanyaan Diah.Diah ternganga melihat respon yang diberikan Dion atas pertanyaannya.“Kamu? Setega itu sama anak-anakmu sendiri?” tanya perempuan berusia 35 tahun tersebut.“Bukan seperti itu, Di!” Dion gelagapan mencoba menjelaskan.“Lalu seperti apa?” tanya Diah dengan suara yang keras.Dion ingin menjawab, tetapi telepon seluler miliknya berbunyi.Ada nama Sari di layar telepon seluler miliknya.“Angkat saja,” kata Diah sinis, saat dilihatnya Dion kebingungan.Ragu-ragu, Dion akhirnya menjawab panggilan telepon itu.“Halo,” sapa Dion.Nak Dion, maaf mengganggu! I
Diah membawa motor maticnya ke sekolah anak-anak dengan kecepatan penuh.Di dalam hatinya, perempuan manis itu mengomel panjang pendek kepada Dion. Janji yang meleset lagi, membuatnya kesal. Bukan untuk dirinya yang memang sudah tidak berharap, tetapi dilihatnya Mya yang begitu mencintai ayahnya.“Ibu!” teriak Qilla, begitu melihat ibunya masuk ke halaman sekolah. Dia berlari menghampirinya.Mya terlihat lesu di atas bangku taman. Pasti kecewa sekali dengan sikap ayahnya yang belum hadir di sekolahnya.Diah memeluk Qilla seraya menghampiri putri sulungnya.“Pulang, yuk,” ajak Diah kepada si sulung. Mya mengangguk dengan wajah murung. Kemudian berjalan gontai ke arah motor ibunya.Diah menghela nafas, benar-benar kesal dengan kelakuan Dion. Laki-laki itu kembali mematahkan hati sulungnya.“Yuk, kita pulang,” Diah pun membawa putri bungsunya ke motornya.Baru saja melangkah, mobil milik mantan suaminya itu masuk ke halaman sekolah. Dion asal memarkirnya, kemudian keluar.Wajah Mya langsu
Dion mengambil telepon seluler milik Diah. Dibacanya pesan masuk yang diperlihatkan oleh mantan istrinya tersebut.Dia hafal betul, itu nomer kontak ibunya Sari.Sudah ditalak, jangan mengemis cinta sama Mas Dion! Dasar gatel!Wajah Dion merah padam membacanya. Hatinya tetap tidak bisa menerima Diah dimaki-maki oleh Sari.Diah meminta telepon selularnya. Ragu-ragu, diberikan alat komunikasi itu kepada perempuan manis itu.Mantan istrinya itu seperti memanggil seseorang. Dion langsung bersikap waspada.“Kamu mau menghubungi siapa, Di?” tanyanya gugup.Diah tidak menjawab, sambil tetap menempelkan telepon itu pada telinganya, dia menjauhi mantan suaminya.Dion mengikuti langkah Diah yang menuju ke teras belakang. Telepon seluler masih ditempelkan pada telinga.“Di, Kamu menghubungi siapa? Sari? Jangan, dia lagi hamil. Kasihan!” Dion secara beruntun, memberondong Diah dengan berbagai pertanyaan dan permohonan.Diah berbalik, menghadap pada mantan suaminya. Kesal tergambar dari ekspresi wa