หน้าหลัก / Romansa / FWB (Friend with Bonus) / Bab 03 - Hidup Giva Setelah Putus Cinta 02

แชร์

Bab 03 - Hidup Giva Setelah Putus Cinta 02

ผู้เขียน: Nanasshi
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-07-18 17:52:23

03 --- Hidup Giva Setelah Putus Cinta 02

Ruangan itu beraroma musk khas Juan yang Giva hafal karena si laki-laki setia dengan Acqua Di Gio Pour Home milik Armani yang hampir dua minggu sekali habis. Warna propertinya monokrom, terkesan membosankan. Di meja besar itu, papan bertuliskan nama Juan bertengger mewah dengan warna keemasan. Di bawahnya, jabatan Direktur nampak mentereng menyilaukan.

Giva mendehem. Memancing Juan yang sedang memejamkan mata dengan telinga yang dijejali headphone di atas kursinya. Tak luput dari pandangan Giva, kaki Juan yang sengaja ditumpukan pada meja.

Luar biasa sopan!

Untung bos, batin Giva.

"Kenapa minta direvisi lagi sih laporan kemarin? Katanya kemarin sudah acc," omel Giva langsung to the point.

Juan membuka matanya, mendecih kesal karena langsung diberondong oleh omelan. Ia melepaskan headphone-nya dan melemparkannya ke meja, asal. "Gue cuma alasan doang ya minta lo revisi laporan."

Juan bangkit, mendekat kearah Giva. Ia meletakkan jemari-jemarinya di dahi Giva. "Lo nggak langsung sakit, kan habis mabok kemarin? Soalnya minum beer zero alcohol aja langsung sakit biasanya."

Giva menepis tangan Juan dari dahinya. "Gue sehat Pak Direktur. Sudah yeeeee, eike balik kerja dulu."

Giva hendak berbalik dan meninggalkan ruangan ketika laki-laki itu justru menahan tangan Giva. "Mata lo sembap banget, dodol. Lo nangis ya setelah gue pulang kemarin?"

"Sedikit," jawab Giva cuek.

Juan mendekat pada Giva dan bersiap memeluk perempuan itu. Niatnya sih mau perhatian ala-ala sahabat yang saling menghibur, namun bukannya berbalas peluk, Giva sudah lebih dulu meninju perut Juan lumayan kencang.

"Shit!" umpat Juan cukup keras. Ia merasakan perutnya lumayan perih karena tinjuan Giva. "How can women have such painful punches anyway?" gerutu Juan kesal.

Giva tak merasa bersalah. Ia hanya tertawa samar. "Lo juga kenapa sembarangan pelak-peluk? Gue kan jadi harus membasuh diri pakai air tujuh kali dengan tanah salah satunya," jawab Giva dengan tawa renyahnya.

Juan mendengkus. "Memangnya gue najis mugholadoh."

"Jadi beneran ini nggak ada yang penting lo manggil gue ke ruangan lo?"

"Gue mau menghibur lo yang sedang patah hati, Givanya Nantika Soekma. Tapi lo malah main tinju aja. Dasar perempuan nggak tahu terima kasih."

"Lo menghibur gue tapi peluk-peluk itu namanya modus, Juan. Cewek lain mungkin akan dengan senang hati menerima pelukan dari lo, tapi gue ... sorry-sorry jek, ogah."

Juan menarik tangan Giva dan membawanya ke sofa. Mereka duduk bersebelahan. "Lo nggak merasa ada kelainan gitu sama otak lo?"

"Otak gue? Kenapa? Gue merasa pinter-pinter aja sih dari zaman sekolah dulu juga."

Juan menghela napas. "Gue di mata orang lain tuh serupa dewa tahu nggak," jelas Juan dengan nada jumawa luar biasa. Membuat Giva membuat gerakan layaknya orang mau muntah dan Juan mendelik. Lanjutnya, "tapi kenapa di mata lo, gue kaya eek kambing sih?"

Giva tertawa. Membayangkan eek kambing yang Juan maksud saja rasanya sudah menggelikan, apalagi bila disandingkan dengan wajah Juan.

"Jangan ketawa!"

"Lo lucu."

"Giliran gue bilang mirip eek kambing aja lo senang banget," gerutu Juan.

"Karena gue sudah melihat lo dari jaman pipis lo aja belum lurus, Juan. Dari lo belum sunat, kemana-mana pakai kolor doang. Mana bisa gue melihat lo dengan pandangan memuja seperti mereka yang melihat lo sudah sebesar ini." Giva menunjuk pada tubuh Juan dari kepala hingga ujung kaki.

"Bisa-bisanya anak gadis ngomongin sunat."

Giva masih tertawa. Ia bahkan lupa soal patah hatinya kalau sudah tertawa lepas dengan Juan begini. Seolah, beberapa jam lalu, di depan cermin kamarnya ketika ia bersiap-siap, tidak pernah ada Givanya Nantika Soekma yang menangisi kemalangan hidupnya yang akan mati dalam keadaan perawan tua.

"Seharusnya ya, hari ini tuh lo merasa canggung gitu ketemu gue."

Giva mengernyit heran. "Kenapa harus begitu?"

"Lo lupa apa yang gue ucapin semalam?"

"Apa?"

"Ya Tuhan, so ... I was talking to a drunk person last night?"

Giva tertawa. "Gue inget kok, lo ngajakin gue nikah, kan?"

Juan tak menanggapi. Dilihatnya diri Giva untuk mendapatkan jawaban lewat gesture seandainya bibir perempuan itu berniat dusta. Namun tak terbersit kecanggungan, rasa gugup dan berdebar, atau pun salah tingkah, di mana biasanya perempuan akan melakukan itu walau hanya sebuah ajakan minum teh yang Juan lontarkan.

Tapi ini ajakan menikah!

Dan Giva biasa saja tuh.

"Gue 'kan sudah bilang nggak mau, Juan Dirangga Moelya."

"Bukannya yang lo sedihkan hingga pagi ini adalah soal pernikahan yang terasa mustahil buat lo, kan? Lo menangis semalam sampai tadi pagi, lihat mata lo yang sembap itu, semua itu jelas-jelas bukan karena Adrian, Givanya. Lo ketakutan, lo merasa sudah cukup lelah mencari. Lo capek mencari orang yang mau menerima keadaan lo sebagai perempuan yang tidak bisa memberikah hal paling krusial dalam hubungan laki-laki dan wanita. Iya, kan?"

Givanya memejamkan mata. Juan memang sahabatnya sejak kecil, tapi mencampuri hidupnya sejauh ini juga terasa memuakkan. Giva tak butuh belas kasihan Juan. Terlebih kalau sampai laki-laki itu rela memberikan hidupnya dengan menikahi Giva yang sangat jelas berbanding terbalik dengan dirinya.

Mereka berseberangan.

Giva benci itu.

"Gue nggak suka dikasihani, Juan."

"Gue bukan mengasihani, Giva."

"You did it."

"Gue cuma merasa ... apa ya ...." Juan megacak rambutnya kasar. Ia bingung juga bila harus mendeskripsikan keinginannya menolong Giva agar tidak diartikan kasihan oleh perempuan itu. "Gue merasa diantara kita tuh sudah sangat dekat, Givanya. Sampai gue juga merasakan kekalutan lo. Maka dari itu, gue mau agar lo berhenti khawatir, sedih, insecure, dan hidup lepas selayaknya orang lain."

"Dengan mengorbankan hidup lo?"

"My life will be fine, Giva."

"Even a life without love?"

"When have you ever seen me truly in love?"

"Nah itu point-nya, Juan. Even if I can't make love, gue masih mau hidup dengan cinta."

"Then you're greedy."

"Can we stop talking this nonsense?"

"Jadi lo benar-benar menolak kebaikan hati baginda raja ini?"

Giva menggeleng. "Gue nggak mau nikah sama lo, titik."

"Lo belum mencoba, Giva."

"Juan, lo bukan tim sales ya, berhenti promosiin diri lo di hadapan gue. Sudah gue bilang ya hey laki-laki, gue tahu lo dari zaman ingusan. Gue betul-betul nggak bisa memuja lo."

Giva bangkit. Ia sudah cukup lelah menghadapi hari-hari setelah menyandang status jomblo iri dengki, ia tidak ingin kepalanya ditambahi dengan tawaran aneh Juan.

"Kalau lo ngomong aneh lagi, gue tonjok lagi lo ya," ancam Giva. Tanpa memedulikan Juan, ia bersiap meninggalkan ruangan tersebut untuk kembali melamun di balik kubikelnya.

Namun sebuah kalimat Juan menghentikan langkahnya. Membuat ia setengah tergesa, memburu medekat pada laki-laki itu untuk memastikan.

"Gue mau dijodohin kalau sampai minggu depan gue nggak bawa calon sendiri, Giva. Can you help me get away with it?"

******

author notes :

Siapa yang gemes sama pasangan satu ini?

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
ความคิดเห็น (1)
goodnovel comment avatar
wafiqas
SUKAAA BANGET GIVA SAMA JUANNNN
ดูความคิดเห็นทั้งหมด

บทล่าสุด

  • FWB (Friend with Bonus)   Bab 85 : Extra Part 3

    Lalu setelah puas memandang, mereka kembali menyatukan ciuman. Ciuman itu adalah perpaduan dari kecup dan pagut. Seolah belum cukup, sibuk menari-nari di dalam sana, lidah saling membelit. Juan menahan bobot tubuhnya dengan sebelah tangan agar membuat Giva nyaman. Lalu satu tangan lainnya, nakal sekali berlarian ke sana kemari. Awalnya di pipi Giva. Berpindah membelai rambut perempuan itu. Turun sebentar ke leher dan tulang selangka. Sesaat kemudian membelai lengan Giva, turun ke pinggang perempuan itu, menjalar ke pinggul dan meremas lembut sintal kepunyaan perempuan itu lama. Itu semua dilakukan Juan ketika bibirnya masih sibuk menginvasi setiap sudut bibir sang istri. Seperti musafir yang kehausan, Jujur saja, Juan jadi manusia yang sedikit serakah sekarang, tak puas-puas. Bahkan ketika Giva akhirnya memundurkan kepalanya, memutuskan ciuman mereka karena kehabisan napas, Juan masih terus menginginkannya lagi dan lagi. Ciuman itu. Rasa manis itu. "Sebentar," tahan Giva. "

  • FWB (Friend with Bonus)   Bab 84 : Extra Part 2

    Juan menatap pada bayi kecil cantik itu tanpa jeda. Padahal yang sibuk ditatap justru asik saja terlelap. Mengabaikan pandangan kagum, memuja, bersyukur dan penuh cinta dari sepasang mata yang mulai berkaca-kaca. Dalam gumaman yang pelan -karena takut membuat Daisy bangun- Juan berkali-kali mengucap terima kasih pada sang putri karena telah tumbuh dengan sehat dan kuat. Meski jauh dari dirinya. Sang ayah yang buruk. "Mau dilihatin sampai kapan anaknya, pak?" Giva yang baru selesai mandi mendapati Juan masih duduk di dekat box tidur Daisy. Memandang lekat dengan senyuman terpatri. "Loh ... loh ... kok nangis, pak?" Juan mencebik karena ejekan Giva. "I'm just feeling so grateful to Daisy." "Kenapa?" "Because she grew up cool even though she was far away from me." Juan kembali menatap Daisy. "Terima kasih karena dia mau menjadi anakku, Juan yang nggak ada keren-kerennya ini." Giva yang sedang sibuk mengeringkan rambut terkekeh. Ia meletakkan pengering rambutnya. "Kemana jiwa narsi

  • FWB (Friend with Bonus)   Bab 83 : Ektra Part 1

    Extra Chapter : Giva-Juan's Life After Not Getting Divorced Itu seperti sebuah keajaiban. Tatkala jantungnya kembali berdetak, menyapu bersih kekhawatiran dan duka yang menggelembung. Riuh tangis dan ketakutan berganti helaan napas lega dengan tubuh yang ambruk karena kehilangan daya. Tidak hanya satu manusia berama Givanya Nantika Soekma yang notabene jelas sedang dirongrong penyesalan. Para dokter yang berjibaku dengan lelehan keringat, pun para perawat yang sejatinya tak pernah mengenal secara personal sang pasien, hari itu, mereka semua, merasa sangat lega bersama-sama. Juan tidak jadi pergi. Juan masih bersama mereka. Seperti mendapatkan jackpot karena ia selamat setelah sekarat. "Giva." Gumaman pertama yang terdengar itu, menyadarkan lamunan Giva. Kini, mereka sudah berada di ruang inap biasa sekalipun sebenarnya Juan belum sadar pasca kejadian tadi. Walau begitu, masa kritisnya sudah lewat, progresnya sangat baik. Jadilah Giva dibolehkan untuk menunggu Juan di sisin

  • FWB (Friend with Bonus)   Bab 82 : Tempat Terakhir (02)

    "Juan, please ...," lirih Giva, di sudut ruangan, merintih dengan air mata luruh yang riuh. Ia menatap Juan yang sedang mendapatkan pertolongan karena tiba-tiba saja mengalami masa kritis lagi. "Juan ... maaf, karena aku terus keras kepala dan hanya ingin peduli pada diriku sendiri. Juan maaf ... karena nggak pernah memberikan kamu kesempatan. Juan ... aku sayang sama kamu, please, come back to us. Kita semua sayang kamu, aku juga, aku juga sayang kamu. Jangan tinggalin aku, Juan." Kata-kata itu membuat siapapun yang ada di ruangan -termasuk dokter dan perawat- merasa ikut sakit mendengarnya. Melolong memohon pada takdir, seorang Givanya Nantika Soekma, agar berkenan menghentikan mati merenggut suaminya. Ketika ia belum berbaikan. Ketika ia belum mengatakan cinta. Ketika ia belum meminta maaf. "Kata kamu, satu permintaan sebagai ganti permen itu, akan kamu gunakan suatu saat nanti. Jadi bangun, apapun yang kamu minta, aku akan kabulin semuanya, Juan, ayo ... bangun. Ayo kita hid

  • FWB (Friend with Bonus)   Bab 81 : Tempat Terakhir (01)

    "Sejak dulu, aku benci melihat bendera kuning di depan rumah-rumah orang. Sebab biasanya, itu tanda bahwa dunia seseorang sedang hancur di sana. Tapi ... aku kadang lupa diri. Bahwasanya, bendera kuning mungkin bukan hanya kepunyaan mereka dan keluarganya, tapi bisa menghampiri aku dan keluargaku kapan saja." -Givanya Nantika Soekma- **** Seseorang mengatakan bahwa regretting the past is like chasing after the wind. Hal itu berarti bahwa segala yang sudah terlewat sangat tidak mungkin diulang sehingga menyesalinya hanya akan menjadi kesia-siaan. Giva sadar itu. Ia dan penyesalannya kini adalah menyatu dengan diri. Dalam pandangan mata yang nanar di balik kaca yang memisahkan itu, hasil dari keras kepalanya ada di sana. Juan terkapar tak berdaya. Ibu Juan bilang bahwa itu bukan salah Giva. Tapi bagi Giva, ada andil dirinya di sana. Giva mengusap air matanya yang luruh. Merutuk dalam hati perihal ia yang sudah berkepala batu. Ketika Juan sudah berulang-ulang menjelaskan tentang k

  • FWB (Friend with Bonus)   Bab 80 : Jangan Tinggalkan Aku (02)

    "Tapi kamu eruh toh lek Juan ki dijebak Alysa?" Giva mengangguk. "Lah kenapa masih belum bisa maafin Juan?" "Seandainya dia ngabarin aku kalau mau ketemu Alysa, seandainya dia nggak matiin ponsel, seandainya dia nggak diam-diam buat ketemu perempuan itu ... nggak akan ada celah bagi Alysa untuk bikin semua kebohongan ini, bu." Ibu Giva menghela napas panjang. Ia tidak bisa menyalahkan rasa sakit putrinya akibat kelalaian dan kebohongan Juan. Namun melihat sang menantu sama hancurnya, ibu Giva jadi sama dilanda sedih juga. Tak perlu diragukan lagi, setelah usahanya untuk menemukan Giva di Belanda dengan kakinya sendiri tanpa bantuan siapapun, rasa cinta Juan tentu dipenuhi kesungguhan. "Jadi Juan setuju untuk berpisah, nduk?" Giva mengangguk. Ia tak sanggup menjawab dengan suaranya. Terlalu menyakitkan untuk melangkah menuju rangan hijau dan mengakhiri pernikahan. Tapi ... rasa sakit di hatinya juga masih terasa basah untuk ia memilih lupa dan melanjutkan pernikahannya. "Rencan

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status