LOGIN“Dominic menatap gadis itu lama, ada sesuatu yang aneh dalam dirinya malam ini, entah karena alkohol atau karena instingnya sebagai laki-laki, malam ini seperti ada rasa penasaran yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Selama ini, wanita-wanita yang ditemui atas perintah ibunya selalu sama seperti tipikal gadis pada umumnya: cantik, sopan, dan berusaha menyenangkan di hadapannya. Namun, gadis di depannya berbeda. Matanya berani, tajam, bahkan dalam keadaan mabuk sekalipun, ia tetap memancarkan aura yang berbeda. Dominic menyandarkan satu tangan di meja di sampingnya dan sedikit mencondongkan tubuh ke arah Cleo. “Siapa namamu?” tanyanya perlahan, suaranya benar-benar membuat Cleo merinding. Cleo menatapnya dengan senyum kecil yang sulit diartikan, “Untuk apa? Lagipula kau akan lupa besok pagi.” Jawaban itu membuat Dominic mengerutkan kening tipis, tapi di sudut bibirnya muncul bayangan senyum yang tak bisa ia tahan. Jarang sekali ada yang berani bicara seperti itu padanya. Cleo mengangkat dagunya sedikit, dan dengan gerakan pelan kemudian mengalungkan tangannya ke leher pria itu. Suhu tubuh mereka bersentuhan, aroma bourbon dan parfum bercampur di udara. “Apa kau menyukainya?” tanya Cleora sambil memberi kode pada Dominic untuk melihat lebih dekat pada belahan dadanya. Dominic tak menanggapi, ia tetap menatap mata gadis itu dari jarak begitu dekat, mata yang berkilau seperti menantang bahaya, tapi juga memintanya untuk mendekat. “Berbahaya sekali kau,” gumam Dominic. Dominic mendekat, membungkuk dan membisikkan sesuatu yang membuat Cleora tertegun. "Malam ini, kau milikku." “Akan sangat menyenangkan untuk ku nikmati,” bisik Cleo. Dominic menatap Cleora yang membuat gadis itu merasa seluruh tubuhnya terbakar. Ia bisa merasakan aroma maskulin Dominic yang memabukkan, campuran wiski mahal dan sesuatu yang lebih liar dari tatapannya. "Kau yakin?" bisik Dominic, suaranya rendah dan serak. "Karena sekali kau melangkah lebih jauh, tidak ada jalan untuk kembali." Cleora menelan ludah, jantungnya berdebar kencang. Ia tahu ini gila. Ia tidak mengenal pria ini, ia bahkan tidak tahu apa yang diinginkannya. Tapi ada sesuatu dalam tatapan Dominic, sesuatu yang gelap dan berbahaya, yang membuatnya tidak bisa berpaling. "Aku tidak takut," jawab Cleora dengan mantap. Dominic menyeringai. Ia mengangkat tangannya dan menyentuh pipi Cleora dengan lembut. Sentuhan itu membakar kulitnya, membuatnya merinding. "Kau seharusnya takut," bisik Dominic, ibu jarinya membelai bibir Cleora, "Karena aku tidak akan bermain-main." Cleora memejamkan mata, menikmati sentuhan Dominic. Ia merasa seperti terbang, melayang di atas awan. Ia tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. "Aku tidak ingin kau bermain-main," bisik Cleora, membuka matanya dan menatap Dominic dengan tatapan yang sama intensnya. Dominic terdiam sejenak, menatap Cleora seolah mencoba membaca pikirannya. Kemudian, ia tersenyum, senyum yang membuat Cleora merasa seperti ada ribuan kupu-kupu terbang di dalam perutnya. "Kalau begitu, mari kita lihat seberapa jauh kau berani pergi," bisik Dominic, lalu ia menarik Cleora mendekat dan menciumnya. Cup. Ciuman itu kasar dan menuntut, namun juga lembut dan memabukkan. Cleora membalas ciuman Dominic dengan penuh semangat, melupakan segalanya kecuali pria yang ada di hadapannya. Mereka berciuman lama, saling melumat dan menggigit bibir masing-masing. Tangan Dominic merayap ke punggung Cleora, menariknya semakin dekat. Cleora melingkarkan tangannya di leher Dominic, membenamkan jarinya di rambutnya yang tebal. “aaashh.” Ketika mereka akhirnya melepaskan ciuman, keduanya terengah-engah. Cleora menatap Dominic dengan mata yang berkilauan. "Apa yang akan terjadi selanjutnya?" bisik Cleora, suaranya serak. Dominic menyeringai. "Itu tergantung padamu," bisiknya, lalu ia mengangkat Cleora ke dalam gendongannya. Cleora terkejut, namun ia tidak menolak. Ia justru melingkarkan kakinya di pinggang Dominic, membenamkan wajahnya di lehernya. Dominic berjalan menuju kamar tidur yang tersembunyi di balik tirai tebal. Cleora bisa merasakan otot-otot Dominic yang tegang saat ia membawanya. Ia merasa aman dan terlindungi di dalam gendongannya. Dominic menurunkan Cleora ke tempat tidur yang besar dan mewah. Cleora berbaring di sana, menatap Dominic dengan tatapan penuh harap. Dominic menanggalkan jasnya dan melemparkannya ke lantai. Ia kemudian membuka kancing kemejanya, memperlihatkan dadanya yang bidang dan berotot. ‘Wow, dia benar-benar tipeku,’ batin Cleora berteriak. Cleora menelan ludah, ia tidak pernah melihat pria setampan ini sebelumnya. Dominic menaiki tempat tidur dan merangkak mendekati Cleora, ia menatapnya dengan tatapan yang membara. "Apa kau yakin ingin melakukan ini?" bisik Dominic, suaranya penuh hasrat. Cleora mengangguk, ia tidak pernah merasa se yakin ini dalam hidupnya. Ia ingin merasakan pria itu, ingin tahu apa yang tersembunyi di balik celana hitam itu. Cup. Dominic menunduk dan mencium Cleora lagi, ciuman itu lebih lembut dari sebelumnya, namun juga lebih dalam dan penuh gairah. Cleora membalas ciuman Dominic dengan sepenuh hati, melupakan segalanya kecuali momen ini. Tangan Dominic mulai menjelajahi tubuh Cleora, membuka kancing blusnya dengan lembut. Cleora membiarkan Dominic melakukan apa pun yang ia inginkan, ia percaya padanya. “Aahhh.” “Kau menyukainya?” bisik Dominic membuat Cleo mengangguk penuh kenikmatan. “Emmhh.” Ketika blus itu akhirnya terlepas, Dominic menatap Cleora dengan tatapan kagum. Ia belum pernah melihat wanita secantik ini sebelumnya. “Aku tau aku sangat cantik,” ucapan itu membuat Dominic tersenyum miring. Cleora merasa malu, namun ia tidak menghindar. Ia ingin Dominic melihatnya, menginginkannya. Dominic menunduk dan mencium payudara Cleora dengan lembut. Cleora mendesah, merasakan sensasi yang luar biasa. Ia menggenggam rambut Dominic, menariknya semakin dekat. “Aaahhhh.” Dominic terus menciumi dan menjilati payudara Cleora, membuatnya semakin bergairah. Cleora merasa seperti kehilangan akal, hanyut dalam kenikmatan yang tak terlukiskan. “In-ih menggelikan, aahh.” Ia meremas bahu Dominic, mendesaknya untuk terus melakukannya. Dominic tersenyum, ia tahu apa yang diinginkan Cleora. Ia melepaskan celana Cleora dengan cepat, lalu menanggalkan pakaiannya sendiri. Cleora menatap tubuh Dominic dengan tatapan kagum. Ia tidak pernah melihat pria seindah ini sebelumnya. “Kau akan merasakannya sebentar lagi,” perkataan Dominic membuat Cleo tersadar dari pikirannya. “Apakah akan muat?” “Ingin merasakannya sekarang?” Dominic merangkak di antara kaki Cleora, menatapnya dengan tatapan penuh hasrat. "Kau milikku malam ini," bisiknya, lalu ia mencium Cleora lagi. Malam itu, Cleora dan Dominic menghabiskan waktu bersama dengan cara yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Mereka saling menjelajahi tubuh masing-masing, saling memberikan kenikmatan yang tak terlupakan. Mereka bercinta dengan penuh gairah, saling memuaskan hasrat yang terpendam. Cleora merasa seperti menjadi wanita seutuhnya, dicintai dan diinginkan. Dominic merasa seperti menemukan sesuatu yang hilang dalam dirinya, sesuatu yang membuatnya merasa hidup kembali. Di sisi lain, Anne terus menyusuri klub, matanya memindai setiap sudut ruangan. Jantungnya berdebar semakin kencang setiap kali ia tidak menemukan sosok Cleora di antara kerumunan. Ia sudah mencoba meneleponnya berkali-kali, tapi tidak ada jawaban. "Cleo, di mana kau?!" serunya frustrasi, suaranya nyaris tenggelam dalam dentuman musik. Saat ia berbelok di lorong yang menuju area VIP, ia hampir bertabrakan dengan seorang pria tinggi berpakaian rapi. "Maaf, nona," ucap Luca singkat, nada suaranya tetap dingin seperti sebelumnya. "Tunggu!" seru Anne, meraih lengan Luca. "Apa kau melihat temanku? Dia mengenakan gaun merah dan rambutnya cokelat, dia mungkin sedang mabuk." Luca mengerutkan kening, "Apa temanmu itu yang masuk ke area terlarang tadi?" tanyanya, matanya menyelidik. Anne terkejut, "Area terlarang? Maksudmu, di depan pintu itu?" Ia menunjuk ke arah pintu "Private Area" yang berada beberapa meter di belakang Luca. Luca mengangguk, "Aku sedang mencari staf wanita untuk membantunya, tapi ketika aku kembali, dia sudah tidak ada." Anne menggigit bibirnya, "Aku harus menemukannya!" Ia mencoba melewati Luca, namun pria itu menghalangi jalannya. "Tunggu, Nona. Aku akan membantumu," ucap Luca, nada suaranya sedikit melembut. "Apa kau kenal dekat dengan wanita itu?" Anne mengangguk, "Dia sahabatku, namanya Cleora." Ia sengaja tidak menyebutkan nama keluarga Cleora. Luca menghela napas, "Baiklah, mari kita cari dia. Aku akan melihat apakah dia masih di sekitar sini." Luca berbalik dan berjalan menuju pintu "Private Area." Ia membuka pintu itu dan masuk ke dalam, meninggalkan Anne yang menunggu di luar dengan perasaan cemas. Beberapa menit berlalu, dan Anne mulai merasa tidak sabar. Apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana? Mengapa Luca begitu lama? Tiba-tiba, pintu terbuka dan Luca keluar dengan wajah yang tampak khawatir. "Dia tidak ada di sana," ucap Luca, menggelengkan kepalanya. "Aku sudah mencari di seluruh ruangan, tapi dia tidak ada di mana pun." Anne merasa lemas, "Tidak mungkin! Dia pasti ada di suatu tempat." "Aku tidak tahu ke mana dia pergi," kata Luca, "tapi aku yakin dia tidak ada di area ini lagi." Anne menggigit bibirnya, ia tahu bahwa Cleora berada dalam masalah besar. Ia hanya tidak tahu seberapa besar masalahnya. "Apa yang harus ku lakukan?" gumam Anne, suaranya bergetar. Luca terdiam sejenak, berpikir, "Aku akan mencoba mencari tahu ke mana dia pergi," ucapnya akhirnya. "Kau tunggu saja di sini, jika aku menemukan sesuatu, aku akan segera mendatangimu." Anne mengangguk, merasa tidak berdaya. Ia hanya bisa berharap Luca akan menemukan Cleora dengan selamat.Mobil sport Cleora berhenti di depan gerbang mansion mewah keluarga Addison. Cleora keluar dari mobil dengan santai, senyum cerah menghiasi wajahnya. Ia tampak seperti tidak terjadi apa-apa semalam.Anne keluar dari mobil setelahnya, membawakan tas dan barang-barang Cleora. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah sahabatnya yang seolah tanpa beban."Kau ini benar-benar tidak bisa dipercaya," gumam Anne, mengikuti Cleora masuk ke dalam mansion.“Welcome home!!!!” teriaknya ceria"Bibi Marry" panggil Anne, melihat kepala pelayan senior itu berjalan menghampiri mereka."Selamat pagi, Nona Cleora, Nona Anne," sapa Bibi Marry dengan sopan.“Pagi bibi marry ku sayang” jawab Cleo sambil melengos menuju lift meninggalkan mereka"Bibi, tolong siapkan sarapan untuk Cleo di kamarnya ya," pinta Anne. "Dan tolong minta pelayan siapkan air hangat untuk Cleo mandi juga.""Baik, Nona," jawab Bibi Marry, mengangguk."Apakah Tuan Aaron dan Nyonya Victoria sudah berangkat, Bi?" tanya Anne."Su
Keesokan paginya, mentari pagi menyelinap masuk melalui celah-celah tirai, menerangi ruangan dengan cahaya keemasan yang lembut. Cleora menggeliat pelan di atas tempat tidur, merasakan kehangatan yang nyaman menyelimutinya.Ia membuka matanya perlahan, dan pemandangan pertama yang menyambutnya adalah wajah pria semalam yang tertidur lelap di sampingnya. Rambutnya yang hitam berantakan menutupi sebagian dahinya, namun rahangnya yang tegas tetap terlihat jelas.Cleora tersenyum kecil, mengingat kejadian semalam. Ia tidak pernah menyangka akan menghabiskan malam dengan pria asing, apalagi dengan cara yang begitu intim. Namun, ia tidak menyesalinya.Pria ini membuatnya merasa diinginkan, dicintai, dan hidup. Ia membuatnya merasa seperti wanita seutuhnya.Tanpa sadar, tangannya terulur untuk menyentuh wajahnya. Ia membelai pipinya dengan lembut, merasakan tekstur kulitnya yang halus.“Sangat tampan.”Pria itu menggeliat pelan, lalu membuka matanya. Ia menatap Cleora dengan tatapan yang sam
“Dominic menatap gadis itu lama, ada sesuatu yang aneh dalam dirinya malam ini, entah karena alkohol atau karena instingnya sebagai laki-laki, malam ini seperti ada rasa penasaran yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.Selama ini, wanita-wanita yang ditemui atas perintah ibunya selalu sama seperti tipikal gadis pada umumnya: cantik, sopan, dan berusaha menyenangkan di hadapannya.Namun, gadis di depannya berbeda.Matanya berani, tajam, bahkan dalam keadaan mabuk sekalipun, ia tetap memancarkan aura yang berbeda.Dominic menyandarkan satu tangan di meja di sampingnya dan sedikit mencondongkan tubuh ke arah Cleo.“Siapa namamu?” tanyanya perlahan, suaranya benar-benar membuat Cleo merinding.Cleo menatapnya dengan senyum kecil yang sulit diartikan, “Untuk apa? Lagipula kau akan lupa besok pagi.”Jawaban itu membuat Dominic mengerutkan kening tipis, tapi di sudut bibirnya muncul bayangan senyum yang tak bisa ia tahan.Jarang sekali ada yang berani bicara seperti itu padanya.Cleo mengang
“Arrghhhh, semua orang sangat gila! Mereka semua gila, Anne,” gumam gadis berambut cokelat yang tergerai indah.“Aku tidak bisa mendengarmu, Cleo! Berhentilah, ini sudah terlalu banyak!” teriak gadis dengan rambut sebahu di hadapannya.“Ck, kau sangat membosankan,” protesnya.“Cleo, sebaiknya kita kembali saja,” pinta Anne, sahabat sekaligus asisten pribadi Cleora Daniella Addison.Keduanya kini tengah berada di sebuah klub malam. Inilah dunia Cleo. Sebagai anak tunggal dari Aaron Addison dan Victoria Wilson, dia sering kali merasa kesepian.‘Kau sudah mendengarnya? Tuan muda Vesper akan kemari malam ini!’‘Benarkah? Bagaimana penampilanku?’Sayup-sayup terdengar suara para gadis di belakang mejanya yang menyebut marga seseorang, membuat Cleora berdecak.“Tidak di rumah, tidak di sini, nama keluarga itu selalu disebutkan,” gerutunya sebal sambil memejamkan mata.Di lain tempat, Dominic baru saja memasuki ruangan khusus miliknya di klub tersebut. Malam ini ia berencana untuk menghabis
Sore itu, mentari mulai meredup, mewarnai langit dengan gradasi jingga dan ungu. Cleora bersenandung riang saat berjalan menuju mobilnya. Pemotretan hari ini berjalan lancar, dan ia merasa puas dengan hasilnya.“Aku benar-benar terlahir untuk menjadi bintang,” gumamnya sambil tersenyum pada dirinya sendiri.Anne, yang berjalan di belakangnya, hanya bisa memutar bola mata malas melihat kelakuan sahabat sekaligus bosnya itu.“Kau ini benar-benar narsis, Cleo,” kata Anne sambil terkekeh.“Tentu saja, Anne,” jawab Cleora sambil mengangkat bahunya.Tiba-tiba, ponsel Cleora berdering. Ia melihat nama ibunya di layar dan segera mengangkatnya.“Halo, Ibu?” sapa Cleora dengan nada ceria.“Sayang, Ibu dan Ayah harus melakukan perjalanan bisnis lagi,” kata Victoria dari seberang sana.Mata Cleora berbinar-binar mendengar berita itu. Ia sudah lama menunggu kesempatan ini.“Oh ya? Ke mana?” tanya Cleora dengan nada pura-pura sedih.“Ke Paris, ada urusan penting yang harus diselesaikan,” jawab Vict
Mentari pagi menyinari Kota dengan lembut, menerobos celah-celah awan dan menyentuh lahan luas yang menjadi saksi bisu kejayaan keluarga Addison.Di tengah hamparan hijau yang terawat sempurna, berdiri tiga bangunan megah yang menjadi simbol kekuasaan dan kemakmuran keluarga Addison.Di tengah-tengah, berdiri mansion utama, kediaman Lewis Addison, sang kepala keluarga, dan istrinya, Amartha. Di sebelah kanan mansion utama, berdiri kediaman Aaron Addison, putra kedua Lewis, bersama istrinya, Victoria, dan putri semata wayang mereka, Cleora. Sementara itu, di sebelah kiri, berdiri mansion Arthur Addison, putra pertama Lewis, bersama istrinya, Diana.Kawasan Addison adalah sebuah wilayah pribadi yang luas. Setiap mansion memiliki gerbang besar sendiri, memastikan privasi. Jarak antar mansion juga cukup jauh.Pagi itu, di kediaman Aaron Addison, aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara.“Nona Cleora, sarapan sudah siap,” suara lembut Bibi Marry terdengar dari balik pintu kamar Cleora.







