Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi glowingku. Membuat rambut lurus berwarnaku sedikit tersibak. Aku tersenyum sinis, melihat laki-laki paruh baya bergaya necis yang kini berada di depanku, dengan wajah merah menahan amarah.
Mataku berkeliling mengitari mereka yang berlagak baik dan ingin membelaku, namun tak mampu. Mata mereka berkaca-kaca, mencoba memberikan isyarat bahwa aku harus meminta maaf dan segera memperbaiki kesalahanku. Munafik betul makhluk-makhluk itu.
Aku terus menantang, meski diam. Masih bergeming dengan sorot mata tajam, tanpa air mata. Aku lelah menangis sejak tujuh tahun yang lalu, di hadapan...nya.
"Bikin malu! Tidak punya harga diri. Kau senang ditonton semua orang? Kau sengaja mempermalukan Papa, ha? Dasar gadis liar. Bereskan masalahmu, atau angkat kaki dari rumah ini!"
Oh, good. Kenapa tak dari dulu kulakukan hal itu. Dengan begitu, aku punya alasan untuk pergi dari neraka ini.
Aku berlalu, setelah kulihat pak tua itu pergi melangkah dan membanting pintu kamarnya. Aku berjalan pelan menapaki anak tangga yang terbuat dari marmer menuju lantai dua. Kamarku.
Aku bersandar pada dinding ranjang sembari memeluk lutut. Melakukan yang tak bisa aku lakukan di hadapan mereka. Menangis. Hampir sesenggukan.
Lalu derit langkah terdengar dari depan pintu. Sebuah ketukan menyapa, minta dibukakan. Aku bergeming. Sudah hafal betul siapa sesosok itu.
"Key," panggilnya dari luar sana. Aku masih diam.
"Key, bukalah! Biarkan Tante masuk."
Lalu kudengar lagi suara ketukan yang berulang-ulang, tanda ia belum menyerah.
"Pergi, kau!" Aku melempar kasar tas clutch, yang kubawa dari bawah tadi menghantam pintu.
Hening. Mungkin dia sudah kapok, dan memutuskan untuk pergi. Begitulah jika selalu ikut campur urusan orang.
Aku bangkit dan berjalan memunguti benda mahal yang kubuang tadi. Mungkin ada sebagian barang yang berada di dalamnya rusak atau patah. Damn! Aku lupa kalau ponsel berhargaku juga belum kupindahkan.
"Buka pintunya!" Suara lain sedang berteriak sambil menggedor dengan begitu keras.
Oh, shit. Ibu dan anak sama saja. Munafik dan sok perhatian. Menjijikkan.
"Buka pintunya, Keyra. Kenapa kau berlaku tidak sopan pada Mama!" bentaknya lagi.
Aku berjalan mendekat dan membuka pintu dengan kasar.
"Suruh siapa Mamamu ikut campur semua urusanku. Belum cukup kalian menumpang tinggal dan mengambil semua milikku, ha?" Kutantang wajah itu dengan jarak yang hanya sejengkal.
Kulihat dia terdiam dengan wajah yang masih tegang menahan emosi. Dengan sedikit kemerahan tentunya. Dia bergerak, mundur selangkah menghindari tatapanku. Aku tertawa sinis melihatnya.
"Mau apa kau kesini? Mengejekku? Kau merasa menang? Oke, ambil saja rumah ini. Aku tidak sudi lagi menempatinya."
"Hapus semua fotomu!"
"Bukan urusanmu. Apa kau melihatnya? Begitu seksi, bukan?" Aku tergelak, lalu melangkah masuk kembali ke kamar. Menghempas bokong seksiku di ranjang king size.
"Mana ponselnya? Biar aku yang singkirkan." Dia mengikutiku masuk, dan kini berdiri tepat di depanku dengan menjulurkan telapak tangan.
"Keluarlah! Kau tak berhak apa pun pada hidupku."
"Berikan saja! Papamu tidak akan main-main dengan ucapannya."
"Kenapa? Kau takut aku benar-benar pergi dari rumah ini?"
"Demi Tuhan, Keyra. Berikan saja ponsel itu!" Dia semakin tersulut emosi.
Aku semakin tertantang dengan sikap itu. Aku kembali bangkit dan berdiri di hadapannya. Tentu saja harus sedikit mendongak, agar bisa mengimbangi tinggi tubuhnya.
"Why? Jangan bilang kau tidak ikut menikmati poseku di situ. Cukup menantang, bukan? Kau ingin yang lebih menggoda?" Aku mendekatkan wajahku sedikit lagi. "Aku bisa memberimu yang lebih dari itu. Kau suka?" Aku meniup telinganya, kemudian menjauh.
"Dasar gadis liar!" umpatnya. Aku terkekeh.
"Lalu kau pikir adik perempuanmu itu lebih baik dariku? Aku melihatnya memasuki hotel, bersama pria tua seumuran Papa," ucapku setengah berbisik.
"Kau sudah kelewatan, Key. Hapus fotomu sekarang juga, atau temanku yang seorang hacker akan melakukannya."
"Ouch... kau mengancamku?"
"Aku tak punya cara lain. Kalau kau ingin mengirimkan foto polosmu padaku, silakan. Tapi jangan biarkan khalayak ramai menikmatinya. Aku tak suka."
Dia melangkah, dan berlalu meninggalkan kamarku dengan ancamannya, dan aku tahu dia tidak sedang bercanda. Damn!
"Kau benar-benar brengsek, Erik." Kulempar kembali benda yang baru kupungut tadi. Kali ini hanya ke atas ranjang.
***
Aku mengempaskan diri di kursi panjang terbuat dari bambu. Mengambil sebungkus rokok yang terletak begitu saja, lengkap dengan koreknya. Mengeluarkan isinya, lalu menyulut api, begitu batang nikotin itu terjepit di antara bibir seksiku.
"Aku diusir," aduku, pada dia yang sedang memangkas rambut seseorang.
"Itu salahmu!" jawabnya cuek.
"Percuma mengadu. Kau memang tak pernah membelaku." Aku meniup asap ke udara.
"Siapa yang akan mendukung, jika tingkahmu masih seperti itu."
"Oke! Tutup kedaimu. Temani aku minum!"
Dia merapikan kain pembalut tubuh laki-laki yang baru saja dieksekusinya. Lalu menggerbaskannya agar berjatuhan semua rambut yang tadi menempel di sana.
Kahfi. Dia satu-satunya makhluk di bumi ini yang masih mau berteman denganku, dengan segala tingkah liar dan sikap kasarku. Kami berteman sejak masih kanak-kanak. Dan dia masih setia hingga sekarang.
Atau mungkin kebalikannya. Ya, kurasa akulah yang masih bertahan dengannya. Dengan sikap jujur dan ceplas-ceplos segala ucapannya. Ah, ya. Satu lagi. Dia bukan penjilat, yang bergaul denganku hanya demi materi. Dia bahkan tak ingin membeli rokok dengan uangku.
Ayo, minum!" Aku kembali meminta, setelah pasiennya pergi. Dia kini mengambil tempat di sebelahku, juga menyulut rokok."Pipimu bengkak. Kau dipukul?""Ya.""Kenapa kau lakukan itu?""Apa? Memajang foto polosku?" Aku tergelak. "Kau melihatnya? Aku seksi, kan?""Gila!" Dia berdecih."Yes, Fi. I am crazy. Aku benar-benar sudah gila tinggal di rumah itu.""Kenapa? Kulihat mereka memperlakukanmu dengan baik.""Oh, shit, Kahfi." Aku mendorong bahunya. "Kau juga tertipu rupanya."Dia menggelengkan kepala, sembari membuang asap rokoknya."Apa lagi yang kau tunggu. Tutup kedaimu.""Kau gila. Ini masih pagi. Kau mau minum apa? Jamu?""Oh, ya ampun, Fi. Ini sudah hampir jam dua belas. Kalau tak mau minum, kau bisa temani aku makan.""Kau saja, makan siangku sudah datang." Dia bangkit penuh senyuman, menyusul seorang gadis berseragam SMA yang berjalan menuju ke arah kami.Sepertinya ga
Dia sedikit terdiam, kemudian mendorong bahuku agar terlepas dari bibir seksinya. Uh, manis sekali."Apa yang kau lakukan?" ucapnya, setengah membentak."Menciummu. Kau tak sadar?" Aku tertawa geli.Lalu terdengar suara batu berbenturan, bekas langkah gadis yang tadi menyaksikan aksi kami. Kahfi langsung menoleh ke belakang. Raut wajahnya kembali gusar, melihat kekasihnya setengah berlari sambil mengusap air mata. Dasar cengeng!Pria berpostur tinggi tegap itu langsung mengambil langkah untuk menyusulnya. Meninggalkanku begitu saja tanpa bilang permisi. Dimana sopan santunnya. Tapi kurasa dia terlambat, pintu rumahnya sudah tertutup dari dalam. Ouh, kasihannya temanku itu.Pasti gadis itu sedang berdiri bersandar di balik pintu, menutup mulut agar suara tangisnya tak terdengar dari luar. Tempat si bodoh itu berdiri dan mengetuk dengan pelan. Klise, aku sudah sering melihat adegan seperti itu di drama-drama menyedihkan.
Jadi kau benar-benar iri padanya? Setelah sekian lama? Ke mana saja kau selama ini saat aku tengah bersamanya?""Tapi baru malam itu aku melihatmu menciumnya. Apa kau menikmatinya? Atau hanya mengerjainya?""Oh, shit. Brengsek kau, Erik. Kau memata-mataiku?" Aku memukul dadanya secara brutal.Dia tak melawan. Hanya terkadang sedikit mendongak, agar aku bisa lebih leluasa memukulinya."Tak perlu menunggu kau mabuk jika ingin mendapatkanmu. Kalau aku mau, saat ini pun aku bisa memaksamu melakukannya," geramnya, sambil menangkis dan mendapatkan kedua tanganku di genggamannya. Lalu mendorong tubuhku ke atas ranjang hingga terduduk, hampir terlentang.Dia terus menatapku dengan tajam, tentu saja aku semakin menantang. Pantang bagiku terlihat lemah dan takut di hadapan mereka. Lalu ia pun bergegas keluar dan membanting pintu.Fiuhh... aku selamat.*Aku kembali mengunjungi kios Kahfi usai melakukan pemot
Kau sudah tidak waras, Key. Tanggung jawab seperti apa itu?" Dia menekan ujung rokoknya di atas kursi hingga padam."Kau seharusnya senang, Fi. Kau sangat beruntung bisa mendapatkan aku," sahutku penuh percaya diri. Dia terkekeh mendengarnya."Kenapa kau tertawa? Kau pikir aku bercanda? Ayo temui Ibumu. Aku akan bicara padanya."Dia semakin tergelak sampai menggelengkan kepalanya. Dasar sialan."Mabukmu belum juga hilang rupanya. Biar kubuat kau agar sadar." Dia bangkit, sambil mengambil semprotan air yang biasa ia gunakan untuk membasahi rambut atau membersihkan wajah pelanggannya."Hentikan itu, Fi. Aku tidak mabuk. Kau membuatku basah. Dasar sialan!" umpatku, sambil merebut benda yang digunakannya itu."Oh, begitu. Baiklah. Jadi kau sudah sadar? Kurasa kau ingin sekali menikah denganku, ya? Kau iri karena aku punya pacar?""Kalian baru putus. Kau yang sudah tidak tahan ingin menikah. Jadi aku berbaik h
Kau tidak serius soal menikahi Kahfi, kan?" cecarnya tanpa basa-basi lagi."Bukan urusanmu. Kau sudah melihat kami berciuman. Masih bilang aku bercanda?""Kau hanya bermain-main, Key. Kau hanya ingin membuat Papamu marah. Kau sudah gagal. Jadi, cepat batalkan niatmu itu.""Memangnya kau siapa, berani mengatur hidupku?""Aku mengenal semua teman kencanmu, Key. Kahfi bukan termasuk kriteria seperti mereka.""Sudah kubilang jangan menilai Kahfi di depanku. Tentu saja dia berbeda dari para bedebah itu. Mereka tak sama, dan aku tidak ingin kehilangan laki-laki seperti dia.""Pikirkan lagi, Key," ucapannya sedikit melunak. "Jangan anggap pernikahan seperti mainan yang biasa kau mainkan. Kau bisa menyakiti perasaannya.""Oh, my brother. Mulia sekali hatimu," sindirku dengan nada mendayu. "Kau sedang memikirkan perasaannya, atau perasaanmu?" Telunjukku kini telah menempel di dagunya.Aku mendekatkan wajah, merasakan h
Aku menoleh ke belakang, dan kulihat laki-laki berambut lurus lagi lebat itu, tengah berdiri menatapku."Kak Key serius?" tanya Sifa tiba-tiba."Hush. Jangan sembarangan!" bantah Ibunya.Aku hanya bolak balik memandang mereka secara bergantian, lalu mengangkat bahu. Kuserahkan padamu, Fi..Kahfi mengantarku keluar hingga menuju ke mobil. Meminta aku menunggu, karena dia akan berbicara pada Ibunya. Padahal apa susahnya tadi, ia hanya tinggal menyambung saja ucapanku. Atau ada ritual khusus, yang aku tidak boleh tahu?Oh, ya ampun. Dia membuatku menjadi pusing saja. Kupikir membicarakan sesuatu itu adalah hal yang sangat mudah. Hanya mengatakan kami akan menikah, sudah. Dasar lamban.Aku terpaksa pulang, setelah dia menjanjikan pasti datang malam ini. Yeah, ternyata dia masih takut dengan ancamanku. Tentu saja dia akan kehilangan muka di depan Papa, jika aku sampai benar-benar mengatakan bahwa aku sedang h
"Aku tak tahu lagi harus bicara apa, Key. Aku cemburu. Benar-benar cemburu melihat kau bersamanya," ucapnya dengan napas yang naik turun."Lepaskan aku, bodoh!" makiku, menggerakkan kedua tanganku yang kini terkunci di tembok. Tangannya terus menekan hingga aku tak bisa melepaskan diri."Kumohon. Belum terlambat untuk kita, Key. Aku tak mau lagi menjadi kakak tiri bagimu. Kau tahu sendiri bagaimana perasaanku.""Sialan kau bajingan. Beraninya bicara seperti itu setelah kau dan keluargamu menghancurkan keluargaku. Menghancurkan seluruh hidupku. Kau brengsek Erik. Kalian semua bajingan!" Aku berteriak histeris.Tanpa sadar aku mulai menangis. Mengeluarkan air mata, yang selama ini kutahan agar tak terlihat di hadapan mereka."Maafkan aku, Key. Bukan hanya kau saja. Aku dan Elena juga sama hancurnya seperti perasaanmu saat ini. Kita semua korban, Key."Kulihat matanya memerah, ada yang ikut menggenang di pelupuk matanya. Menat
Aku dan Kahfi baru saja turun dari taksi online. Dia langsung membawaku ke rumah yang selama ini dia tempati bersama Ibu dan adiknya. Aku menyukai rumah ini, juga para penghuninya."Tidak ke rumah mertuamu dulu, Fi?" Ibu mertua menyambut kedatangan kami."Key ingin langsung pulang ke sini," sahut suamiku. Aku memasang senyum termanis di depan Ibu dan juga adik iparku."Kamarnya belum dibereskan. Kami pikir masih akan lama di sana.""Kamar yang mana? Nanti aku rapikan.""Pakai kamar Ibu saja. Tempat tidurnya lebih besar.""Tidak mau!" sanggahku segera. "Aku mau tinggal di kamar Kahfi." Aku kembali melebarkan senyumku..Untuk sekian lama, aku tak pernah lagi memasuki ruangan ini. Tak banyak berubah. Warna cat dan juga perlengkapannya masih sama sejak terakhir aku memasukinya.Kahfi selalu mengunci pintu dan melarangku untuk masuk sejak dia masuk SMP. Saat itu aku masih kelas lima SD. Sama sek