LOGINKeesokan paginya, mentari pagi menyelinap masuk melalui celah-celah tirai, menerangi ruangan dengan cahaya keemasan yang lembut. Cleora menggeliat pelan di atas tempat tidur, merasakan kehangatan yang nyaman menyelimutinya.
Ia membuka matanya perlahan, dan pemandangan pertama yang menyambutnya adalah wajah pria semalam yang tertidur lelap di sampingnya. Rambutnya yang hitam berantakan menutupi sebagian dahinya, namun rahangnya yang tegas tetap terlihat jelas. Cleora tersenyum kecil, mengingat kejadian semalam. Ia tidak pernah menyangka akan menghabiskan malam dengan pria asing, apalagi dengan cara yang begitu intim. Namun, ia tidak menyesalinya. Pria ini membuatnya merasa diinginkan, dicintai, dan hidup. Ia membuatnya merasa seperti wanita seutuhnya. Tanpa sadar, tangannya terulur untuk menyentuh wajahnya. Ia membelai pipinya dengan lembut, merasakan tekstur kulitnya yang halus. “Sangat tampan.” Pria itu menggeliat pelan, lalu membuka matanya. Ia menatap Cleora dengan tatapan yang sama intensnya seperti malam sebelumnya, namun tanpa senyum. “A-ah, maafkan aku,” ucap Cleo, menjauhkan tangannya dari wajah pria tampan tersebut. Pria itu bangkit dari tempat tidur tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia berjalan menuju jendela dan membuka tirai, membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam ruangan. Kemudian, ia mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai dan mulai mengenakannya. Cleora menatapnya dengan bingung. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Ia mengharapkan sapaan selamat pagi, atau setidaknya sebuah senyuman. Namun, pria itu tampak acuh tak acuh. “Ck, menyebalkan,” gerutunya. Setelah selesai berpakaian, pria itu berbalik menghadap Cleora. Tatapannya dingin dan tanpa ekspresi. Pria itu berjalan ke arah meja dan mengambil kunci mobilnya. Ia lalu berbalik dan berjalan menuju pintu, tanpa melihat ke arah Cleora. "Tunggu!" seru Cleora, merasa kecewa. "Kau mau ke mana?" Pria itu berhenti di ambang pintu, namun tidak berbalik. "Aku harus pergi," jawabnya singkat. "Apa... apa kita akan bertemu lagi?" tanya Cleora, ragu-ragu. Pria itu terdiam sejenak, lalu menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu," jawabnya. "Mungkin saja." Cleora merasa hatinya mencelos, ia tidak menyangka pria itu akan bersikap seperti ini. Ia merasa seperti hanya menjadi pelampiasan nafsu semalam. Pria itu membuka pintu dan melangkah keluar. Sebelum pintu tertutup sepenuhnya, ia berbalik dan menatap Cleora sekali lagi. "Terima kasih," ucapnya pelan, lalu menutup pintu. Cleora terdiam di atas tempat tidur, merasa bingung dan kecewa. Ia tidak tahu apa yang harus dipikirkannya. “AAAARRGGHH, DASAR MENYEBALKANN!!!” Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Ia bercermin, menatap wajahnya yang tampak lebih segar dan berseri-seri. Namun, kali ini, ia tidak tersenyum. Ia merasa kosong dan hampa. “Kenapa aku merasa tidak ingin jauh darinya?” cicitnya kecil, sambil berjalan menuju kamar mandi. Setelah mandi dan berpakaian, Cleora keluar dari kamar. Ia berjalan menuju pintu dan membukanya, siap untuk menghadapi hari yang baru. Namun, saat ia melangkah keluar, ia terkejut melihat Anne berdiri di depan pintu dengan wajah yang tampak khawatir. "Cleo! Ya Tuhan, kau baik-baik saja?!" seru Anne, langsung memeluk Cleora erat. "Aku baik-baik saja," jawab Cleora, bingung. "Ada apa dan sejak kapan kau berada di sini?" "Aku mencarimu semalaman, aku baru saja diminta menunggumu di depan ruangan ini oleh staf club semalam!" kata Anne, melepaskan pelukan. "Aku sangat khawatir!" "Aku minta maaf," kata Cleora, merasa bersalah. "Aku tidak bermaksud membuatmu khawatir." "Apa yang terjadi semalam?" tanya Anne, menatap Cleora dengan tatapan menyelidik. "Ke mana kau pergi?" Cleora terdiam sejenak, berpikir bagaimana cara menjelaskan semuanya pada Anne. Ia tahu bahwa sahabatnya itu akan marah dan kecewa padanya. "Aku..." Cleora memulai, namun kemudian ia terdiam. Bagaimana ia bisa menjelaskan apa yang terjadi semalam? Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa ia telah jatuh cinta pada pria asing yang bahkan tidak ia kenal namanya? Anne menatap Cleora dengan tatapan penuh tanya. "Apa yang terjadi semalam?" Cleora menghela napas, lalu menceritakan semua yang terjadi semalam pada Anne. Ia menceritakan tentang pertemuannya dengan pria itu, tentang ciuman mereka, tentang malam yang mereka habiskan bersama. Anne mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela. Setelah Cleora selesai bercerita, Anne terdiam sejenak. "Cleo, kau gila!" seru Anne akhirnya, menggelengkan kepalanya. "Apa yang kau pikirkan?!" "Aku tahu, aku tahu," kata Cleora, merasa bersalah. "Aku tidak tahu apa yang merasukiku." "Kau menyerahkan keperawananmu pada orang asing!" kata Anne, suaranya meninggi. "Apa kau sadar apa yang sudah kau lakukan?!" "Aku tahu," jawab Cleora, menunduk. "Aku bodoh." "Bodoh?! Kau tidak hanya bodoh, Cleo! Kau gila! Keluargamu akan membunuhku jika mereka tahu!" Anne berjalan mondar-mandir dengan frustrasi. "Mereka akan menyalahkanku karena tidak menjagamu dengan baik!" "Anne, tenanglah," kata Cleora, mencoba menenangkan sahabatnya. "Tenang?! Bagaimana aku bisa tenang, Cleo?! Kau baru saja membuat masalah besar!" Anne berhenti dan menatap Cleora dengan tatapan putus asa. "Apa yang akan kita lakukan sekarang?" "Aku tidak tahu," jawab Cleora, jujur. "Aku benar-benar tidak tahu." Anne menghela napas, lalu memeluk Cleora erat. "Aku hanya ingin kau berhati-hati," bisiknya. "Aku tidak ingin kau terluka." "Aku tahu," jawab Cleora. "Terima kasih." Setelah melepaskan pelukan, Anne menatap Cleora dengan tatapan penuh tekad. Ia tahu bahwa Cleora telah membuat pilihan, dan ia harus menghormati pilihannya. Namun, ia tetap khawatir. Ia tahu bahwa pria itu berbahaya, dan ia tidak ingin Cleora terluka. "Aku akan selalu ada untukmu," kata Anne. "Apa pun yang terjadi." Cleora tersenyum, lalu memeluk Anne erat. "Aku tahu," bisiknya. "Aku tahu." Sementara itu, Dominic kembali ke mansionnya. Mobilnya berhenti di depan pintu utama, dan ia keluar dengan langkah lebar. Saat memasuki pintu utama, matanya langsung menoleh ke arah pintu samping yang menuju taman belakang. Di sana, di atas sebuah kursi gantung, Alice, adiknya, sedang duduk meringkuk. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya sangat kurus, hanya dibalut kulit dan tulang, persis seperti mayat hidup. Rambutnya yang dulu indah dan berkilau kini kusam dan berantakan. Dominic menghela napas panjang, hatinya mencelos melihat kondisi adiknya. Ia tahu bahwa kejadian tiga tahun lalu telah menghancurkan Alice, baik secara fisik maupun mental. Ia berjalan menuju sofa di ruang tamu dan mengambil selimut tebal berwarna abu-abu. Kemudian, ia berjalan menuju Alice dengan langkah pelan. "Alice," panggil Dominic lembut, berjongkok di hadapan adiknya. Alice tidak bergeming, matanya kosong, menatap lurus ke depan tanpa melihat apa pun. Ia bahkan tidak tersentak mendengar suara Dominic. Dominic menghela napas lagi, lalu menyelimuti tubuh Alice dengan selimut. Ia melakukannya dengan hati-hati, berusaha tidak menyentuh kulit adiknya yang rapuh. "Dingin," gumam Dominic pelan, lebih pada dirinya sendiri. Alice tetap tidak bereaksi. Ia hanya mematung di atas kursi gantung, tidak berbicara, tidak bergerak. Dominic menatap wajah adiknya dengan tatapan sedih. Ia merasa bersalah karena tidak bisa melindungi Alice dari Nicholas Addison. Ia merasa bersalah karena tidak bisa mengembalikan senyum adiknya. "Aku akan menemukannya, Alice," bisik Dominic, menggenggam tangan adiknya yang dingin. "Aku janji, aku akan membuat Nicholas membayar semua yang telah ia lakukan padamu." Alice tetap diam. Dominic menghela napas, lalu berdiri dan berjalan kembali ke dalam mansion. Ia tahu bahwa kata-katanya tidak akan sampai pada Alice. Ia tahu bahwa adiknya telah menutup diri dari dunia luar. Namun, ia tidak akan menyerah. Ia akan terus berusaha untuk menyembuhkan luka Alice, meskipun itu membutuhkan waktu seumur hidup. Sebelum berbalik sepenuhnya, Dominic menatap Alice sekali lagi. "Aku pergi sebentar," ucapnya lirih, berharap adiknya mendengar. "Jangan pergi ke mana-mana." Dominic berbalik dan melangkah masuk, meninggalkan Alice yang tetap meringkuk di atas kursi gantung, terbungkus selimut dan kesunyian. Mobil sport Cleora melaju membelah jalanan kota yang mulai ramai. Anne yang duduk di kursi pengemudi tampak tegang, sementara Cleora di kursi penumpang terlihat santai sambil memainkan ponselnya. "Jadi..." Anne memulai, berusaha terdengar tenang. "Kau benar-benar tidak tahu siapa namanya?" Cleora mengangkat bahu, matanya tetap fokus pada layar ponsel. "Tidak," jawabnya singkat. "Dan kau... kau menyerahkan keperawananmu padanya?" Anne bertanya, nadanya sedikit bergetar. Cleora mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel. "Ya." Anne menghela napas panjang. "Cleo, aku tidak mengerti. Kenapa kau melakukan ini?" "Aku tidak tahu," jawab Cleora, akhirnya mendongak. "Aku hanya... merasa tertarik padanya." "Tertarik?" Anne membelalakkan matanya. "Tertarik saja tidak cukup, Cleo! Kau tidak bisa menyerahkan dirimu pada orang yang bahkan tidak kau kenal!" "Aku tahu," kata Cleora, menghela napas. "Aku sudah bilang, aku bodoh." "Bodoh itu kurang tepat, Cleo. Ini lebih dari bodoh. Ini gegabah, impulsif, dan sangat berbahaya!" Anne mencengkeram kemudi erat-erat. "Apa kau tahu apa yang bisa terjadi padamu?" "Aku tahu," jawab Cleora, kembali menunduk dan memainkan ponselnya. "Tapi aku tidak menyesalinya." "Tidak menyesalinya?!" Anne hampir berteriak. "Cleo, kau baru saja melakukan sesuatu yang bisa mengubah hidupmu selamanya! Bagaimana bisa kau tidak menyesalinya?" "Karena aku merasa bahagia," jawab Cleora, tersenyum kecil. "Aku merasa seperti menjadi diriku sendiri." Anne terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Cleora. Ia tahu bahwa sahabatnya itu selalu merasa terkekang oleh aturan dan ekspektasi keluarganya. Mungkin, dengan melakukan hal ini, Cleora merasa telah membebaskan diri. "Apa dia tampan?" Anne bertanya, tiba-tiba. Cleora tertawa kecil. "Sangat tampan," jawabnya. "Kau akan langsung jatuh cinta padanya." "Jangan bercanda," kata Anne, memutar bola matanya. "Apa dia kaya?" "Aku tidak tahu," jawab Cleora. "Tapi sepertinya iya." "Sepertinya?" Anne mengangkat alisnya. "Cleo, kau tidur dengan pria yang bahkan tidak kau tahu latar belakangnya? Apa kau tidak takut dia hanya mengincar hartamu?" "Aku tidak peduli," jawab Cleora, mengangkat bahu. "Aku punya banyak uang." "Cleo!" Anne menegur. "Uang bukan segalanya! Kau tidak bisa membeli kebahagiaan!" "Aku tahu," jawab Cleora. "Tapi uang bisa membuat hidup lebih mudah." Anne menghela napas panjang, merasa lelah berdebat dengan Cleora. Ia tahu bahwa sahabatnya itu keras kepala dan sulit diatur. "Apa dia mencintaimu?" Anne bertanya, pelan. Cleora terdiam sejenak, lalu menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu," jawabnya. "Mungkin tidak." "Mungkin tidak?" Anne mengulangi, terkejut. "Cleo, apa kau tidak merasa dimanfaatkan?" "Tidak," jawab Cleora. "Aku juga menginginkannya." Anne menatap Cleora dengan tatapan tidak percaya. Ia tidak pernah melihat sahabatnya itu begitu terbuka dan jujur sebelumnya. “Baiklah, terserah kau saja. Sepertinya kali ini kau memang sudah mulai gila,” ucap Anne yang hanya dibalas kekehan oleh Cleo. Mobil terus melaju, membelah jalanan kota yang semakin ramai. Anne dan Cleora terdiam, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Anne masih merasa khawatir dan cemas, namun ia juga merasa lega karena Cleora baik-baik saja. Ia tahu bahwa sahabatnya itu kuat dan mampu menghadapi apa pun yang akan terjadi. Cleora, di sisi lain, merasa bahagia dan bersemangat. Ia tahu bahwa hidupnya telah berubah, dan ia tidak sabar untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.Cleora meringkuk di ranjangnya, tubuhnya bergetar hebat. Air mata sudah mengering di pipinya, namun hatinya masih terasa sakit dan ketakutan. Anne duduk di sampingnya, menghela napas panjang. Ia sudah mencoba berbagai cara untuk menenangkan Cleora, namun tidak ada yang berhasil."Sampai kapan kau akan seperti ini, Cleo?" tanya Anne, dengan nada lelah. "Kau tidak bisa terus-terusan menyalahkan dirimu sendiri."Cleora tidak menjawab. Ia hanya menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Pikirannya melayang, mengingat kembali saat-saat bersamanya dengan Dominic."Padahal... dia tipeku sekali," gumam Cleora, dengan nada melamun.Anne mengusap wajahnya dengan frustrasi. Ia tidak habis pikir dengan sahabat sekaligus nonanya itu. Di saat seperti ini, Cleora masih saja memikirkan hal-hal yang tidak penting."Kau pikir nona muda sepertimu akan mudah mencari cinta sesuai yang kau inginkan?" kata Anne, dengan nada kesal. "Kau punya segalanya, Cleo. Kau cantik, kaya, pintar. Tapi kau selalu saja
Dominic menutup telepon dengan kasar. Wajahnya mengeras, rahangnya mengeras. Ia berbalik, menatap Cleo yang masih berbaring di ranjang, terbalut selimut dan mengenakan kemejanya.“Sial!” Makinya.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Dominic bergegas berpakaian. Ia mengenakan setelan jasnya dengan gerakan cepat. Ia meraih kunci mobilnya dan bergegas keluar dari kamar, meninggalkan Cleo yang masih terbaring di ranjang.Dominic melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan kota yang sepi. Pikirannya dipenuhi dengan amarah dan kekhawatiran. Ia tahu, keluarga Addison adalah ancaman nyata bagi keluarganya. Dan sekarang, mereka merencanakan sesuatu yang besar.Sementara itu, di penthouse Dominic, Cleo terbangun dari tidurnya. Ia meregangkan tubuhnya, lalu menyadari bahwa ia sendirian di ranjang. Ia mencari-cari Dominic, namun tidak menemukannya di mana pun.Cleo bangkit dari ranjang, mengenakan kemeja kebesaran Dominic yang terasa hangat dan nyaman di tubuhnya. Ia berjalan kelu
Napas Cleo dan Dominic masih tersengal-sengal saat mereka berbaring berdampingan di sofa. Suasana di restroom itu terasa begitu intim dan penuh kehangatan. Keduanya masih berusaha menenangkan diri setelah badai gairah yang baru saja mereka lalui.“Kau lelah?” tanya Dominic.Cleo menatap langit-langit, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia merasa sedikit malu, tetapi juga sangat bahagia. Ia tidak pernah membayangkan akan melakukan hal seperti ini dengan seorang pria yang baru dikenalnya. “Mh sedikit.” Jawabnya.Namun, ia tidak menyesal. Ia merasa bahwa Dominic adalah seseorang yang istimewa, seseorang yang bisa membuatnya merasa nyaman dan aman.Dominic memiringkan tubuhnya, menatap Cleo dengan tatapan lembut. Ia mengulurkan tangannya, mengelus rambut Cleo dengan sayang. "Kau baik-baik saja?" tanyanya, dengan nada khawatir.Cleo mengangguk pelan. "Ya, aku baik-baik saja," jawabnya, sambil tersenyum tipis. "Aku hanya... sedikit terkejut."Dominic tertawa kecil. "Aku juga,"
Cleora duduk santai bersama Anne yang tengah sibuk bergelut dengan ponselnya, sementara Cleo, gadis itu benar-benar gugup sampai dia bahkan tidak bisa berbuat apa-apa di kursinya sendiriBeberapa saat kemudianPintu ruangan itu terbuka, seorang pria dengan jas abu-abu masuk dengan satu orang di belakangnya. Kemudian tanpa aba-aba langsung melangkah ke arah meja Cleora tanpa ragu sedikit pun.“Boleh aku duduk di sini?” suara itu muncul tiba-tiba dari samping meja.Anne dan Cleora serempak mendongak. Begitu Cleo melihat wajah itu, ia langsung berdecak pelan dan memutar bola matanya malas. “Tidak,” jawabnya singkat dengan nada menyebalkan.Brandon hanya terkekeh kecil. “Kau belum berubah, Cleo. Aku bahkan belum duduk, tapi sudah ditolak lebih dulu.”Cleo menyandarkan tubuhnya, menyilangkan tangan di dada. “Kau juga belum berubah, Brandon. Masih saja tidak mengerti konsep ‘tidak berarti tidak.’”Anne menahan tawa di seberang meja, pura-pura sibuk membuka menu.Brandon menarik kursi dan d
Setelah berendam air hangat dan menikmati sarapan di kamarnya, Cleo dan Anne bersiap untuk mengunjungi kakek Cleo, Tuan Lewis Addison, di mansionnya. "Ayo, Anne, kita harus segera berangkat," kata Cleo, berjalan keluar dari kamarnya. "Iya, sebentar," jawab Anne, menyusul Cleo. "Tapi Cleo, bisakah kau naikkan sedikit kerah crewneck-mu? Nyonya Amartha bisa marah besar kalau melihat lehermu yang penuh tanda itu." Cleo hanya mengangkat bahu, tidak peduli. "Sudahlah, Anne. Nenekku tidak akan melihatnya," jawab Cleo, santai. "Justru itu masalahnya! Kalau nenekmu sampai melihatnya, aku yang akan digantung hidup-hidup!" seru Anne, panik. "Ayolah, Cleo, demi aku." Cleo menghela napas panjang, lalu dengan malas menaikkan sedikit kerah crewneck-nya. "Sudah?" tanya Cleo, dengan nada kesal. "Naikkan lagi sedikit," pinta Anne, cemas. "Sedikit lagi saja." Cleo memutar bola matanya, lalu menarik kerahnya hingga hampir menutupi dagunya. "Puas?" tanya Cleo, sinis. "Sempurna!" jawab Anne,
Mobil sport Cleora berhenti di depan gerbang mansion mewah keluarga Addison. Cleora keluar dari mobil dengan santai, senyum cerah menghiasi wajahnya. Ia tampak seperti tidak terjadi apa-apa semalam.Anne keluar dari mobil setelahnya, membawakan tas dan barang-barang Cleora. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah sahabatnya yang seolah tanpa beban."Kau ini benar-benar tidak bisa dipercaya," gumam Anne, mengikuti Cleora masuk ke dalam mansion.“Welcome home!!!!” teriaknya ceria"Bibi Marry" panggil Anne, melihat kepala pelayan senior itu berjalan menghampiri mereka."Selamat pagi, Nona Cleora, Nona Anne," sapa Bibi Marry dengan sopan.“Pagi bibi marry ku sayang” jawab Cleo sambil melengos menuju lift meninggalkan mereka"Bibi, tolong siapkan sarapan untuk Cleo di kamarnya ya," pinta Anne. "Dan tolong minta pelayan siapkan air hangat untuk Cleo mandi juga.""Baik, Nona," jawab Bibi Marry, mengangguk."Apakah Tuan Aaron dan Nyonya Victoria sudah berangkat, Bi?" tanya Anne."Su







