Share

Ijin Pulang

[Aku ingin berbicara dengan Farel, Mas.]

Setelah menguasai emosi aku kembali menghubungi Mas Abas, rasa ingin memeluk Farel dan mendengar suaranya begitu besar.

[Anakmu terlalu senang mendapat sepeda baru, mana ada jam segini sudah pulang.]

Rasanya ingin sekali aku memaki pria tidak tahu diri itu saat ini, namun kutahan untuk waktu yang lebih tepat.

[Ini sudah mau Magrib, Mas. Masa Farel belum pulang, kamu tidak mencarinya?]

[Iya, sebentar lagi Mas cari. Dia lupa waktu, bagaimana tidak? Sepeda yang Mas belikan adalah sepeda paling mahal di tokonya.] Lagi, dia membual dan membuatku ingin menerkamnya hidup-hidup.

"Abas!"

"Ya."

Seseorang terdengar memanggil namanya. Panggilan masih tersambung sedangkan Mas Abas sudah pergi meninggalkan ponselnya. Gagal lagi untuk berbicara dengan Farel. Selalu seperti itu jika aku ingin mencoba berbicara dengannya. Bodohnya aku menganggap semua baik-baik saja. Hatiku meratap, betapa sedihnya membayangkan Farel yang diperlakukan seperti itu oleh ayahnya sendiri.

"Heh, anak nakal! Jam segini baru pulang kamu!"

Aku baru saja mau mengakhiri panggilan saat suara ibu mertuaku terdengar.

"Maaf, Nek. Tadi Farel harus dorong sepeda, jadi, pulangnya telat."

"Halah, anak nakal! kerjaanmu keluyuran. Nggak ada bakti-baktinya sama orangtua. Tuh cucian piring numpuk, cuci dulu!"

"Besok saja ya, Nek. Farel cape dan lapar."

"Enak saja, nggak ada jatah makan untukmu kalau tidak mencuci piring sekarang!"

Deg! Hatiku hancur mendengar suara Farel yang begitu mengiba, ia terdengar sangat lemas. Kenapa ibu begitu tega memperlakukannya seperti itu? Padahal, kalau aku menelponnya, ibu begitu baik dan selalu berbicara hal yang baik tentang Farel. Aku bahkan sering memberikan ibu lebihan uang sebagai ucapan terimakasih karena telah menjaga anakku.

[Tiap pagi ibu selalu memasakkan air hangat untuk anakmu, Gi.]

[Kenapa harus tiap hari, Bu? Nanti ibu cape.]

[Ah, nggak lah. Cuma masak air panas doang. Biar tubuh Farel seger jika mandi air hangat sebelum berangkat sekolah. Ibu juga tiap hari belikan dia ikan dan sayur-sayuran segar, biar tubuhnya sehat dan sekolahnya tambah pintar. Tapi, Sayangnya sekarang apa-apa malah pada naik harga.]

Aku begitu senang saat ibu mengatakan semua itu, anakku Farel pasti tidak kekurangan kasih sayang dan perhatian meski aku tidak bersamanya saat ini.

[Iya, Bu. Bulan depan uang belanjanya Gigi tambah. Terimakasih ibu sudah begitu baik sama Farel.]

[Kenapa bilangnya begitu, Farel itu cucu ibu,] jawabnya terkekeh bahagia.

Kata-kata ibu selalu terdengar begitu manis saat berbicara denganku, tapi kini aku tahu kebenarannya. Itu semua hanya drama ibu agar mendapatkan uang belanja lebih dariku setiap bulan.

"Nek, kok makannya cuma nasi. Lauknya nggak ada?"

"Heh! Siapa suruh kamu sudah makan. Cuci piring dulu sana! Sudah untung kusisakan nasi untukmu, dasar anak pembantu, banyak maunya!"

Kuremas dada yang sakit, amarah yang sangat ingin meledak, namun masih dicoba untuk kutahan.

Aku tidak bisa membiarkan ini lebih lama, hal yang lebih buruk bisa menimpa pada Farel kapan saja. Aku harus pulang sekarang! Masalah selanjutnya adalah menghadapi macan betina alias nyonya rumah ini.

"Apa, kamu minta cuti? Enak bener hidupmu sudah mirip nyonya rumah, habis hutang 3 bulan gaji kamu minta cuti dadakan.

Nggak ada! Bisa-bisa kamu nggak kembali lagi dan bawa kabur tu hutang!"

"Saya akan kembali, Non. Ada urusan penting yang harus saya selesaikan di kampung."

Aku segera bersimpuh di bawah kaki Non Laras, berpura-pura lebih sedih agar si mak lampir mau menyetujuinya.

"Gigi, kemarilah!"

"Sumi, bangun!"

Aku melirik, Bapak yang sudah kududukkan di kursi roda sebelumnya menggelinding ke luar kamar, melihatku dan Non Laras saat ini.

"Saya tidak akan bangun kalau Non Laras tidak menginjinkan saya cuti, saya berjanji akan kembali setelah urusan selesai, Non." Sengaja aku lebih meratapi kata-kataku agar Non Laras menyetujuinya karena tidak enak sama Bapak. Biasanya ia akan berpura-pura jadi menantu idaman di depan beliau.

"Bangunlah!" Non Laras memberikan kode keras agar aku bangun dan dia sedikit bergeser tempat duduk agar tidak terlihat aku sedang bersimpuh di bawah kakinya saat ini. Kesempatan ini semakin membuat peluang untukku.

Aku menghambur pada Non Laras untuk memohon dan ia melonjak kaget.

"Iya, Sumi. Bukankah sudah kuijinkan dari tadi, bangunlah tidak enak dlihat Bapak."

"Baik Non, terimakasih."

Yes, akhirnya berhasil, aku segera bangun dan merapihkan baju. Non Laras pergi dengan wajah semraut. Biarkan saja yang penting ijin sudan ditangan.

Aku bergegas menghampiri Pak Giantara yang sudah masuk lebih dulu ke dalam kamarnya.

Kursi roda yang dinaikinya menghandap kaca , memperlihatkannya pada pemandangan dan hiruk pikuk kota Jakarta.

"Kenapa kamu mau pulang?"

Tanpa menoleh Bapak tahu kalau aku sudah ada di belakangnya.

Mataku berkaca-kaca saat pertanyaan itu mengusik kembali rasa yang baru saja kusembunyikan dan berpura-pura kuat.

Meskipun Non Laras sebagai penguasa rumah ini telah menginjinkan, bagaimana pun penguasa sesungguhnya adalan Tuan Giantara. Kalau Bapak menolak untuk kutinggalkan bisa sia-sia air mata buayaku di depan Non Laras.

Kuceritakan semua yang terjadi padaku dan Farel selama ini. Bapak memang terlihat cuek dan tegas, tapi sebenarnya ia baik dan perhatian. Bahkan uang yang kukirimkan pada Mas Abas untuk membeli sepada dua hari yang lalu pun adalah pemberiannya.

"Pakai saja uang di dalam atm itu." Bapak menunjuk sebuah laci di samping tempat tidurnya.

"Tidak perlu, Pak. Saya akan minjem pada Minah saja."

"Saya ingin memberikan hadiah untuk Farel," jawabnya tegas dan mengakhiri percakapan.

Aku memang selalu menceritakan apapun pada Bapak. Hampir 24 jam kami bersama, jadi dialah temanku, rasanya tidak kuat jika aku tidak berbicara pada siapapun. Meskipun Bapak hanya diam, dan terlihat tidak menanggapi, tetapi sebenarnya ia selalu mendengar. Sengaja kuperlakukan ia seperti itu agar merasa tetap berarti, setidaknya masih merasa dianggap meski hanya jadi tempat membuang kegalauan.

Kesibukan Den Aaraf membuat Bapak kesepian, ia bahkan enggan keluar kamar yang notabene hanya dijadikan sebuah tempat kumpul-kumpul tidak jelas oleh Non Laras bersama teman-temannya. Arisanlah, pesta makan-makan atau justru hanya pamer perhiasan.

"Aku tidak bisa membiarkanmu pergi lama, Gigi. Selesaikanlah urusanmu dengan cepat!"

"Baik, Pak. Terimakasih banyak. Besok Gigi akan berangkat." Aku bersemangat pulang untuk menemui Farel, anak semata wayangku. Membayangkan wajahnya saja, lelehan air mata sudah kembali tumpah.

"Bersiap-siaplah. Dan ambil uang 5 juta dari ATM-ku. Belikan Farel baju dan mainan kesukaannya."

Air mataku benar-benar tumpah sekarang, Farel disia-siakan oleh ayahnya sendiri, dijahati keluarga bahkan neneknya. Tapi, orang lain yang bahkan belum pernah melihat dan hanya mendengar namanya saja begitu perhatian dan menyayanginya.

"Terimakasih banyak, Pak." Suaraku parau. Bapak hanya melambaikan tangannya meyuruhku untuk segera bersiap.

Kuseka butiran terakhir air mata. Sudah saatnya benar-benar kuat, menghadapi Mas Abas dan ibunya yang akan berdrama setelah aku pulang dengan tiba-tiba.

Aku ingin segera melihat mereka kelabakan seperti kebakaran jenggot, ingin kusaksikan denga mataku sendiri drama yang akan mereka mainkan untuk menutupi kebusukannya selama ini di belakangku.

Kamu akan menyadari satu hal Mas. Seorang ibu akan menjadi macan garang saat melihat anaknya terinjak-injak.

Bersambung ....

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
buktikan aja kata2mu dan tebus kesalahan mu sama anak mu. kamu tolol dan dungu
goodnovel comment avatar
Uly Muliyani
namaX yg bener siapa sih...sumi apa gigi??
goodnovel comment avatar
Yeni Sipayung
Macan garang untuk membela anaknya! ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status