"Tak kusangka, kamu tega berbuat seperti ini!" Radit melempar tiga lembar foto pada Amira yang tengah menyusui Gemilang--bayinya yang berusia tujuh bulan. Amira tersentak kaget, begitu pun dengan bayi mungil itu, yang seketika menangis karena kaget dengan suara gelegar Radit.
Amira mencoba menenangkan Gemilang kembali, ia mencoba memberi pengertian pada Radit agar mengecilkan suaranya.
"Ada apa ini, Bang? Nanti kita bicarakan baik-baik. Biarkan aku menidurkan Gemilang terlebih dahulu." Amira kembali menyusui Gemilang dan mencoba membuat Gemilang tenang. Namun, karena kemarahan Radit yang memuncak, membuat ia kalap dan menarik dengan kasar tubuh kurus milik Amira, membiarkan Gemilang menangis tersedu di atas kasur.
"Sakit, Bang!" teriak Amira. Ia mencoba melepaskan tangannya dari cengkeraman tangan Radit yang begitu kuat. Radit melepaskan tangan Almira dengan kasar, ia gegas menyuruh Amira melihat foto-foto yang dilemparnya.
Amira memunguti tiga lembar foto yang Radit lempar tadi. Betapa terkejutnya dia, melihat foto-foto dirinya yang dipeluk lelaki lain. Bahkan ada foto dirinya berci*man dengan pria yang tidak dikenalnya.
"Coba jelaskan semua itu!" teriak Radit.
"A-aku tak tahu, Bang! Ini semua tidak benar," ucap Amira, ia meletakkan tiga lembar foto itu dengan asal. Gemilang terus menangis, membuat Amira mengambil Gemilang dan menggendongnya.
"Siapa laki-laki itu? Kau berfoto dengan tiga lelaki berbeda dan dengan pose seperti itu? Apa maksudnya?!" murka Radit, membuat Amira tak bisa membendung air matanya. Karena baru kali ini, suami yang begitu dicintainya membentak Amira dengan kasar.
"A-aku tidak tahu, Bang! Aku tak pernah berfoto seperti itu," bela Amira, karena ia memang merasa tak pernah berfoto seperti yang dituduhkan Radit padanya.
"Abang, dapat foto ini, dari mana?" tanya Amira, tangannya terus menepuk-nepuk gemilang dengan lembut dalam gendongannya. Gemilang sudah mulai tenang dalam gendongan Amira.
"Tak perlu kau tahu, foto ini dari mana. Yang jelas, kau tega mengkhianatiku, Amira." Radit terlihat murka, ia mengepalkan kedua tangannya, emosi di dadanya meletup-letup bak air yang tengah mendidih.
"Kau mengaku saja, Amira. Kau telah berzin* dengan lelaki lain, aku adalah saksi yang melihatmu pergi dengan lelaki lain," ujar Rania--adik Radit yang tiba-tiba masuk ke kamar mereka bersama Retno--Ibu Radit dan Rania.
"Benar, Mama tak menyangka, kamu telah mengkhianati putra kesayanganku. Radit, percayalah pada Mama, istrimu itu telah berselingkuh." Retno berusaha meyakinkan Radit, agar Radit percaya dengan ucapannya.
"Itu tidak benar, Bang! Aku tak berselingkuh maupun berzin* seperti yang dituduhkan mereka," ucap Amira terjeda,
"Rania, kapan kamu melihatku seperti itu, jangan memfitnah?" Amira menatap tajam adik iparnya tersebut. Dari awal kedatangannya sebagai seorang menantu, memang Rania-lah yang sangat tidak suka dengan Amira. Begitupun dengan Retno, ia menentang pernikahan Amira dan Radit dua tahun lalu. Retno tak setuju karena Amira merupakan anak yatim-piatu yang tak jelas asal-usulnya.
Namun, karena permintaan Radit yang begitu gigih, akhirnya Retno berusaha merestui hubungan mereka. Retno lebih suka Selly--mantan pacar Radit yang kaya raya.
"Aku melihat saat sedang berjalan-jalan di mall. Kau tengah dibonceng lelaki lain saat Mama menyuruhmu membeli obat seminggu yang lalu," dusta Rania, ia sangat senang melihat Amira dipojokkan. Tak sia-sia ia membayar mahal teman satu kampusnya untuk mengedit foto Amira agar terlihat berzina dengan lelaki lain.
"Kau masih mengelak, Amira?" Radit menatap nyalang wajah cantik istrinya itu.
"Gak, Bang! semua ini fitnah, aku tak melakukan hal hina seperti itu!" teriak Amira membela diri.
"Terus foto-foto ini apa? foto ini membuktikan semua kelakuan busukmu pada putraku. Kau polos atau pura-pura lugu? atau jangan-jangan, Gemilang bukan cucu kandungku?" timpal Retno, hal itu membuat Radit semakin merasa emosi. Rasa cemburu menguasai hatinya, bayangan Amira berbagi peluh dengan pria lain, menari-nari dalam benaknya.
Radit menatap Gemilang yang tengah digendong Amira. Radit jadi meragukan darah dagingnya tersebut karena termakan hasutan dari Ibu dan Adiknya.
"Astaghfirullahaladzim." Amira terus beristighfar, ia tak menyangka Ibu mertua dan adik iparnya tega membuat fitnah yang sangat keji tersebut padanya.
Amira selama ini selalu sabar tinggal seatap dengan mereka, ia rela dijadikan babu gratis demi mendapatkan kasih sayang dari Retno, agar bisa menerima dengan ikhlas dirinya sebagai menantu. Namun, pengorbanan Amira terasa sia-sia setelah fitnah keji ini dilontarkan oleh Ibu mertuanya tersebut.
"Bang, itu semua tidak benar! Demi Allah, Bang! Aku tak berselingkuh. Ini semua fitnah." Amira masih membela diri, berharap lelaki yang menjadi imamnya tersebut mau membelanya dari tuduhan yang teramat keji itu.
"Kau mengaku saja, Amira! Semua ini sudah cukup membuktikan kau telah berselingkuh di belakang Abangku!" timpal Rania, ia terus berusaha menghasut Radit. "Bahkan, dengan tiga lelaki sekaligus, kau memang pantas disebut pelac*r!" lanjutnya dengan nada yang memprovokasi.
"Saat ini juga, aku talak kamu Amira! pergi dari sini dan bawa anak hasil zin*mu itu!" Radit begitu murka, ia mentalak istrinya tersebut dalam keadaan emosi. Radit begitu terhasut oleh perkataan Rania dan Ibunya, sehingga ia tak berpikir jernih menggunakan akal sehatnya untuk bertabayun mencari kebenaran yang sesungguhnya. Sikap inilah yang kelak akan membuat Radit menyesal pada akhirnya.
Seketika bulir bening mengalir dari kedua netra Amira. Radit, lelaki yang ia cintai, lebih percaya pada fitnahan Ibu mertuanya dan Rania. Pupus sudah harapan Amira untuk membela diri, karena Radit tak mempercayainya. Amira merasa percuma, suaminya sudah termakan fitnahan keji dari ipar dan mertuanya tersebut.
"Kau mengusirku, Bang? Kau tak percaya padaku?" tanya Amira tak percaya, hatinya begitu sakit seperti ditusuk ribuan sembilu yang meruntuhkan segala rasa yang tercipta untuk Radit.
"Ya, pergi kau dari sini. Aku tak Sudi beristrikan wanita pez*na sepertimu!" usir Radit, hatinya berdentam hebat menahan gejolak emosi yang menggebu seperti lava yang menyala. Radit sangat kecewa dengan istri yang sangat dicintainya tersebut.
"Baik Bang. Kalau kau tak percaya padaku, aku akan pergi dari sini. Kau sudah tak mengakui anak ini, selamanya anak ini tak akan menganggapmu sebagai ayahnya," kata Amira, dalam hati ia berjanji tak akan pernah mengenalkan Gemilang pada Radit.
"Dan untuk kau Rania, terima kasih atas segala fitnahanmu dan Ibu terhadapku. Aku doakan semoga kelak jika kau menikah, kau tak akan merasakan apa yang aku rasakan, memiliki mertua dan ipar yang jahat seperti kalian!" Amira kemudian gegas masukkan baju-bajunya dan baju Gemilang. Amira tak tahu akan pergi kemana, tetapi Amira merasa lebih baik pergi dari sini karena hatinya terlalu sakit. Amira tak akan mengakui dosa yang tak pernah ia lakukan. Amira masih punya harga diri, ia bukan seorang pez*na seperti yang dituduhkan.
Dalam hati, Amira masih berharap Radit merubah keputusannya dan mau bertabayun mencari kebenaran untuk Amira dan mencegahnya pergi dari rumah ini. Namun, Radit tetap bergeming, ia tak peduli dengan Amira lagi.
"Secepatnya akan kuurus perceraian kita," ucap Radit, kemudian ia berlalu meninggalkan Amira keluar dari kamar membiarkan Amira mengemas baju-bajunya.
Perasaan kecewa yang teramat dalam menjalar di hati Amira. Ia sama sekali tak menyangka jika suami yang biasanya bersikap lembut padanya, dengan tega mengusirnya di malam hari seperti ini. Tak khawatirkah ia dengan keadaan Gemilang yang masih bayi? Bahkan Radit meragukan Gemilang. Amira tergugu, hal ini begitu mendadak untuknya.
Sementara senyum mengembang terukir dari bibir Retno dan Rania. Rencana untuk menyingkirkan Amira telah berhasil mereka lakukan. Hal yang selama ini ditunggu-tunggu oleh keduanya, karena mereka tak menyukai Amira karena tak jelas asal-usulnya dan dibesarkan di panti asuhan.
Di bawah guyuran air hujan malam ini, Amira pergi meninggalkan kediaman Radit yang telah dihuninya selama dua tahun terakhir. Menjadi seorang menantu yang tak diharapkan di keluarga Radit, membuatnya tak pernah dihargai. Berbagai cara Amira lakukan agar bisa diterima oleh keluarga Radit, tetapi semuanya sia-sia. Selama ini Radit selalu membelanya dan menjadi garda terdepan untuk Amira.
Namun, tidak dengan kali ini, Radit begitu emosi dan terhasut oleh tuduhan keji yang dilakukan Rania dan Retno. Radit tak membela dan mempercayai Amira, bahkan langsung mentalak dan mengusirnya tanpa bertabayun terlebih dahulu. Radit terlalu dibutakan dengan rasa cemburu sehingga tak menggunakan akal sehatnya.
Dengan menggendong Gemilang, Amira menembus dinginnya malam. Untunglah hujan sudah reda sehingga Amira tak khawatir bayi berusia tujuh bulan itu basah karena air hujan. Amira menyusuri trotoar di sepanjang jalan, ia tak tahu akan pergi kemana. Amira tak mempunyai tujuan, hal ini begitu terjadi mendadak tanpa pernah ia bayangkan sebelumnya. Amira hanya membawa baju seperlunya, begitu juga dengan Gemilang yang tak membawa banyak baju. Bahkan, Amira hanya membawa uang dua puluh ribu, sisa uang belanja yang diberikan Radit Minggu lalu. Ponsel Amira disita Radit, sehingga ia tak bisa menghubungi siapapun, termasuk Ibu panti yang membesarkannya dahulu.
Panti asuhan tempat Amira dibesarkan, berada di luar kota yang membutuhkan ongkos yang mahal untuk sampai ke sana. Amira bingung, ia terus berjalan tanpa arah tujuan, menyusuri jalanan licin akibat hujan yang baru saja berhenti.
***
Bersambung...
Radit menatap nanar keluar jendela, aroma basah menguar menyisakan sisa-sisa hujan yang baru saja berhenti. Radit sangat menyayangkan sikap istrinya yang tega mengkhianati cinta dan kepercayaannya. Radit sangat mencintai Amira, tak peduli latar belakang Amira yang yatim piatu. Pandangan Radit menerawang jauh, mengingat semua kenangan bersama Amira. Tak mudah bagi Radit mendapatkan cinta Amira dahulu. Ada tiga lelaki termasuk dirinya yang bersaing mendapatkan cinta Amira. Sebuah keberuntungan bagi Radit, Amira memilih dirinya dibanding dengan Edo dan Yudha, sahabat Radit yang sama-sama menginginkan Amira. Amira gadis yang sangat cantik pada waktu itu. Tak hanya cantik wajahnya, gadis berhidung bangir dan berlesung Pipit tersebut, juga memiliki akhlak yang baik dan membuat siapapun jatuh cinta padanya. Termasuk Radit, lelaki bermata teduh itu begitu mengagumi Amira dari jauh. Radit saat itu masih memiliki kekasih bernama Selly, teman satu kampusnya. Amira saat itu, bekerja sebagai pr
"Mbak, bangun Mbak," ucap Pak Abdullah mencoba membangunkan perempuan itu. Namun, Amira tak kunjung bangun. Badannya sedingin es dengan wajah yang memucat. Sementara tangisan Gemilang tak kunjung berhenti membuat Pak Abdullah sedikit panik."Mbak, bangun Mbak." Pak Abdullah terus mencoba membangunkan Amira.Yudha, yang merupakan anak sulung Pak Abdullah gegas menghampiri suara tangisan bayi saat ia baru saja sampai di pelataran masjid. Dilihatnya sang Ayah sedang berusaha membangunkan seorang wanita yang di sampingnya ada bayi yang tengah menangis, gegas Yudha menggendong bayi tersebut.Amira mengerjapkan kedua matanya. Bibirnya menggigil kedinginan, ia ingin bangun tapi seluruh tubuhnya seperti mati rasa. Hujan deras yang kembali turun semalam membuat tubuhnya kedinginan. Amira, yang memang punya riwayat tak kuat dingin pun, mengalami hipotermia ringan karena ia tak memakai jaket atau sesuatu yang tebal untuk melindungi tubuhnya.Wajah Amira tersorot lampu teras, Yudha pun dengan se
Retno sedang menyiapkan sarapan untuk kedua anaknya. Tak adanya Amira di rumah itu, membuat Retno sedikit kerepotan dalam mengurus rumah. Padahal baru satu malam Amira pergi dari rumah itu. Namun, ia menikmatinya karena kepergian Amira adalah keinginannya. Toh nanti, ia bisa meminta Radit untuk menyewa pembantu.Radit keluar dari kamarnya, ia baru saja selesai mandi dan bergegas menuju meja makan. Tak lama, Rania pun keluar dari kamarnya dan bersiap untuk sarapan."Pagi, Bang," sapa Rania, sembari menjatuhkan bobot tubuhnya pada kursi di samping Radit.Radit hanya tersenyum menanggapi sapaan adiknya tersebut. "Hari ini, apa rencanamu, Dit?" tanya Retno sembari mengambilkan nasi untuk Radit."Radit mau mengurus perceraian, Bu," jawab Radit, ia menerima piring yang sudah berisi nasi yang diambilkan Retno."Bagus, Bang. Lebih cepat lebih baik," timpal Rania."Iya Ran." Radit berucap datar."Kira-kira kemana ya, perginya perempuan lacur itu?" tanya Rania sambil menyuapkan nasi ke mulutny
Jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Amira masih berada di ruang tengah di rumah Yudha bersama bayinya sembari memberikannya asi. Kondisi Amira sudah membaik, meskipun wajahnya masih terlihat pucat. Yudha dan Pak Abdullah sudah berangkat kerja sebagai guru dari tadi pagi, sedangkan Yuni sudah berangkat ke sekolah. Di rumah, hanya ada Bu Zaenab dan Amira. Setelah melihat kondisi Amira yang sudah tenang, Bu Zaenab kembali mencoba bertanya pada Amira. Tadi pagi sempat Yudha juga bertanya pada Amira, tetapi Amira hanya diam saja dan menangis. Yudha juga sempat bercerita pada Ibunya tentang telepon Yudha pada suami Amira yang dimatikan sepihak. "Nak Amira," sapa Bu Zaenab. Amira seketika menoleh ke arah Bu Zaenab. "Sekarang apa bisa, kamu ceritakan masalahmu? Ibu ingin sekali membantumu, sepertinya kamu memiliki masalah yang berat," bujuk Bu Zaenab sembari mengelus pipi mungil Gemilang. Amira tertunduk, sebenarnya ia merasa malu menceritakan masalahnya pada orang lain. Nam
Sudah seminggu lamanya Amira tinggal di rumah keluarga Yudha. Sehari-hari Amira membantu Bu Zaenab membuat adonan kue untuk dijual sesuai pesanan. Ada beberapa kue yang dijual Bu Zaenab, diantaranya ada bolu, brownies dan beberapa kue basah lainnya. Amira sangat antusias sekali belajar membuat kue pada Bu Zaenab, untung saja Gemilang tak begitu rewel saat Amira membantu Bu Zaenab.Saat sore hari tiba, Bu Zaenab akan mengantarkan pesanan kue itu pada pelanggannya. Sementara Amira sendirian di rumah bersama Gemilang. Pak Abdullah masih ada tambahan jam mengajar, begitupun Yuni dan Yudha yang sama belum pulang."Mir, Ibu mau antar kue ke Bu Haji Saidah dulu ya, sudah ditunggu. Kamu gak papa kan, Ibu tinggal sendiri? kalo nunggu Yuni pulang, kelamaan," pamit Bu Zaenab."Iya Bu. Amira jaga rumah, Ibu hati-hati ya," jawab Amira sembari mencuci peralatan dapur yang telah selesai digunakan.Setelah Bu Zaenab pergi, Amira kembali melanjutkan pekerjaannya hingga selesai. Amira pun masuk ke kama
"Kamu bener-bener udah buat Abang kecewa, Mir. Abang kira, kamu hanya berhubungan dengan tiga lelaki yang di foto itu. Ternyata, dengan Yudha juga," sinis Radit. "Abang ngomong apa sih? Amira gak ada hubungan apa-apa dengan Kak Yudha." Amira membela diri. "Abang ke sini mau jemput Amira dan Gemilang, iya kan, Bang?" tanya Amira penuh harap. "Abang ke sini hanya ingin mengantarkan ini," jawab Radit, ia kemudian menyerahkan sebuah amplop pada Amira. "I-ini apa, Bang?" Amira menerima amplop itu, tangannya bergetar saat hendak membukanya. Amira membuka isi amplop itu, ia membaca secarik kertas yang berada di dalam amplop tersebut. Air matanya luruh seketika setelah membacanya. Surat itu berisi panggilan ke pengadilan agama untuk sidang pertama perceraian mereka. Amira sangat tak menyangka secepat ini Radit bertindak, tanpa bertabayun mencari kebenarannya dahulu. "Abang benar-benar akan menceraikanku?" tanya Amira, ia meremas kertas yang dipegangnya. "Kamu sudah baca sendiri isi sur
Bu Zaenab baru saja pulang dari mengantar kue. Saat ia berjalan menuju rumahnya, ia dicegat oleh beberapa tetangganya. "Bu Zaenab ,Bu," panggil seorang wanita paruh baya seusia Bu Zaenab. "Eh, Iya Bu Las. Ada apa, Bu?" Bu Zaenab tersenyum ramah. "Ini lho, Bu. Saya mau tanya, itu wanita yang tinggal di rumah Ibu, beneran saudaranya yang dari Jawa?" tanya wanita bernama Bu Las tersebut. "Iya, Bu," jawab Bu Zaenab tenang. "Bu Zaenab yakin? Gak bohong kan?" Bu Las mencoba menyelidik membuat Bu Zaenab heran. "Jangan bohong Bu Zaenab, kami di sini sudah tahu kalau wanita itu kekasihnya Yudha. Gak sangka ya, Bu, ternyata Yudha jadi selingkuhan wanita bersuami," timpal Bu Yati, salah satu tetangganya yang anaknya pernah dijodohkan dengan Yudha. Namun, Yudha menolak anak perempuan Bu Yati. "Maaf, maksud Ibu-ibu semua, ini apa ya?" tanya Bu Zaenab bingung. "Tadi Yudha sempat berkelahi dengan laki-laki yang bertamu ke rumahnya. Kami diberitahu oleh seorang perempuan muda. Ia mengatakan ji
"Ran, kamu bisa tolongin, Abang?" Radit bertanya pada Rania, saat ia selesai minum."Minta tolong apa?" "Tolong beritahu Amira, Abang ada di rumah sakit," pinta Radit.Seketika wajah Selly dan Rania berubah masam, mereka sangat kesal karena Radit malah menanyakan Amira."Abang ini gimana sih, kenapa masih nanyain Amira? Dia kan udah khianatin Abang," ujar Rania, ia enggan menerima permintaan Radit."Abang ingin dirawat olehnya, Ran. Hanya Amira yang tahu kebutuhan Abang," ucap Radit."Abang apa udah lupa apa yang Amira lakuin?" tanya Rania."Abang ingat, Ran. Tetapi, Abang jadi tidak yakin setelah melihat Amira yang justru kekeh tak mengakui perbuatannya. Abang merasa, Amira tak berbohong," ungkap Radit, hal yang mengganjal di hatinya sudah diucapkannya.Seketika wajah Rania dan Selly sedikit tegang, mereka takut jika Radit akan menyelidiki kebenarannya."Ngomong-ngomong kamu dapat foto-foto itu, dari mana Ran?" selidik Radit."Itu ... itu ... Emm ... Ya, dari Amira, Bang. Aku Nemu f