Share

Eternal Historian: Aisha's Otherworldly Journey
Eternal Historian: Aisha's Otherworldly Journey
Author: Catish13

Prolog

Author: Catish13
last update Last Updated: 2023-12-14 18:33:26

Katanya, Tuhan akan bertanya pada ruh sebelum ruh itu diturunkan ke bumi, "Apa kamu yakin dengan pilihan hidupmu ini?"

Tapi, tentu saja ruh itu tidak akan ingat dan berakhir berpikir, "Kenapa Tuhan memberiku hidup seperti ini? Aku tidak mau lahir untuk hidup seperti ini."

Pada akhirnya, manusia mengabaikan Tuhan dan menyalahkan Tuhan.

Bukan ingin sok bijak, tapi itulah yang aku yakini, sekalipun aku benar-benar sudah putus asa pada hidupku yang sakit-sakitan dan selalu menyusahkan orang lain. Aku sudah lelah dengan caci-maki dan cibiran orang-orang yang muak dengan diriku yang seperti ini. Tapi, aku tak ingin bilang bahwa aku menyesal dengan hidupku 17 tahun ini. Aku sudah berusaha maksimal untuk bisa sampai ke titik ini. Aku ingin beristirahat.

Bukan hanya Ayah dan Ibu, tapi kedua saudaraku pun dikumpulkan di ruang HCU ini oleh Dokter Agung, dokter penanggung jawabku selama ini. Dalam keadaan setengah sadar, aku dapat mendengar suara di sekitarku dan aku dapat meperkirakan apa yang akan Dokter Agung katakan pada keluargaku. Dan, aku pun sudah tahu bagaimana keluargaku merespon nantinya.

"Aisha sudah berkali-kali mengalami henti jantung. Jika itu terjadi lagi, saya tidak yakin Aisha masih mau berjuang. Karena itu, harus saya sampaikan, bahwa Bapak, Ibu, Abang, dan Adek harus siap," jelas Dokter Agung dengan tutur yang lembut.

"Iya, Dok. Kami sekeluarga sudah ikhlas. Sudah sebulan ini Ai tidak ada perubahan. Kasiha Ai," tutur Ibu dengan lirih. Memang terdengar seakan ia sudah memantapkan hati untuk kemungkinan terburuk meski masih menyisakan rasa sedih. Tapi, Ibu yang seorang mantan artis itu lihai sekali menipu orang. "Kami hanya ingin yang terbaik untuk Ai, Dok," tambahnya.

"Mohon untuk tetap berdoa meminta yang terbaik untuk Aisha," kata Dokter Agung, sebelum ia berpamitan pergi, meninggalkanku bersama keluargaku.

Terdengar suara langkah kaki ringan yang mendekat dari sisi kiri. Entah siapa, tapi mungkin itu Ibu atau Adek. Yah, aku tidak peduli. Mereka mungkin akan mencekikku untuk mempercepat proses kematianku. Aku pun tidak akan melawan, karena aku akan mengabulkan permintaan mereka padaku selama ini, yaitu mati.

"Cepat-cepatlah mati, Kak." Ternyata itu Adek. Dia sampai berbisik di telingaku, pasti agar tidak ada yang dengar. "Karena Kakak, kami terpaksa menunda acara jalan-jalan ke Swiss. Kalau Kakak mati sekarang, minggu depan kami bisa pergi jalan-jalan. Aku sayang Kakak, karena itu, cepatlah mati."

Meski suaranya tenang, tapi aku merasakan kekejaman dalam suaranya itu. Dia memang keturunan Ibu, benar-benar lihai mengubah intonasi suara.

Lalu, aku mendengar dua langkah kaki yang datang mendekat dari sisi kanan. Aku yakin itu Ayah dan Abang. Mereka pasti ingin berpesan hal yang sama seperti Adek.

"Kamu pasti capek, Ai. Kalau kamu mau pergi, kami ikhlas. Kami kasihan sama kamu yang menderita terus," ungkap Ayah. Lalu, aku merasakan belaian lembut di puncak kepalaku. Dari ukurannya, jelas itu Ayah. "Kalau kamu mati, aib keluarga kita akan hilang. Tidak akan ada lagi yang meremehkan keluarga kita dan perusahaan. Anggaplah ini bakti terakhirmu, Aisha," bisiknya.

"Terima kasih, sudah bertahan sejauh ini. Maafkan kami yang tidak bisa merawatmu dengan baik dan malah mengabaikanmu." Itu suara Abang, suara yang lembut dan terasa hangat membelai telingaku. Aku tahu dia gak sejahat Ayah, Ibu, dan Adek. Tapi, dia memutuskan untuk diam selama ini dan membiarkanku tersiksa dan menderita. "Kamu boleh tidak memaafkan kami. Kami tahu bahwa kami bersalah. Karena itu, aku yakin kamu bisa hidup dengan tenang di alam selajutnya."

Setelah semua menyampaikan pesan perpisahan yang menyakitkan, merea pun meninggalkanku.

Aku tidak membutuhkan mereka di saat-saat terakhirku. Aku hanya ingin secepatnya pergi selamanya dari dunia ini, dari tubuhku yang lemah ini. Aku ingin bahagia dan hidup tenang.

***

Aku yakin aku sudah mati. Tapi, kenapa langit-langit ruangan menjadi kayu coklat?

"Waaah!" Kekaguman seorang laki-laki menarik atensiku. Laki-laki asing yang tampak masih muda, berambut merah, bermata hijau, dan berkulit coklat. Namun, pakaiannya yang menjadi fokusku. Itu pakaian rakyat bawah bak Eropa zaman dulu. "Lihat mata merahnya yang seperti milikmu, Honey."

"Rambutnya." Aku pun beralih pada suara wanita yang lembut dan hangat. Wanita dengan mata merah dan rambut hitam legam, sudah seperti Vampire. Apalagi, kulitnya putih pucat. "Lucu sekali rambutnya hitam-merah seperti ini. Anak kita pasti tumbuh dengan baik dan menjadi anak perempuan yang cantik." Tatapannya yang hangat dan senyumnya yang lembut benar-benar meluluhkanku.

"Selamat datang, Aisha," kata laki-laki asing tadi. "Terima kasih sudah terlahir menjadi anak kami. Tumbuhlah menjadi perempuan yang cantik, kuat, dan berhati lembut." Lalu, ia medekat dan mengecup keningku.

Kata 'anak kami' sudah menjadi jawaban atas situasiku saat ini. Tapi, bagaimana bisa aku terlahir dengan masih memiliki ingatan dari kehidupanku seelumnya? Bagaimana bisa aku terlahir kembali di dunia yang zamannya berbeda dengan zaman di kehidupanku sebelumnya? Ini sudah seperti manhwa atau anime bertema romansa-fantasi dengan tokoh utama bereinkarnasi di dunia paralel.

"Melihatnya memiliki mata merah dan rambut yang didominasi hitam, sepertinya dia akan tumbuh menjadi Penyihir Kegelapan sepertimu, Honey," ungkap lelaki yang kini menjadi ayahku. "Tapi, melihat rambutnya juga ada yang berwarna merah, apa aku harus mengajarinya memegang pedang?" Lalu, ia tertawa terkekeh-kekeh. Jelas sekali terlihat bahwa dia begitu senang dan bersemangat atas kelahiran anaknya.

Wanita yang telah melahirkanku pun turut berbahagia melalui tawanya yang lembut, tapi juga terdengar lelah. "Iya, iya. Nanti, kita lihat saja dia lebih suka sihir atau pedang. Sekarang, aku ingin beristirahat. Bisakah kamu menggendongnya dulu, Sayang?" Ia menggerakkan tangannya, menyerahkanku pada suaminya.

Dekapan Ibu meang hangat dan lembut, tapi dekapan Ayah yang juga hangat ini terasa agak aneh, kuat dan keras. Mungkin karena lengannya yang berotot. Meski begitu, aku merasa sangat nyaman dan aman.

"Beristirahatlah, Honey. Aku akan membuatkanmu sup." Ayah mendekati wajah Ibu yang sudah berbaring di kasur, lalu ia mengecup kening Ibu dengan lembut dan penuh kasih sayang. "Terima kasih, Honey, karena sudah melahirkan anak kita. Aku bangga padamu."

Ibu tersenyum dan mengangguk, lalu ia tertidur dalam sekejap. Aku tahu bahwa melahirkan itu melelahkan dan bertaruh nyawa, karena itu aku tidak boleh durhaka pada Ibu. Bahkan, di kehidupan sebelumnya pun aku tidak bisa membenci Ibu meski ia bersikap kasar padaku.

"Kamu juga harus tidur, ya, Nak. Ayah mau masak buat Ibu, jadi Ibu bisa kasih kamu susu yang banyak." Sebelum menaruhku di kasur bayi yang dikelilingi pagar tinggi, Ayah mengecup keningku lagi. Lalu, ia pun pergi dari kamar ini tanpa menutup pintu.

Baru kali ini aku merasakan kehangatan seorang ayah dan ibu. Mereka terlihat sangat bahagia dan bersyukur atas kelahiranku sebagai bagian dari keluarga mereka. Aku yakin, pada kehidupanku yang dulu, kedua orang tuaku sudah membenciku karena terlahir lemah dan sakit-sakitan, tapi anehnya mereka tidak bisa membunuhku.

Aku tidak percaya pada reinkarnasi, tapi karena hal itu terjadi padaku, mau tak mau aku harus percaya. Juga, aku harus bersyukur. Mungkin Tuhan masih berbaik hati untuk memberikaku kesempatan merasakan kebahagiaan yang belum pernah aku rasakan di kehidupanku sebelumnya.

Entah apa yang harus aku hadapi di dunia yang masih dipenuhi dengan penyihir, petualangan, dan mungkin monster dan iblis, tapi untuk saat ini aku akan menikmati hari-hari bersama kedua orang tuaku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Eternal Historian: Aisha's Otherworldly Journey   Dua Puluh Satu

    Pangeran III Aleoth de Alinzan adalah orang yang diam namun meghasilkan segudang prestasi dalam membantu pekerjaan negara Raja Alinzan. Orang yang terkenal ramah dan disukai semua bangsawa wanita se-Alinzan. Banyak rakyat jelata yang mendukungnya dengan sifat dan keloyalitasnya itu. Aku yakin, dia memang menginginkan takhta raja, karena itu dia sengaja membuat dirinya terkenal di sana-sini.Pangera Aleoth tidak pergi sendiri, melainkan ditemani tangan kanannya sekaligus pemimpin pasukan kesatria miliknya, Hildo. Namun, Hildo inilah yang sebenarnya menjadi target perhatianku, karena meski dia tampak seperti manusia, tapi di mataku dia terlihat seperti Bangsa Iblis, mirip dengan salah satu pelayan di kastel ini. Menurut penjelasan Historia III, ciri-ciri Bangsa Iblis sangat khas, seperti telinga runcing, mata merah, dan mayoritas berkulit pucat."Suatu kehormatan bagi Alinzan, saya bisa berbicara spesial seperti ini dengan Anda, Nona Historian," tutur Aleoth dengan manis dan senyum bisn

  • Eternal Historian: Aisha's Otherworldly Journey   Dua puluh

    Strategi untuk mendapatkan simpatu sekaligus lepercayaan pun berhasil. Orang-orang memang akan menilaiku sangat tinggi, karena aku seorang Peramal da anak dari seorang Penyihir Kegelapan berdarah Zoferine dan Swordmaster berdarah Chervenlott. Meski entah aku bisa memenuhi ekspektasi mereka atau tidak, tapi untuk saat ini aku sudah mendapat sedikit kepercayaan mereka. Aku hanya harus berusaha maksimal dan membuktikan kemampuanku.Tapi, ada satu masalah baru lagi yang harus dihadapi oleh seorang Historian. Dan, itu sudah diperingatkan oleh Historian-Historian sebelumnya."Yang Mulia, ini anak sulung saya. Umurnya suda 18 tahun. Kami akan mengirimkan undangan resmi untuk Yang Mulia agar bisa minum teh bersama dengan anak saya."Yah, kurang lebih, kalimat-kalimat itulah yang aku dengar hampir di setiap keluarga tamu kehormatan yang aku datangi untuk berkenalan. Ya, itu adalah cara untuk mencari jodoh. Entah sejak kaapan, tapi Historian III Gavril menganggap bahwa pesta-pesta yang akan di

  • Eternal Historian: Aisha's Otherworldly Journey   Sembilan belas

    Satu per satu orang-orang dari berbagai kerajaan datang menghampiri untuk memberi salam. Aku merasa seperti kaisar yang paling berkuasa, padahal hanya orang yang diutus Tuhan sebagai pencatat sejarah dunia dan membawa perubahan. Apalagi, aku hanya perempuan yang lahir dan besar selama 15 tahun tanpa tahu etika bangsawan. Meski di total dengan kehidupanku sebelumnya, umurku memang sudah 32 tahun. Tapi, tetap saja, pebampilanku yang seperti ini tak ada apa-apanya dibanding orang-orang hebat penguasa negara di hadapanku.Selaa hampir dua jam aku merasakan ketegangan setiap para penguasa kerajaan menghampiri dan mempersembahkan upeti sebagai bentuk penghormatan dan permohonan perlindungan dan kebijaksanaan. Bangku kebesaran yang aku duduki ini terasa berduri, menyiksa sekali. Kalau aku seorang pembuat onar, aku pasti sudah berdiri dan kabur begitu saja.Dan, akhirnya aku pun bisa berdiri. "Terima kasih, kepada seluruh tamu kehormatan yang telah hadir pada hari ini. Saya, mewakili keempat

  • Eternal Historian: Aisha's Otherworldly Journey   Delapan belas

    Malam keempat perjalanan kami, Lory pingsan dan demam tinggi. Inginnya kami beristirahat, tapi kami dikejar waktu. Terpaksa, kami tetap melanjutkan perjalanan meski kondisi Lory sangat mengkhawatirkan. Namun, aku tahu alasan Lory seperti ini. Semua karena Kekuatan Suci miliknya akan bangkit.Tepat malan sebelum kami tiba di Talova, Lory sadar dan kondisnya amat sangat baik-baik saja. Aura emas miliknya sudah padat dan pekat, alirannya pun stabil. Namun, satu hal yang membuat kami tidak bisa berhenti cemas."Pada malam penobatan, akan datang sesosok Iblis untuk menemui Aisha," kata Lory begitu ia bangun. Sepertinya, ia diperingatkan oleh Tuhan dan Dewa-Dewi. Layaknya ramalan, pesan dari Tuhan dan Dewa-Dewi biasanya datang di luar keinginan.Dan, saat ini aku sedang bersiap-siap untuk penobatan. Aku bahkan dibangunkan subuh saat langit masih segelap lanngit ketika kami tiba di kastel. Para pelayan begitu bersemangat untuk mendandaniku, sampai aku terkantuk-kantuk karena proses mereka men

  • Eternal Historian: Aisha's Otherworldly Journey   Tujuh belas

    Kalau diperhatikan, Lory bukanlah orang kaku yang sangat teguh pada sesuatu. Pada kenyataannya, dalam perjalanan kami meninggalkan desa dengan kereta kuda pemberian warga Amaya, Lory terlihat sangat tak nyaman dan canggung. Daripada elang, dia mirip kakatua yang menggemaskan."Kamu bisa bersikap lebih santai, Lory. Keempat Pilar saja tidak sekaku kamu. Yah, jangan lihat Kala. Dia seperti itu karena bayara atas sihir besar miliknya," ujarku tenang dan mencoba untuk membuat Lory sedikit lebih santai, disusul kekehan.Lory menatapku agak lama, lalu ia menunduk dan tampak ragu. "Apakah benar saya saintess? Saya ... bukan orang baik."Aku terdiam sejenak sambil menatapnya. Padahal, aura emasnya menguar-nguar dengan kuat, lebih kuat daripada milik Saintess Elanora. "Kalau sepenglihatanku, kamu memiliki Kekuatan Suci yang lebih kuat dari Saintess Elanora. Entah apa masa lalumu, tapi masa kini juga penting. Kalau kamu sadar bahwa kamu bukan orang baik di masa lalu, itu artinya kamu sudah menj

  • Eternal Historian: Aisha's Otherworldly Journey   Enam belas

    Aku berseru bukan karena aku mengenal Ratu Lebah yang mereka sebut. Aku berseru karena aku yakin dengan ingatanku, bahwa Ayah dan Ibu pernah menyebut nama itu ketika menceritakan salah satu pengalaman mereka. Aku tidak benar-benar tahu sosoknya, tapi aku yakin itu adalah iblis yang sama dengan yang pernah Ayah dan Ibu hadapi sebelum aku lahir."Kamu mengenalnya, Sha?" tanya Deon.Aku menggeleng. "Tidak, tapi sepertinya itu iblis yang sama dengan yang pernah Ayah dan Ibu hadapi sebelum aku lahir," jawabku. "Lalu, apakah kalian memang diperintahkan untuk menyerang kami?" tanyaku, kini kembali menatap kedua perampok babak belur itu.Mereka mengangguk. "Kami berani bersumpah, kami hanya disuruh menyerang ketika kau melewati jalan ini. Begitu kami mendapatkanmu, kami disuruh membawamu ke Ulzcak.""Hm? Aku?" tanyaku heran. Kedua lelaki itu saling bertatapan, lalu mengangguk. "Kami disuruh menangkap perempuan bernama Aisha yang memiliki rambut merah keemasan dan mata berwarna hijau kekuning

  • Eternal Historian: Aisha's Otherworldly Journey   Lima belas

    "Standznel!" Rasanya seperti jiwaku turut tersedot keluar melalui telapak tangan yang kuarahkan ke kuda-rusa yang terus-menerus menyerang seakan tak kenal lelah. Padahal, tubuhnya sudah terluka di sana-sini. Kaki kanan belakangnya pun telah putus hingga dia berdiri dengan tiga kaki. Satu tanduknya pun telah hancur. Dia benar-benar meyedihkan, harus hidup dalam kendali orang yang sama sekali tidak menyayanginya. Karena itulah, aku merapal mantera pengambilalihan. Dengan begitu, aku bisa menggunakan sihir 'Sumnumoir' untuk menidurkannya selamanya.Ini pertama kalinya aku menggunakan Sihir Pengambilalihan. Aku tidak tahu bahwa akan setersiksa dan semenyakitkan ini. Saking sakitnya, aku hanya bisa menggertakkan gigi sekuat-kuatnya. Dan, sepertinya sesuatu telah mengalir dari hidungku. Sudah pasti itu darah. Aku sampai sememaksa ini."Sha, hentikan. Kamu sudah mencapai batasmu," ujar Kala dengan berseru, sebab jarak bertarung kami agak berjauhan.Aku menggeleng, tak sanggup menanggapi uca

  • Eternal Historian: Aisha's Otherworldly Journey   Empat belas

    Siapapun itu tahu. Ketika seorang saintess baru telah muncul, maka saintess sebelumnya akan menghadapi kematiannya. Meski tidak aneh dan memang sudah sewajarnya hal seperti itu terjadi. Namun, tentu saja, kesedihan tidak bisa disembunyikan. Bagiku yang baru mengenal Saintess Elanora, tentu tidak akan merasakan kesedihan yang sama seperti yang dirasakan keempat Pilar yang telah mengenal Saintess Elanora lebih lama.Sejak aku mengatakannya, suasana menjadi terasa berat dan sangat menyesakkan. Aku mungkin seperti orang yang tidak berperasaan, tapi aku melakukannya sesuai permintaan Nona Elanora. Aku hanya bisa diam, menunggu dengan sabar sampai keempat Pilar ini dapat menerima kenyataan, seperti mereka menerima kenyataan kematian Historian III Gavril dan kedua Pilarnya yang tewas di Dungeon Belzeebub."Apa tidak ada pesan dari Nona Elanora?"Aku yang sedang melamun menatap ke luar jendela kereta kuda untuk menghalau kebosanan pun menoleh menatap Nym, Pilar yang menemaniku kali ini. "Tida

  • Eternal Historian: Aisha's Otherworldly Journey   Tiga belas

    Dari Pulau Talova, kami harus menyeberangi lautan selama setengah hari untuk tiba di Kerajaan Baslama, sebelum kami harus berkuda berhari-hari ke Kerajaa Tatvan. Sungguh, ini akan menjadi perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan. Aku hanya bisa berharap tak akan ada hambatan dalam perjalanan kami, karena waktu yang kami miliki benar-benar terbaras.Perjalanan dengan berkuda sepertinya akan memakan enam hari jika kami mempersempit waktu istirahat. Entah bagaimana kami bisa membawa saintess itu, tapi kami harus bergegas kembali ke Talova dalam waktu kurang dari sehari setelah tiba di Amaya. Rasanya gemas karena terburu-buru seperti ini. Tapi, aku harus terbiasa. Historian dan Pilar bisa saja secara tiba-tiba harus melakukan perjalanan berhari-hari.Sebagai kota terujung di Dartan Barat, Kota Abuka menjadi kota perdagangan terbesar di Daratan Barat. Kerajaan Baslama adalah kerajaan terbesar yg menguasai perdagangan di Telluris ini. Selain karena wilayah mereka yang subur dan bagus u

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status