03 --- Hidup Giva Setelah Putus Cinta 02
Ruangan itu beraroma musk khas Juan yang Giva hafal karena si laki-laki setia dengan Acqua Di Gio Pour Home milik Armani yang hampir dua minggu sekali habis. Warna propertinya monokrom, terkesan membosankan. Di meja besar itu, papan bertuliskan nama Juan bertengger mewah dengan warna keemasan. Di bawahnya, jabatan Direktur nampak mentereng menyilaukan. Giva mendehem. Memancing Juan yang sedang memejamkan mata dengan telinga yang dijejali headphone di atas kursinya. Tak luput dari pandangan Giva, kaki Juan yang sengaja ditumpukan pada meja. Luar biasa sopan! Untung bos, batin Giva. "Kenapa minta direvisi lagi sih laporan kemarin? Katanya kemarin sudah acc," omel Giva langsung to the point. Juan membuka matanya, mendecih kesal karena langsung diberondong oleh omelan. Ia melepaskan headphone-nya dan melemparkannya ke meja, asal. "Gue cuma alasan doang ya minta lo revisi laporan." Juan bangkit, mendekat kearah Giva. Ia meletakkan jemari-jemarinya di dahi Giva. "Lo nggak langsung sakit, kan habis mabok kemarin? Soalnya minum beer zero alcohol aja langsung sakit biasanya." Giva menepis tangan Juan dari dahinya. "Gue sehat Pak Direktur. Sudah yeeeee, eike balik kerja dulu." Giva hendak berbalik dan meninggalkan ruangan ketika laki-laki itu justru menahan tangan Giva. "Mata lo sembap banget, dodol. Lo nangis ya setelah gue pulang kemarin?" "Sedikit," jawab Giva cuek. Juan mendekat pada Giva dan bersiap memeluk perempuan itu. Niatnya sih mau perhatian ala-ala sahabat yang saling menghibur, namun bukannya berbalas peluk, Giva sudah lebih dulu meninju perut Juan lumayan kencang. "Shit!" umpat Juan cukup keras. Ia merasakan perutnya lumayan perih karena tinjuan Giva. "How can women have such painful punches anyway?" gerutu Juan kesal. Giva tak merasa bersalah. Ia hanya tertawa samar. "Lo juga kenapa sembarangan pelak-peluk? Gue kan jadi harus membasuh diri pakai air tujuh kali dengan tanah salah satunya," jawab Giva dengan tawa renyahnya. Juan mendengkus. "Memangnya gue najis mugholadoh." "Jadi beneran ini nggak ada yang penting lo manggil gue ke ruangan lo?" "Gue mau menghibur lo yang sedang patah hati, Givanya Nantika Soekma. Tapi lo malah main tinju aja. Dasar perempuan nggak tahu terima kasih." "Lo menghibur gue tapi peluk-peluk itu namanya modus, Juan. Cewek lain mungkin akan dengan senang hati menerima pelukan dari lo, tapi gue ... sorry-sorry jek, ogah." Juan menarik tangan Giva dan membawanya ke sofa. Mereka duduk bersebelahan. "Lo nggak merasa ada kelainan gitu sama otak lo?" "Otak gue? Kenapa? Gue merasa pinter-pinter aja sih dari zaman sekolah dulu juga." Juan menghela napas. "Gue di mata orang lain tuh serupa dewa tahu nggak," jelas Juan dengan nada jumawa luar biasa. Membuat Giva membuat gerakan layaknya orang mau muntah dan Juan mendelik. Lanjutnya, "tapi kenapa di mata lo, gue kaya eek kambing sih?" Giva tertawa. Membayangkan eek kambing yang Juan maksud saja rasanya sudah menggelikan, apalagi bila disandingkan dengan wajah Juan. "Jangan ketawa!" "Lo lucu." "Giliran gue bilang mirip eek kambing aja lo senang banget," gerutu Juan. "Karena gue sudah melihat lo dari jaman pipis lo aja belum lurus, Juan. Dari lo belum sunat, kemana-mana pakai kolor doang. Mana bisa gue melihat lo dengan pandangan memuja seperti mereka yang melihat lo sudah sebesar ini." Giva menunjuk pada tubuh Juan dari kepala hingga ujung kaki. "Bisa-bisanya anak gadis ngomongin sunat." Giva masih tertawa. Ia bahkan lupa soal patah hatinya kalau sudah tertawa lepas dengan Juan begini. Seolah, beberapa jam lalu, di depan cermin kamarnya ketika ia bersiap-siap, tidak pernah ada Givanya Nantika Soekma yang menangisi kemalangan hidupnya yang akan mati dalam keadaan perawan tua. "Seharusnya ya, hari ini tuh lo merasa canggung gitu ketemu gue." Giva mengernyit heran. "Kenapa harus begitu?" "Lo lupa apa yang gue ucapin semalam?" "Apa?" "Ya Tuhan, so ... I was talking to a drunk person last night?" Giva tertawa. "Gue inget kok, lo ngajakin gue nikah, kan?" Juan tak menanggapi. Dilihatnya diri Giva untuk mendapatkan jawaban lewat gesture seandainya bibir perempuan itu berniat dusta. Namun tak terbersit kecanggungan, rasa gugup dan berdebar, atau pun salah tingkah, di mana biasanya perempuan akan melakukan itu walau hanya sebuah ajakan minum teh yang Juan lontarkan. Tapi ini ajakan menikah! Dan Giva biasa saja tuh. "Gue 'kan sudah bilang nggak mau, Juan Dirangga Moelya." "Bukannya yang lo sedihkan hingga pagi ini adalah soal pernikahan yang terasa mustahil buat lo, kan? Lo menangis semalam sampai tadi pagi, lihat mata lo yang sembap itu, semua itu jelas-jelas bukan karena Adrian, Givanya. Lo ketakutan, lo merasa sudah cukup lelah mencari. Lo capek mencari orang yang mau menerima keadaan lo sebagai perempuan yang tidak bisa memberikah hal paling krusial dalam hubungan laki-laki dan wanita. Iya, kan?" Givanya memejamkan mata. Juan memang sahabatnya sejak kecil, tapi mencampuri hidupnya sejauh ini juga terasa memuakkan. Giva tak butuh belas kasihan Juan. Terlebih kalau sampai laki-laki itu rela memberikan hidupnya dengan menikahi Giva yang sangat jelas berbanding terbalik dengan dirinya. Mereka berseberangan. Giva benci itu. "Gue nggak suka dikasihani, Juan." "Gue bukan mengasihani, Giva." "You did it." "Gue cuma merasa ... apa ya ...." Juan megacak rambutnya kasar. Ia bingung juga bila harus mendeskripsikan keinginannya menolong Giva agar tidak diartikan kasihan oleh perempuan itu. "Gue merasa diantara kita tuh sudah sangat dekat, Givanya. Sampai gue juga merasakan kekalutan lo. Maka dari itu, gue mau agar lo berhenti khawatir, sedih, insecure, dan hidup lepas selayaknya orang lain." "Dengan mengorbankan hidup lo?" "My life will be fine, Giva." "Even a life without love?" "When have you ever seen me truly in love?" "Nah itu point-nya, Juan. Even if I can't make love, gue masih mau hidup dengan cinta." "Then you're greedy." "Can we stop talking this nonsense?" "Jadi lo benar-benar menolak kebaikan hati baginda raja ini?" Giva menggeleng. "Gue nggak mau nikah sama lo, titik." "Lo belum mencoba, Giva." "Juan, lo bukan tim sales ya, berhenti promosiin diri lo di hadapan gue. Sudah gue bilang ya hey laki-laki, gue tahu lo dari zaman ingusan. Gue betul-betul nggak bisa memuja lo." Giva bangkit. Ia sudah cukup lelah menghadapi hari-hari setelah menyandang status jomblo iri dengki, ia tidak ingin kepalanya ditambahi dengan tawaran aneh Juan. "Kalau lo ngomong aneh lagi, gue tonjok lagi lo ya," ancam Giva. Tanpa memedulikan Juan, ia bersiap meninggalkan ruangan tersebut untuk kembali melamun di balik kubikelnya. Namun sebuah kalimat Juan menghentikan langkahnya. Membuat ia setengah tergesa, memburu medekat pada laki-laki itu untuk memastikan. "Gue mau dijodohin kalau sampai minggu depan gue nggak bawa calon sendiri, Giva. Can you help me get away with it?" ****** author notes : Siapa yang gemes sama pasangan satu ini?["Gue nggak pernah sekalipun membayangkan bahwa hubungan gue dan Giva akan berada diujung tanduk seperti sekarang ini. Dulu, sekalipun gue mengira bahwa kami akan punya keluarga masing-masing -karena gue nggak tahu bahwa kami akan saling mencinta- hubungan itu tetap akan harmonis. Selamanya Giva akan jadi tempat gue bercerita apapun, mengeluh apapun, bercanda soal apapun. Jujur, ini benar-benar hal yang paling menyakitkan setelah kejadian Jordy di 2009."]-Juan Dirangga Moelya-****"Giva."Dalam kehidupan manusia, seringkali takdir suka bercanda sesukanya. Pun begitu bagi Juan setelah merasakan enam bulan lamanya mengitari tanah Belanda dalam penantian yang resah dan rindu. Dan ketika takdir berbaik hati, mempertemukannya dengan apa yang dicari, tanpa persiapan, tanpa duga, Juan jadi lemah sendiri.Lagu Nina Nesbitt sering mengalun menemani satu tahun lebih miliknya lewat When you lose someone. Menjadikan sisi melankolisnya ketika malam menyergap, merindu pada Giva tak terelak. Walau
'Profil Alysa Astari yang baru-baru ini viral karena menjadi sugar baby dari aktor senior, Anandika Basyir, ternyata pernah jadi model lumayan terkenal di Eropa'.'Bunga Dirana, istri Anandika Basyir akhirnya buka suara. "Mas Dika sama Alysa sudah menjalin hubungan di belakangku hampir lima tahun lamanya."''Alysa Astari ternyata putri seorang guru besar di Universitas Jingga, keluarga memilih bungkam atas skandal sang putri'.'Heboh! Anandika Basyir, aktor senior yang terseret kasus pencucian uang dari tersangka HM dalam kasus timah di Bangka Belitung, Alysa Astari sang sugar baby disebut-sebut akan turut diperiksa'.'Alysa Astari dan Anandika Basyir ditetapkan sebgai tersangka menyusul tiga tersangka sebelumnya atas korupsi dan pencucian uang kasus timah'.'Alysa Astari, si cantik yang akhirnya masuk ke dalam penjara setelah kasus perselingkuhannya dengan suami aktris Bunga Dirana terkuak dan viral'.***Juan menghirup udara Belanda dengan setengah rongga dada yang lega. Segala rupa
30 - Before Ending; Zaanse Schans "Giva menghilang selama lebih dari satu tahun hanya karena kesalahpahaman. Kalaupun gue diposisi itu, mungkin akan melakukan hal yang sama. Karena nyatanya, perasaan ditinggalkan, perasaan terkhianati, perasaan kecewa ... itu hal-hal yang nggak mudah ditangani. Ada yang memilih akhirnya seperti Elena, ada yang memilih akhirnya seperti Giva." -Juan Dirangga Moelya- **** Ini adalah hari yang cerah, anginnya menerpa lembut. Juan, memandangi sekitar jalanan yang dipenuhi toko-toko di sebelah kanan dan rerumputan hijau di sebelah kiri. Tak begitu jauh dari tempatnya berdiri, kincir-kincir angin raksasa mempesona sebagian dari mereka yang bergerombol, tak jauh dari Juan berdiri, para turis layaknya dirinya. Zaanse Schans, desa terkenal yang terletak di Zaandam, Belanda. Sebuah desa yang terkenal karena kincir-kincir angin besarnya sekaligus rumah-rumah kayu khas belanda yang direlokasi dari Amsterdam untuk pelestarian. Sekaligus tempat ke sepuluh y
(Flashback Malam Itu) Itu adalah hari dengan pekerjaan yang rasanya tanpa akhir. Juan sudah merenggangkan otot-otot yang tegang tiga kali dalam satu jam, namun masih juga tumpukkan berkas yang harus diperiksa, dicermati, diberi solusi, ditandatangani, tak ada habisnya. Juan bahkan sudah diam-diam mengumpat karena kini ... dibandingkan seperti bos, Juan tak ubahnya seperti anak magang yang diberikan tugas oleh para seniornya dengan alasan senioritas. Haaaah ... entahlah! Juan kangen sekali pada Giva. Perempuan itu sudah mengabari Juan perihal pulang duluan, sebab Giva mengaku, ia sangat mudah kelelahan belakangan ini. Makanya, sekalipun ingin, Juan tak tega bila harus meminta istrinya itu untuk menemaninya lembur, seperti hari yang lalu-lalu. Ketika semua pekerjaannya telah rampung, Juan jelas bersorak girang. Ia bahkan sengaja tidak mengabari Giva kalau ia sebentar lagi sampai ke rumah dan bersiap memeluknya sepanjang malam. Menghempaskan rindu, me-recharge energinya yang sepertin
"Ayah nggak masalah kamu main-main, tapi itu dulu, bukan sekarang. Saat itu, kamu belum mempunyai istri. Tapi lihat sekarang, kamu masih sama saja!" teriak sang ayah, membuat Juan hampir ciut. Tapi, ia juga perlu meluruskan semuanya pada sang ayah. "Aku nggak melakukan itu, ayah, ibu." "Gimana kamu tahu kalau kamu saja mabuk? Kamu nggak bisa menjamin apapun saat kamu mabuk, Juan." Juan mengusap rambutnya kasar. Ia seperti kehilangan kata-kata lagi. Karena memang ... semua yang terlihat malam kemarin terlalu meyakinkan untuk disangkal. Dirinya yang tanpa mengenakan apapun selain dalaman pakaian bagian bawah, tisu magic yang tergeletak sembarangan, bungkus kondom hingga banyaknya tisu-tisu yang basah. Sial! Mengingatnya lagi membuat Juan kesal bukan main. Tapi tetap saja, Juan berani sumpah pocong bahwa ia tidak melakukan apapun yang mereka tuduhkan. "Tapi aku bener-bener nggak mengkhianati Giva, ayah!" "Beraninya kamu menyakiti menantu kesayangan ayah dan ibu," suara ibu Juan
"Kalau gue bisa kembali memutar waktu, apa yang ingin gue perbaiki? Gue nggak akan pernah ke kantin waktu gue di usir dari kelas sama Prof. Bahar. Gue akan ngumpet seharian di wc yang bau sampai kampus tutup. Karena dengan begitu, gue nggak akan pernah bertemu Alysa. Hidup Elena, hidup banyak wanita yang gue kencani, hingga hidup gue dan juga Giva, semuanya nggak akan pernah hancur seperti sekarang ini."-Juan Dirangga Moelya-*****Langit pukul dua pagi itu tiba-tiba saja menjadi kelam, mengikuti suasana hati para manusia di dalamnya. Dalam limbung, raga yang rasanya seperti tak menyentuh bumi, Giva bergerak tanpa tahu arah mana yang dituju. Beruntungnya, ia ditemani Pak Dul sehingga saat ia tanpa sadar berniat menyebrang dari pelataran hotel menuju jalan raya, Pak Dul lebih dahulu menghentikannya tepat sebelum sebuah motor berkecepatan tinggi lewat."Non, istighfar non."Giva terduduk dengan tubuh gemetar. Pak Dul, tak bisa berbuat banyak selain menunggui sang nyonya menangis seseng