"Mon, Mas udah selesai nih bersih-bersih. Maafin Mas soal yang tadi siang ya. Lagi banyak kerjaan dan masalah aja di kantor." aku terbangun dari lamunan ketika Mas Bryan menepuk pundakku.
"Kalau banyak masalah dan kerjaan nggak harus segitunya juga kali, Mas!" serangku."Iya, Mas minta maaf." dia tampak mencoba merayu ku, dengan bertekuk lutut di hadapanku yang sedang duduk di bibir ranjang."Ini bukan sekedar minta maaf aja, Mas. Kalau di biarin jadi kebiasaan. Seumur kenal baru kemarin lho kamu bentak aku seperti itu. Apa mungkin itu sifat asli kamu?""Astagfirullah, tidak Mon.""Itu beneran masalah kantor atau kamu sedang bermain api di belakang ku, Mas?!" lebih baik ku tanyakan perihal kegundahan yang menyesakan dada."A-anu, enggak, hmm, iya masalah kerjaan dek." Mas Bryan yang tadinya bertekuk lutut sontak berdiri salah tingkah."Dek? Sejak kapan kamu manggilnya Dek ke aku, Mas? Biasa juga manggil Dek ke Rara." gumamku."Oh." aku pun beranjak lalu merebahkan tubuh penat ini di atas peraduan. Otak dan hatiku masih belum bisa menerima kejanggalan yang terjadi hari ini."Kamu capek ya, yaudah biar Mas yang ngurus minimarketnya buat malam ini." Dia pun keluar dari kamar."Tumbenan Mas Bryan mau ngurusin minimarket apa ini bentuk sogokan. Ah biarlah, apapun yang dia tutupi dari ku perlahan akan terbongkar juga." aku masih bergumam di dalam hati.Ku teruskan melelapkan mata, beristirahat adalah cara yang tepat mengembalikan mood dan pikiran. Dengan beristighfar aku berusaha menepis prasangka buruk, sekalipun kejadiannya hampir mirip dengan cerita Yuyul bukan berarti suamiku seperti mantan suami Yuyul.Esokkan paginya aku bangun seperti biasanya, selepas menunaikan sholat Subuh lalu beranjak ke dapur berkutat dengan perintilan tempur untuk membuat sarapan. Tak butuh waktu lama sekuali nasi goreng pun sudah masak beserta dengan telur mata sapi, irisan tomat, irisan mentimun, sayur lalapan, dan juga sambel acar.Netraku melirik jarum jam pendek sudah berada di angka 6 gegas aku bertolak ke kamar untuk membangunkan Mas Bryan. Dia memang dari dulu suka dibangunin pukul 06.00 pagi, sekalipun sebelum subuh aku kerap membangunkannya tapi tetap saja matanya melek kalau sudah pukul 06.00 pagi.Sembari berjalan ke arah kamar, suara kamar Rara juga masih terdengar sunyi seperti belum ada aktivitas ketika aku lewaf di depan Padahal biasanya aku sudah mendengarkan bunyian krasak-krusuk pertanda dia mau ke kampus.Kamar Rara tepat berada di samping kamarku dan Mas Bryan. Awalnya aku menyuruh dia untuk mengisi kamar di lantai dua. Tapi karena dia anaknya penakut, ya mau nggak mau Rara tidur di sebelah kamarku. Dari awal Rara tinggal di rumah ini aku tidak menaruh curiga apapun. Tetapi semenjak mendengar cerita Yuyul dan ada beberapa kejadian yang mirip dengan Mas Bryan dan Rara pikiranku makin parnoan takut kejadian. Belum lagi di beranda F* banyak cerita tentang pelakor. Astagfirullah."Mas, bangun. Sholat abis itu siap-siap kerja." panggilku dengan menggoyangkan-goyangkan tubuh Mas Bryan yang masih tertutupi selimut."Mas, bangun," ku panggil lagi, biasanya dia sudah menggeliat atau memberi respon jika dia mendengar panggilanku."Mas! Bangun! Kamu nggak pergi kerja."Lalu di menyibak selimutnya, "Hari ini aku nggak ke kantor Mon." jawabnya seraknya."Lho kok nggak ke kantor? Kenapa?""Mulai sekarang kerjanya virtual." "Virtual? Gara-gara virus itu?" aku masih berdiri menatap Mas Bryan yang daritadi mengusap-ngusap kedua matanya."Iya, nanti bangunin Mas lagi ya jam 7. Masih ngantuk banget soalnya.""Ta-tapi..." lalu dengan sekejap dengan menutup kembali wajahnya dengan selimut, padahal aku juga belum selesai ngomong."Jam berapa sih semalam kamu tidur, Mas? Nggak biasanya seperti ini." aku bergumam. Rasa kecurigaan yang sudah mulai tenggelam Subuh tadi seakan kembali ke permukaan. Lebih baik aku bangunin Rara saja, tumbenan jam segini dia belum bangun. "Ra, Rara!" panggilku. Walaupun masih merasa gondok dengan Rara, aku berusaha menurunkan ego kalau bukan karena dia kuliah aku pun juga enggan membangunkannya.Lama aku mengetuk pintu, Rara belum juga keluar. Ku putuskan untuk membangunkannya lewat telepon. Biasanya handphone selalu standby di samping telinganya.Lama berdering, akhirnya di angkat juga."Ra, kamu nggak kuliah?" tanyaku to the point."Aaakk, enggak kak. Daring kuliahnya." Tut tut tut, telepon terputus begitu saja.Sungguh Rara mulai berlaku tak sopan padaku. Lihat saja jika sudah bangun ku cecar abis-abisan. Anak mahasiswa kok kelakuannya kayak nggak dididik."Astagfirullah, Momoooooon." suara teriakan Mas Bryan membuat aku lari kejer dari dapur menuju kamar."Ada apa, Mas? Kok teriak-teriak gitu?" tanyaku, kulihat Mas Bryan tampak kusut di atas tempat tidur sambil menggenggam gawai pipihnya."Masih nanya, kamu! Lihat jam sekarang sudah pukul berapa!" bentaknya.Tanpa melirik pun aku sudah tahu pukul berapa sekarang, pukul 08.00 pagi, memang kenapa?" jawabku polos sembari membuka gorden dan jendela kamar."Kamu, tuh ya. Kan sudah ku bilang tadi bangunin jam tujuh, ini udah molor sejam jadinya." ketusnya, lalu menyambar handuk yang sedari tadi ku taruh di bibir ranjang lebih tepatnya di dekat kaki Mas Bryan.Aku menghela napas panjang dan berlalu meninggalkan kamar tanpa merespon apa yang dikatakan Mas Bryan. Percuma juga merespon bakalan nggak selesai-selesai nantinya berdebat. Padahal aku sudah membangunkannya lebih dari tiga kali, jangan kan beranjak duduk menggeliat saja dia tidak.Sekarang giliran udah pukul 08.00 pagi baru teriak-teri
Aku masih berkutat di dapur, sedangkan Mas Bryan baru dengan virtual dengan rekan kantornya. Sembari asyik menggoreng kentang, terdengar suara pintu kamar Rara sepertinya dia sudah bangun. Pintu kamar Rara memang agak mandet mungkin tukangnya kurang pas memasang pada saat rumah ini dibangun.Gegas aku menemui Rara, ku tarik dia sampai ke dapur. Tidak mungkin juga aku ngocehin Rara di depan pintu kamarnya, sedangkan Mas Bryan sedang melakukan virtual di depan laptop."Kak, apaan sih narik-narik? Sakit tau." Rara memijat-mijat pergelangan tangannya yanh ku pegang dengan sedikit erat, hingga ada bekas merah berbentuk jari-jariku.Aku sudah merasa gondok dengan dia, sikap Rara yang sudah mulai tidak sopan kalau dibiarkan akan membuat semuanya semakin parah, terparahnya aku bisa usir dia dari sini."Kenapa jam segini baru bangun, Ra?" bisikku pelan."Ooh, semalam aku begadang bikin tugas. Tidurnya udah subuh kak, lagian hari ini juga kuliahnya lewat virtual makanya aku bisa nyantai dikit."
"Mas, kok aku ngerasa hawa rumah tangga kita panas aja yah beberapa hari ini. Kamu sibuk, aku pun gitu. Gimana kalau ntar malam kita jalan-jalan keluar sambil nyari cemilan," ajakku pada Mas Bryan yang masih berlanjut berkutat di depan laptop. Ku lirik jam di dinding berbentuk hello kitty berwarna pink midle putih itu sudah menunjukkan pukul 17.00 sore."Berdua aja? Sepi Mon, ajak Rara lah, masa dia di tinggal sendiri." Tanpa menoleh aku yang tengah menyapu rumah langsung menghentikan aktivitas lalu di duduk berhadapan dengan Mas Bryan."Mas, kamu nggak lagi ada sesuatu yang ditutupin sama aku 'kan?" tanyaku penuh selidik."Eng-enggak, lah apa juga yang mesti di tutupin Mon, Mon." Daya tangkapku Mas Bryan seperti tak jujur, aku yakin ini pasti tidak ada yang beres."Terus kenapa nyebut sepi mulu? Dulu zaman pacaran malah kamu suka kita pergi berduaan, sekarang kok malah gitu?" "Ya, enggak kenapa-kenapa Mon. Kamu tuh aneh ya. Udahlah, nggak usah pergi. Malesin gayamu, kayak curigaan a
"Mas Bryan, Rara sedang apa kalian. Kelihatannya gurih kali pembicaraannya." Sindirku. Belum lagi netraku panas melihat mereka duduk berdekatan."Eh sayang, nggak ngomongin apa-apa, biasa seputar virtual aja," elak Mas Bryan dia tampak gugup dan salah tingkah. Begitupun dengan Rara."Kak, Mas, Rara ke kamar dulu ya. Mau lanjutin bikin tugas." dia berjalan setengah berlari memasuki kamarnya. Tingkahnya tak jauh berbeda dengan Mas Bryan."Sini duduk, Mon!" Mas Bryan menepuk-nepuk kursi sofa bekas didudukin Rara."Ngomongin virtual maksudnya gimana, Mas? Memang ada yang lucu sama virtualnya?" selidiki ketika baru mehenyakkan pantay di kursi sofa bekas pakai Rara."Iyaa, virtualnya lucu Mon. Lebih ribet dan parahnya lebih mengekang. Bikin makin mumet dan berasa kayak sedang dipatroli." jawab Mas Bryan dengan mengubah posisi duduknya."Bukannya lebih enak, Mas. Nggak perlu capek-capek ke area, bolak-balik ketemu klien. Sekarang follow up kliennya bisa via WA atau by phone kan lebih hemat t
Keesokan harinya..."Assalamu'alaikum," terdengar ucapan salam di luar sana dibarengi dengan ketukan pintu."Assalamu'alaikum, Monalisa," ucap sekali lagi, sungguh jelas ini suara perempuan."Waalaikumsalam, sebentar," sahutku di dalam rumah. Aku yang ketika itu sedang berkutat di dapur memasak untuk sarapan dan makan siang. Gegas bertolak ke depan untuk membukakan pintu."Mamaaa..." sorakku girang kucium punggung tangannya dengaj takzim lalu memeluk wanita yang sudah melahirkan Mas Bryan, Mama Merta adalah mertuaku."Momoon,""Kamu, apa kabar?" tanya Mama sembari melepaskan pelukanku."Alhamdulillah, aku sehat, Ma. Mari masuk, Ma." aku pun menggandeng tangan Mama dan membawa koper bawaan Mama. "Kok sepi Mon, mana Bryan dan Rara?" tanya Mama seraya duduk di sofa ruang tamu."Oooh, Mas Bryan lagi mandi, Ma. Rara lagi di kamarnya." Jelasku."Oh pantes sepi,""Astagfirullah, Ma. Maaf sebelumnya Mama kan abis perjalan jauh cuci dulu tangannya Ma. Buat ngejaga-jaga aja""Oh iya, Mama lupa
"Mon, itu Bryan kenapa? Kok Mama perhatikan dia nggak seperti biasanya. Mama ngerasa ada sesuatu," ucap Mama ketika menaruh tas pribadinya di atas nakas kamarku.Ku toleh Mama dengan perasaan yang campur aduk, "Jujur, enggak, jujur, enggak. Duh Ya Allah.""Mon, kok malah melamun Mama tanyain juga." sergah Mama, suara Mama yang sedikit tinggi membuyarkan lamunan ku.""Eh iya, Ma. Nggak kenapa-kenapa, hmm.""Kok, hmm aja Mon. Memangnya kamu nggak ngerasa ada yang aneh dari gelagatnya Bryan tadi?" selidik Mama.Aku mendekat ke pintu kamar lalu menutupnya biarlah ini menjadi privasi antara aku dan Mama. Sebenarnya juga tak ingin melibatkan Mama dalam kegundahanku, tapi Mama Merta sangatlah baik bahkan rasa sayang yang dia berikan tak jauh beda dari Mamaku yang sudah berpulang ke pangkuan yang Kuasa. Jika Mama tidak menanyakan, aku pun juga tak ingin jujur. Mana tauan dengan bercerita ke Mama ada rasa plong yang kurasakan."Ma, sini duduk dulu." Ajakku. Kami duduk berdampingan kening Mama
"Makasih, Ma." Tangisku kembali pecah tatkala Mama memeluk.Di saat rapuh dan tak punya tempat untuk curhat selain Allah, kehadiran Mama sungguh memberikan energi, ditambah Mama yang berada di pihakku.Di saat menantu-menantu lainnya tak dapat perlakuan elok dari sang mertua, aku tentu beruntung bisa memiliki mertua sebaik dan se-care Mama Merta."Semoga saja ini hanya pikiran burukku saja, Ma. Semoga saja apa yang kutakutkan tidak terjadi," ucapku penuh harap. Sekalipun gerak-gerik Mas Bryan sangat mencurigakan malah terang-terangan sikapnya jelas tampak berbeda, aku tetap berharap Mas Bryan benar-benar terbebani oleh pekerjaannya."Iya, Mon. Mama pun begitu. Sangat memalukan jika Bryan sampai melakukan hal yang keji seperti itu." lalu Mama menyeka airmata ku yang rajin kali jatuh jika sudah berada di depan Mama.🎀🎀🎀Makan siang kali ini Mas Bryan dan Rara ikut bergabung dengan aku dan Mama. Tumben, iya tumben banget malahan. Mungkin tampaknya Mas Bryan tak ingin Mama menaruh curi
"Ini, Bu. Kami ada yang keluaran paling canggih, kameranya unik dan tak akan dikenali," tawar pelayan sembari memperlihatkan barang itu padaku.Ini sama persis dengan barang yang kulihat melalui gool*. Kameranya bagus dan tak berbentuk seperti kamera cctv. Ku pastikan Mas Bryan dan Rara tidak akan mengetahuinya. Untuk pemasangannya pun gampang. Aku sendiri pun bisa memasangnya saking canggihnya kamera cctv yang kubeli."Boleh pak, bungkus langsung eh tapi aku beli jadinya 3 aja deh." Setelah semua selesai aku pun bergegas pulang ke rumah, ngeri kalau berlama-lama di luar. Sambil jalan pulang aku mau beli ayam goreng drive true nambah-nambah lauk-pauk di rumah. Takutnya pada bosan sama menu yang di rumah, apalagi ini juga sambil jalan pulang.Aku juga beli es krim dan mocaflut kesukaanku, maklum cuaca sangat panas, tapi belum sebanding dengan panas hati yanh ku rasakan.Sesampainya di rumah, tampak Mama sedang berada di teras rumah dengan seorang perempuan seusia ku. "Eh, Mon dari ma