Ruang Perawatan VVIP Rumah Sakit MMC
Saat Ambulance membawa Bayu pergi menuju tempat peristirahatan terakhirnya. Di ruang perawatan VVIP, Keluarga Wicaksono dan Keluarga Arifin Putra bersama Erika duduk bersama, menatap tubuh Julio yang terbaring, masih dalam anestesi dengan perban menutup matanya.
Di dalam ruang itu udara terasa dingin, berat dan sunyi seolah ikut berduka. Bau alkohol medis dan cairan disinfektan khas rumah sakit menyeruak, bercampur dengan aroma ketegangan yang menyesakkan dada.
Erika duduk di sisi ranjang, tubuhnya tegak namun beku. Gaun putih pernikahan yang masih membalut tubuhnya tampak kontras dengan suasana duka di ruangan itu. Rambutnya masih tersanggul rapi, namun wajahnya kehilangan sinar. Kosong. Dingin. Ia menatap Julio lama, dengan tatapan yang sulit dimaknai, antara iba, ketakutan, atau kehampaan.
Perlahan, ia bangkit. Langkah kakinya ringan namun penuh beban. Ia mendekatkan wajahnya ke kening Julio dan mengecupnya perlahan, seolah hendak mengucap selamat tinggal dengan rasa bersalah yang mengendap di dalam dada.
“Maafkan aku, Liyo... maafkan aku...” bisiknya, nyaris seperti doa lirih yang terbang ke udara tanpa arah pulang.
Susan, ibu Julio, yang duduk tak jauh dari tempat tidur, mengerutkan kening. Suaranya pelan, tapi nadanya penuh curiga. “Kenapa kamu minta maaf, Erika? Ini bukan salahmu. Ini... kecelakaan. Ini adalah tragedy untuk kita semua. Tak seorang pun menginginkannya.”
Erika menarik napas dalam. Berat. Ia menoleh perlahan menatap Susan, lalu berkata dengan suara datar, seperti sudah lama menimbang kata-kata itu.
“Aku minta maaf... Tante.”
Susan membeku.
“Tante’?” ulangnya, nadanya mulai meninggi. “Kamu memanggilku mami sejak Julio melamarmu. Kenapa sekarang jadi 'tante'? Kamu berniat meninggalkan Julio?”
Suasana ruang mendadak menghangat, bukan oleh kenyamanan, tapi oleh bara emosi yang baru saja disulut.
Tanpa menghapus air mata yang perlahan menetes, Erika menunduk sedikit, namun suaranya tetap terdengar jelas.
“Maaf Tante... Maaf Om. Aku... tidak bisa menikah dengan lelaki buta. Aku tidak siap menjadi perawat Julio. Hidupku tidak pernah aku bayangkan seperti ini... Aku... aku dibesarkan sebagai seorang princess. Dari kecil Papa dan mama memperlakukanku bagaikan ratu. Aku... tidak siap hidup dalam penderitaan bersuamikan lelaki buta... seperti ini.”
Kata-katanya menggantung, tajam, menghantam dada semua yang mendengarnya. Seolah kalimat itu bukan hanya keputusan, tapi juga penghakiman kejam bagi keluarga Wicaksono.
Johan, ayah Julio, berusaha tetap tenang, meskipun matanya mulai merah.
“Julio masih menunggu donor. Dokter bilang kalau dapat donor, Julio bisa sembuh,” ucapnya, setengah berharap, setengah memohon.
Namun suara Arifin, ayah Erika, terdengar lebih tegas, lebih dingin. “Pak Johan... kami mohon maaf. Kami tahu sifat anak kami. Erika hanya ingin jujur pada dirinya. Dia memang tidak siap hidup dengan lelaki yang tidak sempurna secara fisik. Kami tidak ingin membohongi kalian. Dan... mungkin ini keputusan terbaik. Untuk semua. Kalau kalian menerimanya, mungkin kita bisa jadi teman, meskipun tidak lagi jadi besan”
“Teman?!” suara Susan meledak, seolah ditarik dari dasar tenggorokannya. “Kami tidak butuh teman seperti kalian! Kami butuh orang yang bisa mencintai Julio, bukan membuangnya seperti sampah!”
“Maaf, Tante,” Erika menimpali, suaranya kini dingin bagai udara pegunungan, “Dokter sendiri bilang kemungkinan dapat donor mata itu hanya sepuluh persen. Banyak yang antri bertahun-tahun dan tak pernah dapat. Kalau ada yang mendonorpun, kemungkinan juga tidak cocok atau tubuhnya menolak. Aku... tidak bisa menunggu dalam ketidakpastian. Aku tidak bisa… tidak siap menderita... seperti itu.”
Susan tampak gemetar. Tangannya meremas lengan kursi. Matanya mulai berlinang, tapi bukan karena kelemahan. Tapi karena luka di hatinya.
“Erika...” suara Johan lembut, tapi ada getaran. “Kamu dan Julio sudah bersama sejak kuliah. Tak adakah sedikit pun perasaanmu padanya? Sekarang di saat dia paling membutuhkanmu, kamu justru melepasnya? Kami sanggup menghidupi kalian, meskipun Julio buta. Kami bisa menggaji caregiver. Kamu tetap bisa hidup nyaman. bahkan hidup seperti ratu seperti katamu. Kami bisa memberikan kemewahan yang sama.”
Erika menggeleng “ Aku tidak bisa.. .Mohon maaf…Aku tidak bisa. Aku tidak bisa menjadi istri dari orang cacat. Hidupku selalu sempurna. Dan maaf Om… Aku tidak bisa diiming-iming dengan kemewahan, karena aku dari kecil juga mendapatkan semua kemewahan dari papa dan mamaku. Aku hanya tidak mau hidup dengan... seseorang yang tidak bisa melihatku.”
Kedua orang tuanya mengangguk, seolah membenarkan setiap luka yang ditorehkan anak mereka kepada keluarga yang seharusnya menjadi besan.
Johan ingin berbicara lagi, namun Susan menyentakkan tangannya.
“Sudah, Pa! Wanita tanpa hati ini tidak pantas lagi dibujuk!” Ia berpaling menatap Erika dengan tatapan tajam bagaikan laser, sinar marah, benci, dan jijik menyatu padu di matanya
“ Baiklah kalau itu maumu, memutuskan pernikahan , mungkin tuhan kasih cobaan ke Julio tepat sebelum kalian pemberkatan pernikahan agar Julio tahu, dia telah salah pilih istri karena kamu itu wanita yang tidak bisa mencintainya dalam suka dan duka, sakit dan sehat, dan sampai usia tua, lebih baik sekarang dia lepaskan saja, wanita seperti dirimu ”Susan berkata lagi, kali ini dengan nada lebih sinis “ Kembalikan cincin berlian 5 karat yang ada di tanganmu itu, lalu barang-barang seserahan yang sudah kamu terima, kembalikan semua!”
Erika tercengang. “Apa? Kenapa harus aku kembalikan?”
Susan menyeringai getir. “Karena kamu yang membatalkan pernikahan. Kamu pikir kami akan membiarkanmu menyimpan sesuatu dari kami setelah menampar harga diri anak kami seperti ini?”
“Aku tetap akan menikah kalau Julio tidak buta! Ini kecelakaan. Ini tragedi. Jadi aku tidak harus….”
“Kamu benar-benar wanita tidak tahu malu!”. Suara Susan pecah, seperti kaca jendela yang dibanting keras-keras."
Johan buru-buru menenangkannya, namun Susan tak terbendung.
“Katamu , kamu seumur hidupmu diperlakukan seperti putri? Tapi kelakuanmu... lebih hina dari pengemis. Putri macam apa yang meninggalkan pangeran hanya karena matanya buta sesaat sebelum janji suci?”
Arumi, ibu Erika, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Erika, kalau kamu memang ingin mundur dari pernikahan, mama tidak akan halangi. Tapi kembalikan semuanya. Jangan biarkan orang-orang melihat kita sebagai keluarga yang serakah”
Erika mendengus, lalu dengan kasar menarik cincin dari jari manisnya dan tanpa berpikir dua kali ia melemparkan cincin itu tepat ke tubuh Julio yang terbaring lemah.
“Barang seserahan akan dikembalikan lewat sopirku!” katanya nyaring, lalu membalikkan badan dan pergi dengan langkah penuh kemenangan palsu.
Pintu geser nyaris tertutup, ketika...
Sebuah suara pelan, namun menghentikan napas semua yang mendengarnya, muncul dari ranjang .
“Mobil Mini Cooper yang aku berikan saat melamarmu... kembalikan juga!.”
Semua membeku.
Julio. Dia terjaga. Julio telah bangun.
Setetes air mata mengalir perlahan dari bawah perban putih itu, menelusuri pipinya yang pucat. Luka yang tak terlihat, justru kini yang paling terasa, seakan merobek semua gelap yang terasa di matanya karena tidak bisa melihat
“Julio... kamu sadar, Nak?” Susan menghampiri sambil menggenggam tangan anaknya. Suaranya pecah, lirih, nyaris tercekat oleh tangis.
Julio tidak menjawab. Ia hanya menarik napas panjang. Hampa. Dingin.
Malam itu, di ruang perawatan VVIP, bukan hanya cahaya yang mati. Tapi sebuah masa depan yang patah, harapan yang dirampas, dan cinta... yang ternyata hanya ilusi.
Julio POV Sudah seminggu aku bekerja di tempat Laras dan aku sangat senang, tidak pernah aku sesenang ini, hatiku terasa ringan dan semangat saat berangkat bekerja meskipun di jam dua dini hari. Seminggu ini, hanya hari ini donat -donat yang dititipkan di warung-warung tidak terjual semua, ada satu warung yang masih menyisakan 1 kotak utuh 10 donat, bukan karena donat Laras, tidak laku, tapi karena pemilik warung terburu-buru harus menutup warungnya sebab dia harus membawa anaknya yang jatuh dari pohon dan kepalanya pecah. Pemilik warung itu sampai mengucapkan maaf , tapi aku tidak marah, saat mengambil kembali donat. “ Maaf ya Liyo.. aku tadi harus menutup warungku setengah hari karena anakku jatuh dari pohon dan kepalanya bocor, jadi ngak bisa jual donatnya sampai habis. Bilang Laras, hanya 15 ribu saja pendapatan nya hari ini.” Kata Ibu warung “ Nggak apa-apa Bu. Laras pasti mengerti.” Kataku penuh pengertian, kalau aku yang dulu pasti marah, tapi kini aku jadi Liyo yang lebih
Julio POVSaat Laras menggoreng donat, dia menyuruhku memasukkan gula halus ke dalam plastik klip putih kecil. Tiga jam terakhir ini, kami bekerja sama dengan sangat baik. Untuk orang yang baru pertama kali bikin donat, aku cukup cekatan. Sepertinya Laras pun senang melihat aku cepat tanggap, mulai dari mengadon, mencetak, sampai kini, tinggal selangkah lagi donat-donat kami siap diantar ke warung-warung.Hari ini, Laras bilang akan menemaniku mengantar donat dan mengenalkanku ke para pemilik warung. Aroma donat yang baru matang menyebar ke seluruh rumah. Saat Laras menaruh donat yang baru diangkat dari wajan ke rak pendingin, aku terus mengisi kantung plastik dengan gula halus.“Harum banget… Aku jadi lapar,” kataku sambil tetap bekerja.“Kalau mau, ambil aja. Itu, yang ujung agak gosong, tapi masih hangat. Hati-hati panas,” kata Laras sambil tersenyum.Aku mengambil satu. Donat kampung harga dua ribuan jujur ekspektasiku rendah. Kupikir akan keras atau teksturnya kasar . Tapi begi
Laras POV Jam dua tepat. Suara pintu pagar berderit pelan. Entah kenapa, timbul rasa hangat di hatiku. Dari balik tirai jendela, kulihat sosok tinggi itu, Liyo. Dia yang datang. Kemarin siang, setelah bangun dari istirahat usai Liyo pulang dari wawancara kerja, sempat muncul keraguan di hatiku. Aku tak yakin dia benar-benar akan datang dan bekerja untukku, soalnya aku tidak bisa menjanjikannya gaji tetap, hanya sistem bagi hasil. Jika donatnya laku semua, dia bisa mendapat penghasilan yang lumayan. Tapi kalau tidak? Ya… paling-paling cuma bisa membawa pulang donat. Lagipula, jam kerjaku jauh dari normal. Aku mulai bekerja jam dua dini hari. Siapa yang rela bangun sepagi itu hanya untuk mengadon tepung dan ragi? Tapi begitulah ritme hidupku. Donat-donat itu harus selesai sebelum matahari terbit, agar bisa dikirim ke warung dan dibeli para ibu untuk bekal anak sekolah, atau oleh para pekerja yang butuh pengganjal perut di pagi hari. Satu donat seharga dua ribu rupiah itu untuk sebagia
Julio POVAku membaringkan tubuh di atas dipan knock down baru, Aku dan Ario membeli dipan yang bongkar pasang ini di Mall Ambasador. Di sudut kamar kontrakan yang sempit ini, AC portable putih berdiri gagah, mencolok di antara dinding kusam dan lantai yang retak-retak. Satu-satunya barang mewah di kamar ini, jadi kelihatan kontras sekali. Tapi aku tidak mungkin tidur hanya dengan kipas angin. Jadi meski harus mematikan semua lampu agar daya listrik cukup untuk menyalakan AC ini, aku tetap membelinya. Sekarang, aku berbaring dalam gelap gulita, hanya ditemani cahaya kecil dari lampu indikator suhu yang ada di bagian atas ACBesok sesuai rencana, kloset jongkok ini juga akan diganti.karena aku sungguh tidak bisa membayangkan harus beol dengan jongkok.Tadi sore aku sempat pulang ke apartemenku sebentar, ngubek-ngubek lemari, nyari baju dan celana yang nggak kelihatan kaya. Dan taukah kamu, itu susahnya minta ampun, bagaikan cari jarum di tumpukan jeramiSemua bajuku itu logonya sege
JULIO POVDari rumah Laras, aku dan Ario berjalan menuju kontrakannya. Jaraknya tak terlalu jauh, hanya melewati tiga gang kecil di bagian atas kampung. disebut bagian atas karena jalannya menanjak, mirip saat kita incline di treadmill. Sepanjang jalan, Ario sibuk menginterogasiku seperti polisi yang baru menangkap penjahat.“Bapak… serius mau kerja sama Bu Laras?”“ Bapak lagi.. Bapak lagi. …. Sudah kubilang, jangan panggil aku Bapak. Nanti kamu keceplosan depan Laras, penyamaranku akan ketahuan. Uda kubilang panggil aku Liyo. L-I-Y-O. ” jawabku sambil mendelik.“ Iya.. Iya.. Pak.. eh Liyo.. Jadi kenapa kamu mau kerja sama Laras itu ?”Aku menatap jalan di depan. “Karena… Pasti ada maksud dari Bayu kenapa setiap aku membuka mata, selalu saja ada bayang wajah Laras di pikiranku.. Dan setiap jam dua pagi, selalu jam dua, aku selalu terbangun. Dan ternyata… itu waktu Laras mulai bikin kue. Jadi itu mungkin tanda-tanda dari Bayu agar aku membantu kakaknya. Jadi aku mau bekerja den
Laras POVAku berdiri, memberi isyarat bahwa wawancara kerja ini telah selesai. Bukan karena ingin mengusir mereka, tapi tubuhku sudah kelelahan. Semalam aku baru tertidur lewat tengah malam, dan pagi tadi hanya sempat memejamkan mata dua jam, bangun jam dua dini hari seperti biasanya, lalu sibuk mengadon kue dan mengantar kue ke warung-warung. Sejak Bayu pergi, tidurku tak pernah benar-benar nyenyak lagi.Aku menjulurkan tangan pada Liyo, lelaki asing yang baru ku kenal tapi entah kenapa terasa tidak asing.“Panggil aja aku Laras, jangan panggil ‘Bu’. Sampai jumpa besok, semoga kita bisa bekerjasama dengan baik.”Aku tersenyum, tulus padanya. Aneh. Aku bukan tipe orang yang gampang percaya, apalagi pada orang baru. Riris bahkan pernah kesal karena aku terlalu sulit membuka diri. Temanku cuma dua orang, Riris dan Bayu. Tapi, entah kenapa, dengan Liyo… aku begitu mudah percaya padanya dan langsung menyuruhnya datang bekerja besok jam dua.“Sampai jumpa besok, Bu… eh, Laras,” jawa