Share

Nitip, Bapak.

"Saya simpan di sini lagi, ya Pak." Aku kembali menyimpan ATM milik Pak Gian. Orangnya nampak termenung menatap langit-langit kamar.

"Saya sudah memberitahu jadwal makan dan mandi Bapak pada Minah, dan juga makanan kesukaan serta pantangan makanan yang harus Bapak jauhi. Habisin ya Pak. Jangan disisa-sisa makannya."

Wajah Bapak masih sama, tidak ada reaksi apapun yang yang tersirat dari wajah itu. Meski sudah berusia 55 tahun, Bapak masih jauh terlihat muda menurutku dibandingkan dengan pria seusianya saat ini. Apalagi jika ia sehat seperti dulu, gagahnya masih tiada tanding, berani ngadu sama Den Aaraf yang masih berusia 30-an.

"Sekalian Gigi pamit dulu, Pak." Sesak rasanya harus meninggalkan Bapak dalam keadaan seperti ini. Apalagi selama ia sakit setahun ini, hanya aku yang menemaninya. Dan menolak untuk diurus oleh pembatu lain. Padahal ada tiga orang di sini, aku, Minah dan Mbok Darmi.

Masih tidak ada satu kata pun yang terucap dari mulut Bapak meskipun kakiku sudah diambang pintu. Kutengok sekali lagi. Matanya masih melihat pemandangan yang sama tanpa berkedip, Bapak selalu seperti itu, lamunannya melayang entah kemana. Aku pun tidak tahu apa yang selalu dipikirkannya selama ini, hanya terlihat berat saja, namun ia sama sekali tidak ingin berbagi.

"Sudah ijin sama, Bapak?" Minah mencegatku saat keluar dari kamar Bapak.

Aku mengangguk lemah.

"Gimana?"

"Embuhlah." Aku masih sangat berat meninggalkan Bapak seperti itu, ia pasti akan sangat kesepian.

Minah terlihat menengok ke dalam kamar, padahal aku sudah menutupnya. Tingkat kekepoan anak itu memang cukup tinggi. Selalu usil dan nyari perkara.

"Gi, Bapak nangis."

"Yang bener kamu?" Kaget rasanya dengan ucapan Minah.

"Suer, aku lihat bulatan air mata di sudut mata Bapak." Minah mengangkat dua jarinya meyakinkanku bahwa apa yang dikatakannya adalah kebenaran.

"Heum!" Sudah kuduga Bapak menyimpan perasaannya rapat-rapat. Ia tidak ingin terlihat lemah dan membuatku berat untuk meninggalkannya.

"Bagaimana lagi, Nah. Aku harus menyelamatkan Farel. Setelah semua urusan selesai aku akan segera kembali."

"Memangnya kamu yakin urusanmu akan selesai?" Minah ikut duduk di kursi makan.

"Kamu sendiri yang bilang kalau suamimu itu mantan preman. Bisa kalah telak kamu melawan dia sendirian."

"Hus, ah! Bukannya support malah nakut-nakutin."

"Begini terus kerjaan kalian di dapur? Pantas saja rumah masih berantakan jam segini!"

Aku menyikut Minah, membereskan rumah adalah urusannya, tugasku adalah memasak dan mengurus Bapak, sedangkan Mbok Darmi menyetrika dan sisa-sisa pekerjaan lain yang lebih ringan.

"Maaf, Non. Tapi rumah sudah saya sapu dan dipel dari tadi pagi."

"Lihat ini!" Non Laras menunjukkan tangannya yang sedikit hitam karena debu.

"Figura foto di ruang tamu masih belum kamu bersihkan. Bersihkan sekarang! Teman-temanku akan datang."

"Baik, Non." Minah langsung berlari ke kamar mandi untuk mengambil kain basah.

"Siapkan buah-buahan untukku. Antarkan ke kamar."

"Iya, Non."

Aku menyiapkan buah-buahan yang Non Laras minta. Ini hari minggu, Den Aaraf libur, biasanya ia menghabiskan harinya di dalam kamar, bisa jadi kesempatanku untuk berbicara dengannya, sekedar menitipkan Bapak agar lebih sering ditengok dan diajak bicara.

"Masuk." Kudorong pintu pelan setelah mengetuknya terlebih dahulu.

Benar saja, Den Aaraf masih ada di kamar, ia duduk di kursi kerjanya. Ruangan sudut sebelah kiri.

"Letakkan di situ!" Non Laras berselonjor kaki menikmati acara tv. Aku sengaja berdiri tidak jauh darinya setelah menyimpan buah-buahan.

"Saya pulang sekarang, Non."

"Nunggu apalagi?"

Tangannya meraih sebutir anggur tanpa memalingkan pandangan, mengunyahnya sembari tertawa menyaksikan siaran.

"Mau sekalian pamit sama Den Aaraf."

"Kemana, Gi?" Den Aaraf yag sibuk menelaah layar laptop menoleh sebentar.

"Mau pulang dulu, Den. Ada urusan yang harus diselesaikan di kampung."

"Oh."

"Nitip Bapak ya, Den."

"Ngapain kamu nitip-nitip Bapak segala? Dia tinggal di rumahnya sendiri sama anak menantu. Apa yang perlu dikhawatirkan," timpal Non Laras.

His! Nyamber aja si beo. Buat apa tinggal di rumah besar sama anak menantu kalau sehari sekali saja Bapak nggak pernah ditengok apalagi diajak ngobrol.

"Sering-sering ditengok ya, Den. Ajak Bapak ngobrol, kasian Bapak kesepian."

"Ya," jawab Den Aaraf datar.

"Sudah sana pergi! Acara tv-ku jadi nggak kedengaran."

Aku menghela napas, reaksi Den Aaraf sungguh tidak meyakinkan, ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Hingga lupa ada sosok yang butuh ditemani.

"Eh, Sumi."

"Iya, Non."

"Balik lagi, jangan dibawa kabur tu uang hutang gajimu!"

Menyesal sekali aku berbalik dengan anggun.

"Siap, Non."

Aku pasti kembali untuk Bapak. Kalau bukan karena beliau, sudah enggan aku bertatap muka dengan si maca betina. Mending nyari majikan baru.

Jam sudah menunjukkan pukul 08.00 pagi, aku berencana untuk belanja di salah satu Mall sebelum pulang, membeli oleh-oleh untuk Farel seperti yang dikatakan Bapak sebelumnya.

"Hati-hati, Nak." Mbok Darmi memelukku erat.

"Nitip Bapak ya, Mbok. Ajakin bicara."

"Bapak butuh kamu, cepatlah kembali." Tangan keriputnya mengelus punggung.

"Akan Gigi usahakan, Mbok."

Mbok Darmi dan Minah melambaikan tangannya, aku tersenyum kecut, menoleh pada jendela kamar Bapak. Biasanya, jika beliau duduk tatapannya selalu menuju ke mari.

"Biar saya masukan bagasi, Neng." Barang bawaanku diambil alih oleh pengemudi taksi online. Tidak ada supir di rumah ini, semua pemiliknya mengendarai sendiri, kecuali memang kalau pergi jauh.

Aku menaiki taksi, membuka kaca jendela dan melambaikan tangan pada keduanya. 3 tahun bukan waktu yang sebentar untuk kami saling menjaga dan melindungi satu sama lain, terutama dari bentakkan dan amukan si macan betina.

Sekali lagi kutengok jendela kaca kamar Bapak. Aku melonjak kaget saat melihat seseorang duduk di belakangnya.

"Berhenti, Pak." Kutepuk dua kali punggung si pengemudi yang sudah melajukan taksinya. Kembali membuka kaca mobil, mengeluarkan kepala dan melambaikan tangan pada Bapak.

"Jaga kesehatan, Pak!" teriakku berkali-kali sekuat tenaga, aku melambaikan tangan dan berteriak kencang.

"Gigi akan segera kembali!"

Akhirnya aku dapat tersenyum, dan pulang dengan tenang. Kukira Bapak marah hingga tidak ingin melihatku apalagi berbicara. Syukurlah akhirnya ia mau melihatku pulang. Lega rasanya hati.

Sebentar. Aku mengerutkan alis, siapa yang membantu Bapak naik kursi roda? Seingatku dari tadi, Minah dan Mbok Darmi menemaniku dan tidak pergi ke kamar Bapak.

Aku kembali lesu, bersandar pada sandaran sofa. Selalu seperti itu, bapak tidak mau memanggil orang lain untuk membantunya selain aku. Kalau saja bapak tidak apa-apa aku tidak akan khawatir, pengalaman sebelumnya, bapak sempat terjatuh di samping ranjang karena berusaha naik roda sendiri dan saat itu aku sedang tidak ada di rumah.

"Belok ke Blok-M ya, Pak."

"Siap, Neng."

Aku akan menaiki Bus lintas provinsi untuk sampai ke kampung halaman, membutuhkan waktu 8 sampai 10 jam perjalanan.

"Tunggu 1 jam ya, Pak."

Aku tidak mau naik turun mobil dengan penuh barang bawaan. Jadi, kubiarkan supir taksi itu menunggu.

Supir taksi hanya mengangguk dan mengacungkan jempolnya. Aku bergegas masuk dan memilih dengan cepat barang yang akan kubeli untuk Farel. Semua sudah kucatat, jadi tinggal mengambil saja, tidak perlu membuang waktu cukup lama.

[Gi, denger-denger suamimu mau ngadain pesta.]

Aku yang baru saja selesai belanja dan duduk manis di dalam taksi menuju terminal, merengutkan wajah.

[Pesta apaan?]

[Kurang jelas sih. Sunatan anaknya dari bini muda kayanya.]

Pesta sunatan?

Dari mana Mas Abas memikili uang untuk membuat pesta sunatan? Waktu Farel disunat saja ia hanya membawanya ke sunatan massal.

"Nggak perlu ngambur-ngamburin duitlah. Cuma di sunat ini, tinggal potong. Mending duitnya dipake tabungan Farel sekolah, biar Mas yang simpan. Farel akan Mas bawa ke lapangan nanti, di sana ada kegiatan sunatan massal, gratis."

Begitu jawaban Mas Abas saat diminta mengadakan pesta sunatan untuk Farel dan aku berencana cuti satu minggu untuk menghadirinya 1 tahun yang lalu.

Dan, sampai saat ini tabungan itu masih disimpan Mas Abas.

Apa jangan-jangan uang itu?

Awas saja kalau benar dugaanku, Mas! Bukan hanya anakmu yang akan disunat, milikmu pun sekalian aku sunat!

Bersambung ....

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nor Zalira Azrida Zakaria
knapa ulang blk muka surat yg sama...
goodnovel comment avatar
Anggiria Dewi
mampir kesini gegara ada notif dibanner
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status