Share

Rumit

Author: cutiebearmum
last update Last Updated: 2025-10-15 05:52:30

Keesokan paginya, mentari pagi menyelinap masuk melalui celah-celah tirai, menerangi ruangan dengan cahaya keemasan yang lembut. Cleora menggeliat pelan di atas tempat tidur, merasakan kehangatan yang nyaman menyelimutinya.

Ia membuka matanya perlahan, dan pemandangan pertama yang menyambutnya adalah wajah pria semalam yang tertidur lelap di sampingnya. Rambutnya yang hitam berantakan menutupi sebagian dahinya, namun rahangnya yang tegas tetap terlihat jelas.

Cleora tersenyum kecil, mengingat kejadian semalam. Ia tidak pernah menyangka akan menghabiskan malam dengan pria asing, apalagi dengan cara yang begitu intim. Namun, ia tidak menyesalinya.

Pria ini membuatnya merasa diinginkan, dicintai, dan hidup. Ia membuatnya merasa seperti wanita seutuhnya.

Tanpa sadar, tangannya terulur untuk menyentuh wajahnya. Ia membelai pipinya dengan lembut, merasakan tekstur kulitnya yang halus.

“Sangat tampan.”

Pria itu menggeliat pelan, lalu membuka matanya. Ia menatap Cleora dengan tatapan yang sama intensnya seperti malam sebelumnya, namun tanpa senyum.

“A-ah, maafkan aku,” ucap Cleo, menjauhkan tangannya dari wajah pria tampan tersebut.

Pria itu bangkit dari tempat tidur tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia berjalan menuju jendela dan membuka tirai, membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam ruangan. Kemudian, ia mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai dan mulai mengenakannya.

Cleora menatapnya dengan bingung. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Ia mengharapkan sapaan selamat pagi, atau setidaknya sebuah senyuman. Namun, pria itu tampak acuh tak acuh.

“Ck, menyebalkan,” gerutunya.

Setelah selesai berpakaian, pria itu berbalik menghadap Cleora. Tatapannya dingin dan tanpa ekspresi.

Pria itu berjalan ke arah meja dan mengambil kunci mobilnya. Ia lalu berbalik dan berjalan menuju pintu, tanpa melihat ke arah Cleora.

"Tunggu!" seru Cleora, merasa kecewa.

"Kau mau ke mana?"

Pria itu berhenti di ambang pintu, namun tidak berbalik.

"Aku harus pergi," jawabnya singkat.

"Apa... apa kita akan bertemu lagi?" tanya Cleora, ragu-ragu.

Pria itu terdiam sejenak, lalu menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu," jawabnya.

"Mungkin saja."

Cleora merasa hatinya mencelos, ia tidak menyangka pria itu akan bersikap seperti ini. Ia merasa seperti hanya menjadi pelampiasan nafsu semalam.

Pria itu membuka pintu dan melangkah keluar. Sebelum pintu tertutup sepenuhnya, ia berbalik dan menatap Cleora sekali lagi.

"Terima kasih," ucapnya pelan, lalu menutup pintu.

Cleora terdiam di atas tempat tidur, merasa bingung dan kecewa. Ia tidak tahu apa yang harus dipikirkannya.

“AAAARRGGHH, DASAR MENYEBALKANN!!!”

Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Ia bercermin, menatap wajahnya yang tampak lebih segar dan berseri-seri.

Namun, kali ini, ia tidak tersenyum. Ia merasa kosong dan hampa.

“Kenapa aku merasa tidak ingin jauh darinya?” cicitnya kecil, sambil berjalan menuju kamar mandi.

Setelah mandi dan berpakaian, Cleora keluar dari kamar. Ia berjalan menuju pintu dan membukanya, siap untuk menghadapi hari yang baru.

Namun, saat ia melangkah keluar, ia terkejut melihat Anne berdiri di depan pintu dengan wajah yang tampak khawatir.

"Cleo! Ya Tuhan, kau baik-baik saja?!" seru Anne, langsung memeluk Cleora erat.

"Aku baik-baik saja," jawab Cleora, bingung. "Ada apa dan sejak kapan kau berada di sini?"

"Aku mencarimu semalaman, aku baru saja diminta menunggumu di depan ruangan ini oleh staf club semalam!" kata Anne, melepaskan pelukan. "Aku sangat khawatir!"

"Aku minta maaf," kata Cleora, merasa bersalah. "Aku tidak bermaksud membuatmu khawatir."

"Apa yang terjadi semalam?" tanya Anne, menatap Cleora dengan tatapan menyelidik. "Ke mana kau pergi?"

Cleora terdiam sejenak, berpikir bagaimana cara menjelaskan semuanya pada Anne. Ia tahu bahwa sahabatnya itu akan marah dan kecewa padanya.

"Aku..." Cleora memulai, namun kemudian ia terdiam.

Bagaimana ia bisa menjelaskan apa yang terjadi semalam? Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa ia telah jatuh cinta pada pria asing yang bahkan tidak ia kenal namanya?

Anne menatap Cleora dengan tatapan penuh tanya. "Apa yang terjadi semalam?"

Cleora menghela napas, lalu menceritakan semua yang terjadi semalam pada Anne. Ia menceritakan tentang pertemuannya dengan pria itu, tentang ciuman mereka, tentang malam yang mereka habiskan bersama.

Anne mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela. Setelah Cleora selesai bercerita, Anne terdiam sejenak.

"Cleo, kau gila!" seru Anne akhirnya, menggelengkan kepalanya. "Apa yang kau pikirkan?!"

"Aku tahu, aku tahu," kata Cleora, merasa bersalah. "Aku tidak tahu apa yang merasukiku."

"Kau menyerahkan keperawananmu pada orang asing!" kata Anne, suaranya meninggi. "Apa kau sadar apa yang sudah kau lakukan?!"

"Aku tahu," jawab Cleora, menunduk. "Aku bodoh."

"Bodoh?! Kau tidak hanya bodoh, Cleo! Kau gila! Keluargamu akan membunuhku jika mereka tahu!" Anne berjalan mondar-mandir dengan frustrasi.

"Mereka akan menyalahkanku karena tidak menjagamu dengan baik!"

"Anne, tenanglah," kata Cleora, mencoba menenangkan sahabatnya.

"Tenang?! Bagaimana aku bisa tenang, Cleo?! Kau baru saja membuat masalah besar!" Anne berhenti dan menatap Cleora dengan tatapan putus asa.

"Apa yang akan kita lakukan sekarang?"

"Aku tidak tahu," jawab Cleora, jujur. "Aku benar-benar tidak tahu."

Anne menghela napas, lalu memeluk Cleora erat. "Aku hanya ingin kau berhati-hati," bisiknya. "Aku tidak ingin kau terluka."

"Aku tahu," jawab Cleora.

"Terima kasih."

Setelah melepaskan pelukan, Anne menatap Cleora dengan tatapan penuh tekad. Ia tahu bahwa Cleora telah membuat pilihan, dan ia harus menghormati pilihannya.

Namun, ia tetap khawatir. Ia tahu bahwa pria itu berbahaya, dan ia tidak ingin Cleora terluka.

"Aku akan selalu ada untukmu," kata Anne.

"Apa pun yang terjadi."

Cleora tersenyum, lalu memeluk Anne erat. "Aku tahu," bisiknya. "Aku tahu."

Sementara itu, Dominic kembali ke mansionnya. Mobilnya berhenti di depan pintu utama, dan ia keluar dengan langkah lebar.

Saat memasuki pintu utama, matanya langsung menoleh ke arah pintu samping yang menuju taman belakang. Di sana, di atas sebuah kursi gantung, Alice, adiknya, sedang duduk meringkuk.

Wajahnya pucat pasi, tubuhnya sangat kurus, hanya dibalut kulit dan tulang, persis seperti mayat hidup. Rambutnya yang dulu indah dan berkilau kini kusam dan berantakan.

Dominic menghela napas panjang, hatinya mencelos melihat kondisi adiknya. Ia tahu bahwa kejadian tiga tahun lalu telah menghancurkan Alice, baik secara fisik maupun mental.

Ia berjalan menuju sofa di ruang tamu dan mengambil selimut tebal berwarna abu-abu. Kemudian, ia berjalan menuju Alice dengan langkah pelan.

"Alice," panggil Dominic lembut, berjongkok di hadapan adiknya.

Alice tidak bergeming, matanya kosong, menatap lurus ke depan tanpa melihat apa pun. Ia bahkan tidak tersentak mendengar suara Dominic.

Dominic menghela napas lagi, lalu menyelimuti tubuh Alice dengan selimut. Ia melakukannya dengan hati-hati, berusaha tidak menyentuh kulit adiknya yang rapuh.

"Dingin," gumam Dominic pelan, lebih pada dirinya sendiri.

Alice tetap tidak bereaksi. Ia hanya mematung di atas kursi gantung, tidak berbicara, tidak bergerak.

Dominic menatap wajah adiknya dengan tatapan sedih. Ia merasa bersalah karena tidak bisa melindungi Alice dari Nicholas Addison. Ia merasa bersalah karena tidak bisa mengembalikan senyum adiknya.

"Aku akan menemukannya, Alice," bisik Dominic, menggenggam tangan adiknya yang dingin. "Aku janji, aku akan membuat Nicholas membayar semua yang telah ia lakukan padamu."

Alice tetap diam.

Dominic menghela napas, lalu berdiri dan berjalan kembali ke dalam mansion. Ia tahu bahwa kata-katanya tidak akan sampai pada Alice. Ia tahu bahwa adiknya telah menutup diri dari dunia luar.

Namun, ia tidak akan menyerah. Ia akan terus berusaha untuk menyembuhkan luka Alice, meskipun itu membutuhkan waktu seumur hidup.

Sebelum berbalik sepenuhnya, Dominic menatap Alice sekali lagi.

"Aku pergi sebentar," ucapnya lirih, berharap adiknya mendengar. "Jangan pergi ke mana-mana."

Dominic berbalik dan melangkah masuk, meninggalkan Alice yang tetap meringkuk di atas kursi gantung, terbungkus selimut dan kesunyian.

Mobil sport Cleora melaju membelah jalanan kota yang mulai ramai. Anne yang duduk di kursi pengemudi tampak tegang, sementara Cleora di kursi penumpang terlihat santai sambil memainkan ponselnya.

"Jadi..." Anne memulai, berusaha terdengar tenang. "Kau benar-benar tidak tahu siapa namanya?"

Cleora mengangkat bahu, matanya tetap fokus pada layar ponsel. "Tidak," jawabnya singkat.

"Dan kau... kau menyerahkan keperawananmu padanya?" Anne bertanya, nadanya sedikit bergetar.

Cleora mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel. "Ya."

Anne menghela napas panjang. "Cleo, aku tidak mengerti. Kenapa kau melakukan ini?"

"Aku tidak tahu," jawab Cleora, akhirnya mendongak. "Aku hanya... merasa tertarik padanya."

"Tertarik?" Anne membelalakkan matanya.

"Tertarik saja tidak cukup, Cleo! Kau tidak bisa menyerahkan dirimu pada orang yang bahkan tidak kau kenal!"

"Aku tahu," kata Cleora, menghela napas. "Aku sudah bilang, aku bodoh."

"Bodoh itu kurang tepat, Cleo. Ini lebih dari bodoh. Ini gegabah, impulsif, dan sangat berbahaya!" Anne mencengkeram kemudi erat-erat. "Apa kau tahu apa yang bisa terjadi padamu?"

"Aku tahu," jawab Cleora, kembali menunduk dan memainkan ponselnya. "Tapi aku tidak menyesalinya."

"Tidak menyesalinya?!" Anne hampir berteriak. "Cleo, kau baru saja melakukan sesuatu yang bisa mengubah hidupmu selamanya! Bagaimana bisa kau tidak menyesalinya?"

"Karena aku merasa bahagia," jawab Cleora, tersenyum kecil. "Aku merasa seperti menjadi diriku sendiri."

Anne terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Cleora. Ia tahu bahwa sahabatnya itu selalu merasa terkekang oleh aturan dan ekspektasi keluarganya. Mungkin, dengan melakukan hal ini, Cleora merasa telah membebaskan diri.

"Apa dia tampan?" Anne bertanya, tiba-tiba.

Cleora tertawa kecil. "Sangat tampan," jawabnya. "Kau akan langsung jatuh cinta padanya."

"Jangan bercanda," kata Anne, memutar bola matanya. "Apa dia kaya?"

"Aku tidak tahu," jawab Cleora. "Tapi sepertinya iya."

"Sepertinya?" Anne mengangkat alisnya. "Cleo, kau tidur dengan pria yang bahkan tidak kau tahu latar belakangnya? Apa kau tidak takut dia hanya mengincar hartamu?"

"Aku tidak peduli," jawab Cleora, mengangkat bahu. "Aku punya banyak uang."

"Cleo!" Anne menegur. "Uang bukan segalanya! Kau tidak bisa membeli kebahagiaan!"

"Aku tahu," jawab Cleora. "Tapi uang bisa membuat hidup lebih mudah."

Anne menghela napas panjang, merasa lelah berdebat dengan Cleora. Ia tahu bahwa sahabatnya itu keras kepala dan sulit diatur.

"Apa dia mencintaimu?" Anne bertanya, pelan.

Cleora terdiam sejenak, lalu menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu," jawabnya. "Mungkin tidak."

"Mungkin tidak?" Anne mengulangi, terkejut. "Cleo, apa kau tidak merasa dimanfaatkan?"

"Tidak," jawab Cleora. "Aku juga menginginkannya."

Anne menatap Cleora dengan tatapan tidak percaya. Ia tidak pernah melihat sahabatnya itu begitu terbuka dan jujur sebelumnya.

“Baiklah, terserah kau saja. Sepertinya kali ini kau memang sudah mulai gila,” ucap Anne yang hanya dibalas kekehan oleh Cleo.

Mobil terus melaju, membelah jalanan kota yang semakin ramai. Anne dan Cleora terdiam, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri.

Anne masih merasa khawatir dan cemas, namun ia juga merasa lega karena Cleora baik-baik saja. Ia tahu bahwa sahabatnya itu kuat dan mampu menghadapi apa pun yang akan terjadi.

Cleora, di sisi lain, merasa bahagia dan bersemangat. Ia tahu bahwa hidupnya telah berubah, dan ia tidak sabar untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Enmity: Musuhku Ayah Bayiku   Mencari Informasi

    Mobil sport Cleora berhenti di depan gerbang mansion mewah keluarga Addison. Cleora keluar dari mobil dengan santai, senyum cerah menghiasi wajahnya. Ia tampak seperti tidak terjadi apa-apa semalam.Anne keluar dari mobil setelahnya, membawakan tas dan barang-barang Cleora. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah sahabatnya yang seolah tanpa beban."Kau ini benar-benar tidak bisa dipercaya," gumam Anne, mengikuti Cleora masuk ke dalam mansion.“Welcome home!!!!” teriaknya ceria"Bibi Marry" panggil Anne, melihat kepala pelayan senior itu berjalan menghampiri mereka."Selamat pagi, Nona Cleora, Nona Anne," sapa Bibi Marry dengan sopan.“Pagi bibi marry ku sayang” jawab Cleo sambil melengos menuju lift meninggalkan mereka"Bibi, tolong siapkan sarapan untuk Cleo di kamarnya ya," pinta Anne. "Dan tolong minta pelayan siapkan air hangat untuk Cleo mandi juga.""Baik, Nona," jawab Bibi Marry, mengangguk."Apakah Tuan Aaron dan Nyonya Victoria sudah berangkat, Bi?" tanya Anne."Su

  • Enmity: Musuhku Ayah Bayiku   Rumit

    Keesokan paginya, mentari pagi menyelinap masuk melalui celah-celah tirai, menerangi ruangan dengan cahaya keemasan yang lembut. Cleora menggeliat pelan di atas tempat tidur, merasakan kehangatan yang nyaman menyelimutinya.Ia membuka matanya perlahan, dan pemandangan pertama yang menyambutnya adalah wajah pria semalam yang tertidur lelap di sampingnya. Rambutnya yang hitam berantakan menutupi sebagian dahinya, namun rahangnya yang tegas tetap terlihat jelas.Cleora tersenyum kecil, mengingat kejadian semalam. Ia tidak pernah menyangka akan menghabiskan malam dengan pria asing, apalagi dengan cara yang begitu intim. Namun, ia tidak menyesalinya.Pria ini membuatnya merasa diinginkan, dicintai, dan hidup. Ia membuatnya merasa seperti wanita seutuhnya.Tanpa sadar, tangannya terulur untuk menyentuh wajahnya. Ia membelai pipinya dengan lembut, merasakan tekstur kulitnya yang halus.“Sangat tampan.”Pria itu menggeliat pelan, lalu membuka matanya. Ia menatap Cleora dengan tatapan yang sam

  • Enmity: Musuhku Ayah Bayiku   Dominic dan Cleora

    “Dominic menatap gadis itu lama, ada sesuatu yang aneh dalam dirinya malam ini, entah karena alkohol atau karena instingnya sebagai laki-laki, malam ini seperti ada rasa penasaran yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.Selama ini, wanita-wanita yang ditemui atas perintah ibunya selalu sama seperti tipikal gadis pada umumnya: cantik, sopan, dan berusaha menyenangkan di hadapannya.Namun, gadis di depannya berbeda.Matanya berani, tajam, bahkan dalam keadaan mabuk sekalipun, ia tetap memancarkan aura yang berbeda.Dominic menyandarkan satu tangan di meja di sampingnya dan sedikit mencondongkan tubuh ke arah Cleo.“Siapa namamu?” tanyanya perlahan, suaranya benar-benar membuat Cleo merinding.Cleo menatapnya dengan senyum kecil yang sulit diartikan, “Untuk apa? Lagipula kau akan lupa besok pagi.”Jawaban itu membuat Dominic mengerutkan kening tipis, tapi di sudut bibirnya muncul bayangan senyum yang tak bisa ia tahan.Jarang sekali ada yang berani bicara seperti itu padanya.Cleo mengang

  • Enmity: Musuhku Ayah Bayiku   Club Malam

    “Arrghhhh, semua orang sangat gila! Mereka semua gila, Anne,” gumam gadis berambut cokelat yang tergerai indah.“Aku tidak bisa mendengarmu, Cleo! Berhentilah, ini sudah terlalu banyak!” teriak gadis dengan rambut sebahu di hadapannya.“Ck, kau sangat membosankan,” protesnya.“Cleo, sebaiknya kita kembali saja,” pinta Anne, sahabat sekaligus asisten pribadi Cleora Daniella Addison.Keduanya kini tengah berada di sebuah klub malam. Inilah dunia Cleo. Sebagai anak tunggal dari Aaron Addison dan Victoria Wilson, dia sering kali merasa kesepian.‘Kau sudah mendengarnya? Tuan muda Vesper akan kemari malam ini!’‘Benarkah? Bagaimana penampilanku?’Sayup-sayup terdengar suara para gadis di belakang mejanya yang menyebut marga seseorang, membuat Cleora berdecak.“Tidak di rumah, tidak di sini, nama keluarga itu selalu disebutkan,” gerutunya sebal sambil memejamkan mata.Di lain tempat, Dominic baru saja memasuki ruangan khusus miliknya di klub tersebut. Malam ini ia berencana untuk menghabis

  • Enmity: Musuhku Ayah Bayiku   Rencana Cleora

    Sore itu, mentari mulai meredup, mewarnai langit dengan gradasi jingga dan ungu. Cleora bersenandung riang saat berjalan menuju mobilnya. Pemotretan hari ini berjalan lancar, dan ia merasa puas dengan hasilnya.“Aku benar-benar terlahir untuk menjadi bintang,” gumamnya sambil tersenyum pada dirinya sendiri.Anne, yang berjalan di belakangnya, hanya bisa memutar bola mata malas melihat kelakuan sahabat sekaligus bosnya itu.“Kau ini benar-benar narsis, Cleo,” kata Anne sambil terkekeh.“Tentu saja, Anne,” jawab Cleora sambil mengangkat bahunya.Tiba-tiba, ponsel Cleora berdering. Ia melihat nama ibunya di layar dan segera mengangkatnya.“Halo, Ibu?” sapa Cleora dengan nada ceria.“Sayang, Ibu dan Ayah harus melakukan perjalanan bisnis lagi,” kata Victoria dari seberang sana.Mata Cleora berbinar-binar mendengar berita itu. Ia sudah lama menunggu kesempatan ini.“Oh ya? Ke mana?” tanya Cleora dengan nada pura-pura sedih.“Ke Paris, ada urusan penting yang harus diselesaikan,” jawab Vict

  • Enmity: Musuhku Ayah Bayiku   Cerah dan Suram

    Mentari pagi menyinari Kota dengan lembut, menerobos celah-celah awan dan menyentuh lahan luas yang menjadi saksi bisu kejayaan keluarga Addison.Di tengah hamparan hijau yang terawat sempurna, berdiri tiga bangunan megah yang menjadi simbol kekuasaan dan kemakmuran keluarga Addison.Di tengah-tengah, berdiri mansion utama, kediaman Lewis Addison, sang kepala keluarga, dan istrinya, Amartha. Di sebelah kanan mansion utama, berdiri kediaman Aaron Addison, putra kedua Lewis, bersama istrinya, Victoria, dan putri semata wayang mereka, Cleora. Sementara itu, di sebelah kiri, berdiri mansion Arthur Addison, putra pertama Lewis, bersama istrinya, Diana.Kawasan Addison adalah sebuah wilayah pribadi yang luas. Setiap mansion memiliki gerbang besar sendiri, memastikan privasi. Jarak antar mansion juga cukup jauh.Pagi itu, di kediaman Aaron Addison, aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara.“Nona Cleora, sarapan sudah siap,” suara lembut Bibi Marry terdengar dari balik pintu kamar Cleora.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status