Cahaya matahari menyelinap melalui tirai hotel , menari di atas wajah Julio Wicaksono . Ia terbangun dengan napas memburu, jantung menghentak dada seperti alarm darurat yang terus berbunyi memekakkan telinga. Jam digital di meja samping tempat tidur menyala terang: 08:03
"Sial!" pekiknya.
Kepalanya berdenyut hebat.
Detaknya menyiksa seperti palu godam menghantam pelipis. Dunia di sekelilingnya masih bergoyang, seperti sisa hentakan lantai dansa yang belum selesai semalam.
Samar-samar, kenangan itu menyelinap: tubuh-tubuh penari seksi yang meliuk dalam cahaya, tawa membahana teman-temannya, gelas-gelas yang bersulang di udara, dan musik keras yang menghantam dada .
Dentuman.
Cahaya remang.
Coktail,
Tubuh seksi yang menggeliat.
Semua kini terpampang di hadapannya.
Tapi yang paling membuatnya marah - Tak ada satu orang pun yang membangunkannya.
“ Teman- teman jahat. WO brengsek!” umpat Julio menggertakkan gigi.
Ia bangkit dengan gerakan cepat, tersangkut bed cover, dan terpeleset jatuh ke lantai.
Dengan kesal, ia menyambar ponselnya yang tergeletak di meja nakas. Layarnya hitam. Mati total.
Dipukulnya berkali-kali, seperti bisa menyalahkan benda mati itu atas kekacauan hidupnya.
“Tentu saja wedding organizer nggak bisa menghubungi aku…” gumamnya kasar.
“Mereka bahkan nggak tahu aku nginap di hotel mana!”
Dan itu kenyataannya. Kenyataan yang kini bagikan boomerang yang menghancurkan.
Semalam, pesta Julio adalah pesta kejutan, direncanakan dengan cermat oleh gengnya: sesama pewaris muda dari keluarga konglomerat, pria-pria muda yang tak pernah mengenal kata ‘cukup’. Mereka menyewa President Suite di Hotel Westin, menyuguhkan penari wanita kelas atas, menenggelamkan Julio dalam cocktail mahal dengan private bartender dari club ternama. Lengkap dengan DJ yang memutar lagu-lagu yang membuat lupa waktu.Malam itu adalah malam terakhir kebebasan, begitu kata teman-temannya. Malam terakhir sebelum hidup berubah selamanya, sebelum ada istri yang harus dipertimbangkan, sebelum tanggung jawab sebagai ayah kelak membatasi ruang gerak. Setelah ini, kata mereka , tak akan ada lagi malam seperti ini, malam yang liar, bebas, tanpa batas.
Dan Julio , seperti biasa, terlalu larut dan Sekarang, ia terbangun dalam kekacauan yang nyata di pagi yang seharusnya menjadi pagi yang membahagiakan
Hari ini….pagi ini… Tepat jam 10, dia seharusnya melakukan pemberkatan yang indah dengan Erika, tunangannya.
Nama itu menghantam kepalanya lebih keras daripada kantuk yang masih menggantung di pelupuk mata. Erika, gadis cantik yang sudah menjadi kekasihnya sejak masa kuliah di Amerika, cinta yang tumbuh dari pertemanan, lalu berubah jadi ikatan yang serius sampai kini menuju pernikahan.
Keluarga Erika adalah kolega bisnis ayahnya, jadi kisah cinta mereka direstui sejak awal. Keluarga Erika setara dengan keluarga Julio. Dia juga perempuan cerdas yang tak hanya memesona, tapi juga terlatih menghadapi dunia kaum jetset.Erika dikenal tepat waktu, disiplin, dan penuh perhitungan. Setiap rencana hidupnya harus berjalan sempurna, tanpa celah. Dan jika Julio sampai terlambat ke pemberkatan..
Erika pasti akan meledak.
Tidak. Julio bahkan tak sanggup membayangkan murkanya.Tanpa pikir panjang, Julio meraih jas yang tergantung di hanger. Ia memutuskan tidak mandi. Tidak sikat gigi. Rambut acak-acakan dan napasnya masih bau, tapi dia tak peduli, karena waktu yang terus berdetak, seperti bom yang siap meledak.
Dengan langkah terhuyung, ia keluar dari kamar hotel mewah tapi kini membuatnya merasa sesak dan sulit bernafas.Wajahnya masih setengah ngantuk, matanya merah, tapi adrenalin mulai menendang kepalanya, menghantam lebih keras dari kafein mana pun.
Ini bukan sekadar hari penting.
Ini adalah awal hidup baru.
Julio bagaikan terbang ke lobi hotel, melemparkan kartu valet ke petugas, dan suaranya meninggi saat berteriak,
“Cepat! Ambil mobilku! Aku terlambat ke pernikahanku!”
Petugas itu melongo sejenak, lalu lari. Dalam hitungan menit, Porsche merah menyala berhenti mulus di depan pintu putar.
Julio menyambar kunci mobil yang disodorkan valet boy dengan gerakan kasar, nyaris merampas. Tanpa menoleh, ia merogoh kantong celananya yang masih tampak kusut karena aktivitasnya semalam. Dia melempar dua lembar uang seratus ribuan ke tangan si petugas, seperti membuang waktu yang tak lagi dimilikinya. Ucapan terima kasih dari valet boy hanya terdengar samar di belakang, terhapus dering panik di telinganya.
Begitu tangannya menyentuh setir, mesin Porsche merah berlogo kuda jingkrak itu meraung garang, seperti ikut merasakan ketergesaan pemiliknya . Dalam sekejap, mobil melesat keluar dari pelataran Hotel The Westin, membelah udara pagi Jakarta yang masih tampak belum berkeliat seakan malas bergerak.
Untung jalan Rasuna Said di Sabtu pagi. tidak sepadat biasanya Di bawah lampu-lampu lalu lintas yang berkedip, Julio menyalip satu demi satu kendaraan seperti peluru merah di antara garis putih aspal. Wajahnya tegang, matanya liar, rambutnya kusut masai. Setiap detik terasa seperti bom waktu yang berdetak menuju ledakan dahsyat
Berbelok ke arah Kuningan, Julio sempat menarik napas lega. Untuk sesaat, dunia terasa kembali ke jalurnya. Jalanan pagi itu cukup lengang, Dalam kepalanya yang masih berat, ia mulai menyusun rencana penyelamatan, mampir sebentar ke apartemennya di Four Season Residences-Kuningan, mandi cepat, ganti baju dengan tuxedo pengantinnya, lalu meluncur ke gereja sebelum pukul sepuluh. Masih ada waktu. Masih bisa diselamatkan. Erika tidak akan meledak.
Julio tersenyum dengan rencana brilliantnya , ia berusaha mempercayainya, bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa keberuntungan selalu berdiri di pihaknya, seperti biasanya di 29 tahun hidupnya.
Tapi ini hidup dan hidup tidak pernah memberi peringatan. Ia tidak peduli seberapa mahal jas yang engkau pakai, seberapa mewah mobil yang engkau kendarai, atau seberapa keras engkau mencoba menyusun rencana sempurna
Dan untuk seseorang seperti Julio yang terlalu lama hidup di bawah lindungan privilege sebagai pewaris , takdir selalu punya cara untuk datang diam-diam.
Di seberang jalan, hanya beberapa meter dari jalan tempat Julio mempercepat laju Porsche-nya, seorang ibu muda baru saja menuruni tangga LRT Kuningan. Napasnya terengah, rambutnya berantakan diterpa angin pagi. Di tangan kanannya tergantung tas bayi besar yang nyaris lepas dari bahunya, dan di tangan kirinya, ia mendorong sebuah kereta bayi dengan satu tangan, tergesa-gesa.
Ia tak sadar betapa curamnya trotoar kecil di bawah tangga. Ia hanya fokus mencari taksi di sisi jalan.
Dan saat ponselnya bergetar, panggilan masuk, perhatiannya terpecah. Seketika genggamannya melemah.
Kereta bayi itu terlepas.
Roda kecilnya menyentuh aspal, memantul pelan, lalu mulai menggelinding. Perlahan. Lalu lebih cepat. Liar. Tanpa arah.
Dan tepat di saat itu Julio membelok ke jalan, masih setengah ngantuk , setengah panik, dan sepenuhnya yakin dia masih bisa mengatur waktunya. Tapi semuanya berubah saat mata dan pikirannya menangkap sesuatu yang tak seharusnya ada di tengah jalan :
Sebuah kereta bayi. Tanpa pengemudi. Meluncur ke arahnya.
“SHIT!” teriaknya.
Dengan refleks, ia membanting setir ke kiri . Ban menjerit. Mobil melintir , kereta bayi selamat tapi mobil Porche merah itu menghantam sebuah sepeda
BOOM!Tubrukan itu terdengar seperti dunia yang diremuk dalam satu hentakan. Julio yang tadi karena terburu-buru , tidak mengenakan sabuk pengaman. Tubuhnya terlempar keluar dari kaca depan, meluncur seperti peluru manusia, menghantam keras trotoar dan jatuh tak jauh dari sosok pemuda bersepeda yang kini tergeletak diam.
Darah mulai mengalir. Jeritan meledak dari para pejalan kaki. Beberapa orang berlari. Sebagian merekam.
Lalu samar-samar, suara jeritan dari abang-abang Ojol…
“Pak…! Pak, sadar, Pak…”
“Cepat telepon Ambulance ! Telepon ambulans!” “Dia masih bernapas!”Langit berubah buram. Awan menggantung seakan ikut menahan napas.
Tubuh Julio terkulai. Di sudut matanya, ia melihat pemuda bersepeda yang ditabraknya tadi. Wajah lelaki itu penuh luka, dan darah menetes dari pelipisnya ke aspal. Sepeda yang sebelumnya utuh, kini hancur seperti kaleng diremukka traktor
“Aku… akan menikah…” gumam Julio dalam kesadaran yang memudar. “…Hari ini…”
Lalu dia merasakan kepalanya sangat pusing dan pandangannya menjadi kabur lalu gelap
Beberapa saat kemudian.
Sirene ambulans meraung -raung . . Petugas medis berlarian. Jalan ditutup. Polisi mulai memasang garis kuning.
Seorang wartawan media online sudah mengunggah rekaman ke media sosial:
“PENGANTIN PRIA MENABRAK PENGGOWES : KECELAKAAN DI KUNINGAN!”
Di ruang tunggu pengantin di gereja, Erika memandangi ponselnya dengan wajah gelisah Gaun putih panjang menjuntai menyentuh lantai. Di belakangnya, ibunya menggenggam tas kecil dengan raut wajah yang sama gelisahnya.
Tiba-tiba pintu terbuka
“Erika…” ucap salah satu bridesmaid, dengan napas terengah.
“Ada kabar.”
Erika menoleh. Matanya tajam. Rahangnya mengeras.
“…Julio… kecelakaan.”
Hening. Detik berikutnya, ponsel Erika terjatuh. Layarnya retak. Sama seperti hatinya.
Julio POV Sudah seminggu aku bekerja di tempat Laras dan aku sangat senang, tidak pernah aku sesenang ini, hatiku terasa ringan dan semangat saat berangkat bekerja meskipun di jam dua dini hari. Seminggu ini, hanya hari ini donat -donat yang dititipkan di warung-warung tidak terjual semua, ada satu warung yang masih menyisakan 1 kotak utuh 10 donat, bukan karena donat Laras, tidak laku, tapi karena pemilik warung terburu-buru harus menutup warungnya sebab dia harus membawa anaknya yang jatuh dari pohon dan kepalanya pecah. Pemilik warung itu sampai mengucapkan maaf , tapi aku tidak marah, saat mengambil kembali donat. “ Maaf ya Liyo.. aku tadi harus menutup warungku setengah hari karena anakku jatuh dari pohon dan kepalanya bocor, jadi ngak bisa jual donatnya sampai habis. Bilang Laras, hanya 15 ribu saja pendapatan nya hari ini.” Kata Ibu warung “ Nggak apa-apa Bu. Laras pasti mengerti.” Kataku penuh pengertian, kalau aku yang dulu pasti marah, tapi kini aku jadi Liyo yang lebih
Julio POVSaat Laras menggoreng donat, dia menyuruhku memasukkan gula halus ke dalam plastik klip putih kecil. Tiga jam terakhir ini, kami bekerja sama dengan sangat baik. Untuk orang yang baru pertama kali bikin donat, aku cukup cekatan. Sepertinya Laras pun senang melihat aku cepat tanggap, mulai dari mengadon, mencetak, sampai kini, tinggal selangkah lagi donat-donat kami siap diantar ke warung-warung.Hari ini, Laras bilang akan menemaniku mengantar donat dan mengenalkanku ke para pemilik warung. Aroma donat yang baru matang menyebar ke seluruh rumah. Saat Laras menaruh donat yang baru diangkat dari wajan ke rak pendingin, aku terus mengisi kantung plastik dengan gula halus.“Harum banget… Aku jadi lapar,” kataku sambil tetap bekerja.“Kalau mau, ambil aja. Itu, yang ujung agak gosong, tapi masih hangat. Hati-hati panas,” kata Laras sambil tersenyum.Aku mengambil satu. Donat kampung harga dua ribuan jujur ekspektasiku rendah. Kupikir akan keras atau teksturnya kasar . Tapi begi
Laras POV Jam dua tepat. Suara pintu pagar berderit pelan. Entah kenapa, timbul rasa hangat di hatiku. Dari balik tirai jendela, kulihat sosok tinggi itu, Liyo. Dia yang datang. Kemarin siang, setelah bangun dari istirahat usai Liyo pulang dari wawancara kerja, sempat muncul keraguan di hatiku. Aku tak yakin dia benar-benar akan datang dan bekerja untukku, soalnya aku tidak bisa menjanjikannya gaji tetap, hanya sistem bagi hasil. Jika donatnya laku semua, dia bisa mendapat penghasilan yang lumayan. Tapi kalau tidak? Ya… paling-paling cuma bisa membawa pulang donat. Lagipula, jam kerjaku jauh dari normal. Aku mulai bekerja jam dua dini hari. Siapa yang rela bangun sepagi itu hanya untuk mengadon tepung dan ragi? Tapi begitulah ritme hidupku. Donat-donat itu harus selesai sebelum matahari terbit, agar bisa dikirim ke warung dan dibeli para ibu untuk bekal anak sekolah, atau oleh para pekerja yang butuh pengganjal perut di pagi hari. Satu donat seharga dua ribu rupiah itu untuk sebagia
Julio POVAku membaringkan tubuh di atas dipan knock down baru, Aku dan Ario membeli dipan yang bongkar pasang ini di Mall Ambasador. Di sudut kamar kontrakan yang sempit ini, AC portable putih berdiri gagah, mencolok di antara dinding kusam dan lantai yang retak-retak. Satu-satunya barang mewah di kamar ini, jadi kelihatan kontras sekali. Tapi aku tidak mungkin tidur hanya dengan kipas angin. Jadi meski harus mematikan semua lampu agar daya listrik cukup untuk menyalakan AC ini, aku tetap membelinya. Sekarang, aku berbaring dalam gelap gulita, hanya ditemani cahaya kecil dari lampu indikator suhu yang ada di bagian atas ACBesok sesuai rencana, kloset jongkok ini juga akan diganti.karena aku sungguh tidak bisa membayangkan harus beol dengan jongkok.Tadi sore aku sempat pulang ke apartemenku sebentar, ngubek-ngubek lemari, nyari baju dan celana yang nggak kelihatan kaya. Dan taukah kamu, itu susahnya minta ampun, bagaikan cari jarum di tumpukan jeramiSemua bajuku itu logonya sege
JULIO POVDari rumah Laras, aku dan Ario berjalan menuju kontrakannya. Jaraknya tak terlalu jauh, hanya melewati tiga gang kecil di bagian atas kampung. disebut bagian atas karena jalannya menanjak, mirip saat kita incline di treadmill. Sepanjang jalan, Ario sibuk menginterogasiku seperti polisi yang baru menangkap penjahat.“Bapak… serius mau kerja sama Bu Laras?”“ Bapak lagi.. Bapak lagi. …. Sudah kubilang, jangan panggil aku Bapak. Nanti kamu keceplosan depan Laras, penyamaranku akan ketahuan. Uda kubilang panggil aku Liyo. L-I-Y-O. ” jawabku sambil mendelik.“ Iya.. Iya.. Pak.. eh Liyo.. Jadi kenapa kamu mau kerja sama Laras itu ?”Aku menatap jalan di depan. “Karena… Pasti ada maksud dari Bayu kenapa setiap aku membuka mata, selalu saja ada bayang wajah Laras di pikiranku.. Dan setiap jam dua pagi, selalu jam dua, aku selalu terbangun. Dan ternyata… itu waktu Laras mulai bikin kue. Jadi itu mungkin tanda-tanda dari Bayu agar aku membantu kakaknya. Jadi aku mau bekerja den
Laras POVAku berdiri, memberi isyarat bahwa wawancara kerja ini telah selesai. Bukan karena ingin mengusir mereka, tapi tubuhku sudah kelelahan. Semalam aku baru tertidur lewat tengah malam, dan pagi tadi hanya sempat memejamkan mata dua jam, bangun jam dua dini hari seperti biasanya, lalu sibuk mengadon kue dan mengantar kue ke warung-warung. Sejak Bayu pergi, tidurku tak pernah benar-benar nyenyak lagi.Aku menjulurkan tangan pada Liyo, lelaki asing yang baru ku kenal tapi entah kenapa terasa tidak asing.“Panggil aja aku Laras, jangan panggil ‘Bu’. Sampai jumpa besok, semoga kita bisa bekerjasama dengan baik.”Aku tersenyum, tulus padanya. Aneh. Aku bukan tipe orang yang gampang percaya, apalagi pada orang baru. Riris bahkan pernah kesal karena aku terlalu sulit membuka diri. Temanku cuma dua orang, Riris dan Bayu. Tapi, entah kenapa, dengan Liyo… aku begitu mudah percaya padanya dan langsung menyuruhnya datang bekerja besok jam dua.“Sampai jumpa besok, Bu… eh, Laras,” jawa