Hati ini rasanya tak karuan. Nyeri tiap kali membayangkan bagaimana perempuan itu diperlakukan dan diistimewakan. Aku tak ingin mengingat, tapi bayang itu selalu berkelebatan seolah tak ingin dilupakan. Aku tak tahu apa yang dilakukan Mas Bian dan Irena setelah kepergianku, tapi pernyataan dan jawaban-jawabannya sudah membuatku mengerti bahwa aku bukanlah harapannya. Aku bukan impiannya. Jadi tak perlu juga bermimpi terlalu tinggi sebab bila jatuh akan semakin membuatku sakit hati. Bisa saja aku pura-pura tak tahu atau diam, hanya saja pastilah sakit itu terasa semakin dalam. Hanya menunggu bom waktu saja hingga akhirnya dia menjatuhkan talaknya. Daripada ditalak semakin membuatku terluka, lebih baik aku menggugatnya saja. Lagipula percuma bertahan dalam pernikahan jika dia hanya memikirkan perempuan lain sepanjang waktunya. Tak pernah berusaha melupakan justru selalu mengingat bahkan hingga dalam tidurnya. "Kamu kenapa, Nia? Habis nangis?" Ibu menatapku lekat dengan pandangan pen
Jika Mas Bian tak pernah peduli dengan perasaanku, tak mengapa. Aku bisa menata batinku sendiri. Kini aku fokus dengan kebahagiaan dan masa depan Irena. Aku akan memilih pergi setelah menguasai semuanya. Bukan demiku, tapi demi Irenaku. Lihat saja. Perempuan yang selama ini selalu dia hina hanya karena dia anggap tak punya power apa-apa, perempuan yang mungkin dia pikir terlalu lemah bahkan tak mungkin memilih berpisah dengannya dan perempuan yang dia pikir sudah luluh hanya karena cintanya yang penuh sandiwara, ternyata tak seperti yang dia kira. Aku memiliki banyak cara untuk membuatnya ternganga dan tak percaya. Jika dia membawa luka dan sakit hati untukku, maka dia juga harus merasakan kekalahan yang lain. Sekali lagi, tak akan kubiarkan dia tertawa dan bahagia sementara aku harus memikul lara. |Berkas semua siap, Nia. Tanda tangan Bian sudah mama dapatkan sore tadi. Sepertinya dia nggak baca apa isi berkas itu. Langsung tanda tangan saja. Persis seperti dugaanmu. Notaris kita a
"Assalamu'alaikum." Aku dan Irena kompak mengucap salam saat sampai di teras rumah. Kudengar mama menjawab salam kami dari dalam. Sepertinya Mama memang menginap di sini sejak kemarin. Mobilnya parkir di garasi. Mobil Mas Bian pun ada, berarti dia nggak kerja hari ini. Mungkin cuti. Aku tak tahu sebab sejak tiga ke rumah ibu, tak ada satu pun pesan darinya atau sekadar menanyakan kabar Irena. Sebegitu mudahnya dia melupakan kami, saat sudah menemukan cinta sejatinya yang pernah hilang. Aku yang biasanya selalu menanyakan keadaannya, kabarnya dan kegiatannya pun sengaja diam saja. Menekan hatiku kuat-kuat agar tak mengiriminya pesan dan berhasil. Mungkin Mas Bian cukup kaget, seorang Dania yang biasanya bisa puluhan kali mengirimi suaminya pesan dalam sehari hanya untuk tanya kabar dan keadaannya, kini bisa dengan mudah menyetop semuanya. Menekan rasa perhatian dan kekhawatirannya sejak kulihat dengan mata kepalaku sendiri betapa bahagianya dia bertemu Irena.Berulang kali menenangk
"Mantan hanya bagian dari masa lalu yang harus dilupakan. Begitu bukan?" Mas Bian menegaskan kalimatku. Dia tak merasa jika saat ini aku sedang menyindirnya. Laki-laki itu benar-benar tak peka atau memang pura-pura tak tahu. Entah. "Ak-- aku setuju, Nia. Mantan memang menyimpan banyak kenangan. Jadi, tak baik jika harus kembali berhubungan dekat dengannya, takut kembali terkena bujukan syetan yang bisa menghancurkan pagar ayu seseorang." Mas Bian sedikit gugup dengan ekspresi yang tak lagi seperti tadi saat aku menatapnya lekat tanpa kedip. Dia mulai pias lalu buru-buru mengalihkan pandangan. Tak mengalihkan tatapan, aku masih menatapnya tajam. Biar saja dia salah tingkah atau merasakan keanehan sikapku. Lihat saja nanti, akan kubuat hari-harimu disesaki kekhawatiran, Mas. Gelisah dan bingung dengan perubahan sikapku sampai akhirnya kamu shock mendapati undangan sidang dari pengadilan. Iya, kita lihat saja. Aku atau kamu yang akan menyesal atas karamnya rumah tangga ini. "Sudah minu
Pagi ini, Mas Bian akan kembali ke kantor setelah dua harian tak masuk kerja. Sejak hujan-hujanan dengan Irena itu, Mas Bian memang demam. Bahkan dua malam dia mengigau nama Irena. Benar-benar menyebalkan. Namun aku tak peduli. Sepertinya aku sudah mati rasa sejak dia terang-terangan begitu mendewakan perempuan itu bahkan ingin menjadikannya maduku. Mas Bian begitu merendahkanku sebagai perempuan padahal selama ini aku begitu memujinya di atas awan. Kagum atas segala cinta, perhatian dan tanggungjawabnya yang ternyata semua hanya sandiwara. Aku yakin, ibu dan Mas Fano juga akan shock berat saat tahu aku dan Mas Bian berpisah sebab selama ini aku hanya menceritakan semua kebaikan suamiku pada mereka. Tak pernah kuceritakan keburukan Mas Bian. Namun nanti jika ibu memaksaku bertahan, aku akan ceritakan semuanya dengan bukti-bukti yang ada. Setidaknya agar ibu yakin aku tak membual belaka. "Pagi, Sayang." Mas Bian keluar kamar sembari membenarkan dasinya. Dia mencium kening Irena la
Kupikir tak banyak pesan yang dikirimkan Mas Bian untuk perempuan rahasianya. Namun, dugaanku ternyata keliru. Banyak sekali pesan yang dia kirimkan pada perempuan itu, meski hanya dibalas sesekali karena lebih sering diabaikannya. Bahkan saat di mobil tadi pun Mas Bian masih sempat mengirimkan pesan agar perempuan itu tak lupa untuk sarapan. Betapa perhatiannya dia. Seolah lupa apa statusnya saat ini. Mendadak bermetamorfosa menjadi anak muda yang kembali jatuh cinta. Mas Bian benar-benar seperti anak remaja yang sedang dimabuk kepayang. Di sisi lain dia masih berusaha bersandiwara dan terus menjaga harga dirinya di depanku seolah menjadi suami dan ayah terbaik sepanjang masa. Benar-benar memuakkan. |Jam lima sore di taman samping TK Pertiwi ya, Ren? Siap. Aku pasti ke sana. Tunggu saja| Aku menghela napas panjang. Semua sudah terbaca. Pantas saja hari ini bilang pulang telat dengan alasan lembur, ternyata dia janjian dengan perempuan itu nanti sore. Apakah dia lupa dengan pepatah
Laki-laki yang pernah mengisi hatiku di masa lalu itu cukup kaget saat melihatku sudah mematung beberapa meter dari tempat duduknya. Kedua matanya membulat lalu perlahan senyum tipis terlukis di wajahnya. Wajah yang masih sama seperti dulu, hanya saja rambutnya sekarang sedikit lebih gondrong dibandingkan sebelumnya. Laki-laki itu menatapku beberapa saat lalu beralih ke Irena yang berdiri di depanku. "Mas Eza, turut berduka cita atas meninggalnya mama kamu, ya? Maaf tante baru tahu dari Sahnaz, kebetulan mamanya Sahnaz juga nggak bilang apa-apa soal itu. Sekali lagi tante minta maaf," ucap mama dengan senyum ramahnya. "Oh iya, tante. Nggak apa-apa, terima kasih atas perhatiannya," balas laki-laki itu lagi. Senyumnya kembali mengembang, tapi kutahu tatapan itu tetap menuju ke arahku. "Dia menantu tante. Namanya Dania." Tiba-tiba mama memperkenalkan namaku pada lelaki di sampingnya. Mungkin karena tatapan lelaki itu masih begitu lekat ke arahku jadi mama merasa ada kewajiban untuk m
|Iren, aku sudah sampai di tempat yang kamu minta. Taman kecil di samping TK Pertiwi. Tak jauh dari alun-alun kota. Kamu di mana? Aku benar-benar tak sabar menanti kedatanganmu. Cepatlah datang, aku sudah menunggumu| Pesan dari Mas Bian untuk perempuan itu terkirim lima menit yang lalu. Belum ada balasan di sana. Mungkin Irena memang sengaja tak membalas seperti biasanya. Hanya membaca, tapi tetap saja datang dengan senyum menawannya. Baru mengenalnya beberapa hari, tapi aku sudah mulai bisa menebak sikapnya saat menerima dan membalas pesan. Tak menunggu balasan Irena lebih dulu, Mas Bian kembali mengirimkan pesan selanjutnya. Mungkin rindunya terlalu dalam sampai tak sabar menanti kedatangan perempuan itu. Aku hanya bisa tersenyum miris. Aku tak tahu siapa yang salah. Mungkinkah aku tak sepantasnya hadir di antara mereka? Atau Irena yang seharusnya tak hadir di antara aku dan Mas Bian. Entah. |Irena, kamu di mana? Sekarang tinggal di daerah sinikah? Aku tahu dan datang ke tempat t