เข้าสู่ระบบ02 -- Hidup Giva Setelah Putus Cinta
"Setelah putus itu rasanya gue tiba-tiba jadi orang paling iri-an sedunia. Lihat yang pacaran salty, lihat yang gandengan tangan salty, bahkan lihat anak SD ngobrol di depan abang cilor sambil pakai panggilan ayah bunda juga bisa bikin gue salty." ****** Kata orang, forget who hurt you yesterday but don't forget who loves you tenderly today. Sialnya, Giva tidak memiliki tuh yang dimaksud who loves you tenderly today. Baik kemarin, hari ini, hingga dua juta tahun kemudian, Giva yakin tak akan memilikinya. Memiliki seseorang yang menerima kekurangannya. Segala ketakutannya. Segala traumanya. Sehingga patah hati kali ini terasa menyedihkannya berkali-kali lipat karena Giva menyadari hal di atas. Jadi tolong maklumi, kalau Giva jadi lebih sering uring-uringan di kantor, di rumah, di salon, di manapun dia bisa melihat makhluk lain melakukan lovey-dovey di hadapannya. "Sejak patah hati, gue menjadi manusia paling iri-an sedunia," ujarnya dengan wajah ditekuk, pukul 10 pagi, di depan deadline laporan yang meraung-raung meminta diselesaikan. Di sebelah kubikelnya, Shina menghela napas panjang. Energi negatif yang menguar dari patah hati Giva, sialnya, menular juga. Ia jadi ikut-ikutan tidak semangat. "Gue mengerti sih gimana sakitnya itu. Gila! Pacaran tiga tahun, bisa-bisanya Adrian ketahuan selingkuh yang ke lima kali." Giva tersenyum samar. "Berarti antara doi yang berengsek atau gue yang tolol, ya?" Pertanyaan Giva jelas untuk dirinya sendiri. Berulang kali, Juan sudah mengatakan bahwa tolol bertahan pada laki-laki yang senang bermain hati seperti Adrian. Juan bahkan mengandaikannya seperti bermain saham. Giva sedang mempertaruhkan semuanya pada investasi yang jelas-jelas sudah bangkrut. Giva jadi ingin menoyor kepala Juan, tiba-tiba. Laki-laki itu memberi nasihat seolah dia adalah laki-laki paling alim sedunia yang tidak pernah membuat pacar-pacarnya menangis. Pakar manapun akan dengan senang hati menunjuk pada Juan kalau ditanya soal siapa laki-laki yang paling mahir selingkuh. "Lo itu bukan tolol sih, Va. Cuma bloon dikit." Dari kubikel depan, seseorang menyahut. Mendecih Diva karena ledekannya. "Seluruh manusia di bumi sudah memperingatkan lo terkait Adrian yang suka flirting kesetiap betina," tambahnya. Giva mendengkus kesal. Ejekan laki-laki di depannya itu tepat sasaran. "Kenapa sih Jav, laki-laki nggak bisa merasa cukup dengan satu perempuan aja?" tanya Giva masih dengan suara lemas. Ia benar-benar seperti kehabisan daya akibat kejadian mahadasyat di weekend-nya yang berharga. Belum lagi sisa hang over yang membuat kepalanya semakin berat. Laki-laki bernama Javin itu berdiri. Disandarkannya lengan pada sisi kubikel. Matanya mengarah serius pada Giva dan membuat si perempuan juga memandang penuh. "Kodratnya laki-laki 'kan memang begitu, Va. Suka melihat yang indah sekalipun di rumah, ada yang lebih indah." "Lo juga gitu dong, Jav?" serang Shina tanpa tedeng aling-aling. "Nah, betul," tambah Giva. "Gue belum selesai ngomong ya. Semua laki-laki demikian, termasuk bos lo pada, yang semua karyawati di sini kagumi, yang notabene adalah sahabat Giva sendiri, begitu juga. Tapi ada satu manusia yang nggak begitu, Va," jawab Javin panjang lebar dengan akhiran yang jumawa. Giva dan Shina kompak tertawa. "Satu manusia itu lo?" jelas Giva. "Yoi." "Najis lo," ledek Shina. "Tapi kalau manusia yang begitunya macam bos kita sih, masih okelah, Hahahaha." Giva mengernyit. "Kenapa kalau Juan masih dimaklumi? Dia manusia yang tidak sempurna, hey kawan. Dia tetap ileran kalau tidur kok." Giva jelas tidak terima setiap kali teman-temannya mengagung-agungkan seorang Juan Dirangga Moelya. Karena dalam pandangan Giva, Juan itu tidak ada agung-agungnya. "Tapi ilerannya pun tetap ganteng, nggak kaya Javin," elak Shina dengan tawa karena langsung mendapat tatapan maut laki-laki itu. "Javin manis kok." Itu suara Giva. Jawabannya jelas membuat keduanya, baik Shina maupun Javin sendiri saling pandang. Siapapun di bumi ini, yang mengenal seorang Givanya Nantika Soekma pasti tahu bahwa perempuan itu memiliki phobia memuji –istilahnya. "Lo serius? Javin manis?" tanya Shina mengonfirmasi. Nada bicaranya yang terkesan tidak terima jelas menyinggung Javin. "Sialan lo, nggak terima benar kayaknya kalau Giva muji gue," sewot Javin. "Soalnya lo memang nggak manis." "Enak aja." Tepat ketika ketiganya akhirnya tertawa, telepon di meja Giva berbunyi. Jelas sekali raut wajah Giva yang berubah kesal itu bisa Javin dan Shina pastikan karena seseorang di seberang telepon sana. Laki-laki di lantai atas yang setiap istirahat akan datang ke kubikel Giva dan meletakkan banyak laporan yang harus diperiksa ulang. "Kenapa nggak bilang dari tadi!" sewot Giva seraya menutup panggilan. Dipandanginya Javin dan Shina yang menatap heran pada Giva. "Duh ... seharusnya dua bulan lalu itu gue nggak ngebatalin keputusan resign. Si kampret Juan nyuruh gue nganterin laporan yang jelas-jelas sudah dia acc cuma untuk dirombak ulang." Baik Shina maupun Javin hanya bisa memandang kepergian Giva dengan muka bête itu dengan helaan napas panjang. Keduanya tahu bahwa sepertinya memang sudah nasib Giva menjadi sasaran ketengilan bos mereka. ***** To be continuedLalu setelah puas memandang, mereka kembali menyatukan ciuman. Ciuman itu adalah perpaduan dari kecup dan pagut. Seolah belum cukup, sibuk menari-nari di dalam sana, lidah saling membelit. Juan menahan bobot tubuhnya dengan sebelah tangan agar membuat Giva nyaman. Lalu satu tangan lainnya, nakal sekali berlarian ke sana kemari. Awalnya di pipi Giva. Berpindah membelai rambut perempuan itu. Turun sebentar ke leher dan tulang selangka. Sesaat kemudian membelai lengan Giva, turun ke pinggang perempuan itu, menjalar ke pinggul dan meremas lembut sintal kepunyaan perempuan itu lama. Itu semua dilakukan Juan ketika bibirnya masih sibuk menginvasi setiap sudut bibir sang istri. Seperti musafir yang kehausan, Jujur saja, Juan jadi manusia yang sedikit serakah sekarang, tak puas-puas. Bahkan ketika Giva akhirnya memundurkan kepalanya, memutuskan ciuman mereka karena kehabisan napas, Juan masih terus menginginkannya lagi dan lagi. Ciuman itu. Rasa manis itu. "Sebentar," tahan Giva. "
Juan menatap pada bayi kecil cantik itu tanpa jeda. Padahal yang sibuk ditatap justru asik saja terlelap. Mengabaikan pandangan kagum, memuja, bersyukur dan penuh cinta dari sepasang mata yang mulai berkaca-kaca. Dalam gumaman yang pelan -karena takut membuat Daisy bangun- Juan berkali-kali mengucap terima kasih pada sang putri karena telah tumbuh dengan sehat dan kuat. Meski jauh dari dirinya. Sang ayah yang buruk. "Mau dilihatin sampai kapan anaknya, pak?" Giva yang baru selesai mandi mendapati Juan masih duduk di dekat box tidur Daisy. Memandang lekat dengan senyuman terpatri. "Loh ... loh ... kok nangis, pak?" Juan mencebik karena ejekan Giva. "I'm just feeling so grateful to Daisy." "Kenapa?" "Because she grew up cool even though she was far away from me." Juan kembali menatap Daisy. "Terima kasih karena dia mau menjadi anakku, Juan yang nggak ada keren-kerennya ini." Giva yang sedang sibuk mengeringkan rambut terkekeh. Ia meletakkan pengering rambutnya. "Kemana jiwa narsi
Extra Chapter : Giva-Juan's Life After Not Getting Divorced Itu seperti sebuah keajaiban. Tatkala jantungnya kembali berdetak, menyapu bersih kekhawatiran dan duka yang menggelembung. Riuh tangis dan ketakutan berganti helaan napas lega dengan tubuh yang ambruk karena kehilangan daya. Tidak hanya satu manusia berama Givanya Nantika Soekma yang notabene jelas sedang dirongrong penyesalan. Para dokter yang berjibaku dengan lelehan keringat, pun para perawat yang sejatinya tak pernah mengenal secara personal sang pasien, hari itu, mereka semua, merasa sangat lega bersama-sama. Juan tidak jadi pergi. Juan masih bersama mereka. Seperti mendapatkan jackpot karena ia selamat setelah sekarat. "Giva." Gumaman pertama yang terdengar itu, menyadarkan lamunan Giva. Kini, mereka sudah berada di ruang inap biasa sekalipun sebenarnya Juan belum sadar pasca kejadian tadi. Walau begitu, masa kritisnya sudah lewat, progresnya sangat baik. Jadilah Giva dibolehkan untuk menunggu Juan di sisin
"Juan, please ...," lirih Giva, di sudut ruangan, merintih dengan air mata luruh yang riuh. Ia menatap Juan yang sedang mendapatkan pertolongan karena tiba-tiba saja mengalami masa kritis lagi. "Juan ... maaf, karena aku terus keras kepala dan hanya ingin peduli pada diriku sendiri. Juan maaf ... karena nggak pernah memberikan kamu kesempatan. Juan ... aku sayang sama kamu, please, come back to us. Kita semua sayang kamu, aku juga, aku juga sayang kamu. Jangan tinggalin aku, Juan." Kata-kata itu membuat siapapun yang ada di ruangan -termasuk dokter dan perawat- merasa ikut sakit mendengarnya. Melolong memohon pada takdir, seorang Givanya Nantika Soekma, agar berkenan menghentikan mati merenggut suaminya. Ketika ia belum berbaikan. Ketika ia belum mengatakan cinta. Ketika ia belum meminta maaf. "Kata kamu, satu permintaan sebagai ganti permen itu, akan kamu gunakan suatu saat nanti. Jadi bangun, apapun yang kamu minta, aku akan kabulin semuanya, Juan, ayo ... bangun. Ayo kita hid
"Sejak dulu, aku benci melihat bendera kuning di depan rumah-rumah orang. Sebab biasanya, itu tanda bahwa dunia seseorang sedang hancur di sana. Tapi ... aku kadang lupa diri. Bahwasanya, bendera kuning mungkin bukan hanya kepunyaan mereka dan keluarganya, tapi bisa menghampiri aku dan keluargaku kapan saja." -Givanya Nantika Soekma- **** Seseorang mengatakan bahwa regretting the past is like chasing after the wind. Hal itu berarti bahwa segala yang sudah terlewat sangat tidak mungkin diulang sehingga menyesalinya hanya akan menjadi kesia-siaan. Giva sadar itu. Ia dan penyesalannya kini adalah menyatu dengan diri. Dalam pandangan mata yang nanar di balik kaca yang memisahkan itu, hasil dari keras kepalanya ada di sana. Juan terkapar tak berdaya. Ibu Juan bilang bahwa itu bukan salah Giva. Tapi bagi Giva, ada andil dirinya di sana. Giva mengusap air matanya yang luruh. Merutuk dalam hati perihal ia yang sudah berkepala batu. Ketika Juan sudah berulang-ulang menjelaskan tentang k
"Tapi kamu eruh toh lek Juan ki dijebak Alysa?" Giva mengangguk. "Lah kenapa masih belum bisa maafin Juan?" "Seandainya dia ngabarin aku kalau mau ketemu Alysa, seandainya dia nggak matiin ponsel, seandainya dia nggak diam-diam buat ketemu perempuan itu ... nggak akan ada celah bagi Alysa untuk bikin semua kebohongan ini, bu." Ibu Giva menghela napas panjang. Ia tidak bisa menyalahkan rasa sakit putrinya akibat kelalaian dan kebohongan Juan. Namun melihat sang menantu sama hancurnya, ibu Giva jadi sama dilanda sedih juga. Tak perlu diragukan lagi, setelah usahanya untuk menemukan Giva di Belanda dengan kakinya sendiri tanpa bantuan siapapun, rasa cinta Juan tentu dipenuhi kesungguhan. "Jadi Juan setuju untuk berpisah, nduk?" Giva mengangguk. Ia tak sanggup menjawab dengan suaranya. Terlalu menyakitkan untuk melangkah menuju rangan hijau dan mengakhiri pernikahan. Tapi ... rasa sakit di hatinya juga masih terasa basah untuk ia memilih lupa dan melanjutkan pernikahannya. "Rencan







