"Kamu 'kan yang mengambil uangku? Ayo ngaku! Jangan pura-pura polos anak kampung! Kamu pasti kekurangan uang karena ibumu yang pembantu itu belum gajian 'kan? Ngaku aja, aku tidak akan melaporkanmu ke polisi."Mendengar keributan di luar aku meminta ijin pada bapak untuk melihatnya.Farel sedang berdiri di depan Non Laras dengan wajah menunduk. Si singa betina bahkan menggunkan gagang sapu untuk menunjuk dada Farel."Ada apa ini, Non?""Noh, tanya pada anakmu!" Dia membuang wajah sembari melipat tangan di dada.Aku segera mendekati Farel dan melihat matanya yang sudah sembab."Farel menemukan uang itu di tangga, Ma. Farel mengambilnya kerena ....""Bagus kamu ngaku!" Non Laras beralih tempat dan duduk di atas sofa."Mana uang itu?" Pintaku.Farel memasukkan tangannya ke saku celana, ia mengeluarkan selembar uang berwarna merah. Aku menghela napas, ternyata uang itu benar-benar ada di tangannya."Ini, Non." Aku menyimpannya di atas meja."Kamu pikir aku miskin dan mempermasalahkan uang
"Mbak, Mbak ....""Ya.""Sudah siap?"Aku hanya membariskan gigi. Memperlihatkan si ginsul kesayangan. Lagi-lagi otak ngelag dengan sendirinya. Fisik dan pikiran yang lelah tidak menjamin aku bisa fokus saat ini."Saya akan memperkenalkan instrumen mobil ini terlebih dahulu, supaya Mbak Gigi mengingatnya." Bastian mulai memberikan arahan."Ini pedal gas, rem, dan kopling. Fungsi gas untuk melaju, rem untuk memperlambat laju mobil atau berhenti, kalau kopling untuk berhenti tanpa mematikan mesin, biasanya digunakan saat dilampu merah, atau macet. Jangan sampai ketuker ya, Mbak." Selanjutnya Bastian menunjuk bagian bawah mobil.Aku mengangguk berat, rasanya memang tidak singkron antara pikiran dan perasaan."Kalau ini rem tangan. Digunakan untuk menghentikan mobil saat parkir, terutama pada jalan yang tidak mendatar.Sekarang kita coba menghidupkanya ya, Mbak. Mbak Gigi duduk di sini." Tubuhku benar-benar bergetar sekarang, selain semua ini asing, ada perasaan takut yang berlebih, terut
Pikiranku tidak bisa lepas dari memikirkan Bastian, bagaimana bisa karena ulahku satu orang telah kehilangan pekerjaannya? Lalu, aku ingat pada kertas administrasi yang diberikan oleh pihak Rumah Sakit. Kebetulan sekali ada nama Bastian dan nomor telepon yang bisa dihubungi sebagai penanggung jawab dari pasien.[Hallo, ini Bastian?][Ya. Saya bicara dengan siapa?][Ini, Gigi. Yang Mas ajari mobil kemarin.][Oh ya, Mbak Gigi, gimana kabarnya? Saya kembali ke Rumah Sakit lagi, tapi Mbak Giginya sudah pulang.][Saya sudah baikan kok, Mas.][Syukurlah kalau begitu.][Mas, dipecat ya dari pekerjaannya?][Ah, iya.] Aku mendengar ia seperti tertawa kecil. Mungkin untuk menutupi perasaan yang sebenarnya. Siapa sih orang yang akan baik-baik saja setelah dipecat begitu saja dari perusahaan karena berbuat kesalahan? Aku rasa tidak ada.[Saya akan mencoba berbicara dengan Pak Giantara agar meminta perusahaan mempekerjakan Mas Bastian lagi.][Tidak apa-apa Mbak, saya baik-baik saja.][Saya sungguh
"Ayo berangkat!""Kemana, Pak?""Bukannya kepalamu sakit?"Mataku memutar, celaka! tadi aku hanya ngomong sekenanya saja. Lupa kalau bapak orangnya seriusan."Lain kali saja, Pak. Gigi bisa sendiri. Sakitnya sudah hilang kok. Hari ini karyawan yang masuk hanya sedikit, kita tidak bisa meninggalkan kantor."Bapak terlihat berpikir, "Kalau sakit lagi, jangan tunda untuk periksa!""Siap, Pak." Aku menarik garis senyum untuk meyakinkannya.Bapak kembali ke kursinya, beliau mulai terlihat sibuk dan sangat serius. Sedangkan, aku? Tidak ada pekerjaan yang bisa kulakukan sekarang, hanya duduk terpaku memandangnya. Menunggu instruksi yang beliau berikan, selain itu aku tidak bisa melakukan apa-apa tanpa perintah.Usiaku mungkin tidak jauh berbeda dengan Den Aaraf, itu artinya aku lebih pantas jadi anaknya dari pada istri beliau. Ih! Kenapa juga aku berpikir sejauh itu. Bapak mungkin akan menikah lagi, tapi bukan berarti denganku. Ini semua gara-gara Minah! "Sadar-sadar Gigi, jangan ikutan gil
Bapak memintaku untuk menunggu sampai Non Laras keluar dari ruangan dokter. Kami sedikit melipir sembari menunggunya. Cukup lama, hampir 45 menit aku dan bapak menunggu, Non Laras keluar bersama seorang suster, wajahnya terlihat lebih pucat dengan tubuh yang lemas."Non .... " Aku sempat memanggilnya sebelum bapak menarik tanganku. Beliau menggeleng, bukankah kami menunggu untuk bertemu dengannya, kenapa bapak malah mencegahku?"Aku ingin menemui dokternya," ucap bapak membelokkan kursi roda. Lalu, menggelinding cepat ke arah sana. Aku setengah berlari mengejarnya. Ternyata selama menunggu, apa yang ada dalam pikiran kami berbeda."Selamat siang dokter.""Ya." Dokter itu berdiri saat kami datang. Bapak menghampirinya dengan cepat."Saya Giantara, ayah mertua dari wanita yang baru saja keluar dari ruangan ini." Bapak menjabat tangannya, sang dokter mempersilahkan kami untuk duduk."Apa yang Bapak maksud adalah Laras?""Ya, benar dokter.""Saya kira Laras tidak menikah." Dokter cantik i
Bapak berbaring di tempat tidur dengan tangan bersedekap, matanya terpejam tapi jemari tangannya masih bergetar. Jelas terlihat ia hanya pura-pura tidur.Aku, Minah dan Mbok Darmi sibuk membersihkan kamarnya, pecahan beling dan kaca di mana-mana. Hampir semua benda di kamar ini tergeletak di lantai, jarang yang selamat , semua hancur berkeping, ada pun yang masih bisa diselematkan, pasti memiliki retakan atau pecahan."Terimakasih, Mbok."Mbok Darmi mengangguk. Mengelus lenganku. Ia menengok bapak sebentar sebelum meninggalkan kamar yang berhasil kami bersihkan setelah 1 jam bekerjasama saling membantu dengan hati-hati.Aku menutup kaki bapak yang terbuka, sedikit noda darah bahkan terlihat di sana. Seperti ada pecahan benda yang mengenainya. Bergegas aku mengambil obatk P3K, mengolesnya dengan alkohol, dan memberinya plester."Pergi dan bantulah Aaraf!" ucap bapak tanpa membuka mata.Aku mengerti dan langsung menemuinya, Den Aaraf masih menunduk di atas kursi. Satu jam lebih dia dala
Aku seperti menyaksikan dua patung yang saling berhadapan, dekat tapi sibuk dengan perasaan masing-masing.Bapak duduk bersandar pada sandaran kasur, Den Aaraf masih berdiri menunduk di sampingnya.Aku menepuk kasur di samping bapak setelah membantunya. Meminta Den Aaraf untuk duduk di sini agar lebih dekat. Pria itu menurut, ia duduk dengan wajah yang semakin menunduk."Maaf, Pa. Aaraf belum bisa memberi Papa cucu," ucapnya parau, menahan tangis yang sepertinya kembali ingin tumpah.Bapak merangkul tubuh anaknya. Tangis itu pun pecah, bapak mengusap punggung Den Aaraf dengan lembut. Air mataku berlinang penuh haru. Keluarga akan tetap menjadi tempat kembali meski beribu kali dijauhkan oleh kepentingan duniawi."Jadilah pria yang kuat!" Bapak menepuk-nepuk pundak anak lelakinya. Den Aaraf mengangguk pelan dan melerai pelukan."Aaraf sudah menghubungi orang tua Laras agar menjemputnya pulang. Bagaimana pun dia harus merenungkan kesalahannya.""Papa rasa ini adalah permulaan, kamu akan
Apa arti dari ucapan bapak? Apakah maksud beliau ingin aku temani sampai habis usia? Menjadi istrinya? Aih! Hatiku melambung tinggi, berbunga-bunga penuh warna.Enggak-enggak! Sadarlah Gigi! Bagaimana kalau bukan itu tujuannya? Jika aku salah menangkap maksud ucapan bapak, bunga mekar pun akan layu dan berguguran, terdampar, dan akhirnya jadi santapan cacing tanah. Ngenes banget kan? Ngeles ajalah, cari aman. Kalau pun iya, perempuan kan harus jual mahal."Tentu saja, Pak. Selama bapak mempekerjakan saya. Saya akan tetap setia.""Aku rasa ada yang berbeda antara ucapan dan pikiranmu saat ini?" Jangan-jangan bapak cenayang? Mataku menyipit untuk menyelidik. Ah! Mana mungkin. Pasti hanya kebetulan."Aku bukan cenayang, tapi gelagatmu mudah terbaca. Ngeles cuma buat nutup malu dan pura-pura jual mahal."Bagaimana bisa bapak adalah cenayang?! Apakah selama ini beliau selalu membaca semua pikiranku?"Heum!" Bapak menggeleng , lalu mengambil alih piring yang ada di tanganku."Menunggu kamu