Hujan masih turun di pelataran Rumah Sakit MMC. Rintiknya lembut, nyaris tak terdengar, seperti air mata langit yang ragu-ragu, tak yakin apakah ia cukup layak untuk membasuh luka yang terlalu dalam di pagi menjelang siang yang kelabu itu. Kabut tipis menggantung di udara, menciptakan batas samar antara dunia nyata dan kehampaan yang menyelimuti.
Di kursi plastik warna putih yang dingin, Laras duduk kaku, memeluk tas sekolah milik Bayu. Tas itu sudah berubah warna, bagian bawahnya basah oleh darah yang mulai mengering. Di salah satu sisinya, ada sobekan besar seperti mulut yang ingin menjerit tapi dicekik oleh kenyataan. Jemarinya menggenggam erat talinya, pucat, nyaris beku. Jaket lusuh yang ia kenakan masih penuh lumpur. Ia belum berganti pakaian.
Tak sempat. Tak mau. Tak sanggup.
Sejak polisi datang ke rumah tadi pagi, mengatakan bahwa adiknya mengalami kecelakaan, waktu seperti membeku. Sudah lebih dari dua jam sejak Bayu dibawa ke IGD dengan ambulans. Tapi bagi Laras, jam sudah lama berhenti berdetak, digantikan deru mesin rumah sakit yang bergema seperti detak jam dinding di lorong sunyi.
“Laras?”
Seorang wanita berdiri di hadapannya. Rambutnya disanggul rapi dengan mata penuh simpati. Di name tag-nya tertulis: dr. Andini : Dokter IGD
Laras mengankat kepalanya perlahan. Di matanya masih tersisa luka tangis yang panjang, sembab, merah, dan lelah. Tangisnya mungkin sudah berhenti, tapi heningnya justru lebih menyakitkan. Seolah setiap doa yang ia panjatkan tak ada balasan, hanya menggema dalam hati yang kini terasa hampa. Kosong. Bagaikan ruang kosong yang dulu dipenuhi tawa dan semangat Bayu, kini hanya menyisakan kesunyian yang tak bisa dijelaskan dengan kata.
Dr. Andini duduk perlahan di sebelahnya, hati-hati, seolah takut menambah retakan pada jiwa Laras yang sudah nyaris runtuh. Suaranya lembut, tapi sarat dengan kenyataan yang tak ingin diucapkan.
“Kami… sudah melakukan semua yang kami bisa. Tapi Bayu mengalami brainstem death, kematian batang otak. Jantungnya masih berdetak, tapi itu karena mesin. Secara medis…”
Ia berhenti, menatap Laras. Napasnya menggantung.
“Bayu sudah pergi.”
Tak ada jeritan. Tak ada tangis. Laras hanya mematung. Matanya menatap dinding yang mulai retak. Polanya menyerupai sungai kecil, seolah harapan sedang mengalir menjauh dari tubuhnya.
Beberapa detik kemudian, suaranya terdengar. Lirih. Retak.
“Bayu tadi pagi sempat bilang... dia mau makan pempek sepulang assesment tesnya di Gothe untuk keperluan beasiswanya ke Jerman. Aku uda beliin pempek, tapi ketinggalan di rumah, aku tadi datang buru-buru. Bayu tidak sempat makan pempek kesukaannya . Maafkan kakak , Bayu…Maafkan kakak”
Tangisnya meledak lagi, bukan sebagai suara tapi bagaikan napas yang mencabik dari dalam. Laras memukul dadanya sendiri, seolah ingin mengeluarkan rasa bersalah yang menyiksa. Dr. Andini memeluknya dengan kedua tangan, menahan tubuh itu agar tidak jatuh berkeping-keping di lantai rumah sakit.
Lama mereka diam. Hanya suara detak monitor dari ruang IGD lain yang menjadi latar.
Kemudian, dr. Andini berkata dengan suara lebih pelan:
“Laras… aku tahu ini terlalu cepat. Terlalu berat. Tapi aku harus menyampaikan sesuatu yang mungkin… bisa kamu pertimbangkan. Ada satu cara agar semangat Bayu tetap hidup. Dengan cara yang berbeda.”
Laras mengangkat kepalanya , pelan.
“Di rumah sakit ini ada tim transplantasi yang sudah siaga. Bukan hanya mata. Tapi organ vital lainnya, hati, ginjal, paru, bahkan jaringan kulit dan tulang. Bayu… bisa menyelamatkan banyak nyawa banyak orang, apabila kamu setuju melakukan transplantasi .”
Suasana jadi hening. Sangat hening, seperti waktu berhenti menatap mereka.
“Dia masih sangat muda. Organ-organnya… sehat, sempurna. Kami tahu ini tak mudah, tapi kami juga tahu… ini satu-satunya cara agar kepergiannya… tak sia-sia.”
Laras memejamkan mata. Dalam kelam pikirannya, ia melihat Bayu duduk di meja makan dengan seragam sekolah, tertawa karena rasa masakan Laras terlalu asin. Ia melihat adiknya menyeka keringat sambil mengayuh sepeda, pulang dari pasar membawa dus-dus kue dagangan mereka. Ia penuh semangat, anak baik yang pintar yang ingin mengangkat derajat hidup mereka dan itu dibuktikannya dengan meraih beasiswa ke Jerman.
Langkah baru terdengar di lorong. Seorang wanita paruh baya, mengenakan pakaian hijau ruang operasi dan masker yang sudah diturunkan, menghampiri dengan tenang.
“Permisi,” suaranya lembut, “Saya dr. Yvonne, dari tim transplantasi mata. Dokter Andini mungkin sudah menjelaskan tentang tranplantasi. Tapi semua Keputusan ada di kamu sebagai wali Bayu. Kami akan menghormati keputusanmu, Laras… apa pun itu.”
Laras membuka matanya perlahan, menatap dua sosok dokter di hadapannya. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan gemetar.
“Aku pernah nonton berita bersama Bayu, tentang orang yang menyelamatkan banyak nyawa… setelah dia pergi,” katanya pelan. “ Saat itu Bayu bilang, kalau suatu hari nafasnya berhenti, dia pengen bantu orang lain juga, seperti di berita itu. Saat itu aku hanya tertawa karena kupikir dia cuma bercanda.” Wajah Laras kini tersenyum, mengingat memori itu.
Dr. Yvonne mengangguk dengan mata yang basah.
“Jika kamu setuju Laras, kami tak akan menyentuh wajahnya. Tak akan membuat tubuhnya rusak. Hanya akan mengambil organ yang bisa digunakan untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Dan kami akan melakukan semua dengan penuh penghormatan.”
Laras menunduk. Napasnya berat, namun kali ini… terasa berisi.
“Berapa orang… yang bisa dia selamatkan?” Suaranya bergetar
“Setidaknya tujuh,” jawab dr. Andini. “Dan itu belum termasuk jaringan pendukung lain.”
Laras memejamkan mata.
Bayu, anak yang hanya punya sepeda, tas sekolah lusuh, dan mimpi besar. Anak yang mengayuh harapan di antara jalanan becek dan suara ibu-ibu di pasar tempat mereka menitipkan kue setiap pagi. Anak itu… akan menjadi pahlawan dalam sunyi.
“Aku setuju,” ucap Laras akhirnya, suaranya parau, “Tapi pastikan dia dilepas dengan hormat. Bukan seperti barang, perlakuan tubuhnya dengan baik.”
Yvonne menatapnya lembut “Kami janji. Dia akan diberi kehormatan seperti seorang penyelamat dan semuanya akan kami lakukan dengan penuh hormat.”
Laras berdiri. Kakinya lemas, tapi tidak goyah. “Aku ingin melihat dia. Sebelum kalian mulai. Aku ingin melepasnya dengan doa, dengan penuh cinta, aku ingin Bayu tahu, sampai kapanpun dia adalah adikku yang sangat aku banggakan dan aku sayangi sampai nafasku berhenti”
Ruang Operasi : Lima Belas Menit Kemudian
Bayu terbaring dengan selimut putih bersih. Wajahnya damai. Tak ada luka, hanya tampak kedamaian. Monitor berbunyi pelan, menunjukkan denyut jantung oleh mesin.
Laras menyentuh tangannya. Dingin, tapi masih terasa milik Bayu.
“Bayu… kamu akan tetap melihat dunia ya? Lewat mata orang lain. Lewat detak jantung yang terus hidup. Lewat napas yang kamu bagi. Lewat orang-orang yang akan mencintai hidup karena kamu memberinya kesempatan .Dan aku… aku kini harus belajar hidup tanpamu, bahkan saat sebagian dirimu masih hidup di dunia. Itu yang paling menyakitkan hati kakak, Bayu. Damailah di surga Bayu.Peluk ayah dan ibu di sana. Tunggu kakakmu ini… suatu saat nanti, kita akan berkumpul bersama lagi”
Tangisnya pecah… dengan sisa kekuatannya, Laras membungkuk, mencium kening adiknya, lama. Sangat lama. Seolah ingin mencetak kenangan terakhir yang tak akan pernah pudar.
Lorong Rumah Sakit : Satu Jam Kemudian
Seluruh staf medis rumah sakit berdiri di kedua sisi lorong utama dari IGD menuju Ambulance. Dokter, perawat, satpam, petugas kebersihan. Semua berdiri tegap, diam, memberikan penghormatan dengan menundukkan kepala dan tangan di dada.
Tempat tidur Bayu didorong pelan melewati mereka. Selimut putih rapi menutupinya tubuhnya. Di dadanya tersemat bunga putih dan sehelai pita kecil bertuliskan:
"Donor Kehidupan , Terima Kasih, Bayu Prasetyo. Nafasmu berakhir, tapi hidupmu penuh arti"
Laras berjalan di sampingnya. Matanya bengkak. Langkahnya lambat. Tapi wajahnya tegak. Dia bangga berdiri di samping Bayu yang sampai saat terakhir hidupnya bisa terus memberi arti bagi banyak orang sesuai cita-citanya.
Saat ambulans melaju menjauh, suara sirene tidak meraung. Hanya suara hujan yang turun perlahan, membasahi jalan dan menumbuhkan satu harapan kecil di hati setiap orang yang menyaksikannya.
Di dalam ambulans, Laras menggenggam map biru
Di dalamnya, ada sertifikat penghormatan, surat tanda persetujuan donor , dan sebuah catatan:
Bayu, 19 tahun, pahlawan yang telah menyelamatkan 7 nyawa.
Dan dalam setiap nyawa itu… Laras yakin, Bayu adiknya akan terus hidup.Julio POV Sudah seminggu aku bekerja di tempat Laras dan aku sangat senang, tidak pernah aku sesenang ini, hatiku terasa ringan dan semangat saat berangkat bekerja meskipun di jam dua dini hari. Seminggu ini, hanya hari ini donat -donat yang dititipkan di warung-warung tidak terjual semua, ada satu warung yang masih menyisakan 1 kotak utuh 10 donat, bukan karena donat Laras, tidak laku, tapi karena pemilik warung terburu-buru harus menutup warungnya sebab dia harus membawa anaknya yang jatuh dari pohon dan kepalanya pecah. Pemilik warung itu sampai mengucapkan maaf , tapi aku tidak marah, saat mengambil kembali donat. “ Maaf ya Liyo.. aku tadi harus menutup warungku setengah hari karena anakku jatuh dari pohon dan kepalanya bocor, jadi ngak bisa jual donatnya sampai habis. Bilang Laras, hanya 15 ribu saja pendapatan nya hari ini.” Kata Ibu warung “ Nggak apa-apa Bu. Laras pasti mengerti.” Kataku penuh pengertian, kalau aku yang dulu pasti marah, tapi kini aku jadi Liyo yang lebih
Julio POVSaat Laras menggoreng donat, dia menyuruhku memasukkan gula halus ke dalam plastik klip putih kecil. Tiga jam terakhir ini, kami bekerja sama dengan sangat baik. Untuk orang yang baru pertama kali bikin donat, aku cukup cekatan. Sepertinya Laras pun senang melihat aku cepat tanggap, mulai dari mengadon, mencetak, sampai kini, tinggal selangkah lagi donat-donat kami siap diantar ke warung-warung.Hari ini, Laras bilang akan menemaniku mengantar donat dan mengenalkanku ke para pemilik warung. Aroma donat yang baru matang menyebar ke seluruh rumah. Saat Laras menaruh donat yang baru diangkat dari wajan ke rak pendingin, aku terus mengisi kantung plastik dengan gula halus.“Harum banget… Aku jadi lapar,” kataku sambil tetap bekerja.“Kalau mau, ambil aja. Itu, yang ujung agak gosong, tapi masih hangat. Hati-hati panas,” kata Laras sambil tersenyum.Aku mengambil satu. Donat kampung harga dua ribuan jujur ekspektasiku rendah. Kupikir akan keras atau teksturnya kasar . Tapi begi
Laras POV Jam dua tepat. Suara pintu pagar berderit pelan. Entah kenapa, timbul rasa hangat di hatiku. Dari balik tirai jendela, kulihat sosok tinggi itu, Liyo. Dia yang datang. Kemarin siang, setelah bangun dari istirahat usai Liyo pulang dari wawancara kerja, sempat muncul keraguan di hatiku. Aku tak yakin dia benar-benar akan datang dan bekerja untukku, soalnya aku tidak bisa menjanjikannya gaji tetap, hanya sistem bagi hasil. Jika donatnya laku semua, dia bisa mendapat penghasilan yang lumayan. Tapi kalau tidak? Ya… paling-paling cuma bisa membawa pulang donat. Lagipula, jam kerjaku jauh dari normal. Aku mulai bekerja jam dua dini hari. Siapa yang rela bangun sepagi itu hanya untuk mengadon tepung dan ragi? Tapi begitulah ritme hidupku. Donat-donat itu harus selesai sebelum matahari terbit, agar bisa dikirim ke warung dan dibeli para ibu untuk bekal anak sekolah, atau oleh para pekerja yang butuh pengganjal perut di pagi hari. Satu donat seharga dua ribu rupiah itu untuk sebagia
Julio POVAku membaringkan tubuh di atas dipan knock down baru, Aku dan Ario membeli dipan yang bongkar pasang ini di Mall Ambasador. Di sudut kamar kontrakan yang sempit ini, AC portable putih berdiri gagah, mencolok di antara dinding kusam dan lantai yang retak-retak. Satu-satunya barang mewah di kamar ini, jadi kelihatan kontras sekali. Tapi aku tidak mungkin tidur hanya dengan kipas angin. Jadi meski harus mematikan semua lampu agar daya listrik cukup untuk menyalakan AC ini, aku tetap membelinya. Sekarang, aku berbaring dalam gelap gulita, hanya ditemani cahaya kecil dari lampu indikator suhu yang ada di bagian atas ACBesok sesuai rencana, kloset jongkok ini juga akan diganti.karena aku sungguh tidak bisa membayangkan harus beol dengan jongkok.Tadi sore aku sempat pulang ke apartemenku sebentar, ngubek-ngubek lemari, nyari baju dan celana yang nggak kelihatan kaya. Dan taukah kamu, itu susahnya minta ampun, bagaikan cari jarum di tumpukan jeramiSemua bajuku itu logonya sege
JULIO POVDari rumah Laras, aku dan Ario berjalan menuju kontrakannya. Jaraknya tak terlalu jauh, hanya melewati tiga gang kecil di bagian atas kampung. disebut bagian atas karena jalannya menanjak, mirip saat kita incline di treadmill. Sepanjang jalan, Ario sibuk menginterogasiku seperti polisi yang baru menangkap penjahat.“Bapak… serius mau kerja sama Bu Laras?”“ Bapak lagi.. Bapak lagi. …. Sudah kubilang, jangan panggil aku Bapak. Nanti kamu keceplosan depan Laras, penyamaranku akan ketahuan. Uda kubilang panggil aku Liyo. L-I-Y-O. ” jawabku sambil mendelik.“ Iya.. Iya.. Pak.. eh Liyo.. Jadi kenapa kamu mau kerja sama Laras itu ?”Aku menatap jalan di depan. “Karena… Pasti ada maksud dari Bayu kenapa setiap aku membuka mata, selalu saja ada bayang wajah Laras di pikiranku.. Dan setiap jam dua pagi, selalu jam dua, aku selalu terbangun. Dan ternyata… itu waktu Laras mulai bikin kue. Jadi itu mungkin tanda-tanda dari Bayu agar aku membantu kakaknya. Jadi aku mau bekerja den
Laras POVAku berdiri, memberi isyarat bahwa wawancara kerja ini telah selesai. Bukan karena ingin mengusir mereka, tapi tubuhku sudah kelelahan. Semalam aku baru tertidur lewat tengah malam, dan pagi tadi hanya sempat memejamkan mata dua jam, bangun jam dua dini hari seperti biasanya, lalu sibuk mengadon kue dan mengantar kue ke warung-warung. Sejak Bayu pergi, tidurku tak pernah benar-benar nyenyak lagi.Aku menjulurkan tangan pada Liyo, lelaki asing yang baru ku kenal tapi entah kenapa terasa tidak asing.“Panggil aja aku Laras, jangan panggil ‘Bu’. Sampai jumpa besok, semoga kita bisa bekerjasama dengan baik.”Aku tersenyum, tulus padanya. Aneh. Aku bukan tipe orang yang gampang percaya, apalagi pada orang baru. Riris bahkan pernah kesal karena aku terlalu sulit membuka diri. Temanku cuma dua orang, Riris dan Bayu. Tapi, entah kenapa, dengan Liyo… aku begitu mudah percaya padanya dan langsung menyuruhnya datang bekerja besok jam dua.“Sampai jumpa besok, Bu… eh, Laras,” jawa