Katanya, Tuhan akan bertanya pada ruh sebelum ruh itu diturunkan ke bumi, "Apa kamu yakin dengan pilihan hidupmu ini?"
Tapi, tentu saja ruh itu tidak akan ingat dan berakhir berpikir, "Kenapa Tuhan memberiku hidup seperti ini? Aku tidak mau lahir untuk hidup seperti ini."Pada akhirnya, manusia mengabaikan Tuhan dan menyalahkan Tuhan.Bukan ingin sok bijak, tapi itulah yang aku yakini, sekalipun aku benar-benar sudah putus asa pada hidupku yang sakit-sakitan dan selalu menyusahkan orang lain. Aku sudah lelah dengan caci-maki dan cibiran orang-orang yang muak dengan diriku yang seperti ini. Tapi, aku tak ingin bilang bahwa aku menyesal dengan hidupku 17 tahun ini. Aku sudah berusaha maksimal untuk bisa sampai ke titik ini. Aku ingin beristirahat.Bukan hanya Ayah dan Ibu, tapi kedua saudaraku pun dikumpulkan di ruang HCU ini oleh Dokter Agung, dokter penanggung jawabku selama ini. Dalam keadaan setengah sadar, aku dapat mendengar suara di sekitarku dan aku dapat meperkirakan apa yang akan Dokter Agung katakan pada keluargaku. Dan, aku pun sudah tahu bagaimana keluargaku merespon nantinya."Aisha sudah berkali-kali mengalami henti jantung. Jika itu terjadi lagi, saya tidak yakin Aisha masih mau berjuang. Karena itu, harus saya sampaikan, bahwa Bapak, Ibu, Abang, dan Adek harus siap," jelas Dokter Agung dengan tutur yang lembut."Iya, Dok. Kami sekeluarga sudah ikhlas. Sudah sebulan ini Ai tidak ada perubahan. Kasiha Ai," tutur Ibu dengan lirih. Memang terdengar seakan ia sudah memantapkan hati untuk kemungkinan terburuk meski masih menyisakan rasa sedih. Tapi, Ibu yang seorang mantan artis itu lihai sekali menipu orang. "Kami hanya ingin yang terbaik untuk Ai, Dok," tambahnya."Mohon untuk tetap berdoa meminta yang terbaik untuk Aisha," kata Dokter Agung, sebelum ia berpamitan pergi, meninggalkanku bersama keluargaku.Terdengar suara langkah kaki ringan yang mendekat dari sisi kiri. Entah siapa, tapi mungkin itu Ibu atau Adek. Yah, aku tidak peduli. Mereka mungkin akan mencekikku untuk mempercepat proses kematianku. Aku pun tidak akan melawan, karena aku akan mengabulkan permintaan mereka padaku selama ini, yaitu mati."Cepat-cepatlah mati, Kak." Ternyata itu Adek. Dia sampai berbisik di telingaku, pasti agar tidak ada yang dengar. "Karena Kakak, kami terpaksa menunda acara jalan-jalan ke Swiss. Kalau Kakak mati sekarang, minggu depan kami bisa pergi jalan-jalan. Aku sayang Kakak, karena itu, cepatlah mati."Meski suaranya tenang, tapi aku merasakan kekejaman dalam suaranya itu. Dia memang keturunan Ibu, benar-benar lihai mengubah intonasi suara.Lalu, aku mendengar dua langkah kaki yang datang mendekat dari sisi kanan. Aku yakin itu Ayah dan Abang. Mereka pasti ingin berpesan hal yang sama seperti Adek."Kamu pasti capek, Ai. Kalau kamu mau pergi, kami ikhlas. Kami kasihan sama kamu yang menderita terus," ungkap Ayah. Lalu, aku merasakan belaian lembut di puncak kepalaku. Dari ukurannya, jelas itu Ayah. "Kalau kamu mati, aib keluarga kita akan hilang. Tidak akan ada lagi yang meremehkan keluarga kita dan perusahaan. Anggaplah ini bakti terakhirmu, Aisha," bisiknya."Terima kasih, sudah bertahan sejauh ini. Maafkan kami yang tidak bisa merawatmu dengan baik dan malah mengabaikanmu." Itu suara Abang, suara yang lembut dan terasa hangat membelai telingaku. Aku tahu dia gak sejahat Ayah, Ibu, dan Adek. Tapi, dia memutuskan untuk diam selama ini dan membiarkanku tersiksa dan menderita. "Kamu boleh tidak memaafkan kami. Kami tahu bahwa kami bersalah. Karena itu, aku yakin kamu bisa hidup dengan tenang di alam selajutnya."Setelah semua menyampaikan pesan perpisahan yang menyakitkan, merea pun meninggalkanku.Aku tidak membutuhkan mereka di saat-saat terakhirku. Aku hanya ingin secepatnya pergi selamanya dari dunia ini, dari tubuhku yang lemah ini. Aku ingin bahagia dan hidup tenang.***Aku yakin aku sudah mati. Tapi, kenapa langit-langit ruangan menjadi kayu coklat?"Waaah!" Kekaguman seorang laki-laki menarik atensiku. Laki-laki asing yang tampak masih muda, berambut merah, bermata hijau, dan berkulit coklat. Namun, pakaiannya yang menjadi fokusku. Itu pakaian rakyat bawah bak Eropa zaman dulu. "Lihat mata merahnya yang seperti milikmu, Honey.""Rambutnya." Aku pun beralih pada suara wanita yang lembut dan hangat. Wanita dengan mata merah dan rambut hitam legam, sudah seperti Vampire. Apalagi, kulitnya putih pucat. "Lucu sekali rambutnya hitam-merah seperti ini. Anak kita pasti tumbuh dengan baik dan menjadi anak perempuan yang cantik." Tatapannya yang hangat dan senyumnya yang lembut benar-benar meluluhkanku."Selamat datang, Aisha," kata laki-laki asing tadi. "Terima kasih sudah terlahir menjadi anak kami. Tumbuhlah menjadi perempuan yang cantik, kuat, dan berhati lembut." Lalu, ia medekat dan mengecup keningku.Kata 'anak kami' sudah menjadi jawaban atas situasiku saat ini. Tapi, bagaimana bisa aku terlahir dengan masih memiliki ingatan dari kehidupanku seelumnya? Bagaimana bisa aku terlahir kembali di dunia yang zamannya berbeda dengan zaman di kehidupanku sebelumnya? Ini sudah seperti manhwa atau anime bertema romansa-fantasi dengan tokoh utama bereinkarnasi di dunia paralel."Melihatnya memiliki mata merah dan rambut yang didominasi hitam, sepertinya dia akan tumbuh menjadi Penyihir Kegelapan sepertimu, Honey," ungkap lelaki yang kini menjadi ayahku. "Tapi, melihat rambutnya juga ada yang berwarna merah, apa aku harus mengajarinya memegang pedang?" Lalu, ia tertawa terkekeh-kekeh. Jelas sekali terlihat bahwa dia begitu senang dan bersemangat atas kelahiran anaknya.Wanita yang telah melahirkanku pun turut berbahagia melalui tawanya yang lembut, tapi juga terdengar lelah. "Iya, iya. Nanti, kita lihat saja dia lebih suka sihir atau pedang. Sekarang, aku ingin beristirahat. Bisakah kamu menggendongnya dulu, Sayang?" Ia menggerakkan tangannya, menyerahkanku pada suaminya.Dekapan Ibu meang hangat dan lembut, tapi dekapan Ayah yang juga hangat ini terasa agak aneh, kuat dan keras. Mungkin karena lengannya yang berotot. Meski begitu, aku merasa sangat nyaman dan aman."Beristirahatlah, Honey. Aku akan membuatkanmu sup." Ayah mendekati wajah Ibu yang sudah berbaring di kasur, lalu ia mengecup kening Ibu dengan lembut dan penuh kasih sayang. "Terima kasih, Honey, karena sudah melahirkan anak kita. Aku bangga padamu."Ibu tersenyum dan mengangguk, lalu ia tertidur dalam sekejap. Aku tahu bahwa melahirkan itu melelahkan dan bertaruh nyawa, karena itu aku tidak boleh durhaka pada Ibu. Bahkan, di kehidupan sebelumnya pun aku tidak bisa membenci Ibu meski ia bersikap kasar padaku."Kamu juga harus tidur, ya, Nak. Ayah mau masak buat Ibu, jadi Ibu bisa kasih kamu susu yang banyak." Sebelum menaruhku di kasur bayi yang dikelilingi pagar tinggi, Ayah mengecup keningku lagi. Lalu, ia pun pergi dari kamar ini tanpa menutup pintu.Baru kali ini aku merasakan kehangatan seorang ayah dan ibu. Mereka terlihat sangat bahagia dan bersyukur atas kelahiranku sebagai bagian dari keluarga mereka. Aku yakin, pada kehidupanku yang dulu, kedua orang tuaku sudah membenciku karena terlahir lemah dan sakit-sakitan, tapi anehnya mereka tidak bisa membunuhku.Aku tidak percaya pada reinkarnasi, tapi karena hal itu terjadi padaku, mau tak mau aku harus percaya. Juga, aku harus bersyukur. Mungkin Tuhan masih berbaik hati untuk memberikaku kesempatan merasakan kebahagiaan yang belum pernah aku rasakan di kehidupanku sebelumnya.Entah apa yang harus aku hadapi di dunia yang masih dipenuhi dengan penyihir, petualangan, dan mungkin monster dan iblis, tapi untuk saat ini aku akan menikmati hari-hari bersama kedua orang tuaku.Sudah 10 tahun sejak aku terlahir di dunia asing yang disebut Telluris ini. Selama 10 tahun ini, aku mempelajari banyak hal baru yang tidak ada di kehidpanku sebelumnya, terutama tentang sihir, monster dan Bangsa Iblis yang sudah ratusan tahun mencoba menguasai Telluris. Karena itu, ada seseorang yang disebut Historian.sSesuai artinya, Historian adalah orang yang mencatat sejarah. Namun, Historian di Telluris ini adalah sebutan untuk orang yang dipilih oleh Tuhan untuk menerima perlindungan dan berkat dari Dewa atau Dewi yang ditunjuk-Nya agar manusia terpilih itu dapat menyelamatkan Telluris dan seluruh isinya dari Bangsa Iblis. Dan, Historian ini akan didampingi dan dibantu oleh orang-orang pilihan yang disebut Pilar Historian yang juga akan mendapatkan berkat dari Dewa-Dewi sesuai perintah Tuhan."Jadi, Ayah dan Ibu benar-benar harus pergi membantu Historian dan Pilar ke Leymar?" "Maaf, Nak." Ayah merendahkan tubuhnya di hadapanku, lalu tangannya yang besar dan kasar itu membelai
Aku tidak bisa berkomentar apapun. Bahkan, tubuhku membeku begitu mendengar jawaban lelaki berambut hijau ini. "Kami Calon Pilar Historian."Kalau boleh aku memaki, aku akan melakukannya. Tapi, rasanya sungguh tidak sopan jika aku melakukannya di hadapan orang-orang calon pahlawan di masa depan.Mereka berempat sedang melakukan pelatihan di bawah bimbingan dua Pilar Historian saat ini, yaitu Joanne dan Cedric. Lalu, Saintess Serena yang melayani Historian III Gavril meberitahu bahwa ia diberitahu oleh Dewi yang memberkatinya tentang musibah akan menimpa pasukan yang pergi ke dungeon di Leymar. Karena itulah, mereka berempat memutuskan untuk pergi memberikan bantuan.Keempat Calon Pilar Historian ini adalah orang-orang terpilih yang datang dari berbagai daerah. Alaric yang betambut hijau ini adalah Pangeran III Kerajaan Sevelstan. Lalu, lelaki berambut perak adalah Kaladin dari Kerajaan Beslama yang merupakan Penyihir Agung dari Menara Cahaya Amulael. Sementara itu, perempuan satu-sat
Wajah keempat Pilar terlihat sangat buruk ketika mereka kembali ke penginapan. Bukan hanya karena kelelahan melakukan penyelidikan, tapi juga kesedihan karena ditinggal oleh kedua Pilar sebelumnya yang telah mengajar dan mendidik mereka. Mereka yang mengenal sosok Historian III pun pasti juga sedih.Padahal, aku yakin mereka belum siap mengemban tugas berat sebagai Pilar Historian. Mereka bahkan hany berbeda 5-7 tahun denganku, masih muda. Mereka pun pasti belum sepenuhnya mempelajari tugas Pilar Historian.Namun, yang lebih menyedihkan adalah posisi Historian IV yang entah akan jatuh ke tangan siapa. Buku catatan sejarah yang dimiliki Historian secara turun-temurun pun menghilang, tidak ada jejaknya. Tapi, kata Kaladin, buku itu pasti masih berkondisi baik. Buku yang disihir oleh Historian I dan Pilar satu-satunya miliknya itu kabarnya tidak bisa dihancurkan oleh sihir apapun, tidak akan rusak meski terendam air, bahkan dijamin masih utuh dan baik-baik saja meski telah melewati hal b
Ketika aku membuka mata, ternyata aku berada di dalam kamar yang asing, terbaring di atas kasur yang tentu saja tidak seperti kasur yang aku kenal. Aroma ruangan ini pun sangat berbeda. Aku tahu bahwa aku masih ada di rumah Paman Jaden saat itu. Jadi, setelah merasa lebih baik, aku pun berpamitan pergi meski Paman Jaden dan Bibi Juvia tidak mengizinkanku. Aku ingin pulang ke rumah meski tidak ada Ayah dan Ibu di sana.Sampai di rumah, tentu saja rasanya sangat hampa, sampai rasanya tidak berani menginjakkan kaki untuk masuk ke dalam rumah. Tapi, berkat menangis kemarin, aku sudah merasa lebih baik dan sudah bisa menerima kenyataan bahwa aku telah menjadi anak yatim piatu. Lagipula, aku juga tetap harus kembali ke rumah ini. Aku harus merapikan barang-barang Ayah dan Ibu, lalu bersiap-siap untuk pergi.Pergi? Benar.Ketika berjalan pulang dari rumah Paman Jaden, banyak penduduk yang menyapaku dan berusaha untuk menghiburku. Tentu saja aku sangat berterima kasih, karena berkat kebiakan
Gunung Corova adaah gunung salju yang cukup berbahaya. Selain karena cuaca yang sering tak tentu, juga monster-monster yang hidup di sana. Monster-monster itu pun kerap turun ke Elsira untuk mencari makan, tak aneh jika ada satu-dua orang yang tewas. Meski begitu, kata Ayah dan Ibu, sejak mereka tinggal di sana, monster-monster tidak lagi datang ke desa. Itu karena mereka rutin melakukan pembasmian untuk menekan jumlah populasi monster. Hal inilah yang membuatku tak takut meski bertemu monster, seperti saat ini.Monster yang ada di gunung ini mayoritas adalah monster-monster yang hidup berkelompok, mulai dari furian goblin alias goblin berbulu, rubah salju eisbergh, hingga fenrir. Tapi, biasanya fenrir tidak suka manusia, sehingga mereka memilih hidup jauh di puncah gunung atau di sisi lain gunung yang jauh dari pemukiman. Goblin berbulu adalah monster yang wajar ditemui dan dihadapi di gunung ini. Tapi, bisa-bisanya aku malah bertemu seekor fenrir putih bermata merah.
Kami -- aku, Ash, dan kudaku -- pun berhasil turun dari Gunung Corava tepat sebelum badai salju ekstrem terjadi. Bukan hanya aku, tapi Ash dan kudaku juga terliht tegang ketika kami bergegas menuruni gunung dengan badai mengejar kami dari belakang.Dua tahun lalu, Ayah pernah mengajakku untuk berkemah di Hutan Neathy ini selama tiga malam. Ayah mengajarkanku cara untuk bertaha hidup di alam. Ayah juga mengajarkanku tentang banyak hal, seperti monster apa saja yang hidup di hutan ini, kelemahan mereka, dan lainnya. Karena itu, aku tidak begitu cemas. Aku yakin aku akan mampu keluar dari hutan ini, meski harus ditempuh bermalam-malam lamanya.Kata Ayah, hutan ini sering dipakai oleh tentara-tentara Kerajaan Zatadia untuk berlatih sekaligus melakukan pembasmian di panas ketika populasi monster sedang meningkat. Tapi, tak kusangka bahwa aku akan berkemah dengan mereka seperti ini. "Wah, Nona pasti akan menjadi Beast Tamer yang hebat!" sanjung seorang perwira bernama Theodhore.Ya, aku me
Segerombol lelaki berwajah mengerikan itu anehnya tidak membuatku takut. Mereka memang berwajah mengerikan, tapi entah kenapa mereka malah terlihat menyedihkan di mataku. Dan, hal itu terbukti benar.Mereka menarikku tiba-tiba, bahkan kudaku dan Ash sampai diambil alih oleh lainnya. Mereka membawaku pergi, bukan ke jalan sempit dan gelap yang merupakan tempat paling cocok untuk melakukan kejahatan, melainkan ke jalan utama dan jalan besar yang ramai oleh orang-orang. Anehnya, tidak ada yang curiga ataupun menghentikan mereka. Dan, kami pun tiba di depan sebuah bangunan besar dan tinggi dengan papan nama bertuliskan 'Silver Flagon Guild, Inn & Tavern'. "Mohon bantuannya!!"Tiba-tiba saja mereka membungkuk dalam setelah menyuruhku duduk di sebuah kursi di restoran bangunan guild itu. Jujur, aku merasa sangat tidak nyaman dengan sikap mereka yang memperlakukanku seperti ini. Orang-orang di restoran ini pun memperhatikanku. Jujur, aku tidak mau mencari perhatian. Karena, jika orang-orang
Selama aku hidup 10 tahun sebaai Aisha di dunia bernama Telluris ini, sudah dua kali aku jatuh pingsan. Pertama, saat aku kembali dari Leymar. Aku pingsan karena kelelahan di rumah Paman Jaden. Sekarang yang kedua, aku pingsan pasti karena kelelahan perjalanan dari Elsira untuk mengejar keempat Pilar Historian. Sepertinya, aku tidak bisa kelelahan dan memaksakan diri ketika otakku terus dipakai untuk berpikir keras. Sejak ramaan itu, aku merasa aku tidak memiliki waktu untuk beristirahat, baik mengistirahatkan fisik maupun pikiranku.Tapi, memang harapan tidak seindah kenyataan."Sebagai bayaran atas sihir yang besar, kamu pun mendapatkan efek samping dari sihir yang kamu miliki. Bisa dikatakan, jantungmu rusak," jelas Kaladin.Aku tertawa hambar. "Ternyata, tidak ada bedanya," gumamku lirih sambil menggaruk tengkuk karena canggung. "Yah, mau bagaimana lagi.""Kamu baik-baik saja, Aisha?" tanya Nymeria. Aku yakin pertanyaannya bukan untuk keadaan fisikku. Bukan hanya dia, yang lain pu