"Momon, Assalamu'alaikum, Mas pulang sayang, bukain pintunya." panggil Mas Bryan sembari terus mengetuk pintu.
"Kak, Kak Momon buka pintunya," sambung Rara.Aku yang tadinya sempat mengintip mereka lewat jendela langsung memasuki kamar bukan karena aku takut ketahuan mengintip, hanya saja aku berpura-pura tidak melihat sikap mereka yang tampak mencurigakan di pelupuk mataku."Kompak banget kalian sampai bergantian memanggilku, enak ya sambil berdiri dekat-dekatan di depan pintu memang tak punya malu, bisa tidak untuk menghargaiku," gerutu ku dalam hati. Aku menggerutu diujung bibir ranjang.Aku merasa semakin parno apalagi Yuyul menjelaskan secara detail perselingkuhan antara mantan suaminya dan adik kandungnya sendiri padaku. Dan sekarang, yang kulihat berbau hampir mirip dengan cerita Yuyul, belum lagi bentakan Mas Bryan tadi siang. Giliran sama Rara dia malah senyum-senyuman."Astagfirullah, Monalisa, istighfar. Semua belum tentu benar." aku mencoba menepis semua pikiran buruk yang mampir.Sedangkan di luar sana, Mas Bryan dan Rara, masih bergantian memanggilku, "Assalamu'alaikum, Mon. Buka pintunya sayang." Monaaa..."Kak, buka pintunya kak. Kak Momon." sambung Rara lagi, terdengarnya mereka bergantian mengetuk pintu.Biar saja mereka terus memanggil, seru bathinku. Giliran tadi ditanya baik-baik pada macam singa, sekarang giliran abis have fun berdua aku yang dibaik-baikkin. Sikap mereka semakin membuat pikiran ku menjerumus berbau perselingkuhan."Ya Allah, aku harus bagaimana? Jika suudzon aku takut salah, jika berhusnudzon aku takut mereka malah benar-benar selingkuh di belakangku." rintihku membathin.Tak lama kemudian, akhirnya ku putuskan untuk membuka pintu. Tak enak juga jika memancing karyawan ku, apalagi jika ada pelanggan yang melihat. Bisa menyeruak berita kemana-mana. Padahal aku juga belum tahu pasti kebenarannya.Tiik, anak kunci ku putar tanpa membukakan pintu untuk mereka, kesal masih bersarang di dadaku. Tak perlu juga aku menyambut kedatangan mereka. Aku bertolak ke kamar."Mon, kamu masih marah sama, Mas. Maaf soal yang tadi siang, Mas nggak sengaja membentak kamu," Mas Bryan berusaha meraih tanganku tapi sekesiap ku sentak dan menatap nanar ke arah Mas Bryan dan Rara bergantian."Jangan sentuh aku, Mas! Dengan kondisi begini, harusnya kamu tahu rutinitas apa yang mesti kamu lakukan. Aku tidak mau tertular dari virus yang mana tahuan melekat di tubuhmu." Mas Bryan sontak mundur dua langkah ke belakang sampai dia menyenggol Rara, karena posisi Rara tepat berada di belakang Mas Bryan yang baru selesai menutup pintu rumah.Harus pakai acara mundur dua langkah atau memang sengaja biar aku melihat kemesraan kalian. Kenapa tidak berjatuhan saja sekalian berdua nanggung banget. Beberapa detik baru Mas Bryan bergeser berdiri agak ke kanan, hingga kini netraku sejajar lurus dengan netra Rara."Dan, kamu Rara," ku ayunkan telunjuk ke arah matanya, "Jangan sentuh apapun sebelum rutinitas yang sudah ku atur di rumah ini sepulang dari luar! Cukup tadi kalian berdua melanggarnya. Jika kalian tidak tahu atau lupa silakan tidur di luar!"Walaupun sedikit gugup, ku lipatkan kedua tangan di dada, untuk menutupi rasa gemetar setelah membentak mereka. Mata Mas Bryan dan Rara terbelalak mendengar setiap kata yang keluar dari mulutku, mereka mematung, jika benar di antara mereka tidak terjadi apa-apa, harusnya mereka bersikap biasa saja ketika aku menyuruh rutinitas apa yang harus mereka lakukan.Ketika nanarku terfokus pada Mas Bryan dan Rara kutemukan ada yang aneh dengan pakaian mereka. Kancing baju Mas Bryan bagian atas tidak terpasang sejajar dengan lobang lawannya, alias salah gawang. Sedangkan Rara, baju yang tadinya rapi masuk ke dalam sekarang malah keluar main. Apakah mereka? Ah sudahlah.Ku tinggalkan Mas Bryan dan Rara yang tadi sempat saling bertatapan, sebelum kubalikkan badan untuk bertolak ke kamar. Nah lho? Kenapa mereka mesti tatapan? Seakan ada kode yang disalurkan lewat pandangan."Momon, tenang. Please jangan suudzon dulu. Itu suami kamu, bahkan kamu kenal dia tidak sehari dua hari ataupun tiga hari, bulan, tahun, tapi udah lebih 10 tahun. Nggak mungkin Mas Bryan tega menyakiti kamu. Dan Rara, sekalipun dia hanya adik sepupu kamu, tidak mungkin juga dia akan mengkhianati kamu. Bukankah kalian memang sepermainan dari kecil." peri baik seakan membisikkan dan menibas pikiran buruk yang menari-nari dibenakku."Jangan percaya Momon, sekalipun kamu kenal udah lebih 10 tahun bukan berarti tidak menutup kemungkinan hal yang terburuk terjadi. Ingat, 10 tahun yang lalu Bryan bukan siapa-siapa. Masih anak bau kencur. Dan lihat dia sekarang, punya segalanya. Heh, Momon, adik zaman sekarang berbeda dengan zaman dulu sekalipun dulu masih ingusan kalian sering main bareng, nggak menutup kemungkinan juga dia akan menjadi madu mu." hasutan dari telinga kiri sangat membuat ku resah dan dada terasa sesak."Mon, Mas udah selesai nih bersih-bersih. Maafin Mas soal yang tadi siang ya. Lagi banyak kerjaan dan masalah aja di kantor." aku terbangun dari lamunan ketika Mas Bryan menepuk pundakku."Kalau banyak masalah dan kerjaan nggak harus segitunya juga kali, Mas!" serangku."Iya, Mas minta maaf." dia tampak mencoba merayu ku, dengan bertekuk lutut di hadapanku yang sedang duduk di bibir ranjang."Ini bukan sekedar minta maaf aja, Mas. Kalau di biarin jadi kebiasaan. Seumur kenal baru kemarin lho kamu bentak aku seperti itu. Apa mungkin itu sifat asli kamu?""Astagfirullah, tidak Mon.""Itu beneran masalah kantor atau kamu sedang bermain api di belakang ku, Mas?!" lebih baik ku tanyakan perihal kegundahan yang menyesakan dada."A-anu, enggak, hmm, iya masalah kerjaan dek." Mas Bryan yang tadinya bertekuk lutut sontak berdiri salah tingkah."Dek? Sejak kapan kamu manggilnya Dek ke aku, Mas? Biasa juga manggil Dek ke Rara." gumamku."Oh." aku pun beranjak lalu merebahkan tubuh penat ini di a
"Astagfirullah, Momoooooon." suara teriakan Mas Bryan membuat aku lari kejer dari dapur menuju kamar."Ada apa, Mas? Kok teriak-teriak gitu?" tanyaku, kulihat Mas Bryan tampak kusut di atas tempat tidur sambil menggenggam gawai pipihnya."Masih nanya, kamu! Lihat jam sekarang sudah pukul berapa!" bentaknya.Tanpa melirik pun aku sudah tahu pukul berapa sekarang, pukul 08.00 pagi, memang kenapa?" jawabku polos sembari membuka gorden dan jendela kamar."Kamu, tuh ya. Kan sudah ku bilang tadi bangunin jam tujuh, ini udah molor sejam jadinya." ketusnya, lalu menyambar handuk yang sedari tadi ku taruh di bibir ranjang lebih tepatnya di dekat kaki Mas Bryan.Aku menghela napas panjang dan berlalu meninggalkan kamar tanpa merespon apa yang dikatakan Mas Bryan. Percuma juga merespon bakalan nggak selesai-selesai nantinya berdebat. Padahal aku sudah membangunkannya lebih dari tiga kali, jangan kan beranjak duduk menggeliat saja dia tidak.Sekarang giliran udah pukul 08.00 pagi baru teriak-teri
Aku masih berkutat di dapur, sedangkan Mas Bryan baru dengan virtual dengan rekan kantornya. Sembari asyik menggoreng kentang, terdengar suara pintu kamar Rara sepertinya dia sudah bangun. Pintu kamar Rara memang agak mandet mungkin tukangnya kurang pas memasang pada saat rumah ini dibangun.Gegas aku menemui Rara, ku tarik dia sampai ke dapur. Tidak mungkin juga aku ngocehin Rara di depan pintu kamarnya, sedangkan Mas Bryan sedang melakukan virtual di depan laptop."Kak, apaan sih narik-narik? Sakit tau." Rara memijat-mijat pergelangan tangannya yanh ku pegang dengan sedikit erat, hingga ada bekas merah berbentuk jari-jariku.Aku sudah merasa gondok dengan dia, sikap Rara yang sudah mulai tidak sopan kalau dibiarkan akan membuat semuanya semakin parah, terparahnya aku bisa usir dia dari sini."Kenapa jam segini baru bangun, Ra?" bisikku pelan."Ooh, semalam aku begadang bikin tugas. Tidurnya udah subuh kak, lagian hari ini juga kuliahnya lewat virtual makanya aku bisa nyantai dikit."
"Mas, kok aku ngerasa hawa rumah tangga kita panas aja yah beberapa hari ini. Kamu sibuk, aku pun gitu. Gimana kalau ntar malam kita jalan-jalan keluar sambil nyari cemilan," ajakku pada Mas Bryan yang masih berlanjut berkutat di depan laptop. Ku lirik jam di dinding berbentuk hello kitty berwarna pink midle putih itu sudah menunjukkan pukul 17.00 sore."Berdua aja? Sepi Mon, ajak Rara lah, masa dia di tinggal sendiri." Tanpa menoleh aku yang tengah menyapu rumah langsung menghentikan aktivitas lalu di duduk berhadapan dengan Mas Bryan."Mas, kamu nggak lagi ada sesuatu yang ditutupin sama aku 'kan?" tanyaku penuh selidik."Eng-enggak, lah apa juga yang mesti di tutupin Mon, Mon." Daya tangkapku Mas Bryan seperti tak jujur, aku yakin ini pasti tidak ada yang beres."Terus kenapa nyebut sepi mulu? Dulu zaman pacaran malah kamu suka kita pergi berduaan, sekarang kok malah gitu?" "Ya, enggak kenapa-kenapa Mon. Kamu tuh aneh ya. Udahlah, nggak usah pergi. Malesin gayamu, kayak curigaan a
"Mas Bryan, Rara sedang apa kalian. Kelihatannya gurih kali pembicaraannya." Sindirku. Belum lagi netraku panas melihat mereka duduk berdekatan."Eh sayang, nggak ngomongin apa-apa, biasa seputar virtual aja," elak Mas Bryan dia tampak gugup dan salah tingkah. Begitupun dengan Rara."Kak, Mas, Rara ke kamar dulu ya. Mau lanjutin bikin tugas." dia berjalan setengah berlari memasuki kamarnya. Tingkahnya tak jauh berbeda dengan Mas Bryan."Sini duduk, Mon!" Mas Bryan menepuk-nepuk kursi sofa bekas didudukin Rara."Ngomongin virtual maksudnya gimana, Mas? Memang ada yang lucu sama virtualnya?" selidiki ketika baru mehenyakkan pantay di kursi sofa bekas pakai Rara."Iyaa, virtualnya lucu Mon. Lebih ribet dan parahnya lebih mengekang. Bikin makin mumet dan berasa kayak sedang dipatroli." jawab Mas Bryan dengan mengubah posisi duduknya."Bukannya lebih enak, Mas. Nggak perlu capek-capek ke area, bolak-balik ketemu klien. Sekarang follow up kliennya bisa via WA atau by phone kan lebih hemat t
Keesokan harinya..."Assalamu'alaikum," terdengar ucapan salam di luar sana dibarengi dengan ketukan pintu."Assalamu'alaikum, Monalisa," ucap sekali lagi, sungguh jelas ini suara perempuan."Waalaikumsalam, sebentar," sahutku di dalam rumah. Aku yang ketika itu sedang berkutat di dapur memasak untuk sarapan dan makan siang. Gegas bertolak ke depan untuk membukakan pintu."Mamaaa..." sorakku girang kucium punggung tangannya dengaj takzim lalu memeluk wanita yang sudah melahirkan Mas Bryan, Mama Merta adalah mertuaku."Momoon,""Kamu, apa kabar?" tanya Mama sembari melepaskan pelukanku."Alhamdulillah, aku sehat, Ma. Mari masuk, Ma." aku pun menggandeng tangan Mama dan membawa koper bawaan Mama. "Kok sepi Mon, mana Bryan dan Rara?" tanya Mama seraya duduk di sofa ruang tamu."Oooh, Mas Bryan lagi mandi, Ma. Rara lagi di kamarnya." Jelasku."Oh pantes sepi,""Astagfirullah, Ma. Maaf sebelumnya Mama kan abis perjalan jauh cuci dulu tangannya Ma. Buat ngejaga-jaga aja""Oh iya, Mama lupa
"Mon, itu Bryan kenapa? Kok Mama perhatikan dia nggak seperti biasanya. Mama ngerasa ada sesuatu," ucap Mama ketika menaruh tas pribadinya di atas nakas kamarku.Ku toleh Mama dengan perasaan yang campur aduk, "Jujur, enggak, jujur, enggak. Duh Ya Allah.""Mon, kok malah melamun Mama tanyain juga." sergah Mama, suara Mama yang sedikit tinggi membuyarkan lamunan ku.""Eh iya, Ma. Nggak kenapa-kenapa, hmm.""Kok, hmm aja Mon. Memangnya kamu nggak ngerasa ada yang aneh dari gelagatnya Bryan tadi?" selidik Mama.Aku mendekat ke pintu kamar lalu menutupnya biarlah ini menjadi privasi antara aku dan Mama. Sebenarnya juga tak ingin melibatkan Mama dalam kegundahanku, tapi Mama Merta sangatlah baik bahkan rasa sayang yang dia berikan tak jauh beda dari Mamaku yang sudah berpulang ke pangkuan yang Kuasa. Jika Mama tidak menanyakan, aku pun juga tak ingin jujur. Mana tauan dengan bercerita ke Mama ada rasa plong yang kurasakan."Ma, sini duduk dulu." Ajakku. Kami duduk berdampingan kening Mama
"Makasih, Ma." Tangisku kembali pecah tatkala Mama memeluk.Di saat rapuh dan tak punya tempat untuk curhat selain Allah, kehadiran Mama sungguh memberikan energi, ditambah Mama yang berada di pihakku.Di saat menantu-menantu lainnya tak dapat perlakuan elok dari sang mertua, aku tentu beruntung bisa memiliki mertua sebaik dan se-care Mama Merta."Semoga saja ini hanya pikiran burukku saja, Ma. Semoga saja apa yang kutakutkan tidak terjadi," ucapku penuh harap. Sekalipun gerak-gerik Mas Bryan sangat mencurigakan malah terang-terangan sikapnya jelas tampak berbeda, aku tetap berharap Mas Bryan benar-benar terbebani oleh pekerjaannya."Iya, Mon. Mama pun begitu. Sangat memalukan jika Bryan sampai melakukan hal yang keji seperti itu." lalu Mama menyeka airmata ku yang rajin kali jatuh jika sudah berada di depan Mama.🎀🎀🎀Makan siang kali ini Mas Bryan dan Rara ikut bergabung dengan aku dan Mama. Tumben, iya tumben banget malahan. Mungkin tampaknya Mas Bryan tak ingin Mama menaruh curi