Início / Romansa / From Your Eyes Only / Tuhan Belum Menjawab Doa, Bukan Karena Dia Lupa, Dia Hanya Minta Kesabaranan, Untuk Waktu Yang Tepat

Compartilhar

Tuhan Belum Menjawab Doa, Bukan Karena Dia Lupa, Dia Hanya Minta Kesabaranan, Untuk Waktu Yang Tepat

Autor: Netganno
last update Última atualização: 2025-07-22 14:20:45

Ruang IGD :Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre-Kuningan

Cahaya putih dingin dari lampu LED memantul di lantai keramik wana abu-abu. Aroma disinfektan bercampur darah dan keringat memenuhi udara. Di luar ruang Instalasi Gawat Darurat, dua keluarga berdiri dalam pakaian formal: jas hitam, dasi perak, gaun putih sabrina yang sudah kusut di ujungnya. Erika yang masih mengenakan gaun pengantinnya, dan kini duduk lemas di kursi tunggu, wajahnya penuh air mata.

Pintu otomatis IGD bergeser terbuka, lalu tertutup kembali. Tidak ada jawaban. Tidak ada kepastian.

Hanya perasaan terjebak dalam dilema , antara harapan atau  kehancuran.

Seorang satpam berdiri tegap, menghadang langkah siapa pun yang mencoba masuk ke dalam ruang IGD

“Maaf, keluarga tidak diperkenankan masuk saat tindakan medis berlangsung. Mohon tunggu di sini.Dokter sedang bekerja,” katanya tegas, menatap mereka satu per satu.

“Kami keluarga korban kecelakaan di jalan  Kuningan! Saya harus tahu keadaan anak saya! Saya harus masuk!” Jerit  Johan Wicaksono, matanya merah, suara bergetar menahan kepanikan.

“Aku calon istrinya! Aku juga harus masuk! Aku harus tahu keadaan Julio!”  jerit Erika, tangisnya pecah, suaranya serak.

“Saya ibunya! Saya yang melahirkannya.  Saya juga harus  masuk!” isak Susan Wicaksono, suaranya bergetar penuh rasa khawatir.

Satpam itu hanya menggeleng, tetap berdiri tegak di depan pintu , sesuai  protokol.

“Tolong, Bu, Pak, mohon tunggu. Tindakan masih berlangsung di dalam. Nanti dokter akan keluar dan menjelaskan langsung pada keluarga.” Kata Satpam, kali ini dengan nada yagn lebih penuh empati. Dia mengerti bagaimana keluarga korban pasti sangat khawatir, apalagi wanita berbaju pengantin putih itu, hari yang seharusnya jadi hari yang paling bahagia dalam sekejap mata menjadi hari penuh derita.

Arifin Putra, ayah Erika, menarik napas panjang. Dengan tenang, meski hatinya remuk, ia membimbing putrinya untuk duduk kembali.

“Erika… Nak, ayo duduk dulu. Keadaan IGD memang tidak memungkinkan semua orang masuk. Kita tunggu di sini aja sampe dokter siap menjelaskan keadaan Julio.”

Erika mengangguk pelan, tapi tubuhnya limbung. Ia menatap lurus ke depan, ke pintu otomatis IGD yang terus terbuka-tutup setiap ada dokter atau perawat keluar masuk. Gaun pengantinnya basah oleh air mata. Jam sudah hampir menunjukkan pukul 10.30  pagi. Seharusnya saat ini dia sudah berdiri di depan  altar, mengucapkan janji suci bersama Julio,  bukan duduk di ruang tunggu dingin di  rumah sakit ini.

Suasana sunyi, tidak ada yang berbicara, hanya suara sepatu dokter yang tergesa-gesa di koridor, monitor monitor berbunyi dari dalam, dan doa yang dipanjatkan dalam hati oleh dua keluarga yang sedang menunggu keajaiban.

Di dalam ruang IGD.

Tim medis bergerak cepat. Dua pasien dalam kondisi serius karena kecelakaan sedang ditangani.  Ruangan dipenuhi suara mesin, instruksi singkat, dan aroma darah yang belum mengering.

Dokter Andini, mengenakan APD lengkap dan masker bedah, sedang memeriksa seorang pasien laki-laki muda dengan luka serius di wajah.

“Bersihkan dulu area orbita kanan dari serpihan kaca. Hematoma sudah terbentuk di kelopak mata..Luka lainnya superficial, tapi ini… kita khawatir ada trauma bola mata berat,”

katanya pada suster yang membantunya.

“Baik, Dokter,” jawab suster, langsung mengambil larutan saline dan kasa steril.

“Hubungi dokter spesialis mata, segera. Ini bisa berisiko kehilangan penglihatan.”

Suster lainnya segera berjalan ke arah nurse station, menekan interkom.

Tak jauh dari situ, seorang perawat pria mendekati dokter Andini.

“Dok… pasien satunya ada luka kepala parah. CT scan darurat sudah dilakukan.”

Dokter Andini menarik napas berat, memperhatikan lembar CT Scan. Dia lalu menggeleng pelan.“Sepertinya .. trauma otak berat. Diagnosis awal: brain death. Tidak ada aktivitas batang otak.” Sekali lagi dia menarik nafas panjang  “Keluarga sudah dihubungi?”

“Sudah, oleh polisi dari TKP.”

“Tetap pasang ventilator. Kita jaga fungsi organ sampai keluarga datang.”

Beberapa saat kemudian, dokter mata Yvonne, masuk ke ruang tindakan. Ia langsung memeriksa Julio Wicaksono, korban yang terlempar dari mobil sport merah. Setelah menyorot pupil dan memeriksa cedera di kornea dan sclera, ia menatap serius ke arah dokter Andini.

Mereka bertukar pandang. Tidak perlu kata-kata.

Kemudian, keduanya berjalan menuju luar ruang IGD, membuka pintu otomatis yang dingin itu.

“Keluarga pasien atas nama Julio Wicaksono,” kata dokter Andini.

Lima orang langsung berdiri. Erika nyaris tersungkur saat bangkit. Arifin menopangnya.

“Dokter, bagaimana kondisi anak saya?” tanya Johan  “Apakah ada patah tulang? Perlu operasi? Kalau perlu, segera lakukan. Kami akan bayar, berapa pun biayanya.”

Dokter Andini menjawab dengan tenang tapi berat.

“Tidak ada fraktur. Luka di tubuh hanya luka luar. Tapi…”

Ia berhenti sejenak. Dokter Yvonne mengambil alih.

“Kami khawatir kondisi matanya cukup parah. Kedua bola mata terkena serpihan kaca saat ia terlempar dari kendaraan. Ada kerusakan serius pada kornea dan retina. Kami belum bisa pastikan, tapi kemungkinan besar Julio mengalami kehilangan penglihatan permanen.”

“TIDAK…!”

Jeritan Erika menggema seperti suara pecah dari dalam gua kosong. Ia menangis keras, memeluk tubuh ayahnya.

“Sembuhkan dia! Julio harus  sembuh…!”

“Tenang, Erika… Tenang sayang,” kata Arifin sambil menahan air matanya sendiri. “Kita akan cari donor. Kita akan bawa dia ke luar negeri kalau perlu.”

“Dokter, apa benar… dia bisa diselamatkan dengan donor mata?” tanya Johan dengan suara lirih namun penuh harap.

Dokter Yvonne mengangguk pelan.

“Teorinya bisa, Pak. Tapi prosedur transplantasi kornea tidak mudah.  Donor mata sangat terbatas, tidak semua bisa cocok dan banyak tahapan medis serta etika yang harus dilewati.”

Johan menggenggam tangan istrinya.

“Kalau begitu… cari. Cari sampai dapat. Saya tidak peduli harus menghabiskan berapa miliar, saya tidak peduli ke negara mana aku harus pergi untuk mendapatkan donor itu. Anak saya tidak akan hidup dalam gelap!” Jerit Johan, sekilas pandanannya    menatap ke arah ruang IGD yang terbuka pintu otomatisnya , ke tempat Julio berbaring tak sadarkan diri dan hatinya merintih sakit, melihat anaknya yang mungkin harus hidup dalam gelap.

Dan  di sudut ruang lain yang tak mereka sadari ada seorang anak muda lain... Bayu Prasetyo, terbaring diam.  Seorang wanita muda berbaju sederhana, menangis tersedu-sedu di samping bayu, dia meratap dengan suara gemetar

“Bayu… Bayu… Jangan tinggalin kakak, … Jangan tinggalin kakak sendirian di dunia ini…”

“Bangun, Bayu… Tolong… dengar suara kakak… Lihat kakak, sekali aja. Bayu… jangan diam kayak gini,… jangan tidur terlalu lama, ayo bangun. Ayo Bayu, jangan sia-siakan kerja keras mu dan kerja keras kakak. Kamu harus  mewujudkan semua mimpimu Bayu. Bangun Bayu”

Tangannya gemetar menyentuh wajah sang adik, seolah ingin membangunkannya dari tidur panjang yang menakutkan itu.

“Kamu tahu, kan… kakak cuma punya kamu. Cuma kamu satu-satunya keluarga kakak .Kita udah lewatin semuanya berdua sejak kita di tinggal ibu dan ayah. Kita bisa  kuat karena saling jaga. Sekarang... kalau kamu pergi, kakak tinggal sama siapa, Bayu? Siapa yang bantuin kakak mengulen donat? Kalau kamu pergi… siapa yang bakal manggil aku ‘Kakak’ lagi, Bayu?” ”

Air matanya tumpah, jatuh di lengan sang adik yang tak bergerak. Suaranya makin putus.

“Kenapa tadi  kamu nggak nurut ? Kenapa kamu nggak naik busway aja? Kakak kan uda bilang? Ke jalan  Kuningan jangan naik sepeda, . supaya nggak cape... supaya  kamu nggak kayak gini...” Suaranya melembut, dia tetap membelai -belai tangan adiknya “Kamu bilang, naik sepeda supaya hemat uang sekalian olahraga. Uangnya supaya bisa di simpan buat pegangan kuliah saat  kamu ke Jerman. Kamu dapat beasiswa Bayu, beasiswa ke Jerman. Kamu bilang biar hidup kita berubah.  Tapi sekarang... buat apa, Bayu? Buat apa, kalau kamu…”

Ia tak sanggup melanjutkan kalimatnya.

“Tuhan... jangan ambil adikku … jangan ambil satu-satunya alasan aku bangun tiap  pagi. Dia anak baik... dia masih punya cita-cita . Dia mau ke Jerman dengan beasiswa Tuhan.. Bangunkan adikku, Tuhan, atau kamu ambil aja nyawaku.” Laras terus berdoa dan  menangis, tapi Bayu tetap diam. Jantungnya berdetak dengan bantuan mesin. Otaknya sudah tak lagi memberi perintah. Tubuhnya hanya menunggu perpisahan.

Di satu sisi, harapan dipertahankan. Di sisi lain, kehidupan akan segera dilepaskan.

Apakah mungkin… takdir mempertemukan keduanya untuk alasan yang lebih besar?

Continue a ler este livro gratuitamente
Escaneie o código para baixar o App
Comentários (56)
goodnovel comment avatar
Harina Asiana
asli mewek abis untuk bayu
goodnovel comment avatar
Liss02
Semoga Julio mau bertanggung jawab kalo ada apa-apa sama Bayu...
goodnovel comment avatar
Liss02
Kasian Laras adik satu-satunya malah kecelakaan.. kamu do'akan saja yang terbaik untuk adikmu Laras semoga dia bisa diselamatkan walaupun besar kemungkinan tipis sekali untuk menyelamatkan Bayu...
VER TODOS OS COMENTÁRIOS

Último capítulo

  • From Your Eyes Only   126 : Kadang berkat terbesar tumbuh dari hal paling sederhana—dari niat baik, dari tangan yang mau bekerja, dari hati yang ingin berbagi

    Laras POV Papa Johan benar-benar menepati janjinya. Hari Jumat pagi, ketika aku membuka pintu dapur, aku terpukau. Dapur lamaku yang dulu hanya ruang kecil dengan kompor dua tungku, dan meja kayu tempat meniriskan donat kini telah berubah total. Semuanya tampak baru. Modern. Rapi. Berkilau. Udara di dalamnya pun terasa berbeda. Lebih terang, lebih segar, dan entah kenapa, seperti membawa semangat baru bersamanya. Lantai keramik putih mengilap, dindingnya bersih tanpa noda minyak sedikit pun. Di sisi kanan berdiri dua meja aluminium panjang dengan permukaan mengilap, tempat aku akan mencetak , menata adonan donat juga menghiasnya sebagai sentuhan terakhir. Di sudut ruangan berdiri mesin proofing setinggi dadaku berbentuk kabinet stainless steel dengan kaca bening di pintunya. Aku bisa membayangkan aroma adonan hangat yang akan mengembang sempurna di dalamnya. Tak jauh dari situ, mixer industri besar dengan mangkuk baja berkapasitas puluhan liter berdiri gagah. Bayangan tubuhku mem

  • From Your Eyes Only   125 : Kadang, cinta tak butuh banyak kata,  cukup jadi istri yang tahu cara menenangkan hasrat suaminya dengan penuh cinta

    Warning Trigger : Mature content 21 ++ Saat Laras sedang mandi sepulang kami dari gereja untuk pemberkatan, aku duduk santai ngobrol bersama Mama dan Papa di meja makan. Kami menikmati seteko teh Melati. Kini wangi semerbak harum Melati yang menenangkan mengisi seluruh rumah dengan aroma khasnya. “Liyo,” kata Mama pelan, “tadi Pak Hutabarat telepon. Katanya pihak kejaksaan sudah menghubungi rumah dan kantor kita uda tidak lagi di segel . Hanya rekening yang harus tunggu beberapa saat lagi. Jadi besok Mama dan Papa mau pulang ke rumah kita. Rumah itu udah lama kosong, jadi harus dibersihin. Mama yang akan urus rumah, Papa langsung urus kantor.” Aku menaruh cangkir tehku. “Masalah dapur Labayo gimana, Pa?” “Nggak usah khawatir,” jawab Papa tenang, “itu udah hampir kelar. Nanti Papa tambah tukangnya, biar Jumat ini bisa segera selesai. Jadi Sabtu kalian bisa langsung mulai produksi.” Mama menyesap tehnya dan menatapku. “Nggak mau bikin upacara peresmian?” Aku tertawa kecil. “Lar

  • From Your Eyes Only   124 : Cinta bukan tentang seberapa indah tempat kita diberkati, tapi seberapa tulus hati yang berjalan bersama kita menuju altar kehidupan.

    Senin sore itu, Jakarta terasa lebih tenang dari biasanya. Matahari menggantung rendah di langit barat, menyapukan cahaya jingga ke atap-atap seng dan jendela rumah-rumah kontrakan di jalan kecil tempat Laras tinggal. Awan cumulus melayang seperti kapas besar yang sedang beristirahat membuat pemandangan sore itu tampak seperti lukisan mahakarya Sang Pencipta, seolah Tuhan ikut tersenyum, karena hari ini Laras dan Julio akan diberkati di gereja. Awalnya mereka mama Susan dan papa Johan. Riris dan Ario tentunya bersama kedua pengantin Julio dan Laras akan berangkat naik Avanza milik kantor Papa Johan. Tapi baru saja pagar rumah di buka, ternyata di luar sudah ramai. Warga tetangga berdiri di depan pagar, seperti rombongan yang menunggu pawai pengantin. Ada Bu Sri yang selalu kepo tapi baik hati, ada Bu Kus yang pemilik warung tempat Laras menitipkan donat pertamanya. Ada juga Pak RT dengan kemeja batiknya, juga Bu Pur mamanya Riris yang suka humor, cerewet tapi penyayang. “Laras!” s

  • From Your Eyes Only   123 : Kadang Tuhan nggak kasih kita jalan bebas badai, tapi kasih orang yang bikin kita kuat waktu badai datang.

    Julio POV Sore itu, langit Jakarta bersih seperti baru saja dicuci hujan. Udara hangat, dan sinar matahari berwarna oranye menembus di sela-sela gedung kaca di kawasan Mega Kuningan. Laras baru pulang dari kelas baking-nya di Bogasari saat kami memutuskan berjalan kaki menuju gereja tua di belakang kawasan Mega Kuningan. Gereja tempat kami berencana mendaftar kelas pranikah. Lokasi gereja itu tak jauh dari penthouse-ku dulu. Saat melewati gedung tinggi itu, aku menoleh dan menunjuk ke atas “Ini tempat tinggalku dulu, Ra.” Laras mendongak, matanya membulat. “Gedung tinggi ini?” Aku mengangguk, tersenyum. “Mama kemarin ada nawarin, kalau semua urusan kejaksaan sudah selesai dan semua aset milik mama dan papa tidak lagi diblokir , kita boleh tinggal di sini. Tapi aku nggak mau. Kebayang kan, repotnya kalau tiap pagi buta kita harus jalan kaki untuk buat donat ke dapur Labayo?” Laras terkekeh, mengangguk paham. “Makanya aku lebih pilih kita tetap tinggal rumahmu aja. biar lebih

  • From Your Eyes Only   122 : Setelah badai reda, yang tersisa bukan rasa takut, tapi keyakinan bahwa setiap luka pernah punya makna.

    Julio POV Aku sedikit terkejut ketika mendengar Jaksa Guntur menyebut bahwa aset milik Arifin di Boston juga ikut dibekukan. Kata Boston langsung membuatku teringat tentang Erika, yang tiba-tiba menghilang dari Bangkok setelah membuat kekacauan di hari liburku bersama Laras. Sekarang semuanya masuk akal. Ia pasti disuruh mengamankan aset keluarganya. Tapi ternyata gagal juga. Semua harta mereka disita. Ketika Arifin dengan suara terbata-bata bertanya, “Apakah... Erika…?” Aku tahu, itu bukan sekadar kegelisahan seorang tersangka. Itu suara seorang ayah yang menanggung rasa bersalah karena membuat anaknya menderita. Aku menarik napas panjang. Entah kenapa, kali ini tidak ada lagi rasa kesal mendengar nama Erika. aku hanya merasa iba. Aku yakin, selama Erika tidak terlibat langsung dalam bisnis ayahnya, ia tidak akan sampai dijerat hukum. Hanya saja… aku tahu, wanita seperti dirinya tak bisa hidup tanpa uang.Tapi ah, apa peduliku lagi? Aku dan dia sudah selesai. Setelah semua l

  • From Your Eyes Only   121: Kadang, dosa terbesar bukan pada apa yang kita lakukan, tapi pada siapa yang akhirnya terseret karenanya.

    Ruang tunggu Kejaksaan Negeri itu terasa lebih dingin dari pendingin udaranya sendiri. Lampu neon putih memantulkan cahaya ke lantai granit, membuat suasana seperti ruang interogasi di film kriminal. Johan duduk di kursi besi, kedua tangannya mengepal, menahan degup jantung yang rasanya berpacu dengan waktu. Di sampingnya, Julio menatap lurus ke depan, gelisah, tapi berusaha tampak tenang. Pak Hutabarat, pengacara keluarga mereka, berdiri di depan pintu kaca buram bertuliskan Bidang Tindak Pidana Khusus. Di tangannya tergenggam map biru berisi dokumen yang sudah beberapa minggu ini tidak pernah lepas dari gengamannya. “Tenang, Pak Johan,” katanya datar “Kita hanya klarifikasi dan datang sebagai saksi.” Namun kalimat itu tak mampu menghapus bayangan ketakutan Johan, takut ratusan karyawan perusahaannya tidak bisa mendapatkan gaji bulan ini. Pintu terbuka. Seorang petugas memanggil, “Pak Johan Wicaksano, silakan masuk.” Ketiganya masuk ke ruang pemeriksaan. Di dalam, aroma kopi

Mais capítulos
Explore e leia bons romances gratuitamente
Acesso gratuito a um vasto número de bons romances no app GoodNovel. Baixe os livros que você gosta e leia em qualquer lugar e a qualquer hora.
Leia livros gratuitamente no app
ESCANEIE O CÓDIGO PARA LER NO APP
DMCA.com Protection Status