“Jadi kau tinggal di sini selama di Bandung?” tanya Pramono tepat ketika roda mobilnya berhenti di halaman rumah yang Nadya tempati—rumah orang tua Edwin. “Ya.” Nadya membuka pintu mobil dan melangkah turun. Pramono mengikuti perempuan itu hingga teras rumah. Pandangannya mengedar memperhatikan setiap detail bangunan itu. Setengahnya penasaran dari mana Nadya memiliki koneksi hingga bisa menyewanya? Nadya berbalik. Langkah Pramono terhenti hingga nyaris menubruk wanita itu. Mereka saling memandang. Nadya berpaling. “Sebaiknya Bapak tetap di luar.” “Apa?” Pramono mendelik. Kedua mata memicing itu jelas sempat berharap lebih. “Tidak baik, atasan berduaan dengan karyawannya. Apa kata orang nanti?” Merasa telah membalas satu pukulan, wanita itu menarik sebelah bibir. Nadya beralih pada pintu dan membukanya. Sebelum berpaling tadi, dia sempat melihat ekspresi terkejut itu di wajah Pramono. Pintu terbuka. Nadya melangkah masuk dan kembali menutupnya. Tak langsung mengemasi barang yan
“Kau pikir aku sekejam itu?” tanya Pramono sembari menarik sebuah kursi tak jauh dari Nadya. “Duduklah,” ucapnya dengan seulas senyum manis pada Nadya. Senyum yang dipaksanya untuk tampak. Hanya sekejap. Sebab tepat setelah Nadya menjatuhkan pantatnya, senyum itu lenyap. Pramono mengedar pandang ke penjuru ruangan dengan tatapan tajam pada orang-orang yang memandang penasaran. Seolah dari tatapan itu ingin mengatakan, ‘Kalian akan mati jika mengganggu istriku.’ Laki-laki itu kembali duduk. Nadya meletakkan buku di kursi lain tak jauh darinya. “Bapak tidak kejam,” ucap Nadya tanpa memandang Pramono. “Bapak hanya bos yang berhak melarang atau memberi perintah apa pun,” lanjutnya. Pramono mengangkat wajah. “Apa?” *** Pesanan tiba. Steik dengan kematangan sempurna tersaji di depan mata. Alih-alih segera mengambil garpu dan pisau, Nadya justru memandangi makanan itu. “Apa untuk memakan isi piringmu, juga harus ada perintah?” Pramono menatap wanita itu. Nadya membuang muka. Sejauh i
Setelah beberapa menit berlalu—itu yang Pramono rasakan—kamar yang disewanya terasa sangat hening. Dia tak melihat pergerakan dari Nadya yang terakhir dilihatnya sedang berdiri tak jauh dari pintu. Laki-laki itu melirik jam yang masih melingkar di pergelangan tangan kiri. Waktu menunjukkan pukul setengah dua malam. Tergesa-gesa, dia bangkit. Diedarkannya pandangan ke penjuru ruangan dan berhenti tepat di depan pintu. Masih menggunakan pakaian yang sama, Nadya tergeletak berbantalkan tas dan beralaskan jaket miliknya. Pramono menghela napas lega, sekaligus ... kecewa. Tawa getir yang terdengar menyerupai deraian tangis keluar begitu saja. Menyakitkan, bukan? Istri yang masih sangat kau cintai, memilih orang lain. Dan kini, sejijik itu dia berdekatan denganmu hingga lantai terasa lebih nyaman dari tempat hangat itu di sampingmu. Pramono membuang napas lelah. Bukan ini yang dia harapkan dari keberadaan Nadya. Diusapnya sudut mata yang mendadak berembun. Dia lalu melangkah mendekati w
Di Lampung.Pukul sembilan pagi, mobil yang mengantar Pramono memasuki area kampus. Halaman yang luas, pepohonan rindang di halaman, bunga-bunga yang menghias di hampir semua sudut, seketika menyambut kedatangan mereka. Sejuk dan asri.Di jok kiri depan, Pramono melihat Nadya mengedar pandang. Terlihat dari bagaimana wanita itu memperhatikan sekitar dengan mata nyaris membulat, dia tahu istrinya suka tempat-tempat semacam itu.Memasuki halaman parkir, tampak dua orang telah berdiri di teras depan kampus. Pramono melangkah turun diikuti Nadya. Bak artis yang kedatangannya telah ditunggu-tunggu, keberadaan Pramono langsung disambut hangat.“Selamat pagi, Kak?” sapa salah satu dari mereka. Sementara satu lagi memilih diam melainkan mengulurkan tangan diiringi senyum ramah.Pramono menyambut uluran itu tak kalah hangat. “Apa saya terlambat? Di mana lokasinya?”“Tidak, Kak. Mari saya antar.”Nadya dan Pramono melangkah mengikuti dua orang di depannya. Aula kampus itu begitu luas. Kursi-kur
“Tante Annisaaa ....” Teriakan Tasya seketika membuat wanita berhijab di depan meja, menoleh. Binar bahagia. Senyum mengembang begitu saja di bibirnya. “Tasyaaaa ...” teriak Annisa pura-pura histeris. “Tante kangen sama kamuuuu ...” Gadis itu merendahkan posisi tubuh, menyambut kedatangan putri dari bosnya dengan kedua tangan terbuka. Isyarat pelukan. “Tasya udah pulang?” Tasya berangsur cepat lalu mengangguk. “Dijemput bunda. Papa kok lama, Tante?” Bibir Tasya mengerucut. Sekilas itu membuat Annisa ingin menggigitnya karena gemas. Mendengar pertanyaan itu, Annisa mengangkat wajah. Memandang wanita cantik yang berdiri di belakang bocah itu. “Papa kan baru pergi kemarin, Kak. Hari ini baru dari sana.” “Masih lama ya, Tante?” “Um .... Mungkin sebentar lagi,” Annisa mengusap pipi bocah itu. “Tasya mau es krim?” “Mau. Mau. Mau.” “Ayo kita beli es krim!” Lincah, Tasya mendahului langkah. Sementara Annisa dan ibu sambung gadis itu menyusul di belakangnya. Hening dan canggung. Awaln
Perjalanan ke Bandung masih lama. Ada yang berat di pangkuan, tapi Nadya tak bisa mengatakan jangan.Memandang dari dekat wajah pucat Pramono, hangat kembali merebak di kedua matanya dan nyaris menitik. Nadya menahan dengan menggigit bibir yang bergetar itu. Lalu seperti itu belum cukup, satu tangannya terangkat begitu saja, menutupi dengan punggung tangan agar jangan sampai terdengar isak.Ada yang mengganjal besar di dada. Menghadirkan penyesalan mendalam, namun dia tak tahu yang mana. Nadya merasa melakukan begitu banyak salah pada laki-laki itu dan keluarganya. Mempermalukan nama baik orang tua dengan perilaku yang tak bisa dimaafkan.Dari kaca spion, Nadya sempat menangkap Mardi mencuri pandang. Tentu saja, orang baru macam apa yang berhasil mendapatkan kata rindu dari atasannya, jika bukan seseorang yang dikenal baik? Bahkan mungkin sangat baik.“Pak, saya butuh penurun panas. Bisa minta tolong belikan di apotek sebentar?” Nadya memandang laki-laki di jok kemudi dari pantulan ka
“Sudah siap?” tanya seseorang saat Nadya membuka pintu rumah. Laki-laki itu mengenakan setelan kemeja kasual yang anehnya, meski motif namun tampak rapi dalam pandangan Nadya. Edwin. Dia memandang laki-laki yang berdiri di halaman, lalu menghela napas tak percaya. “Sejak kapan kau di situ?” Edwin mengedikkan bahu. “Andai tak membebanimu, mungkin aku sudah datang sejak semalam.” Kedua mata Nadya membulat. Wanita itu menggeleng tak percaya. “Astaga. Orang akan menggerebek kita karena dianggap pasangan mesum.” Usai mengunci pintu, Nadya melangkah mendekati laki-laki yang bersandar di kap mobil dengan tangan terlipat di dada. Edwin terkekeh. “Siapa yang akan berpikir begitu? Aku datang untuk menagih uang kontrakan.” “Baik. Berapa harus saya bayar, Pak?” Nadya melotot. Laki-laki itu kembali terkekeh. Di ujung jalan, Shofwa tampak memandang ke arahnya. Gadis itu telah rapi dengan pakaian panjangnya yang khas, dan hijab yang menutup hingga perut. Nadya melambaikan tangan dengan seulas
“Mereka nggak tak tahu aja siapa Kak Nadya,” sambung Hana lalu menghembuskan napas pasrah. Cup kopinya terisi penuh. Lalu melangkah mendekati meja. Nadya menoleh pada gadis itu. “Mereka?” ulangnya. “Tidak tahu siapa aku?” lanjutnya. Di telinga Nadya, kalimat itu terdengar seperti—Hana tahu siapa dirinya. “Iya, Kak.” Hana menatap ragu. “Jadi kamu tahu siapa aku?” tanya perempuan itu memastikan. Merasa mengucapkan kalimat yang keliru, Hana menunduk. “Astaga,” desis Nadya. “Lalu siapa yang menyebarkan isu pelakor itu?” tanya Nadya akhirnya. Jevri dan Hana saling memandang. “Dia ...” *** “Astaga.” Nadya menghabiskan kopi dalam cup miliknya lalu membuang napas jengah. Tangannya mengepal, hingga paper cup bekas miliknya teremat tak berbentuk. ‘Apa maksudnya ini?’ Perempuan itu bangkit. Lalu dengan langkah panjang meninggalkan pantri, menuju mejanya. Nadya menghempaskan diri ke kursi. Tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Dia tak habis pikir, bagaimana bisa seorang