Share

Eternal Historian: Aisha's Otherworldly Journey
Eternal Historian: Aisha's Otherworldly Journey
Author: Catish13

Prolog

Katanya, Tuhan akan bertanya pada ruh sebelum ruh itu diturunkan ke bumi, "Apa kamu yakin dengan pilihan hidupmu ini?"

Tapi, tentu saja ruh itu tidak akan ingat dan berakhir berpikir, "Kenapa Tuhan memberiku hidup seperti ini? Aku tidak mau lahir untuk hidup seperti ini."

Pada akhirnya, manusia mengabaikan Tuhan dan menyalahkan Tuhan.

Bukan ingin sok bijak, tapi itulah yang aku yakini, sekalipun aku benar-benar sudah putus asa pada hidupku yang sakit-sakitan dan selalu menyusahkan orang lain. Aku sudah lelah dengan caci-maki dan cibiran orang-orang yang muak dengan diriku yang seperti ini. Tapi, aku tak ingin bilang bahwa aku menyesal dengan hidupku 17 tahun ini. Aku sudah berusaha maksimal untuk bisa sampai ke titik ini. Aku ingin beristirahat.

Bukan hanya Ayah dan Ibu, tapi kedua saudaraku pun dikumpulkan di ruang HCU ini oleh Dokter Agung, dokter penanggung jawabku selama ini. Dalam keadaan setengah sadar, aku dapat mendengar suara di sekitarku dan aku dapat meperkirakan apa yang akan Dokter Agung katakan pada keluargaku. Dan, aku pun sudah tahu bagaimana keluargaku merespon nantinya.

"Aisha sudah berkali-kali mengalami henti jantung. Jika itu terjadi lagi, saya tidak yakin Aisha masih mau berjuang. Karena itu, harus saya sampaikan, bahwa Bapak, Ibu, Abang, dan Adek harus siap," jelas Dokter Agung dengan tutur yang lembut.

"Iya, Dok. Kami sekeluarga sudah ikhlas. Sudah sebulan ini Ai tidak ada perubahan. Kasiha Ai," tutur Ibu dengan lirih. Memang terdengar seakan ia sudah memantapkan hati untuk kemungkinan terburuk meski masih menyisakan rasa sedih. Tapi, Ibu yang seorang mantan artis itu lihai sekali menipu orang. "Kami hanya ingin yang terbaik untuk Ai, Dok," tambahnya.

"Mohon untuk tetap berdoa meminta yang terbaik untuk Aisha," kata Dokter Agung, sebelum ia berpamitan pergi, meninggalkanku bersama keluargaku.

Terdengar suara langkah kaki ringan yang mendekat dari sisi kiri. Entah siapa, tapi mungkin itu Ibu atau Adek. Yah, aku tidak peduli. Mereka mungkin akan mencekikku untuk mempercepat proses kematianku. Aku pun tidak akan melawan, karena aku akan mengabulkan permintaan mereka padaku selama ini, yaitu mati.

"Cepat-cepatlah mati, Kak." Ternyata itu Adek. Dia sampai berbisik di telingaku, pasti agar tidak ada yang dengar. "Karena Kakak, kami terpaksa menunda acara jalan-jalan ke Swiss. Kalau Kakak mati sekarang, minggu depan kami bisa pergi jalan-jalan. Aku sayang Kakak, karena itu, cepatlah mati."

Meski suaranya tenang, tapi aku merasakan kekejaman dalam suaranya itu. Dia memang keturunan Ibu, benar-benar lihai mengubah intonasi suara.

Lalu, aku mendengar dua langkah kaki yang datang mendekat dari sisi kanan. Aku yakin itu Ayah dan Abang. Mereka pasti ingin berpesan hal yang sama seperti Adek.

"Kamu pasti capek, Ai. Kalau kamu mau pergi, kami ikhlas. Kami kasihan sama kamu yang menderita terus," ungkap Ayah. Lalu, aku merasakan belaian lembut di puncak kepalaku. Dari ukurannya, jelas itu Ayah. "Kalau kamu mati, aib keluarga kita akan hilang. Tidak akan ada lagi yang meremehkan keluarga kita dan perusahaan. Anggaplah ini bakti terakhirmu, Aisha," bisiknya.

"Terima kasih, sudah bertahan sejauh ini. Maafkan kami yang tidak bisa merawatmu dengan baik dan malah mengabaikanmu." Itu suara Abang, suara yang lembut dan terasa hangat membelai telingaku. Aku tahu dia gak sejahat Ayah, Ibu, dan Adek. Tapi, dia memutuskan untuk diam selama ini dan membiarkanku tersiksa dan menderita. "Kamu boleh tidak memaafkan kami. Kami tahu bahwa kami bersalah. Karena itu, aku yakin kamu bisa hidup dengan tenang di alam selajutnya."

Setelah semua menyampaikan pesan perpisahan yang menyakitkan, merea pun meninggalkanku.

Aku tidak membutuhkan mereka di saat-saat terakhirku. Aku hanya ingin secepatnya pergi selamanya dari dunia ini, dari tubuhku yang lemah ini. Aku ingin bahagia dan hidup tenang.

***

Aku yakin aku sudah mati. Tapi, kenapa langit-langit ruangan menjadi kayu coklat?

"Waaah!" Kekaguman seorang laki-laki menarik atensiku. Laki-laki asing yang tampak masih muda, berambut merah, bermata hijau, dan berkulit coklat. Namun, pakaiannya yang menjadi fokusku. Itu pakaian rakyat bawah bak Eropa zaman dulu. "Lihat mata merahnya yang seperti milikmu, Honey."

"Rambutnya." Aku pun beralih pada suara wanita yang lembut dan hangat. Wanita dengan mata merah dan rambut hitam legam, sudah seperti Vampire. Apalagi, kulitnya putih pucat. "Lucu sekali rambutnya hitam-merah seperti ini. Anak kita pasti tumbuh dengan baik dan menjadi anak perempuan yang cantik." Tatapannya yang hangat dan senyumnya yang lembut benar-benar meluluhkanku.

"Selamat datang, Aisha," kata laki-laki asing tadi. "Terima kasih sudah terlahir menjadi anak kami. Tumbuhlah menjadi perempuan yang cantik, kuat, dan berhati lembut." Lalu, ia medekat dan mengecup keningku.

Kata 'anak kami' sudah menjadi jawaban atas situasiku saat ini. Tapi, bagaimana bisa aku terlahir dengan masih memiliki ingatan dari kehidupanku seelumnya? Bagaimana bisa aku terlahir kembali di dunia yang zamannya berbeda dengan zaman di kehidupanku sebelumnya? Ini sudah seperti manhwa atau anime bertema romansa-fantasi dengan tokoh utama bereinkarnasi di dunia paralel.

"Melihatnya memiliki mata merah dan rambut yang didominasi hitam, sepertinya dia akan tumbuh menjadi Penyihir Kegelapan sepertimu, Honey," ungkap lelaki yang kini menjadi ayahku. "Tapi, melihat rambutnya juga ada yang berwarna merah, apa aku harus mengajarinya memegang pedang?" Lalu, ia tertawa terkekeh-kekeh. Jelas sekali terlihat bahwa dia begitu senang dan bersemangat atas kelahiran anaknya.

Wanita yang telah melahirkanku pun turut berbahagia melalui tawanya yang lembut, tapi juga terdengar lelah. "Iya, iya. Nanti, kita lihat saja dia lebih suka sihir atau pedang. Sekarang, aku ingin beristirahat. Bisakah kamu menggendongnya dulu, Sayang?" Ia menggerakkan tangannya, menyerahkanku pada suaminya.

Dekapan Ibu meang hangat dan lembut, tapi dekapan Ayah yang juga hangat ini terasa agak aneh, kuat dan keras. Mungkin karena lengannya yang berotot. Meski begitu, aku merasa sangat nyaman dan aman.

"Beristirahatlah, Honey. Aku akan membuatkanmu sup." Ayah mendekati wajah Ibu yang sudah berbaring di kasur, lalu ia mengecup kening Ibu dengan lembut dan penuh kasih sayang. "Terima kasih, Honey, karena sudah melahirkan anak kita. Aku bangga padamu."

Ibu tersenyum dan mengangguk, lalu ia tertidur dalam sekejap. Aku tahu bahwa melahirkan itu melelahkan dan bertaruh nyawa, karena itu aku tidak boleh durhaka pada Ibu. Bahkan, di kehidupan sebelumnya pun aku tidak bisa membenci Ibu meski ia bersikap kasar padaku.

"Kamu juga harus tidur, ya, Nak. Ayah mau masak buat Ibu, jadi Ibu bisa kasih kamu susu yang banyak." Sebelum menaruhku di kasur bayi yang dikelilingi pagar tinggi, Ayah mengecup keningku lagi. Lalu, ia pun pergi dari kamar ini tanpa menutup pintu.

Baru kali ini aku merasakan kehangatan seorang ayah dan ibu. Mereka terlihat sangat bahagia dan bersyukur atas kelahiranku sebagai bagian dari keluarga mereka. Aku yakin, pada kehidupanku yang dulu, kedua orang tuaku sudah membenciku karena terlahir lemah dan sakit-sakitan, tapi anehnya mereka tidak bisa membunuhku.

Aku tidak percaya pada reinkarnasi, tapi karena hal itu terjadi padaku, mau tak mau aku harus percaya. Juga, aku harus bersyukur. Mungkin Tuhan masih berbaik hati untuk memberikaku kesempatan merasakan kebahagiaan yang belum pernah aku rasakan di kehidupanku sebelumnya.

Entah apa yang harus aku hadapi di dunia yang masih dipenuhi dengan penyihir, petualangan, dan mungkin monster dan iblis, tapi untuk saat ini aku akan menikmati hari-hari bersama kedua orang tuaku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status