Kakek Yoga menghela napas panjang. Matanya menatap lurus ke arah Wina dengan raut serius.
"Papa hanya ingin memastikan kamu tahu apa yang kamu pilih, Wina. Andi itu bukan lelaki yang mudah ditebak. Dari dulu, dia selalu menyimpan sesuatu di balik sikap tenangnya. Bahkan pada kami, keluarganya sendiri." Wina menelan ludah, menahan gugup. "Saya tahu, Pa. Tapi selama saya bersamanya, dia selalu memperlakukan saya dengan baik. Dia lembut, perhatian, dan … tidak pernah membentak." Kalimat terakhirnya keluar lirih, nyaris tak terdengar. Nenek Estu yang sedari tadi diam, kini angkat bicara dengan nada lembut namun menusuk, "Kadang, anak yang paling tenang justru yang paling banyak menyimpan luka, Nak Wina. Semoga kamu siap kalau suatu hari, luka itu ikut kamu rasakan." Wina menunduk. Ada sesuatu di dad4nya yang terasa berat. Ia mencoba tersenyum, meski getar kecil di ujung bibirnya sulit disembunyikan. *** Sementara itu, Andi sudah sampai di Kafe Vanza bersama Imel dan Rosa. Kafe itu tampak elegan dengan interior kaca besar, tanaman gantung, dan musik jazz yang mengalun pelan. Rosa menatap sekeliling dengan mata berbinar-binar. "Ya Tuhan … ini tempatnya bagus banget, Mel," gumamnya setengah tak percaya. Imelda hanya tersenyum kecil. Ia memandangi Andi yang sedang berbicara dengan pelayan. Sikap Andi begitu tenang, wibawanya kuat, bahkan semua pelayan terlihat sedikit kikuk saat melayaninya. "Om sering makan di tempat semewah ini?" tanya Rosa basa-basi sambil membuka menu. Andi tersenyum tipis. "Dulu iya. Tapi sekarang, saya ingin coba hal baru. Katanya makanan di sini lagi viral di kalangan anak muda, jadi ya saya pengen coba. Sekalian biar gak dibilang om-om jadul." Rosa terkekeh pelan, sedangkan Imelda memutar bola matanya pelan. "Om tuh … gaya banget," gumam Imelda. Pelayan datang membawa minuman mereka. Andi menatap Imelda lama, sampai membuat gadis itu merasa canggung. "Ada yang salah, Om?" tanya Imel pelan. Andi menggeleng sambil tersenyum samar. "Nggak. Om cuma mikir … kamu makin mirip seseorang." "Maksudnya?" Imel mengerutkan dahi. "Seseorang yang dulu pernah Om kenal," jawab Andi pendek, lalu meneguk kopinya dalam-dalam. Ada semburat kelam di matanya. Rosa dan Imelda saling pandang, tak mengerti maksudnya. Namun sebelum sempat bertanya lebih lanjut, Andi sudah mengganti topik. "Oh iya, kamu kan bentar lagi mau semester akhir? Om pengen kasih sesuatu buat bantu kamu belajar lebih tenang." Imelda menaikkan alis. "Kasih sesuatu? Maksudnya?" Andi merogoh saku jasnya dan mengeluarkan kunci berukir logo apartemen mewah. Ia meletakkannya di meja, tepat di depan Imelda. "Ini untuk kamu." Rosa hampir tersedak jusnya. "Hah!? Itu ... kunci apartemen, Om!?" Imelda menatap benda itu dengan bingung. "Om, ini apaan?!" Andi tersenyum, matanya menatap lembut tapi sulit diterka. "Tempat buat kamu istirahat, belajar, atau tinggal kalau kamu bosan di rumah. Semua atas nama kamu. Om cuma mau kamu nyaman." "Om … nggak usah. Aku masih bisa di rumah kok. Aku ..." Andi memotong kalimatnya dengan suara pelan namun tegas, "Imel, kamu nggak ngerti. Kadang, tempat yang kita anggap rumah justru nggak selalu bikin kita tenang." Ucapan itu membuat Imelda terdiam. Rosa menatap Imelda, lalu ke arah Andi. Aura di sekitar mereka tiba-tiba berubah, hangat tapi juga penuh rahasia. Andi tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. "Anggap aja hadiah dari om buat keponakan paling manis yang pernah om punya." Imelda terdiam, menatap kunci itu dengan tangan bergetar pelan. Ada sesuatu di tatapan Andi yang membuatnya gugup … seolah pria itu sedang menyembunyikan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kasih sayang seorang paman. *** Sementara itu, di rumah Lusi, Kakek Yoga masih duduk di ruang tamu sambil memandangi foto keluarga di dinding. Tatapannya berhenti di satu foto lama, foto Andi saat masih muda, berdiri di depan rumah sakit tempat dia dulu magang. "Anak itu ... sejak kehilangan seseorang, dia berubah total," gumam Kakek pelan. Lusi yang duduk di sebelahnya menatap heran. "Kehilangan siapa, Pa?" Kakek Yoga menarik napas panjang, menatap foto itu lama. "Seorang gadis … yang katanya sangat mirip dengan Imelda." Lusi terdiam. Dan di tempat lain, di sebuah kafe yang masih ramai pengunjung, tatapan Andi pada Imelda kembali beradu, dalam, lama, dan penuh rahasia yang belum terungkap.Kakek Yoga menghela napas panjang. Matanya menatap lurus ke arah Wina dengan raut serius."Papa hanya ingin memastikan kamu tahu apa yang kamu pilih, Wina. Andi itu bukan lelaki yang mudah ditebak. Dari dulu, dia selalu menyimpan sesuatu di balik sikap tenangnya. Bahkan pada kami, keluarganya sendiri."Wina menelan ludah, menahan gugup. "Saya tahu, Pa. Tapi selama saya bersamanya, dia selalu memperlakukan saya dengan baik. Dia lembut, perhatian, dan … tidak pernah membentak."Kalimat terakhirnya keluar lirih, nyaris tak terdengar.Nenek Estu yang sedari tadi diam, kini angkat bicara dengan nada lembut namun menusuk, "Kadang, anak yang paling tenang justru yang paling banyak menyimpan luka, Nak Wina. Semoga kamu siap kalau suatu hari, luka itu ikut kamu rasakan."Wina menunduk. Ada sesuatu di dad4nya yang terasa berat. Ia mencoba tersenyum, meski getar kecil di ujung bibirnya sulit disembunyikan.***Sementara itu, Andi sudah sampai di Kafe Vanza bersama Imel dan Rosa.Kafe itu tampak
Andi memutar balik mobilnya di depan jalan. Ia tidak pergi ke rumah teman atau siapa pun juga. Tadi, ia hanya beralasan saja agar Wina dan Lusi, kakaknya tidak banyak tanya.Andi membelokkan mobilnya ke asalah satu apartemen mewah di pusat kota. Ia mendatangi pemilik apartemen dan mulai bertanya tentang unit yang ada di apartemen ini.Ia melihat brosur dan mulai memilih unit kamar mana yang ingin ia beli."Mau lihat -lihat dulu? Biar tahu tempatnya seperti apa?" ucap sang pemilik yang hanya di balas anggukan kecil oleh Andi.Ia tidak perlu melakukan itu. Cukup membaca dan memahami seperti apa fasilitas unit kamar apartemen itu, rasanya sudah cukup."Saya ambil satu unit kamar apartemen di lantai yang viewnya paling bagus," jelas Andi dengan senyum lebar."Siap Pak. Bapak mau dirapikan untuk kapan?" tanya pemilik itu pada Andi."Hari ini bisa? Saya akan bayar lunas dan saya minta nama pemiliknya di ubah menjadi nama gadis ini," titah Andi sambil menyodorkan kertas kepada sang pemilik a
Andi mengangguk, mengiyakan apa yang diucapkan oleh Imel barusan."Ya, Aku dan Wina menikah secara kontrak," jelas Andi menggantung."Kok bisa?" ucap Imel lagi begitu penasaran.Andi melirik ke arah Imel. Tangannya langsung menggenggam tangan Imel dengan erat. Imel tidak berontak dan bahkan ia malah nyaman dengan genggaman tangan Andi.Andi mencium punggung tangan Imel dengan lembut."Intinya aku mencintaikamu. Soal aku dan Wina, biar aku selesaikan sendiri," jelas Andi meyakinkan Imel.Imel menarik tangannya dan menggelengkan kepalanya pelan."Om ... Jangan main- main soal ini. Kalau Bunda tahu, bisa habis kita. Lebih baik, kita sudahi saja dan tidak usah dilanjutkan lagi," jelas Imel terbata.Andi menghentikan mobilnya perlahan. Mobil itu berhenti dipinggir jalan. Andi menatap Imel dengan lekat. "Mel ... Aku jauh -jauh dari luar negeri dan pulang hanya untuk ketemu kamu dan memiliki kamu. Kejadian semalam memang sudah aku rencanakan. Ternyata aku tidak salah memilih kamu yang masi
Semuanya menoleh ke arah Imel termasuk Wina dan Andi. Andi menatap keponakannya dengan senyum tipis yang sama seklai tidak terlihat. Lelaki itu sangat pandai menyembunyikan perasaannya sejak dahulu."Kamu kenapa Mel?" tanya Lusi pada Imel. Wajah Imel nampak terlihat berbeda dan sedikit pucat.Imel menggelengkan kepalanya pelan."Kenapa? Imel baik -baik saja, kok," jelas Imel pada Lusi. Imel berusaha menampilkan senyumnya yang paling manis kepada Lusi.Imel duduk di salah satu kursi tepat di samping Andi. Itu adalah kursi favoritnya. Segelas susu putih buatan Lusi juga sudah ada di meja."Minm susunya alu sarapan. Kamu hari ini kuliah sampai sore kan?" ucap Lusi pada Imel."Hu um ..." jawab Imel sambil meneguk susu hingga habis setengah gelas. Andi melirik ke arah Imel lalu mengambil tisu kering dan mengelap sisa susu yang masih menempel disudut bibir atas Imel dengan lembut.Imel begitu kaget tetapi ia memilih diam. Imel mencari ativitas lain dnegan menambil roti untuk menghilangkan
Seusai makan mie instant, Imel kembali ke kamar untuk melanjutkan tidurnya yang sempat tertunda karena lapar. Isi kepalanya kini hanaya ada Om Andi. Lelaki yang sudah berumur namun begitu matang itu begitu hebat menguasai pikirannya.Tubuhnya kekar, berotot. Sangat tampan dan begitu enak dipandang. Apalagi bibir Om Andi. Kenapa begitu candu? Ah ... Aku harus melupakan lelaki itu. Dia adalah Om -ku sendiri, dan sudah memiliki istri.Kedua mata Imel tertutup perlahan. Ia harus melupakan kejadian gila tadi. Kenapa bisa terjadi? Baru saja menutup kedua matanya, pintu kamarnya terbuka dan ditutup lagi lalu dikunci rapat.Belum sempat membuka kedua matanya, mulutnya sudah dibungkam dengan bibir hangat yang rasanya sama seperti tadi. Kali ini bibir itu lebih berhasrat dan begitu liar memainkan lidahnya.Bukan hanya ciuman dibibir saja, Andi juga menciumi seluruh leher dan turun ke bawah hingga bagian belahan dad4 Imel yang terbuka.Tai tank top itu diturunkan ke bagian lengan. Andi seperti
Tatapan Om Andi itu sangat berbeda. Entah kenapa kedua mata itu terasa hangat dan membuat Imel meraa aman serta nyaman."Eum ... Om ... Imel bisa sendiri,"ucap Imel dengan cepat. Ia mengambil garpu yang dipegang Andi dengan cepat. Lalu memegangnya sendiri. "Biar aku suapi. Dulu, aku selalu menyuapimu seperti ini. Kamu pasti gak ingat ..." ucap Andi dengan suara berat namun terdengar cukup berarti.Imel menggelengkan kepalanya pelan dan membalas tatapan Om Andi yang begitu lekat."Gimana mau ingat. Itu kan waktu Imel masih kecil banget. Sudah pasti Imel gak mengingatnya," ucap Imel pada Om Andi.Imel benar -benar lupa. Tidak ada satu pun yang ia ingat momen kebersamaannya dulu bersama Om Andi, adik Bundanya.Wajah mereka begitu dekat. Andi semakin mendekati wajah imut Imel. Tatapannya semakin berbeda dan penuh damba.Semakin di dekati, Imel semakin gugup dan salah tingkah sendiri. Garpu yang dipegangnya juga terjatuh di mangkuk tanpa sadar.Bukannya berontak, Imel malah diam saja, se