“Apa hubungan kita lebih dari teman?”
“Memangnya kamu berharap apa?”Safira hanya menunduk setelahnya. “Maaf mas, saya selama ini sudah sering merepotkan.”Dexter duduk di sofa yang ada di ruangan itu, kacamata yang terpasang di wajahnya ia lepaskan. “Gak usah di pikirin! Yang terpenting kamu sehat! Dokter bilang kamu minum itu kalau-kalau kepala kamu sakit lagi!”“Saya janji akan bekerja dengan tekun, demi membalas kebaikan, mas,” ucap Safira dengan penuh yakin, membuat Dexter mengangguk tanpa banyak bicara.“Laper gak?”“Sedikit sih mas,” balas Safira yang malu-malu, dia merasa semua kebaikan pria itu pasti ada alasannya, apa mungkin mereka sahabat, jadi pria itu amat baik seperti ini?“Aku sudah bilang jangan banyak berpikir!” ujar Dexter yang sekarang terlihat, memainkan ponselnya entah sedang apa.“Habis semua ini kayak teka-teki yang harus di pecahin gitu mas, saya penasaran banget soalnya.”Mata pria itu sekarang melihat kearahnya, yang membuat Safira merasa agak canggung. Apalagi dengan wajah tampan nan rupawan itu, ia yakin wanita yang melabraknya pasti menyukai pria ini hingga berbuat seperti itu. “K-kenapa mas?”Dexter menggeleng, tingkah pria itu sulit sekali di artikan, seperti ada rahasia besar yang Dexter sembunyikan darinya, namun tenggorokan seperti terkunci hingga dia tak bisa mengatakan sebenarnya.“Aku hanya berharap kamu cepat sembuh!” ucap Dexter, yang setelahnya melihat ke ponsel miliknya. “Mau ayam?”Safira yang merasa sudah mengamini doa yang diberikan pria itu, terlihat berpikir kala Dexter memberikan pertanyaan.“Boleh deh mas,” balas Safira yang membuat Dexter mengangguk, dokter bilang setelah cairan infusnya habis mereka boleh pulang.Setelah selesai memesan lewat internet, Dexter menatap Safira yang sedang melihat tangannya, yang lagi-lagi bertengger selang infus. “Aku harus keluar kota selama beberapa hari.”Wanita itu menatap Dexter heran, kenapa tiba-tiba? “Kapan mas?”“Mungkin besok, kamu tidak apa-apa sendiri di rumah?” tanya Dexter yang membuat Safira terdiam sebentar, lalu mengangguk tanda setuju.“Mas biasa kerja keluar kota ya?”“Iya, tapi tidak sering. Dari jauh juga bisa mengontrol semuanya, hanya aku ingin menengok seseorang.”“Siapa mas?” tanya Safira penasaran.“Apa semua harus aku beritahu?” tanya Dexter yang membuat Safira menutup mulutnya rapat, karena hal itu. Pria ini kadang terbuka dan kadang juga membuat penasaran...Sebuah mobil hitam terparkir di perkampungan, tepatnya di rumah yang sederhana namun tidak juga buruk. Orang di dalamnya membuka sabuk pengaman, lalu melihat jam. Pukul 10 malam.Setelah perjalanan jauh akhirnya ia sampai juga, namun hal pertama yang ia lakukan adalah menelpon seseorang. Ada rasa khawatir meninggalkan wanita itu sendiri di rumah, tapi ia juga tak dapat membawanya karena akan repot nantinya.Tak lama telepon terhubung, Dexter memberikan ponsel lamanya pada Safira, agar ia bisa menghubungi wanita itu. “Hallo mas!”“Sudah tidur?” tanya Dexter yang mendengar suara serak dari sebrang sana.“Hhmm, iya mas udah nyampe?”Mata Dexter melihat bangunan yang ada di sampingnya. “Iya udah.”“Alhamdulillah kalau gitu, mas jaga kesehatan! Lagian kenapa gak punya supir sih, apalagi ini malem baru nyampe?!” tanya Safira yang sedari tadi merasa khawatir pada keselamatan majikannya itu, dia tak mengira pria itu akan berangkat sendiri.Walau kerja di perusahaan besar, seperti Dexter sayang sekali mengeluarkan uang sekedar membayar jasa supir, bahkan satpam di rumah ini pun tidak ada.“Aku lebih suka menyetir sendiri!”“Tapikan bahaya mas.”“Justru lebih bahaya kalau yang bawa mobil bukan orang berpengalaman, yang penting aku udah nyampe. Intinya jangan kemana-mana! Mungkin aku pulang besok atau lusa, paham?”“Iya mas, paham. Ya udah.”“Hhhmm.”Telepon Dexter matikan, tangannya beralih ke galeri ponselnya, lalu dia mencari foto lama. Dimana Dexter tersenyum lebar bersama seorang gadis di sampingnya.Saat hendak mengusap layar ponsel itu, sebuah ketukan di meja, membuat Dexter menoleh. Kaca dari luar tak nampak di dalam membuat pria itu dapat melihat seseorang sedang serius melihat kedalam mobilnya.Kunci mobil ia buka, dan pintu terbuka membuat wanita paruh baya yang sedang mengintip mobil siapa yang ada di depan rumahnya terkejut.“Bu! Apa kabar?” tanya Dexter yang membuat wanita itu semakin, syok. Air mata menetes tanpa terasa, dia memegang tubuh Dexter sambil menangis.“Nak Dexter, hiks!” Tangisan yang keluar dari mulutnya, membuat Dexter menuntut wanita paruh baya itu ke bangku panjang di depan rumahnya. “Kamu apa kabar nak? Sehat aja kan? Baik-baik aja?”Dexter mengangguk, sehingga wanita itu segera mengelap air matanya dan menatap ke arah mobil. “Safira tidak ikut.”“Apa dia gak apa-apa?”“Dia selalu pingsan kalau terlalu banyak mengingat.”“Ya Allah, padahal ibu udah bilang jangan pergi, tapi anak itu ngeyel banget, tapi ibu seneng kalau dia bareng kamu.”Dexter mengangguk kembali, ya di depannya ini adalah ibu Safira. Dia menjenguk wanita itu, karena ingin tau kebenarannya.“Sebenarnya apa yang terjadi sama Safira, Bu? Kenapa dia jadi kayak gitu?”Wanita itu menggeleng sambil menghembuskan nafas. “Ibu juga gak tau, tapi dia kecelakaan waktu pulang, dan setelah itu gak ingat apa yang terjadi.”Tangan dengan mengepal kuat, tapi wajahnya masih memasang tampang tenang, walau hatinya amat kesal. “Maaf ya Bu, mungkin karena Dexter, Safira jadi kayak gitu.”Wanita itu kembali menggeleng. “Enggak, ibu gak menyalahkan siapa-siapa di sini, mungkin takdir Safira memang seperti itu. Ibu cuma minta kamu jaga anak itu! Dia hanya anak polos yang baru mengenal dunia.”Dexter kembali mengangguk, ibu Safira yang merasa kalau tamunya tak di suguhi apa-apa segera berdiri. “Kamu mau minum, atau makan?”“Bikin aja nasi goreng, buatan ibu selalu aku mau sejak dulu!”Wanita paruh baya itu tersenyum. “Iya ya, kamu doyan banget sama nasi goreng ibu, nanti ibu buatkan, tapi kamu nginep atau Gimana?”“Hhhmm, udah lama aku gak main.”“Ya udah ibu siapain kamar kamu, ayo masuk!” ujar ibu Safira yang membuat Dexter mengangguk sambil berdiri guna mengambil barang-barangnya.Rumah itu hanya tembok sederhana, tak besar juga tidak kecil, jika di tanya berapa tahun dia dekat dengan Safira maka Dexter akan menjawab tak lama, namun hanya bersama dua orang itu, dia merasa berada di dalam keluarga.Mereka tak menyediakan kemewahan yang dia inginkan, namun kehangatan yang mereka berikan membuat dia nyaman. Setelah membawa tas juga hal lain, Dexter masuk kedalam rumah yang beralaskan karpet diatas tanah, sejak dulu tak pernah berubah, namun itu lebih baik dari pada besar megah tapi tak memberikan kebahagiaan yang dia dambakan.Senyuman sedikit terbit dari bibirnya, kesibukan yang terus menenggelamkan, membuat dia tak pernah keluar dari lingkungan itu setelah kepergian Safira, hingga ia seakan lupa dengan arah dimana rumah ini berada.Safira bangun dari tidurnya, kala mendengar suara ketukan pintu, dia pikir jika Dexter sudah pulang, padahal pria itu bilang paling lambat malam nanti atau lusa, tapi kenapa tiba-tiba menjadi pagi. Pintu terbuka lebar, dengan Safira yang mengucek matanya, karena sedikit silau oleh cahaya matahari. "Mas, kok pulangnya cepet banget sih?" "Kamu?!" ucap Seorang wanita yang membuat Safira, melihat kedepannya dengan lebih teliti lagi. Ternyata itu bukan Dexter namun wanita berbibir merah dengan gelang emas banyak tak lupa dengan pakaian yang terlihat mahal juga mencolok itu. "Maaf, ibu siapa ya?" tanya Safira yang tak tau kalau di depannya ini, ibu Dexter. Tiba-tiba wanita itu menarik rambut, Safira dengan cukup kencang, tentu saja hal itu membuat Safira merasa kesakitan dan tak paham. "Aw aduh sakit, Bu." "Dasar jalang sialan, hilang selama bertahun-tahun sekarang kamu balik lagi dengan muka gak tau malu ya?" tanya wanita itu marah dan terus menarik rambut Safira. "Sa-saya salah apa
Suara petir yang tiba-tiba juga kilatannya membuat Safira memeluk tubuhnya dengan takut, dia tak pernah membayangkan akan berjalan tanpa arah tujuan seperti ini. Niat hati ingin membantu ibunya, malah dia yang sekarang butuh di bantu.Mengingat ibunya dia jadi rindu, bagaimana kabar wanita itu? Apa dia baik-baik saja? Suara derasnya hujan tiba-tiba juga tetesan air itu membuat Safira terpaksa berteduh di depan toko yang tutup.Dia melihat keatas langit, dimana bunga api yang menjalar itu membuat langit tampak seperti siang hari, terang, namun setelah kembali gelap. Apa itu yang dinamakan bahagia sesaat, kala ia sudah merasa cukup puas dengan hidup ada saja hal yang membuat semua itu luntur. Air mata menetes begitu saja, bersama dingin malam yang semakin lama semakin menusuk kulitnya. Safira memeluk tubuh sendiri guna menghangatkan badan, ia ingin pulang tapi kemana?Sedangkan uang yang ia pegang sudah habis, untuk makan hari ini. Lalu bagaimana sekarang dan ke depannya? Dia harus me
Matahari nampak begitu cerah bagi sebagian orang, namun bagi pria berumur 19 tahun itu sama sekali tak ada cahaya yang terlihat, hidupnya selalu kosong. Bahkan kala melihat semua anak tahun ajaran baru yang berjejer rapih di lapangan, dia masih merasa kalau di dunia tak pernah ada orang di sana. Saat ini Dexter muda sedang berada di balkon sekolah, telah di lantai tiga dimana seluruh murid kelas 12 berada. Dexter tak pernah tertarik pada acara sekolah, dia cenderung menutup diri dan hanya tau menyibukkan hidup dengan belajar. Banyak piala yang dia dapatkan karena olimpiade atau perlombaan lainnya, itu pun para guru yang selalu menyuruhnya, kalau tidak dia tak akan mau. Sekaleng soda sudah dia tenggak habis, sambil terus menatap ke bawah. Manik matanya tak sengaja mengarahkan pada gadis yang menatap ke sana-kemari dengan mimik polos. "Dor!" ucap Angelina muda, yang mengangetkan Dexter, namun seperti biasa pria itu tak pernah terkejut, malah bersikap santai sambil melempar kaleng d
Beberapa hari kemudian, setelah di rasa benar-benar sembuh keduanya berangkat ke kantor agak siangan, walau sudah mengontrol dari rumah tapi tetap saja kerjaan nyata menumpuk semua di kantor pusat milik keluarganya.Saat baru masuk ke dalam lantai satu, tubuh Safira di peluk seseorang dari belakang. "Dor!" Dexter yang ada di belakang menoleh termasuk Safira yang kaget. "Aduh Neneng, ngagetin saya aja, kalau saya punya penyakit jantung Gimana?" Neneng teman baru Safira tak berani menjawab karena sang majikan ada di depannya, tepatnya sedang memperhatikan keduanya dengan serius. Karena tak ada jawaban, Safira menatap arah penglihatan teman barunya tersebut."Tuan muda, mau kopi pait atau apa? Nanti saya antar keruangan," ujar Safira, tapi Dexter malah mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya. "Beli sesuatu, nanti bagi ke semua karyawan!" ujar Dexter. Mata keduanya menatap tak percaya pada uang yang diberikan oleh bos mereka.Ada sekitar 3 juta di tangannya, tapi mereka bingung denga
Mereka menaruh kue bolu yang sudah mereka bawa, ini baru sebagian sisanya masih banyak lagi, tapi kedua orang itu sudah sangat capek. "Gila rasanya kayak mau mati, udah mirip hajatan aja ini kalau di lihat-lihat," ucap Neneng yang ingin sekali mengangkat tangan ke arah kamera, kalau ada. "Mau gimana lagi? Sisanya masih banyak lagi, untung aja tukang kuenya garcep banget, kalau enggak sampai sore kayak gini." "Gini amat nyari duit, untung aja pakek motor kalau enggak udah gempor nih kaki." "Udah jangan ngeluh Mulu! Gak baik." "Intinya gue minta jatah ini mah," balas Neneng yang membuat Safira menggeleng, dia membawa kue-kue itu ke lantai selanjutnya, nanti mereka akan balik lagi untuk mengambil sisanya. "Kak, beli bunganya kak!" ucap seseorang yang membuat keduanya menoleh. Terlihat beberapa tangkai mawar merah yang sangat cantik di bungkus dengan plastik yang hias sedemikian rupa. "Maaf dek, gak minat bunga," ucap Neneng, tapi Safira menatap kasihan pada gadis muda yang mencond
"Anda menyukainya?" tanya Orlando tiba-tiba.Dexter menatapnya dengan tajam, Orlando sebenarnya tak menyukai Safira. Namun kecantikan yang natural dan sederhana, membuat dia tertarik saat tak sengaja menabrak wanita itu. "Bukan urusanmu!" balas Dexter yang kembali menatap layar laptopnya, sesekali tangan itu mengetik sesuatu. "Kamu di terima! Bilang pada papa jangan memata-mataiku! Terutama mama! Urusan Safira itu urusanku, dia tak harusnya mengatur itu!" Orlando terdiam sambil mengangguk, pria ini ternyata tau. Tugasnya bukan hanya sebagai pendamping namun juga ada tugas sebenarnya dibalik itu. "Baik Tuan muda." "Kamu boleh keluar! Mulai sekarang kamu yang akan mengatur semua jadwal saya, juga menjadi wakil jika saya tak ada." "Baik, saya paham." Dexter mengangguk, dia masih sibuk melihat apa yang ada di layar laptopnya, tanpa niat untuk melihat Orlando lagi. Setelah menunduk sebentar pria itu berjalan ke luar, membuat Dexter menatap kepergian dengan tatapan tak suka. ..Malam
Di dalam mobil Safira hanya menatap jalan, lagipula Dexter tak pernah mengajak ngobrol dan hanya fokus menyetir. Kejadian kemarin rupanya pria itu tak mengingatnya, membuat dia sedikit sedih. Ia kira pria itu memiliki rasa padanya, atau dia cuma iseng saja? Tapi bagaimana pun itu ciuman pertamanya, bagaimana orang yang sudah merebutnya bisa lupa. Sedari tadi Dexter merasa suasana hati Safira tak baik, walau ia hanya diam dan tak memperhatikan, namun terlihat dari gerakannya yang hanya melamun dan tak minat menatap apapun seperti biasanya membuat Dexter menebak hal itu. "Ada apa?" tanya Dexter yang membuat Safira menoleh, namun wanita itu menggeleng setelah. "Gak ada apa-apa mas." "Saat pagi, kamu terlihat begitu bersemangat dan sekarang senyuman itu luntur, apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Dexter, sedangkan Safira bergerutu di dalam hatinya, orang yang membuat dia seperti ini malah tidak merasa bersalah atas apa yang dia perbuat. "Beneran kok mas." "Laper?" tanya Dexter,
Semakin hari soal yang diberikan semakin susah, bahkan Safira harus begadang demi mendapatkan jawaban yang tepat. Namun yang menyebalkan pria itu tak pernah puas dengan hasil yang ia perlihatkan. Lelaki itu hanya berkata dengan entengnya. "Cuma segini kemampuan Lo? Katanya siswi pinter dari desa, mana? Cuma soal kayak gini aja gak bisa jawab, benerin lagi!" Dan kertas itu di lempar begitu saja, membuat Safira semakin mengepalkan tangannya karena kesal. Saat ini bel masuk berbunyi, teman sebangkunya segera membangunkan Safira Karena setelah ada pengumuman tentang olimpiade dan gadis itu termasuk, Safira menjadi anak yang mudah mengantuk. "Safira! Fira!" Safira yang mendapatkan gerakan di bahunya segera bangun, dan mengucek matanya karena lengket sekali. Hari ini ia hampir tak tidur karena terus meriset soal yang diberikan di iblis itu, tak lama mulutnya terbuka lebar karena menguap."Begadang lagi Ra?" tanya teman sebangkunya yang sedikit prihatin karena kondisi Safira yang tampak k