Ruang IGD :Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre-Kuningan
Cahaya putih dingin dari lampu LED memantul di lantai keramik wana abu-abu. Aroma disinfektan bercampur darah dan keringat memenuhi udara. Di luar ruang Instalasi Gawat Darurat, dua keluarga berdiri dalam pakaian formal: jas hitam, dasi perak, gaun putih sabrina yang sudah kusut di ujungnya. Erika yang masih mengenakan gaun pengantinnya, dan kini duduk lemas di kursi tunggu, wajahnya penuh air mata.
Pintu otomatis IGD bergeser terbuka, lalu tertutup kembali. Tidak ada jawaban. Tidak ada kepastian.
Hanya perasaan terjebak dalam dilema , antara harapan atau kehancuran.
Seorang satpam berdiri tegap, menghadang langkah siapa pun yang mencoba masuk ke dalam ruang IGD
“Maaf, keluarga tidak diperkenankan masuk saat tindakan medis berlangsung. Mohon tunggu di sini.Dokter sedang bekerja,” katanya tegas, menatap mereka satu per satu.
“Kami keluarga korban kecelakaan di jalan Kuningan! Saya harus tahu keadaan anak saya! Saya harus masuk!” Jerit Johan Wicaksono, matanya merah, suara bergetar menahan kepanikan.
“Aku calon istrinya! Aku juga harus masuk! Aku harus tahu keadaan Julio!” jerit Erika, tangisnya pecah, suaranya serak.
“Saya ibunya! Saya yang melahirkannya. Saya juga harus masuk!” isak Susan Wicaksono, suaranya bergetar penuh rasa khawatir.
Satpam itu hanya menggeleng, tetap berdiri tegak di depan pintu , sesuai protokol.
“Tolong, Bu, Pak, mohon tunggu. Tindakan masih berlangsung di dalam. Nanti dokter akan keluar dan menjelaskan langsung pada keluarga.” Kata Satpam, kali ini dengan nada yagn lebih penuh empati. Dia mengerti bagaimana keluarga korban pasti sangat khawatir, apalagi wanita berbaju pengantin putih itu, hari yang seharusnya jadi hari yang paling bahagia dalam sekejap mata menjadi hari penuh derita.
Arifin Putra, ayah Erika, menarik napas panjang. Dengan tenang, meski hatinya remuk, ia membimbing putrinya untuk duduk kembali.
“Erika… Nak, ayo duduk dulu. Keadaan IGD memang tidak memungkinkan semua orang masuk. Kita tunggu di sini aja sampe dokter siap menjelaskan keadaan Julio.”
Erika mengangguk pelan, tapi tubuhnya limbung. Ia menatap lurus ke depan, ke pintu otomatis IGD yang terus terbuka-tutup setiap ada dokter atau perawat keluar masuk. Gaun pengantinnya basah oleh air mata. Jam sudah hampir menunjukkan pukul 10.30 pagi. Seharusnya saat ini dia sudah berdiri di depan altar, mengucapkan janji suci bersama Julio, bukan duduk di ruang tunggu dingin di rumah sakit ini.
Suasana sunyi, tidak ada yang berbicara, hanya suara sepatu dokter yang tergesa-gesa di koridor, monitor monitor berbunyi dari dalam, dan doa yang dipanjatkan dalam hati oleh dua keluarga yang sedang menunggu keajaiban.
Di dalam ruang IGD.
Tim medis bergerak cepat. Dua pasien dalam kondisi serius karena kecelakaan sedang ditangani. Ruangan dipenuhi suara mesin, instruksi singkat, dan aroma darah yang belum mengering.
Dokter Andini, mengenakan APD lengkap dan masker bedah, sedang memeriksa seorang pasien laki-laki muda dengan luka serius di wajah.
“Bersihkan dulu area orbita kanan dari serpihan kaca. Hematoma sudah terbentuk di kelopak mata..Luka lainnya superficial, tapi ini… kita khawatir ada trauma bola mata berat,”
katanya pada suster yang membantunya.
“Baik, Dokter,” jawab suster, langsung mengambil larutan saline dan kasa steril.
“Hubungi dokter spesialis mata, segera. Ini bisa berisiko kehilangan penglihatan.”
Suster lainnya segera berjalan ke arah nurse station, menekan interkom.
Tak jauh dari situ, seorang perawat pria mendekati dokter Andini.
“Dok… pasien satunya ada luka kepala parah. CT scan darurat sudah dilakukan.”
Dokter Andini menarik napas berat, memperhatikan lembar CT Scan. Dia lalu menggeleng pelan.“Sepertinya .. trauma otak berat. Diagnosis awal: brain death. Tidak ada aktivitas batang otak.” Sekali lagi dia menarik nafas panjang “Keluarga sudah dihubungi?”
“Sudah, oleh polisi dari TKP.”“Tetap pasang ventilator. Kita jaga fungsi organ sampai keluarga datang.”
Beberapa saat kemudian, dokter mata Yvonne, masuk ke ruang tindakan. Ia langsung memeriksa Julio Wicaksono, korban yang terlempar dari mobil sport merah. Setelah menyorot pupil dan memeriksa cedera di kornea dan sclera, ia menatap serius ke arah dokter Andini.
Mereka bertukar pandang. Tidak perlu kata-kata.
Kemudian, keduanya berjalan menuju luar ruang IGD, membuka pintu otomatis yang dingin itu.
“Keluarga pasien atas nama Julio Wicaksono,” kata dokter Andini.
Lima orang langsung berdiri. Erika nyaris tersungkur saat bangkit. Arifin menopangnya.
“Dokter, bagaimana kondisi anak saya?” tanya Johan “Apakah ada patah tulang? Perlu operasi? Kalau perlu, segera lakukan. Kami akan bayar, berapa pun biayanya.”
Dokter Andini menjawab dengan tenang tapi berat.
“Tidak ada fraktur. Luka di tubuh hanya luka luar. Tapi…”
Ia berhenti sejenak. Dokter Yvonne mengambil alih.
“Kami khawatir kondisi matanya cukup parah. Kedua bola mata terkena serpihan kaca saat ia terlempar dari kendaraan. Ada kerusakan serius pada kornea dan retina. Kami belum bisa pastikan, tapi kemungkinan besar Julio mengalami kehilangan penglihatan permanen.”
“TIDAK…!”
Jeritan Erika menggema seperti suara pecah dari dalam gua kosong. Ia menangis keras, memeluk tubuh ayahnya.
“Sembuhkan dia! Julio harus sembuh…!”
“Tenang, Erika… Tenang sayang,” kata Arifin sambil menahan air matanya sendiri. “Kita akan cari donor. Kita akan bawa dia ke luar negeri kalau perlu.”
“Dokter, apa benar… dia bisa diselamatkan dengan donor mata?” tanya Johan dengan suara lirih namun penuh harap.
Dokter Yvonne mengangguk pelan.
“Teorinya bisa, Pak. Tapi prosedur transplantasi kornea tidak mudah. Donor mata sangat terbatas, tidak semua bisa cocok dan banyak tahapan medis serta etika yang harus dilewati.”
Johan menggenggam tangan istrinya.
“Kalau begitu… cari. Cari sampai dapat. Saya tidak peduli harus menghabiskan berapa miliar, saya tidak peduli ke negara mana aku harus pergi untuk mendapatkan donor itu. Anak saya tidak akan hidup dalam gelap!” Jerit Johan, sekilas pandanannya menatap ke arah ruang IGD yang terbuka pintu otomatisnya , ke tempat Julio berbaring tak sadarkan diri dan hatinya merintih sakit, melihat anaknya yang mungkin harus hidup dalam gelap.
Dan di sudut ruang lain yang tak mereka sadari ada seorang anak muda lain... Bayu Prasetyo, terbaring diam. Seorang wanita muda berbaju sederhana, menangis tersedu-sedu di samping bayu, dia meratap dengan suara gemetar
“Bayu… Bayu… Jangan tinggalin kakak, … Jangan tinggalin kakak sendirian di dunia ini…”
“Bangun, Bayu… Tolong… dengar suara kakak… Lihat kakak, sekali aja. Bayu… jangan diam kayak gini,… jangan tidur terlalu lama, ayo bangun. Ayo Bayu, jangan sia-siakan kerja keras mu dan kerja keras kakak. Kamu harus mewujudkan semua mimpimu Bayu. Bangun Bayu”
Tangannya gemetar menyentuh wajah sang adik, seolah ingin membangunkannya dari tidur panjang yang menakutkan itu.
“Kamu tahu, kan… kakak cuma punya kamu. Cuma kamu satu-satunya keluarga kakak .Kita udah lewatin semuanya berdua sejak kita di tinggal ibu dan ayah. Kita bisa kuat karena saling jaga. Sekarang... kalau kamu pergi, kakak tinggal sama siapa, Bayu? Siapa yang bantuin kakak mengulen donat? Kalau kamu pergi… siapa yang bakal manggil aku ‘Kakak’ lagi, Bayu?” ”
Air matanya tumpah, jatuh di lengan sang adik yang tak bergerak. Suaranya makin putus.
“Kenapa tadi kamu nggak nurut ? Kenapa kamu nggak naik busway aja? Kakak kan uda bilang? Ke jalan Kuningan jangan naik sepeda, . supaya nggak cape... supaya kamu nggak kayak gini...” Suaranya melembut, dia tetap membelai -belai tangan adiknya “Kamu bilang, naik sepeda supaya hemat uang sekalian olahraga. Uangnya supaya bisa di simpan buat pegangan kuliah saat kamu ke Jerman. Kamu dapat beasiswa Bayu, beasiswa ke Jerman. Kamu bilang biar hidup kita berubah. Tapi sekarang... buat apa, Bayu? Buat apa, kalau kamu…”
Ia tak sanggup melanjutkan kalimatnya.
“Tuhan... jangan ambil adikku … jangan ambil satu-satunya alasan aku bangun tiap pagi. Dia anak baik... dia masih punya cita-cita . Dia mau ke Jerman dengan beasiswa Tuhan.. Bangunkan adikku, Tuhan, atau kamu ambil aja nyawaku.” Laras terus berdoa dan menangis, tapi Bayu tetap diam. Jantungnya berdetak dengan bantuan mesin. Otaknya sudah tak lagi memberi perintah. Tubuhnya hanya menunggu perpisahan.
Di satu sisi, harapan dipertahankan. Di sisi lain, kehidupan akan segera dilepaskan.
Apakah mungkin… takdir mempertemukan keduanya untuk alasan yang lebih besar?
Julio POV Sudah seminggu aku bekerja di tempat Laras dan aku sangat senang, tidak pernah aku sesenang ini, hatiku terasa ringan dan semangat saat berangkat bekerja meskipun di jam dua dini hari. Seminggu ini, hanya hari ini donat -donat yang dititipkan di warung-warung tidak terjual semua, ada satu warung yang masih menyisakan 1 kotak utuh 10 donat, bukan karena donat Laras, tidak laku, tapi karena pemilik warung terburu-buru harus menutup warungnya sebab dia harus membawa anaknya yang jatuh dari pohon dan kepalanya pecah. Pemilik warung itu sampai mengucapkan maaf , tapi aku tidak marah, saat mengambil kembali donat. “ Maaf ya Liyo.. aku tadi harus menutup warungku setengah hari karena anakku jatuh dari pohon dan kepalanya bocor, jadi ngak bisa jual donatnya sampai habis. Bilang Laras, hanya 15 ribu saja pendapatan nya hari ini.” Kata Ibu warung “ Nggak apa-apa Bu. Laras pasti mengerti.” Kataku penuh pengertian, kalau aku yang dulu pasti marah, tapi kini aku jadi Liyo yang lebih
Julio POVSaat Laras menggoreng donat, dia menyuruhku memasukkan gula halus ke dalam plastik klip putih kecil. Tiga jam terakhir ini, kami bekerja sama dengan sangat baik. Untuk orang yang baru pertama kali bikin donat, aku cukup cekatan. Sepertinya Laras pun senang melihat aku cepat tanggap, mulai dari mengadon, mencetak, sampai kini, tinggal selangkah lagi donat-donat kami siap diantar ke warung-warung.Hari ini, Laras bilang akan menemaniku mengantar donat dan mengenalkanku ke para pemilik warung. Aroma donat yang baru matang menyebar ke seluruh rumah. Saat Laras menaruh donat yang baru diangkat dari wajan ke rak pendingin, aku terus mengisi kantung plastik dengan gula halus.“Harum banget… Aku jadi lapar,” kataku sambil tetap bekerja.“Kalau mau, ambil aja. Itu, yang ujung agak gosong, tapi masih hangat. Hati-hati panas,” kata Laras sambil tersenyum.Aku mengambil satu. Donat kampung harga dua ribuan jujur ekspektasiku rendah. Kupikir akan keras atau teksturnya kasar . Tapi begi
Laras POV Jam dua tepat. Suara pintu pagar berderit pelan. Entah kenapa, timbul rasa hangat di hatiku. Dari balik tirai jendela, kulihat sosok tinggi itu, Liyo. Dia yang datang. Kemarin siang, setelah bangun dari istirahat usai Liyo pulang dari wawancara kerja, sempat muncul keraguan di hatiku. Aku tak yakin dia benar-benar akan datang dan bekerja untukku, soalnya aku tidak bisa menjanjikannya gaji tetap, hanya sistem bagi hasil. Jika donatnya laku semua, dia bisa mendapat penghasilan yang lumayan. Tapi kalau tidak? Ya… paling-paling cuma bisa membawa pulang donat. Lagipula, jam kerjaku jauh dari normal. Aku mulai bekerja jam dua dini hari. Siapa yang rela bangun sepagi itu hanya untuk mengadon tepung dan ragi? Tapi begitulah ritme hidupku. Donat-donat itu harus selesai sebelum matahari terbit, agar bisa dikirim ke warung dan dibeli para ibu untuk bekal anak sekolah, atau oleh para pekerja yang butuh pengganjal perut di pagi hari. Satu donat seharga dua ribu rupiah itu untuk sebagia
Julio POVAku membaringkan tubuh di atas dipan knock down baru, Aku dan Ario membeli dipan yang bongkar pasang ini di Mall Ambasador. Di sudut kamar kontrakan yang sempit ini, AC portable putih berdiri gagah, mencolok di antara dinding kusam dan lantai yang retak-retak. Satu-satunya barang mewah di kamar ini, jadi kelihatan kontras sekali. Tapi aku tidak mungkin tidur hanya dengan kipas angin. Jadi meski harus mematikan semua lampu agar daya listrik cukup untuk menyalakan AC ini, aku tetap membelinya. Sekarang, aku berbaring dalam gelap gulita, hanya ditemani cahaya kecil dari lampu indikator suhu yang ada di bagian atas ACBesok sesuai rencana, kloset jongkok ini juga akan diganti.karena aku sungguh tidak bisa membayangkan harus beol dengan jongkok.Tadi sore aku sempat pulang ke apartemenku sebentar, ngubek-ngubek lemari, nyari baju dan celana yang nggak kelihatan kaya. Dan taukah kamu, itu susahnya minta ampun, bagaikan cari jarum di tumpukan jeramiSemua bajuku itu logonya sege
JULIO POVDari rumah Laras, aku dan Ario berjalan menuju kontrakannya. Jaraknya tak terlalu jauh, hanya melewati tiga gang kecil di bagian atas kampung. disebut bagian atas karena jalannya menanjak, mirip saat kita incline di treadmill. Sepanjang jalan, Ario sibuk menginterogasiku seperti polisi yang baru menangkap penjahat.“Bapak… serius mau kerja sama Bu Laras?”“ Bapak lagi.. Bapak lagi. …. Sudah kubilang, jangan panggil aku Bapak. Nanti kamu keceplosan depan Laras, penyamaranku akan ketahuan. Uda kubilang panggil aku Liyo. L-I-Y-O. ” jawabku sambil mendelik.“ Iya.. Iya.. Pak.. eh Liyo.. Jadi kenapa kamu mau kerja sama Laras itu ?”Aku menatap jalan di depan. “Karena… Pasti ada maksud dari Bayu kenapa setiap aku membuka mata, selalu saja ada bayang wajah Laras di pikiranku.. Dan setiap jam dua pagi, selalu jam dua, aku selalu terbangun. Dan ternyata… itu waktu Laras mulai bikin kue. Jadi itu mungkin tanda-tanda dari Bayu agar aku membantu kakaknya. Jadi aku mau bekerja den
Laras POVAku berdiri, memberi isyarat bahwa wawancara kerja ini telah selesai. Bukan karena ingin mengusir mereka, tapi tubuhku sudah kelelahan. Semalam aku baru tertidur lewat tengah malam, dan pagi tadi hanya sempat memejamkan mata dua jam, bangun jam dua dini hari seperti biasanya, lalu sibuk mengadon kue dan mengantar kue ke warung-warung. Sejak Bayu pergi, tidurku tak pernah benar-benar nyenyak lagi.Aku menjulurkan tangan pada Liyo, lelaki asing yang baru ku kenal tapi entah kenapa terasa tidak asing.“Panggil aja aku Laras, jangan panggil ‘Bu’. Sampai jumpa besok, semoga kita bisa bekerjasama dengan baik.”Aku tersenyum, tulus padanya. Aneh. Aku bukan tipe orang yang gampang percaya, apalagi pada orang baru. Riris bahkan pernah kesal karena aku terlalu sulit membuka diri. Temanku cuma dua orang, Riris dan Bayu. Tapi, entah kenapa, dengan Liyo… aku begitu mudah percaya padanya dan langsung menyuruhnya datang bekerja besok jam dua.“Sampai jumpa besok, Bu… eh, Laras,” jawa