Ario dan Julio sama-sama kurang ajar. hihihih. gemes deh aku sama hubungan bromance mereka. Kalian gemes nggak? Happy reading. Sampai jumpa besok. Ikutin terus kisah Laras dan Julio yang sungguh menghangatkan hati dan inspiratif.
JULIO POVDari rumah Laras, aku dan Ario berjalan menuju kontrakannya. Jaraknya tak terlalu jauh, hanya melewati tiga gang kecil di bagian atas kampung. disebut bagian atas karena jalannya menanjak, mirip saat kita incline di treadmill. Sepanjang jalan, Ario sibuk menginterogasiku seperti polisi yang baru menangkap penjahat.“Bapak… serius mau kerja sama Bu Laras?”“ Bapak lagi.. Bapak lagi. …. Sudah kubilang, jangan panggil aku Bapak. Nanti kamu keceplosan depan Laras, penyamaranku akan ketahuan. Uda kubilang panggil aku Liyo. L-I-Y-O. ” jawabku sambil mendelik.“ Iya.. Iya.. Pak.. eh Liyo.. Jadi kenapa kamu mau kerja sama Laras itu ?”Aku menatap jalan di depan. “Karena… Pasti ada maksud dari Bayu kenapa setiap aku membuka mata, selalu saja ada bayang wajah Laras di pikiranku.. Dan setiap jam dua pagi, selalu jam dua, aku selalu terbangun. Dan ternyata… itu waktu Laras mulai bikin kue. Jadi itu mungkin tanda-tanda dari Bayu agar aku membantu kakaknya. Jadi aku mau bekerja den
Laras POVAku berdiri, memberi isyarat bahwa wawancara kerja ini telah selesai. Bukan karena ingin mengusir mereka, tapi tubuhku sudah kelelahan. Semalam aku baru tertidur lewat tengah malam, dan pagi tadi hanya sempat memejamkan mata dua jam, bangun jam dua dini hari seperti biasanya, lalu sibuk mengadon kue dan mengantar kue ke warung-warung. Sejak Bayu pergi, tidurku tak pernah benar-benar nyenyak lagi.Aku menjulurkan tangan pada Liyo, lelaki asing yang baru ku kenal tapi entah kenapa terasa tidak asing.“Panggil aja aku Laras, jangan panggil ‘Bu’. Sampai jumpa besok, semoga kita bisa bekerjasama dengan baik.”Aku tersenyum, tulus padanya. Aneh. Aku bukan tipe orang yang gampang percaya, apalagi pada orang baru. Riris bahkan pernah kesal karena aku terlalu sulit membuka diri. Temanku cuma dua orang, Riris dan Bayu. Tapi, entah kenapa, dengan Liyo… aku begitu mudah percaya padanya dan langsung menyuruhnya datang bekerja besok jam dua.“Sampai jumpa besok, Bu… eh, Laras,” jawa
Juio POVSuara Ario yang berteriak memanggil namaku, membuatku menghambur keluar, aku harus menghentikan teriakannya, bisa gawat kalau wanita ini, mendengar dia memangilku Bapak“ Ario.. Ario.. Aku di sini”Dia menatapku heran “ Rumah siapa Pak??’“Ssst! Jangan panggil aku ‘Pak’. Liyo aja. Nanti aku jelasin. Sekarang diem dan ikutin apa kataku,” jawabku pelan sambil merangkul bahunya. Sepanjang jalan masuk, aku bisik-bisik sambil menunduk, gaya ala agen rahasia, seperti M yang sedang kasih briefing ke James Bond...“ Pokoknya, sekarang aku temanmu,bukan bossmu, aku baru datang dari Lampung”“ Kampungku?” Tanyanya“ Diam.. jangan bertanya apapun?”“ Ceritanya aku numpang tinggal di kontrakanmu. Rumah ini rumah Bayu, orang yang mendonorkan matanya untukku. Cerita lengkapnya ,nanti aja. Sekarang kamu ikutin skenarioku” Aku menyelesaikan breifingku.Kami sampai di ambang pintu. Wanita itu duduk di sofa memandang kami , tampak curiga. Aku menarik napas dan melangkah maju.“ Maaf Bu
Julio POVMemasuki pemukiman padat penduduk di belakang Mall Ambasador, aku seperti melangkah ke dunia yang sama sekali berbeda dari sisi Jakarta yang gemerlap. Di depan sana, dua mall besar, Mall Ambasador dan Kuningan City berdiri megah, menjulang bagai simbol kemewahan. Tapi tepat di baliknya, berdiri rumah-rumah kontrakan mungil berukuran 3x6 meter, tak lebih luas dari kamar mandi yang ada di rumah mamaku. Kontrasnya mencolok. Perbedaannya terlihat begitu nyata dan jelasNamun kehidupan yang kontras bagai langit dan bumi itu ternyata saling mendukung. Pekerja-pekerja mall mewah itu tinggal di pemukiman ini menggantungkan hidup dari gaji yang tak seberapa, agar bisa bertahan hidup di Kota Jakarta yang merupakan kota dengan biaya hidup termahal di Indonesia. seperti Ario yang datang dari Lampung dan memilih tinggal di tempat yang paling dekat dari Mega Kuningan, apartemen tempat dia bekerja sebagai asisten pribadiku.Aku dan Ario berjalan pelan menyusuri gang sempit dan tanpa
Pagi ini , Julio kembali mengajak Ario untuk sarapan bubur ayam Mas Adi. Mereka keluar dari rumah tepat pukul 5 pagi, jogging satu keliling di kawasan Mega Kuningan, lalu langsung menuju samping jalan Mall Ambasador, tempat bubur lezat itu berada.“ Bapak nggak bosan, hampir seminggu ini makan bubur Mas Adi terus?” Tanya Ario berlari kecil di sampin Julio“ Belum bosan sih, mungkin karena selama tiga puluh tahun hidupku, aku tidak pernah menikmati bubur seenak ini, biasanya aku hanya makan bubur ayam Mangga Besar, kalau yang bentuknya seperti ini dengan kuah hijau belum pernah.” Kata Julio , melangkah cepat menuju tempat bubur ayamnyaArio menyusul dari belakang “ Pak.. tunggu aku, jangan jalan terlalu cepat. Santai aja, belum jam 6, Mas Adinya pun belum buka, pasti lagi beres-beres”“ Kita harus antri dulu, supaya dapat tempat duduk , kalau nggak nanti antrian uda panjang dan kita bakalan tunggu kelamaan” Kata Julio tanpa memperlambat langkahnya yang lebarArio tidak berani bersunggu
Julio POVLangit mendung seperti ikut bersedih, hujan yang turun deras ibarat air mata yang mengiringi kesedihanku. Aku melangkah perlahan memasuki kantor polisi, didampingi Pak Hutabarat, pengacara keluarga ku. Dia akan mendampingi diriku karena mama takut aku ditetapkan sebagai tersangka dari kasus kecelakaan di Kuningan itu.Hati dan pikiranku terasa seperti tanah longsor, kacau, rapuh, hancur di banyak titik. Sejujurnya, aku tidak siap melihat reka ulang hari itu. Hari di mana semuanya berubah. Hari ketika mataku gelap dan hatiku retak oleh kejadiaan yang tak bisa kuputar kembali.Di ruang pemeriksaan,terlihat duduk di depan layar proyektor sepasang suami istri yang tampak lebih hancur dariku. Sang ibu bernama Mega duduk dengan sorot mata penuh sesal dan wajah yang sembab. Suaminya meremas-remas tangan istrinya, seolah mencoba menahan air pasang yang sewaktu-waktu bisa memecah seluruh ruang ini dengan tangisan.Beberapa menit kemudian, seorang perwira masuk. Tegap, tapi tatapa