Share

Satu

Sudah 10 tahun sejak aku terlahir di dunia asing yang disebut Telluris ini. Selama 10 tahun ini, aku mempelajari banyak hal baru yang tidak ada di kehidpanku sebelumnya, terutama tentang sihir, monster dan Bangsa Iblis yang sudah ratusan tahun mencoba menguasai Telluris. Karena itu, ada seseorang yang disebut Historian.s

Sesuai artinya, Historian adalah orang yang mencatat sejarah. Namun, Historian di Telluris ini adalah sebutan untuk orang yang dipilih oleh Tuhan untuk menerima perlindungan dan berkat dari Dewa atau Dewi yang ditunjuk-Nya agar manusia terpilih itu dapat menyelamatkan Telluris dan seluruh isinya dari Bangsa Iblis. Dan, Historian ini akan didampingi dan dibantu oleh orang-orang pilihan yang disebut Pilar Historian yang juga akan mendapatkan berkat dari Dewa-Dewi sesuai perintah Tuhan.

"Jadi, Ayah dan Ibu benar-benar harus pergi membantu Historian dan Pilar ke Leymar?"

"Maaf, Nak." Ayah merendahkan tubuhnya di hadapanku, lalu tangannya yang besar dan kasar itu membelai wajahku dengan lembut. "Kami janji akan kembali secepatnya." Dan, ia pun menarik tubuhku untuk mengecup keningku dan memelukku setelahnya.

Tangan kecil dan hangat yang mendarat di atas kepalaku adalah tangan Ibu, sangat khas. "Ini permintaan Historian, dan kami pun masih berstatus petualang. Permintaan Historian tidak bisa ditolak. Kamu tahu, bukan, kalau itu sama saja seperti menolak perintah Tuhan?" tutur Ibu dengan lembut. "Kami janji tidak akan lama."

Aku mengangguk dengan kepala menunduk. "Hati-hati." Lalu, perlahan aku mengangkat kepala dan tersenyum pada mereka. Semalam, aku sudah bertekad untuk mengantar mereka dengan senyum. Tapi, itu benar-benar sulit. "Cepatlah kembali."

"Iya." Ayah mengusap kepalaku, lantas berbalik sambil merangkul pinggang Ibu dan masuk ke dalam kereta kuda yang datang menjemput Ayah dan Ibu yang turut membawa rombongan petualang lainnya menuju Leymar.

Jujur, firasatku buruk.

Langit begitu mendung sore ini, tampak semakin meresahkan, apalagi dengan kilat-kilat di balik awan mendung itu yang seakan saling berkejaran. Perasaanku semakin tidak tenang. Nafsu makanku pun menurun, padahal Bibi Rona sudah mebawakan gratin jamur kebanggaannya yang jauh lebih enak dibanding buatan Ibu. Tapi, satu suap pun tidak bisa kutelan. Aku benar-benar cemas dan ketakutan, gelisah tanpa sebab.

Hingga akhirnya, aku tertidur tanpa aku inginkan.

***

Seperti berada di dalam mimpi, tapi anehnya aku sadar ini adalah mimpi, namun aku tidak bisa bangun dari tidurku.

Ruangannya gelap gulita, tak terlihat jelas di mana ujung ruangan ini berada. Aku hanya berputar di tempat untuk mengamati, tapi tak menemukan petunjuk apapun tentang hal yang terjadi padaku ini. Namun, aku ingat ketika Ibu mengajarkanku tentang sihir. Bahwa, Penyihir yang memiliki Sihir Ramalan akan melihat ramalan itu dalam berbagai bentuk, entah itu mimpi atau adegan yang muncul sekilas di depan mata.

Jadi, aku rasa ini adalah Ruang Ramalan-ku.

Tapi, tentu ini aneh. Sebab, Ibu maupun Ayah selalu menegaskan bahwa tidak ada satu orang Penyihir-pun yang bisa memiliki lebih dari dua sihir. Ibu dan Ayah pun sudah sangat terkejut ketika tahu aku bisa menggunakan Sihir Bayangan dan Sihir Kutukan.

Aku tidak tahu apa yang akan Ibu dan Ayah katakan jika aku memiliki sihir ketiga.

"Tom!"

Itu suara Ibu, aku yakin. Aku langsung memutar badan mengarah ke arah suara itu datang. Lalu, seperti layar bioskop, aku melihat Ibu tengah berlutut di tepi jurang sambil mengulurkan tangannya dan terus-menerut meneriakkan nama Ayah, "Tooom!!"

Pilu sekali mendengar Ibu meneriakkan nama Ayah seperti itu. Aku pun turut merasakan perasaan itu dan bercampur takut. Rasanya ingin cepat-cepat keluar dari ruangan ini dan pergi menyusul Ibu dan Ayah untuk mencegah kejadian di masa depan.

Tapi, aku tidak bisa. Aku masih terjebak, karena aku masih harus menonton adegan masa depan.

"Tuan Gavril, awas!"

Seperti waktu telah berlalu, tiba-tiba Ibu menyerukan nama Historian III sambil berlari dan melompat ke arah pria yang tampa sedikit lebih tua dari Ayah. Namun, meski Ibu mencoba melindungi Tuan Gavril, pada akhirnya mereka berdua tewas begitu saja akibat serangan api biru yang menyembur bak air pemadam kebakaran. Tak ada sisa tubuh mereka.

Dan, akhirnya semua rombongan untuk penaklukan Dungeon Beelzebub itu pun tak ada yang selamat.

***

"Sial!"

Aku bergegas berlari ke dalam kamar untuk mengemas barang-barang berharga. Sudah tidak ada waktu, meski aku tak tahu kapan bencana itu akan terjadi. Namun, aku harus bergegas.

Sudah 5 jam sejak Ibu dan Ayah meninggalkan Elsira menuju Leymar. Itu artinya, sebentar lagi mereka akan tiba dan langsung bersiap-siap masuk ke dalam dungeon. Mereka akan mendirikan tenda di sekitar dungeon tanpa mereka ketahui bahwa tepat mereka mendirikan tenda itu sudah berada di dalam dungeon. Dan, pintu sebenarnya dari dugeon itu adalah pohon besar tak berdaun yang ada di ujung Leymar.

Tidak ada waktu untuk meminta izin, apalagi berpamitan. Jadi, setelah meninggalkan secarik surat permintaan maaf pada Bibi Angela yang memiliki tiga ekor kuda, aku pun bergegas meninggalkan Elsira dengan berkuda, bertepatan dengan hujan yang akhirnya turun dengan amat sangat deras bersama kilat yang menyambar ke tanah. Meski aku takut, tapi aku tidak boleh lemah. Aku sudah bukan Aisha yang dulu.

Sejak hidup sebagai Aisha di Telluris ini, aku merasa bahwa ini adalah 'aku' yang sebenarnya, membuatku semakin bersemangat dalam menikmati hidup. Aku pun tak sungkan-sungkan menggunakan pengetahuanku di masa lalu untuk bisa hidup lebih nyaman bersama warna Elsira, hingga aku sampai disebut jenius. Aku benar-benar merasa hidup pada akhirnya.

"Hiyah!" Aku menghentakkan tali kendali dengan kuat, kuda coklat ini pun menambah keceptannya berlari.

Sejujurnya, aku takut kami terperosok karena tanah yang licin akibat hujan, juga jarak pandang yang dekat akibat hujan deras dan kabut yang mulai turun. Dan, ketakutanku terjadi ...

SRAKKKK!

"Akh!" Aku terpental karena terlepas dari pelana kuda. Kuda pinjaman ini pun terguling-guling setelah menyandung batu. "Aduh ..." Keluhku sambil berusah untuk berdiri. "Kamu baik-baik saja, Kuda?" Aku pun berjalan pincang ke arah kuda yang hanya berposisi duduk setelah menyerah berusaha berdiri. "Ah, maafkan aku." Ternyata, kaki depannya patah.

"Hei!"

Aku tersentak kaget mendengar seruan seorang laki-laki dari lereng atas. Aku pun mendongak, lalu melihat sebuah bola cahaya bergerak naik dan membuatku dapat melihat siapa yang memanggilku.

"Kau tidak apa-apa?" tanya lelaki berambut hijau yang duduk di atas kuda abu-abu. "Astagah! Apa kau kabur dari rumah?"

Aku pun berdiri menghadap mereka yang ada di atas sana. "Tolong bantu saya. Saya harus pergi ke Leymar. Orang tua saya, juga Tuan Gavril dan rombongannya aka dalam bahaya. Saya mohon!"

"Kau bilang apa?!" seru seorang wanita dengan rambut merah dan mata sekuning madu. Dia melompat turun dari kuda coklatnya, lalu dengan lincah menuruni lereng dengan merosot dan melompat. Dia langsung mencengkram pundakku. "Apa maksudmu, hah?"

Aku menatap matanya yang indah itu. "Saya bisa meramal masa depan. Baru saja saya melihatnya ... melihat semua orang yang pergi ke dungeon di Leymar akan lenyap oleh Iblis Beelzebub," jelasku cepat. "Kita tidak punya waktu lagi. Begiti mereka melewati pohon tua tidak berdaun di ujung Leymar, mereka akan masuk ke dungeon itu."

GREP!

"Kyaa!" spontan aku berseru kaget, karena perempuan itu tiba-tiba mengangkat tubuhku dan menggendongku seperti menggendong karung. "Ba-Bagaimana dengan kuda saya?" tanyaku, ketika perempuan ini memanjat lincah lereng itu untuk kembali ke rombonganya.

"Kaladin!" seru perempuan itu ketika kami berhasil sampai ke atas lereng.

Laki-laki dengan rambut dan mata perak pun turun dari atas kuda putihnya. Dia merosot turun tanpa takut terjerebab. Setelah sampai di bawah, ada cahaya yang berpendar di dekat Kuda. Dan, tiba-tiba saja Kuda pun berdiri dan berbalik, kemudian berlari pergi.

"Kuda itu akan kembali ke rumahnya. Sekarang, kita harus ke Leymar," kata lelaki berambut hijau tadi begitu lelaki bernama Kaladin tiba di dekat kudanya. "Jadi, siapa namamu, Nona Kecil?" tanyanya sambil menunduk untuk menatap wajahku.

Aku yang duduk di depannya di atas kuda abu-abu ini pun tersenyum. "Aisha."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status