Home / Romansa / From Your Eyes Only / Andai Nafasku Berhenti, Biarlah Tubuhku  Pergi Tapi Tetap Berarti.

Share

Andai Nafasku Berhenti, Biarlah Tubuhku  Pergi Tapi Tetap Berarti.

Author: Netganno
last update Last Updated: 2025-07-22 14:23:53

Hujan masih turun di pelataran Rumah Sakit MMC. Rintiknya lembut, nyaris tak terdengar, seperti air mata langit yang ragu-ragu, tak yakin apakah ia cukup layak untuk membasuh luka yang terlalu dalam di pagi menjelang siang yang kelabu itu. Kabut tipis menggantung di udara, menciptakan batas samar antara dunia nyata dan kehampaan yang menyelimuti.

Di kursi plastik warna putih  yang dingin, Laras duduk kaku, memeluk tas sekolah milik Bayu. Tas itu sudah berubah warna, bagian bawahnya basah oleh darah yang mulai mengering. Di salah satu sisinya, ada sobekan besar seperti mulut yang ingin menjerit tapi dicekik oleh kenyataan. Jemarinya menggenggam erat talinya, pucat, nyaris beku. Jaket lusuh yang ia kenakan masih penuh lumpur. Ia belum berganti pakaian. 

Tak sempat. Tak mau. Tak sanggup.

Sejak polisi datang ke rumah tadi pagi, mengatakan bahwa adiknya mengalami kecelakaan, waktu seperti membeku. Sudah lebih dari dua jam sejak Bayu dibawa ke IGD dengan ambulans. Tapi bagi Laras, jam sudah lama berhenti berdetak, digantikan deru mesin rumah sakit yang bergema seperti detak jam dinding  di lorong sunyi.

“Laras?”

Seorang wanita berdiri di hadapannya. Rambutnya disanggul rapi dengan mata penuh simpati. Di name tag-nya tertulis: dr. Andini : Dokter IGD

Laras mengankat kepalanya  perlahan. Di matanya masih tersisa luka tangis yang panjang, sembab, merah, dan lelah. Tangisnya mungkin sudah  berhenti, tapi heningnya justru lebih menyakitkan. Seolah setiap doa yang ia panjatkan tak ada balasan, hanya menggema dalam hati yang kini terasa hampa. Kosong. Bagaikan  ruang kosong yang dulu dipenuhi tawa dan semangat Bayu, kini hanya menyisakan kesunyian  yang tak bisa dijelaskan dengan kata.

Dr. Andini duduk perlahan di sebelahnya, hati-hati, seolah takut menambah retakan pada jiwa Laras yang sudah nyaris runtuh. Suaranya lembut, tapi sarat dengan kenyataan yang tak ingin diucapkan.

“Kami… sudah melakukan semua yang kami bisa. Tapi Bayu mengalami brainstem death, kematian batang otak. Jantungnya masih berdetak, tapi itu karena mesin. Secara medis…”

Ia berhenti, menatap Laras. Napasnya menggantung.

“Bayu sudah pergi.”

Tak ada jeritan. Tak ada tangis. Laras hanya mematung. Matanya menatap dinding yang mulai retak. Polanya menyerupai sungai kecil, seolah harapan sedang mengalir menjauh dari tubuhnya.

Beberapa detik kemudian, suaranya terdengar. Lirih. Retak.

“Bayu tadi pagi sempat bilang... dia mau makan pempek sepulang assesment tesnya di  Gothe untuk keperluan beasiswanya ke Jerman. Aku uda beliin pempek, tapi ketinggalan di rumah, aku tadi datang buru-buru. Bayu tidak sempat makan pempek kesukaannya . Maafkan kakak , Bayu…Maafkan kakak”

Tangisnya meledak lagi, bukan sebagai suara tapi bagaikan  napas yang mencabik dari dalam. Laras memukul dadanya sendiri, seolah ingin mengeluarkan rasa bersalah yang menyiksa. Dr. Andini memeluknya dengan kedua tangan, menahan tubuh itu agar tidak jatuh berkeping-keping di lantai rumah sakit.

Lama mereka diam. Hanya suara detak monitor dari ruang IGD lain yang menjadi latar.

Kemudian, dr. Andini berkata dengan suara lebih pelan:

“Laras… aku tahu ini terlalu cepat. Terlalu berat. Tapi aku harus menyampaikan sesuatu yang mungkin… bisa kamu pertimbangkan. Ada satu cara agar semangat Bayu tetap hidup. Dengan cara yang berbeda.”

Laras mengangkat kepalanya , pelan.

“Di rumah sakit ini ada tim  transplantasi yang  sudah siaga. Bukan hanya mata. Tapi organ vital lainnya, hati, ginjal, paru, bahkan jaringan kulit dan tulang. Bayu… bisa menyelamatkan banyak nyawa banyak orang, apabila kamu setuju melakukan transplantasi .”

Suasana jadi hening. Sangat hening, seperti waktu berhenti menatap mereka.

“Dia masih sangat muda. Organ-organnya… sehat, sempurna. Kami tahu ini tak mudah, tapi kami juga tahu… ini satu-satunya cara agar kepergiannya… tak sia-sia.”

Laras memejamkan mata. Dalam kelam pikirannya, ia melihat Bayu duduk di meja makan dengan seragam sekolah, tertawa karena rasa masakan Laras terlalu asin. Ia melihat adiknya menyeka keringat sambil mengayuh sepeda, pulang dari pasar membawa dus-dus kue dagangan mereka. Ia penuh semangat, anak baik yang pintar yang ingin mengangkat derajat hidup mereka dan itu dibuktikannya dengan meraih beasiswa ke Jerman.

Langkah baru terdengar di lorong. Seorang wanita paruh baya, mengenakan pakaian hijau ruang operasi dan masker yang sudah diturunkan, menghampiri dengan tenang.

“Permisi,” suaranya lembut, “Saya dr. Yvonne, dari tim transplantasi mata.  Dokter Andini mungkin sudah menjelaskan tentang tranplantasi. Tapi semua Keputusan ada di kamu sebagai wali Bayu. Kami akan  menghormati keputusanmu, Laras… apa pun itu.”

Laras membuka matanya perlahan, menatap dua sosok dokter di hadapannya. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan gemetar.

“Aku pernah nonton berita bersama Bayu,  tentang orang yang menyelamatkan banyak nyawa… setelah dia pergi,” katanya pelan. “ Saat itu Bayu bilang, kalau suatu hari nafasnya berhenti, dia pengen bantu orang lain juga, seperti di berita itu. Saat itu aku hanya tertawa karena kupikir dia cuma bercanda.” Wajah Laras kini tersenyum, mengingat memori itu.

Dr. Yvonne mengangguk dengan mata yang basah.

“Jika kamu setuju Laras, kami tak akan menyentuh wajahnya. Tak akan membuat tubuhnya rusak. Hanya akan mengambil organ yang bisa digunakan untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Dan kami akan melakukan semua dengan penuh penghormatan.”

Laras menunduk. Napasnya berat, namun kali ini… terasa berisi.

“Berapa orang… yang bisa dia selamatkan?” Suaranya bergetar

“Setidaknya tujuh,” jawab dr. Andini. “Dan itu belum termasuk jaringan pendukung lain.”

Laras memejamkan mata.

Bayu, anak yang hanya punya sepeda, tas sekolah  lusuh, dan mimpi besar. Anak yang mengayuh harapan di antara jalanan becek dan suara ibu-ibu di pasar tempat mereka menitipkan kue setiap pagi. Anak itu… akan menjadi pahlawan dalam sunyi.

“Aku setuju,” ucap Laras akhirnya, suaranya parau, “Tapi pastikan dia dilepas dengan hormat. Bukan seperti barang, perlakuan tubuhnya dengan baik.”

Yvonne menatapnya lembut “Kami janji. Dia akan diberi kehormatan seperti seorang penyelamat dan semuanya akan kami lakukan dengan penuh hormat.”

Laras berdiri. Kakinya lemas, tapi tidak goyah. “Aku ingin melihat dia. Sebelum kalian mulai. Aku ingin melepasnya dengan doa, dengan  penuh cinta, aku ingin Bayu tahu, sampai kapanpun dia adalah adikku yang sangat aku banggakan dan aku sayangi sampai nafasku berhenti”

Ruang Operasi :  Lima Belas Menit Kemudian

Bayu terbaring dengan selimut putih bersih. Wajahnya damai. Tak ada luka, hanya tampak kedamaian. Monitor berbunyi pelan, menunjukkan denyut jantung oleh  mesin.

Laras menyentuh tangannya. Dingin, tapi masih terasa milik Bayu.

“Bayu… kamu akan tetap melihat dunia ya? Lewat mata orang lain. Lewat detak jantung yang terus hidup. Lewat napas yang kamu bagi. Lewat orang-orang yang akan mencintai hidup karena kamu memberinya kesempatan .Dan aku… aku kini harus belajar hidup tanpamu, bahkan saat sebagian dirimu masih hidup di dunia. Itu yang paling menyakitkan hati kakak, Bayu. Damailah di surga Bayu.Peluk ayah dan ibu di sana. Tunggu kakakmu ini… suatu saat nanti, kita akan berkumpul bersama lagi”

Tangisnya pecah… dengan sisa kekuatannya, Laras membungkuk, mencium kening adiknya, lama. Sangat  lama. Seolah ingin  mencetak kenangan terakhir yang tak akan pernah pudar.

Lorong Rumah Sakit :  Satu Jam Kemudian

Seluruh staf medis rumah sakit berdiri di kedua sisi lorong utama dari IGD menuju Ambulance.  Dokter, perawat, satpam, petugas kebersihan. Semua berdiri tegap, diam, memberikan penghormatan dengan menundukkan kepala dan tangan di dada.

Tempat tidur  Bayu didorong pelan melewati mereka. Selimut putih  rapi menutupinya tubuhnya.  Di dadanya tersemat bunga putih dan sehelai pita kecil bertuliskan:

"Donor Kehidupan , Terima Kasih, Bayu Prasetyo. Nafasmu berakhir, tapi hidupmu penuh arti"

Laras berjalan di sampingnya. Matanya bengkak. Langkahnya lambat. Tapi wajahnya tegak. Dia bangga berdiri di samping Bayu yang sampai saat terakhir hidupnya bisa terus memberi arti bagi banyak orang sesuai cita-citanya.

Saat ambulans melaju menjauh, suara sirene tidak meraung. Hanya suara hujan yang turun perlahan, membasahi jalan dan menumbuhkan satu harapan kecil di hati setiap orang yang menyaksikannya.

Di dalam ambulans, Laras menggenggam map biru

Di dalamnya, ada sertifikat penghormatan, surat tanda persetujuan donor , dan sebuah  catatan:

Bayu, 19  tahun, pahlawan yang  telah menyelamatkan 7 nyawa.

Dan dalam setiap nyawa itu… Laras yakin,  Bayu adiknya  akan terus hidup.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (43)
goodnovel comment avatar
Ristiana Cakrawangsa
......mengharukan sekali, keren bgt kakak beradik ini, semoga hati2 Laras kedepan juga di penuhi kebahagiaan yaa
goodnovel comment avatar
Liss02
Kira-kira Laras mau cari tau gak yaaa penyebab kecelakaan Bayu itu apa... Biar setidaknya kan dia juga mendapatkan tanggung jawab dari pihak yang terlibat dalam kasus kecelakaannya yaitu Julio..
goodnovel comment avatar
Elly Julita
nyesek banget ya Allah,, Laras dan Bayu menyelamatkan 7 nyawa dalam ketulusan dan cinta,, kalian anak2 hebat dan luar biasa,,, gak kuat eyyy, nangis kejer aq
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • From Your Eyes Only   126 : Kadang berkat terbesar tumbuh dari hal paling sederhana—dari niat baik, dari tangan yang mau bekerja, dari hati yang ingin berbagi

    Laras POV Papa Johan benar-benar menepati janjinya. Hari Jumat pagi, ketika aku membuka pintu dapur, aku terpukau. Dapur lamaku yang dulu hanya ruang kecil dengan kompor dua tungku, dan meja kayu tempat meniriskan donat kini telah berubah total. Semuanya tampak baru. Modern. Rapi. Berkilau. Udara di dalamnya pun terasa berbeda. Lebih terang, lebih segar, dan entah kenapa, seperti membawa semangat baru bersamanya. Lantai keramik putih mengilap, dindingnya bersih tanpa noda minyak sedikit pun. Di sisi kanan berdiri dua meja aluminium panjang dengan permukaan mengilap, tempat aku akan mencetak , menata adonan donat juga menghiasnya sebagai sentuhan terakhir. Di sudut ruangan berdiri mesin proofing setinggi dadaku berbentuk kabinet stainless steel dengan kaca bening di pintunya. Aku bisa membayangkan aroma adonan hangat yang akan mengembang sempurna di dalamnya. Tak jauh dari situ, mixer industri besar dengan mangkuk baja berkapasitas puluhan liter berdiri gagah. Bayangan tubuhku mem

  • From Your Eyes Only   125 : Kadang, cinta tak butuh banyak kata,  cukup jadi istri yang tahu cara menenangkan hasrat suaminya dengan penuh cinta

    Warning Trigger : Mature content 21 ++ Saat Laras sedang mandi sepulang kami dari gereja untuk pemberkatan, aku duduk santai ngobrol bersama Mama dan Papa di meja makan. Kami menikmati seteko teh Melati. Kini wangi semerbak harum Melati yang menenangkan mengisi seluruh rumah dengan aroma khasnya. “Liyo,” kata Mama pelan, “tadi Pak Hutabarat telepon. Katanya pihak kejaksaan sudah menghubungi rumah dan kantor kita uda tidak lagi di segel . Hanya rekening yang harus tunggu beberapa saat lagi. Jadi besok Mama dan Papa mau pulang ke rumah kita. Rumah itu udah lama kosong, jadi harus dibersihin. Mama yang akan urus rumah, Papa langsung urus kantor.” Aku menaruh cangkir tehku. “Masalah dapur Labayo gimana, Pa?” “Nggak usah khawatir,” jawab Papa tenang, “itu udah hampir kelar. Nanti Papa tambah tukangnya, biar Jumat ini bisa segera selesai. Jadi Sabtu kalian bisa langsung mulai produksi.” Mama menyesap tehnya dan menatapku. “Nggak mau bikin upacara peresmian?” Aku tertawa kecil. “Lar

  • From Your Eyes Only   124 : Cinta bukan tentang seberapa indah tempat kita diberkati, tapi seberapa tulus hati yang berjalan bersama kita menuju altar kehidupan.

    Senin sore itu, Jakarta terasa lebih tenang dari biasanya. Matahari menggantung rendah di langit barat, menyapukan cahaya jingga ke atap-atap seng dan jendela rumah-rumah kontrakan di jalan kecil tempat Laras tinggal. Awan cumulus melayang seperti kapas besar yang sedang beristirahat membuat pemandangan sore itu tampak seperti lukisan mahakarya Sang Pencipta, seolah Tuhan ikut tersenyum, karena hari ini Laras dan Julio akan diberkati di gereja. Awalnya mereka mama Susan dan papa Johan. Riris dan Ario tentunya bersama kedua pengantin Julio dan Laras akan berangkat naik Avanza milik kantor Papa Johan. Tapi baru saja pagar rumah di buka, ternyata di luar sudah ramai. Warga tetangga berdiri di depan pagar, seperti rombongan yang menunggu pawai pengantin. Ada Bu Sri yang selalu kepo tapi baik hati, ada Bu Kus yang pemilik warung tempat Laras menitipkan donat pertamanya. Ada juga Pak RT dengan kemeja batiknya, juga Bu Pur mamanya Riris yang suka humor, cerewet tapi penyayang. “Laras!” s

  • From Your Eyes Only   123 : Kadang Tuhan nggak kasih kita jalan bebas badai, tapi kasih orang yang bikin kita kuat waktu badai datang.

    Julio POV Sore itu, langit Jakarta bersih seperti baru saja dicuci hujan. Udara hangat, dan sinar matahari berwarna oranye menembus di sela-sela gedung kaca di kawasan Mega Kuningan. Laras baru pulang dari kelas baking-nya di Bogasari saat kami memutuskan berjalan kaki menuju gereja tua di belakang kawasan Mega Kuningan. Gereja tempat kami berencana mendaftar kelas pranikah. Lokasi gereja itu tak jauh dari penthouse-ku dulu. Saat melewati gedung tinggi itu, aku menoleh dan menunjuk ke atas “Ini tempat tinggalku dulu, Ra.” Laras mendongak, matanya membulat. “Gedung tinggi ini?” Aku mengangguk, tersenyum. “Mama kemarin ada nawarin, kalau semua urusan kejaksaan sudah selesai dan semua aset milik mama dan papa tidak lagi diblokir , kita boleh tinggal di sini. Tapi aku nggak mau. Kebayang kan, repotnya kalau tiap pagi buta kita harus jalan kaki untuk buat donat ke dapur Labayo?” Laras terkekeh, mengangguk paham. “Makanya aku lebih pilih kita tetap tinggal rumahmu aja. biar lebih

  • From Your Eyes Only   122 : Setelah badai reda, yang tersisa bukan rasa takut, tapi keyakinan bahwa setiap luka pernah punya makna.

    Julio POV Aku sedikit terkejut ketika mendengar Jaksa Guntur menyebut bahwa aset milik Arifin di Boston juga ikut dibekukan. Kata Boston langsung membuatku teringat tentang Erika, yang tiba-tiba menghilang dari Bangkok setelah membuat kekacauan di hari liburku bersama Laras. Sekarang semuanya masuk akal. Ia pasti disuruh mengamankan aset keluarganya. Tapi ternyata gagal juga. Semua harta mereka disita. Ketika Arifin dengan suara terbata-bata bertanya, “Apakah... Erika…?” Aku tahu, itu bukan sekadar kegelisahan seorang tersangka. Itu suara seorang ayah yang menanggung rasa bersalah karena membuat anaknya menderita. Aku menarik napas panjang. Entah kenapa, kali ini tidak ada lagi rasa kesal mendengar nama Erika. aku hanya merasa iba. Aku yakin, selama Erika tidak terlibat langsung dalam bisnis ayahnya, ia tidak akan sampai dijerat hukum. Hanya saja… aku tahu, wanita seperti dirinya tak bisa hidup tanpa uang.Tapi ah, apa peduliku lagi? Aku dan dia sudah selesai. Setelah semua l

  • From Your Eyes Only   121: Kadang, dosa terbesar bukan pada apa yang kita lakukan, tapi pada siapa yang akhirnya terseret karenanya.

    Ruang tunggu Kejaksaan Negeri itu terasa lebih dingin dari pendingin udaranya sendiri. Lampu neon putih memantulkan cahaya ke lantai granit, membuat suasana seperti ruang interogasi di film kriminal. Johan duduk di kursi besi, kedua tangannya mengepal, menahan degup jantung yang rasanya berpacu dengan waktu. Di sampingnya, Julio menatap lurus ke depan, gelisah, tapi berusaha tampak tenang. Pak Hutabarat, pengacara keluarga mereka, berdiri di depan pintu kaca buram bertuliskan Bidang Tindak Pidana Khusus. Di tangannya tergenggam map biru berisi dokumen yang sudah beberapa minggu ini tidak pernah lepas dari gengamannya. “Tenang, Pak Johan,” katanya datar “Kita hanya klarifikasi dan datang sebagai saksi.” Namun kalimat itu tak mampu menghapus bayangan ketakutan Johan, takut ratusan karyawan perusahaannya tidak bisa mendapatkan gaji bulan ini. Pintu terbuka. Seorang petugas memanggil, “Pak Johan Wicaksano, silakan masuk.” Ketiganya masuk ke ruang pemeriksaan. Di dalam, aroma kopi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status