Share

GARA-GARA DIMADU, AKU JADI NYONYA, KAMU JADI BABU.
GARA-GARA DIMADU, AKU JADI NYONYA, KAMU JADI BABU.
Author: lasminuryani92

Kiriman Foto

last update Last Updated: 2022-09-30 20:54:58

[Gi, bukannya ini anak kamu?]

Sebuah foto masuk ke dalam WA-ku, dialah Rina, teman lamaku yang sama-sama kerja di kota. Dan sekarang sedang pulang kampung.

Aku membuka gambar yang Rina kirim, Farel_ Anakku pasti sudah lumayan besar sekarang, mungkin saja Rina jadi pangling, soalnya menurut Bang Abas Farel tambah ganteng, banyak orang yang membicarakannya di kampung.

Aku mengamati foto yang dikirimkan Rina, seorang anak kurus, kucel terlihat kurang gizi sedang mendorong sepeda butut yang rantainya putus.

[Nggak mungkinlah Rin, dia anakku.]

Ada-ada saja si Rina. Aku menggelengkan kepala dan hendak meneruskan pekerjaan.

[Aku udah tanya anaknya, dia anakmu, Gi.]

Tangan yang memegang wortel langsung bergetar, segera kuperbesar potret itu. Benar, itu nampak Farel. Namun, keadaannya jauh berbeda dengan 3 tahun dulu sebelum aku meninggalkannya untuk bekerja menjadi pembantu di sebuah rumah mewah di daerah Jakarta.

[Ngapain kamu kerja cape-cape di kota Gi, anakmu nggak keurus. Dia kaya kekurangan gizi. Apa kamu tidak pernah mengirimi keluargamu uang?]

Pesan yang dikirimkan Rina membuat hatiku semakin kalang kabut, bagaimana bisa? Sedangkan baru saja dua hari yang lalu Mas Abas meminta uang untuk membelikan Farel sepeda, tak tanggung-tanggung aku mengirimnya 2 juta. Tapi, kenapa sekarang Farel malan mendorong sepeda rongsokan?

[Ma, si Farel minta di beliin sepeda, tuh.]

[Sepeda dari mana sih, Mas? Uangnya baru kukirim dua minggu lalu.]

[Itu kan uang buat modal bengkel, Mas. Ini buat beli sepeda si Farel.]

[Aku belum gajian, Mas. Gaji tiga bulan ke depan malah sudah kuambil duluan.]

[Ya udah ngomong aja sendiri sama anakmu, sana. Mas, nggak bisa, kasian banget tuh anak. Teman-temannya pada punya sepeda masa dia cuma lihatin orang, nggak tega Mas.]

[Beliin aja yang bekas, Mas. Pake uang kemarin. Masa nggak ada sisanya. Aku kirim 10 juta loh.]

[Ya elah Ma. Tega amat sama anak, pengen sepeda aja dibeliin yang bekas. Buat apa kamu jauh-jauh kerja di kota orang kalau anak minta sepeda aja nggak di kasih.]

[Emang berapa, Mas?]

[Dua jutaan yang bagus itu.]

[Mahal amat, Mas.]

[Makanya kamu melek Ma. Sekarang sepeda harga ratusan mh cepet patah.]

[Iya, ya, Mas. Nanti aku cari pinjaman lagi.]

[Gitu kalau jadi ibu, sayang anak.]

"Sumiiiiii!"

"Iya, Non."

Lamunanku pecah, ponsel yang sebelumnya masih dalam genggaman pun terlempar begitu saja saat mendengar teriakan macan betina, eh maksudku Nona rumah, penguasa rumah segede istana ini.

"Dari mana saja, kamu?"

Kujepit rok yang masih mengembung saat dibawa lari. Non Laras turun dari tangga lantai dua kamarnya.

"Anu, Non ...," jawabku gelapan.

"Apa semakin lama di sini, kupingmu semakin budeg?"

"Maaf, Non."

"Apa nggak denger Bapak memanggilmu dari tadi?"

"Bapak?" Aku menengok kamarnya, kamar paling besar di lantai 1 ini.

"Siap, Non." Segera aku berlari menuju kamarnya.

Pak Giantara adalah pemilik rumah ini, ia memiliki satu anak_Den Aaraf yang menikah dengan Non Laras, namun semenjak Bapak sakit, Non Laras lah yang berkuasa di rumah ini.

Beliau mengalami lumpuh secara bertahap, dan akulah yang menjaganya siang dan malam.

'Cilaka kalau sampai Bapak marah,' gumamku dalam hati.

Pria itu terbaring di atas ranjang, terlentang tanpa berkedip. Perlahan aku masuk, jalan sepelan mungkin untuk tidak mengganggunya. Ini belum waktunya makan siang apalagi mandi, biasanya Bapak menginginkan sesuatu dan memintaku untuk membantunya.

"Maaf, Pak. Saya tidak mendengarnya." Kugigit bibir bawah, mengakui kesalahan karena terlalu fokus dengan foto yang dikirimkan Rina.

"Miringkan tubuhku," ucapnya.

"Ah." Aku segera mendekatinya, ungtunglah Bapak tidak marah. Kumiringkan tubuhnya perlahan, sebenarnya ia hanya mengalami kelumpuhan kaki, tapi entah kenapa seperti mayat hidup yang makan saja harus kusuapi, padahal tangannya masih normal.

"Bacakan aku buku hitam itu, Gi." Bapak menunjuk sebuah buku di atas meja. Buku yang selalu kubaca setiap hari, buku bisnis yang membuat otakku muter, jika bukan termasuk dalam pekerjaan, enggan sekali aku membacanya.

Perlahan aku membacakan buku itu, lama kelamaan aku sudah mulai ahli dan mirip orang presentasi kalau istilah bapak. Entahlah, mana tahu aku. Sekolah saja cuma lulusan Menengah Pertama.

"Gigi."

"Iya, Pak." Aku mengembalikan kembali ingatan setelah sedikit terlempar pada foto anak kecil tadi.

"Teruskan!"

"Siap, Pak."

Meski bibir membaca, otakku terus berputar, bagaimana kalau foto anak itu adalah benar-benar Farel anakku?

Semenjak bekerja 3 tahun di rumah ini, dari Bapak yang masih sehat bugar sampai hanya berbaring di tempat tidur aku tidak pernah pulang.

Mas Abas selalu melarangku untuk pulang, dengan alasan uang buat ongkos lebih baik dikirim untuk Farel, apalagi ia sekarang sudah masuk SD. Biaya dan keinginannya cukup besar. Mas Abas menyekolahkan anakku di SD Swasta ternama di kampung kami. Aku bahkan selalu mengirimkan uang untuk ibu mertua, karena beliau yang menjaga Farel dan masak untuk suami dan anakku.

Mas Abas bahkan mengirimkan foto renovasi rumah kami, dan furnitur rumah yang dibeli dari hasil keringatku di sini.

Aku sangat bahagia, karena Mas Abas tidak menghambur-hamburkan uang dan membelikannya pada hal-hal yang berguna.

Jika, bengkel Mas Abas sudah maju, tabungan untuk Farel sekolah sudah lumayan banyak dan renovasi rumah sudah selesai. Aku akan pulang dan berkumpul lagi bersama mereka. Membayangkan hal itu, situasiku yang sebenarnya sulit di sini terasa mudah.

"Berhenti."

Aku melongo.

"Pergilah!"

"Maaf Pak."

"Selesaikan masalahmu baru datang lagi."

Aku menyimpan buku itu perlahan, wajar saja Bapak marah, bibirku berhenti membaca saat pikiran melayang ke mana-mana.

Aku kembali ke dapur, memungut ponsel yang tadi terlempar. Sudah ada tiga panggilan dari Rina.

Ada apa lagi?

[Gi.]

[Iya, Rin?]

[Aku ketemu suamimu, bonceng cewek.]

[Masa sih, Rin?]

[Iya. Sekarang aku lagi merhatiin mereka, kita video call ya.]

Aku menerima panggilan video dari Rina. Di sana aku melihat Mas Abas bersama seorang wanita dan anak balita yang kira-kira masih berusia 2 tahun. Mereka terlihat bahagia, Mas Abas sedang bermain dengan anaknya yang menaiki sepeda, sepertinya masih baru dan sangat bagus.

"Ayah."

Suara itu? aku segera mencari sumber suara yang kukenali dalam panggilan, datang seorang anak yang sebelumnya dipotret Rina.

"Mau ngapain kamu ke sini?" Mas Abas berdiri dan menolak pinggangnya.

"Rantai sepedanya putus."

"Ah, apapun yang kamu punya nggak pernah awet!" Mas Abas tega meloyor anak yang memanggilnya 'ayah.' Dan, itu adalah anakku Farel. Tetesan air mata jatuh dengan derasnya. Jadi, selama ini aku ditipu mentah-mentah oleh Mas Abas. Pantas saja aku tidak pernah bisa melakukan video call dengan Farel, selalu ada saja alasan yang dibuat pria itu.

[Kamu lihat sendiri 'kan, Gi. Apa tidak ada yang memberitahumu tentang ini?]

Aku menggeleng.

[Kamu harus pulang, Gi.]

[Makasih, Rin. Kamu sudah membuka semuanya untukku.]

[Kamu harus kuat, dan cepatlah pulang.]

Ya, benar. Aku harus pulang, kasian Farel. Bagaimana Mas Abas begitu tega pada anaknya sendiri? Dan kenapa tidak ada satu pun orang yang memberitahuku tentang ini?

Jangan-jangan semua uang yang kukirimkan sebelumnya pun habis dipakai untuk wanita itu dan anaknya, bukan dipakai untuk renovasi rumah, beli-beli isinya dan kebutuhan Farel, anakku terlihat begitu menyedihkan.

Awas kamu, Mas. Kamu kira bisa lepas dariku setelah aku tahu semua ini? Itu semua adalah keringatku, demi anak aku bekerja jadi pembantu siang dan malam, dan kau terlantarkan anakku begitu saja. Aku tidak akan memaafkanmu dengan mudah, Mas! Akan kuambil sekecil apapun uang dan barang dari hasil keringatku, dan akan kurebut kembali apapun yang harusnya menjadi hak anakku!

Tunggu kepulanganku, dan kamu akan kelabakan, Mas!

Bersambung ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
terlalu percaya sama suami krn terlalu tolol. dimana otak mu sebagai ibu. 3 th g jumpa anak dg alasan tolol suami mu
goodnovel comment avatar
Aripin Izim Wazura
Seru kali ceritanya, terussss dilanjutin donk.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • GARA-GARA DIMADU, AKU JADI NYONYA, KAMU JADI BABU.   End ~

    "Papa udah kaya supir aja sih." Gerutu bapak sembari mengintip di kaca spion. Mata yang tidak sengaja melihatnya segera kupalingkan, berpura-pura sibuk sendiri di kursi paling belakang.Aku memilih duduk di kursi pojok, mengisolasi diri sendiri, berharap bapak tidak mencium bau pesing yang ternyata lebih sedap baunya pas mau kering kaya gini dari pada tadi. "Udah deh jangan lihat-lihat Mama begitu," ucapku ketus menghindar tatapan matanya yang terus mencuri-curi."Papa sakit hampir setahun ya, Ma?""Iya," jawabku seadanya. Nggak semangat bicara, pengennya cepat sampai saja."Papa lumpuh, mandi dianterin, makan di suapin, bahkan mandi sore di lapin. Papa ingat sesekali, saat malam Papa pipis di celana karena sulit untuk ke kamar mandi, intinya nggak mau usaha. Betul begitu 'kan, Ma?""Iya, Pak. Kenapa bahas itu sekarang sih? Mama lagi nggak mood." Tolakku halus."Setiap kali itu terjadi, Papa selalu memperhatikan Mama. Selama itu, tidak pernah sekali pun Papa melihat Mama jijik atau m

  • GARA-GARA DIMADU, AKU JADI NYONYA, KAMU JADI BABU.   Bab 43

    "Apa semua sudah selesai?""Sudah, Pa. Hari ini kantor baru kita sudah beroperasi.""Papa akan melihat ke sana setelah mengambil beberapa berkas yang masih diperlukan di kantor lama.""Kantor itu sedang diliburkan dua hari kerja oleh Tante Sarah."Sesekali sembari menata sarapan aku menoleh pada mereka yang sedang berbicara di sofa menunggu semuanya siap."Ma.""Pagi sayang." Farel mencium pipiku, menoleh sebentar pada dua pria di sana, lalu dengan lemas duduk di kursi makan. Wajahnya semakin menunduk lesu saat bapak dan Aaraf berjalan ke arah kami.Bapak melirikku saat melihat Farel hilang semangat, dunia ceria saat kakak adik itu bersama seolah sirna begitu saja. Tidak ada kata, panggilan apalagi guyonan, keduanya hanya menunduk menatap semangkuk salad buah. Aku dan bapak pun sepakat untuk tidak mencampuri urusan mereka, membiarkan semuanya menjadi sunyi. Sarapan kelam sepanjang sejarah aku menjadi nyonya. Menghadapi dua anak sekaligus dengan usia yang terpaut sangat jauh."Biarkan

  • GARA-GARA DIMADU, AKU JADI NYONYA, KAMU JADI BABU.   Bab 42

    Mobil ambulans yang dipesan bapak sudah tiba di depan rumah. Aku dan Mbok Pati mengepak beberapa pakaian yang akan digunakan Om Haris.Tim kesehatan membawa tandu untuk membopong tubuhnya, kurus kering tinggal tulang, begitu lemas tak berdaya."Mungkin Papa akan seperti ini kalau bukan Mama yang merawatnya," ucap bapak sendu menelukupkan tangan di atas pundakku. "Terimakasih." Aku menoleh untuk menatapnya, pria itu masih memandang lurus, memperhatikan Om Haris yang sedang dibenahi agar nyaman saat dibawa berkendara untuk jarak yang cukup jauh."Semua tidak terlepas dari kebaikan bapak, Tuhan mengirimkan Mama untuk menjaga," jawabku lembut, bapak mengulas senyum saat mendengarnya.Mobil ambulans berangkat lebih dulu, aku dan bapak bersiap mengikutinya."Mbok, jika ada yang tanya, katakan saja jika saya membawa Om Haris untuk berobat." Pesan bapak pada Mbok Pati sebelum menaiki mobil. Wanita setengah baya itu berlinang air mata."Den, jika bapak lama di sana, mbok pun ingin pulang saja

  • GARA-GARA DIMADU, AKU JADI NYONYA, KAMU JADI BABU.   Bab 41

    "Pa, Ma."Aaraf turun dari kamarnya, ia menghampiri kami yang masih saja cekikikan. Plak! Aku memukul tangan bapak yang nakal, modus aja emang ni aki-aki."Aku mengganggu? Harusnya sih tidak." Pertanyaan yang Aaraf jawab sendiri sembari memutar mata malas saat melihat kami. Maklum selama aku di sini, sekali pun tidak pernah melihat Aaraf dan Laras tertawa bersama atau sekedar bercanda. Mungkin benar kata bapak, pernikahan tanpa cinta hanya sebatas menjalankan kewajiban saja, rasanya tetap hambar, bahkan sering terlihat kecanggungan di antara keduanya saat duduk bersama."Ada apa?" Aku menarik kaki dan duduk dengan benar, seperti Aaraf akan berbicara serius."Bagaimana kabar persidanganmu?" Bapak bertanya lebih dulu, karena Aaraf terlihat sulit untuk memulai."Persidangan banding yang diajukan Laras sepertinya akan ditunda atau mungkin dicabut kembali." Aku dan bapak memandanginya dengan serius. "Aaraf melaporkan Laras balik atas aborsi janin yang dilakukannya, dengan bukti-bukti yan

  • GARA-GARA DIMADU, AKU JADI NYONYA, KAMU JADI BABU.   Bab 40

    "Sayang, cobain ini." Bapak menyuapiku dengan salah satu hidangan terfavorit di resto kami."Enak?""Enak banget, Pak. Lumer ini, ada sensai pecah dalam mulut. Mau lagi ...," ucapku nyengir.Bapak tersenyum sembari menyuapiku dengan makanan yang terhidang, beliau pun menunjukkan beberapa makanan yang menjadi favoritnya, dan memintaku untuk mencoba."Pak.""Ya.""Kemarin kan kita kesini juga, Mama makan makanan ini loh, tapi rasanya beda.""Bedanya?" Tangan bapak yang awalnya sibuk menyiduk, berhenti sebentar untuk memperhatikanku."Rasanya lebih manis karena bapak yang nyuapi.""Masa sih?""Heum." Bapak kembali menyuapiku dengan sesendok salad."Kalau gitu Papa akan menyuapi Mama setiap hari.""Beneran?""Iya." Satu ciuman mendarat di keningku."Pak. Ini tempat umum." Aku sedikit kaget dengan ciuman itu, "Kita bukan ABG, Pak," bisikku bersembunyi di dada bidangnya."Emang bukan, tapi pasangan bucin.""Iih, bapak kok tahu yang begituan?" Aku bergidik di depannya."Hahaha ... sejak sama

  • GARA-GARA DIMADU, AKU JADI NYONYA, KAMU JADI BABU.   Bab 39

    "Nyaaah ....""Iya, Nah. Sebentar. Papa sih, udah tahu siang bolong juga." Aku beringsut dari kasur, sedangkan tubuh kekarnya menyelusup mirip siput masuk selimut."Apa?" tanyaku mengintip di celah pintu."Ini Nyah, sisa uangnya, kebanyakan." "Oh, iya.""Nyaah.""Apa, Nah?""Kamar Nyonya kok gelap sih, matahari kan masih ada, tuh." Tunjuk Minah keluar."Kita beda planet, Nah. Kamu di planet bumi, aku baru saja naik pesawat ke Antariksa.""Masa sih, Nyah, di Antariksa gelap? Minah jadi pengen nyobain." Sebelah kaki Minah yang cukup panjang sudah menjegal pada celah pintu yang sedikit terbuka."Belum waktunya, Minaaah ...." Aku sedikit mendorong tubuhnya agar mundur. Lalu, menutup pintu. Menapakkan kaki beberapa langkah untuk kembali ke peraduan."Nyaaah ...." Ya, ampun Minah. Apalagi sih?!"Apalagi, Nah?" Aku berjalan cepat dan membuka pintu, suara Minah kaya petasan renteng, nggak bisa berhenti kalau nggak disamperin."Mau disisain nggak, Nyah?"Aku menggeleng, "Enggak, Nah. Buat kamu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status