Akhirnya Sri bisa melepas status jomblonya. Di usia yang begitu matang, ia merasakan diperhatikan oleh kekasih. Bentar-bentar masuk pesan dari Ali.
[Sudah makan belum?]
[Jangan lupa solat ya!]
[Met tidur, mimpiin aku!]
[Love you Honey.]
[Kangen nih.]
Awalnya Sri berbunga-bunga dapat pesan-pesan gombal itu. Namun memasuki usia pacaran mereka yang ketiga bulan, kok ia mulai merasa risih tiap dapat pesan dari Ali.
Belum lagi, pacarnya itu selalu menelponnya tengah malam dengan menggunakan paket nelpon murah. Ngobrol ngalor ngidul ga tentu arah hingga dua jam.
Jika besoknya shif dua sih ga masalah. Namun jika ia harus kerja pagi, pastinya ia ngantuk dan mengganggu kerjaan.
“Matamu kenapa? Kaya mata panda?” tanya leader Sri pagi itu.
“Iya, kurang tidur nih, Mbak,” jawab Sri sambil terus merapikan susu.
“Tidur jangan malam-malam!” titah sang leader. “Biar fokus jualan dan nyampe target penjualan!” tandasnya.
Dari petuah itu, akhirnya Sri selalu silent ponsel setiap ia shif pagi. Ia tak mau tidurnya terganggu dan omset penjualannya turun.
“Kok, ga pernah diangkat kalau aku telpon, Yang?” protes Ali sore itu.
“Iya, udah tidur,” jawab Sri datar.
“Emang kamu ga kangen apa ma aku?” rajuknya.
“Tiap hari kan ketemu. Pagi, sore selalu ngobrol.” Sri menjelaskan.
“Ya tetap saja aku masih kangen.” Ali mulai bersikap romatis. Menggenggam erat jemari pacarnya denga tatapan lekat. Duduk berdempet lalu wajah didekatkan.
Sri yang baru pertama pacaran, merasa risih dengan perlakuan Ali. Tak terbiasa berduaan di kos dengan genggaman tangan. Atau dipeluk-peluk bahkan sampai dicium, jelas ia ga mau. Ia merasa kemesraan pacarnya itu bercampur nafsu.
Meski ia menerima Ali jadi pacarnya namun ia harus tetap waspada untuk tidak masuk dalam rayuan gombalnya. Tak dipungkiri pacaran zaman sekarang memang banyak yang kelewat batas. Sebagai cewek desa, ia harus mempertahankan adat ketimurannya.
“Somay, somay…tok..tok..” terdengar gerobak Mang Somad lewat.
“Aku beli somay dulu!” Akhirnya Sri punya alasan melepaskan diri dari keromantisan Ali.
“Kamu mau?” tanyanya.“Boleh,” jawab Ali sedikit melengos.
“Ayo makan di, luar saja sambil nongkrong.”
“Kok di luar sih?” sungut Ali.
“Sore-sore ini paling enak nongkrong di bawah pohon sambil lihat orang lewat,” ujar Sri beralasan dan itu membuat Ali mati kutu.
Keromantisan Ali yang lain dan membuat Sri risih adalah saat sedang mengendarai motor. Terlalu pelan dan selalu melingkarkan tangan Sri ke perut. Sesekali jemari Sri dibelai-belai dan diciumi berulang-ulang. Seringkali ia melepaskan lingkaran itu tapi selalu tangan Ali meraihnya kembali.
************
Sore menjelang. Sri ke luar dari swalayan tempatnya bekerja. Tampak di depan swalayan, Ali sudah menunggunya.
“Kita ketemuan dulu ya sama teman-temanku,” ujar Ali diiyakan Sri.
Sri terhenyak saat Ali langsung menggandengnya mesra. Mata mereka bertatapan untuk beberapa saat. Senyum Ali mengembang namun lagi-lagi Sri masih risih dengan perlakuan pacarnya.
Dua sejoli itu menghampiri tiga pasang kekasih yang sedang duduk mesra di sebuah restoran.
“Hay,” sapa Ali sembari tos satu per satu dengan temannya. “Maaf ya nunggu lama.”
“Gapapa,” jawab salah seorang. “Nyantai aja kali.”
“O iya, ini kenalin Sri, pacarku!” Ali pamer pacar pada teman-temannya dengan hendak memeluk Sri dari belakang. Tapi sayang, sang pacar keburu duduk. Senyum tipis menghiasi teman-temannya.
Obrolan berlanjut dengan pembicaraan khas anak muda ibukota. Sesekali Ali juga ingin bersikap mesra seperti teman-temannya. Tapi Sri sudah bisa mengelak dengan berbagai siasat. Memang sih Sri melihat sendiri, teman-teman pacarnya itu mengumbar kemesraan di depan umum tanpa malu.
“Aku ke toilet dulu ya!” pamit Sri saat Ali hendak mencium tangannya. Gadis Solo itu berlalu.
“Cewek loe kaku banget?” komen salah satu temannya.
“Maklum baru pertama kali pacaran,” jawab Ali sambil tertawa.
“Tapi kayaknya cewek loe kolot deh pemikirannya.”
“Gampang seiring waktu juga dia terbiasa dengan sikap mesra gue,” sanggah Ali.
“Kayaknya gue ragu, lo bisa pacaran bebas ma dia. Mukanya aja langsung jutek githu saat digenggam tangannya. Apalagi kalau lebih jauh lagi,” tandas teman lainnya yang menghadirkan gelak tawa.
Ali termenung. Membenarkan semua ucapan teman-temannya. Sri ini memang lain dari ceweknya yang sudah-sudah. Selalu ga suka jika ia bersikap romantis. Menghindar jika ia ingin berbuat lebih. Sudah tiga bulan menjalin hubungan tapi ia belum juga berhasil mencium kekasihnya meski cuma sekedar pipi. Padahal sama mantan-mantannya, dalam hitungan hari saja, ia sudah leluasa melakukan aksinya.
*****************
Saat mengetahui jika cowoknya itu super romantis, Sri selalu waspada jika sedang berduaan dengan pacarnya itu. Tidak langsung masuk ke kamar kost saat pacarnya mengantar pulang. Tapi lebih suka nongkrong di bawah pohon rindang depan kosan.
Saat mengantar kerjapun, Sri langsung begegas masuk ke swalayan tanpa ngobrol dulu di parkiran. Semua ia lakukan untuk menghindar dari kemesraan sang pacar.
“Kita ngobrol dulu yuk di kosan. Sudah lama nih kita ga ngobrol-ngobrol manja,” pinta Ali pas pulang malam mingguan.
“Aku capek, mau tidur,” kilah Sri.
“Tapi aku kan kangen,” rajuk Ali.
“Tiap hari juga ketemu, ngobrol. Masa iya masih kangen.”
“Tapi ngobrolnya di luar, di tempat umum, jadi kan ga bisa mesra-mesraan,” sungut Ali berharap pacarnya luluh.
“Aku mau tidur, besok shif pagi,” tandas Sri langsung menutup pintu.
Ali menatap nanar pada pintu kosan sang pacar. Bayangan malam minggu yang romantis buyar sudah. Boro-boro diajakin beromantis ria, ini langsung dicuekin ga bisa dibujuk.
*******
Malam tahun baru sudah di depan mata. Ali dan teman-temannya sudah menyewa sebuah villa di puncak. Mereka berencana menghabiskan pergantian tahun bersama pacar mereka masing-masing. Tinggal Ali yang akan mengajak Sri. Ia yakin sang pacar akan menurut saja.
“Aku dan teman-teman sudah pesan villa di puncak untuk tahun malam pergantian tahun,” cerita Ali.
“O, githu,” jawab Sri datar.
“Kamu ikut nginep ya karena mereka semua bawa pacar!” ajak Ali membuat Sri seketika terkejut.
“Ha!" Mulut Sri menganga dan mata membulat. “Nginep? Campur cowok?” Sri memastikan.
“Iya, sudah biasa kali, cewek cowok dalam satu rumah,” jelas Ali langsung membuat Sri sewot.
“Aku ga ikut.”
“Kok ga ikut?” protes Ali. “Nanti apa kata teman-temanku kalau aku ke sana tanpa kamu.”
“Jawab saja aku masuk, ga bisa ambil libur,” usul Sri.
“Kamu itu kenapa sih? Diajak seneng-seneng malah ga mau,” tukas Ali mulai kesal dengan sikap pacarnya.
“Tahun baru aku masuk,” tukas Sri langsung menutup pintu kamar. Tak peduli ketukan pintu dan suara Ali.
Sri memang ingin pacaran tapi pacaran yang sehat, yang biasa-biasa saja. Selagi ia bisa menolak kenapa enggak. Ia tak ingin pacaran seperti kebanyakan anak-anak modern. Biar saja orang berkata apa, toh ini hidupnya.
Munaroh memakai jasa pembantu untuk pekerjaan rumah tangga. Ia hanya ingin fokus merawat Billar saja. Hal itu justru memicu kemarahan Romlah. Ia menganggap mantunya itu males dan buang-buang duit saja. Ia mulai cari celah untuk menjatuhkan Munaroh. Sebelum magrib sang pembantu pulang.“Enak banget ya, kerjaannya cuma tiduran dan mainan handpone,” usik Romlah saat mantunya sedang tiduran dengan sang cucu.“Kan semua sudah dikerjain sama Bibi, Nyak,” jawab Munaroh yang kemudian meletakkan hapenya di bantal.“Loe itu malas banget jadi orang!” Romlah mulai meninggi karena ucapannya berani dijawab. “Jadi bnii tuh jangan Cuma tiduran, main hape tapi harus masak, beres-beres rumah.”“Aku kan punya bayi, Nyak,” sanggah Munaroh lagi membuat mata mertuanya melotot.“Bayi jangan dijadikan alasan buat malas-malasan!” sentak Romlah. “Dulu Enyak kalau punya bayi, juga mas
“Ali, Ali!” teriak Romlah di sela isak tangisnya menggegerkan rumah Munaroh yang mulai sepi. Hanya ada Rojali dan beberapa kerabat yang masih membereskan sisa aqiqah.“Ali, Ali!” Romlah terus berteriak saat anaknya belum jua menampakkan batang hidungnya. Suaranya mulai parau karena habis menangis meraung-raung.“Ada apa, Nyak?” Tanya Ali yang tergopoh-gopoh menghampirinya yang disusul oleh Rojali dan Munaroh.“Rumah Enyak, Al,” sahut Romlah dengan isak tangis.“Kenapa dengan rumah Enyak?” Ali mulai panik yang kemudian menatap Atun dan Karyo bergantian.“Rumah Enyak, Al,” kalimat Romlah tertahan. Kalah dengan tangisannya yang kencang.Tiba-tiba Romlah merasakan tubuhnya terasa lemas. Berita duka ini membuat kakinya tak mampu menopang tubuhnya yang mulai kurus semenjak ditinggal Ali. Ali menuntun tubuh ibunya duduk di kursi. Seorang kerabat Munaroh memb
Sepeninggalan Rohaye dan Malih, Romlah memanggil Atun dan Karyo. Setali dua uang dengan mantunya yang pertama, mantu kedua inipun tak bisa diandalkan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Karyo bukan tak mau menyenangkan mertuanya, tapi hasil jualan cilok hanya cukup untuk makan dan sekolah anak-anaknya saja.“Tempe lagi, tempe lagi,” gerutu Romlah saat Atun hanya menyajikan tumis kangkung dengan tempe goreng di atas meja makan.“Ikan kek, daging kek,” imbuh Romlah melirik menantunya yang taku-takut menatapnya.“Rezekinya ini, Nyak,” sahut Atun bijak.“Masa tiap hari ini doang makannya!” umpat Romlah. “Bisa-bisa stroke lagi gue makan makanan tak bergizi seperti ini.” Tunjuknya pada menu yang dimasak Atun.“Ya, udah, Enyak mau makan apa?” tanya Karyo akhirnya.“Nasi padang,” sahut Romlah.“Aku ayam goreng, Pak!” pinta kedua anakn
Karena lelah hati dengan ucapan Romlah yang setiap hari menyindirnya, Ali malah kepikiran ucapan Dadang. Dia ingat kembali kata-kata sahabatnya itu.‘Apa iya ya, aku sudah dzolim sama Munaroh selama ini?’‘Apa Munaroh marah karena aku tak pernah memberi nafkah meski dia punya uang banyak?’‘Apa aku pertahanin Munaroh demi kebahagiaan anakku kelak?’‘Tapi kalau aku milih Munaroh, Enyak pasti marah dan aku jadi anak durhaka?’Perang batin Ali dimulai. Ingin rasanya kembali memperbaiki hubungan dengan sang istri. Namun ia takut jika sang ibu marah. Tapi jika terus hidup seperti ini, diapun tak mau. Dia laki-laki normal, ingin dicinta dan diperhatikan oleh seorang wanita.“Udah gajian belum, Al?” Tiba-tiba suara Romlah membangunan anaknya dari lamunan.“Udah, Nyak,” sahut Ali yang langsung mengeluarkan uang dari dompetnya.“Kok cuma segini?&
Rencana perceraiannya dengan Munaroh membuat beban pikiran Ali. Ga tahu harus berbuat apa karena Munaroh sudah menutup pintu damainya dengan Romlah.“Kenapa loe, Al?" tanya Dadang saat sahabatnya itu mampir ke warungnya.“Gue lagi pusing nih, Dang?” keluh Ali. “Gue disuruh cerai sama Enyak.”“Apa?” pekik Dadang. “Enyak loe suruh loe cerai?”“Iya.” Ali mengangguk lemah. “Padahal Munaroh lagi hamil.”“Emang apa masalahnya?” Dadang mencoba tenang.“Enyak marah gara-gara Munarih gam au pinjemin uang buat modal usaha Mpok Rohaye.” Zuki membuka cerita.“Emang berapa?” Dadang penasaran.“Lima puluh juta.”“Jelaslah ga mau,” sahut Dadang santai. “Uang segithu banyak, belum tentu usaha kakak loe berhasil.”“Iya juga sih.” Ali setuju. “Munaroh j
Menjelang sore toko tampak rame. Banyak pemilik warung yang berbelanja di toko grosir milik Munaroh. Selain harganya miring, Munaroh termasuk ramah kepada pelanggannya. Tak ada satupun langganan yang ia sepelekan meski cuma belanja dalam porsi kecil.Namun di tengah kesibukannya di belakang meja kasir, mendadak perut Munaroh terasa mual-mual. Ali, yang kebetulan baru datang segera menghampiri istrinya dengan wajah cemas.“Kamu sakit, Yang?” tanyanya yang memapah tubuh Munaroh yang hampir saja jatuh karena hilang keseimbangan.“Ga tahu ini, Bang, perutnya mual-mual, pingin muntah,” sahut Munaroh dengan keringat dingin.“Kamu sakit, Yang, wajahmu pucat.” Ali makin khawatir. “Kita periksa, yuk!”“Iya, Bang.” Munaroh menurut. Ia memang tipikal wanita yang ga mau sakit berlama-lama.Beberapa menit setelah diperiksa, pasutri itu duduk di depan dokter.“Sakit apa,