Share

Bab 4. Dia Berusaha Merayu

"Mon, Mas udah selesai nih bersih-bersih. Maafin Mas soal yang tadi siang ya. Lagi banyak kerjaan dan masalah aja di kantor." aku terbangun dari lamunan ketika Mas Bryan menepuk pundakku.

"Kalau banyak masalah dan kerjaan nggak harus segitunya juga kali, Mas!" serangku.

"Iya, Mas minta maaf." dia tampak mencoba merayu ku, dengan bertekuk lutut di hadapanku yang sedang duduk di bibir ranjang.

"Ini bukan sekedar minta maaf aja, Mas. Kalau di biarin jadi kebiasaan. Seumur kenal baru kemarin lho kamu bentak aku seperti itu. Apa mungkin itu sifat asli kamu?"

"Astagfirullah, tidak Mon."

"Itu beneran masalah kantor atau kamu sedang bermain api di belakang ku, Mas?!" lebih baik ku tanyakan perihal kegundahan yang menyesakan dada.

"A-anu, enggak, hmm, iya masalah kerjaan dek." Mas Bryan yang tadinya bertekuk lutut sontak berdiri salah tingkah.

"Dek? Sejak kapan kamu manggilnya Dek ke aku, Mas? Biasa juga manggil Dek ke Rara." gumamku.

"Oh." aku pun beranjak lalu merebahkan tubuh penat ini di atas peraduan. Otak dan hatiku masih belum bisa menerima kejanggalan yang terjadi hari ini.

"Kamu capek ya, yaudah biar Mas yang ngurus minimarketnya buat malam ini." Dia pun keluar dari kamar.

"Tumbenan Mas Bryan mau ngurusin minimarket apa ini bentuk sogokan. Ah biarlah, apapun yang dia tutupi dari ku perlahan akan terbongkar juga." aku masih bergumam di dalam hati.

Ku teruskan melelapkan mata, beristirahat adalah cara yang tepat mengembalikan mood dan pikiran. Dengan beristighfar aku berusaha menepis prasangka buruk, sekalipun kejadiannya hampir mirip dengan cerita Yuyul bukan berarti suamiku seperti mantan suami Yuyul.

Esokkan paginya aku bangun seperti biasanya, selepas menunaikan sholat Subuh lalu beranjak ke dapur berkutat dengan perintilan tempur untuk membuat sarapan. Tak butuh waktu lama sekuali nasi goreng pun sudah masak beserta dengan telur mata sapi, irisan tomat, irisan mentimun, sayur lalapan, dan juga sambel acar.

Netraku melirik jarum jam pendek sudah berada di angka 6 gegas aku bertolak ke kamar untuk membangunkan Mas Bryan. Dia memang dari dulu suka dibangunin pukul 06.00 pagi, sekalipun sebelum subuh aku kerap membangunkannya tapi tetap saja matanya melek kalau sudah pukul 06.00 pagi.

Sembari berjalan ke arah kamar, suara kamar Rara juga masih terdengar sunyi seperti belum ada aktivitas ketika aku lewaf di depan Padahal biasanya aku sudah mendengarkan bunyian krasak-krusuk pertanda dia mau ke kampus.

Kamar Rara tepat berada di samping kamarku dan Mas Bryan. Awalnya aku menyuruh dia untuk mengisi kamar di lantai dua. Tapi karena dia anaknya penakut, ya mau nggak mau Rara tidur di sebelah kamarku. Dari awal Rara tinggal di rumah ini aku tidak menaruh curiga apapun. 

Tetapi semenjak mendengar cerita Yuyul dan ada beberapa kejadian yang mirip dengan Mas Bryan dan Rara pikiranku makin parnoan takut kejadian. Belum lagi di beranda F* banyak cerita tentang pelakor. Astagfirullah.

"Mas, bangun. Sholat abis itu siap-siap kerja." panggilku dengan menggoyangkan-goyangkan tubuh Mas Bryan yang masih tertutupi selimut.

"Mas, bangun," ku panggil lagi, biasanya dia sudah menggeliat atau memberi respon jika dia mendengar panggilanku.

"Mas! Bangun! Kamu nggak pergi kerja."

Lalu di menyibak selimutnya, "Hari ini aku nggak ke kantor Mon." jawabnya seraknya.

"Lho kok nggak ke kantor? Kenapa?"

"Mulai sekarang kerjanya virtual." 

"Virtual? Gara-gara virus itu?" aku masih berdiri menatap Mas Bryan yang daritadi mengusap-ngusap kedua matanya.

"Iya, nanti bangunin Mas lagi ya jam 7. Masih ngantuk banget soalnya."

"Ta-tapi..." lalu dengan sekejap dengan menutup kembali wajahnya dengan selimut, padahal aku juga belum selesai ngomong.

"Jam berapa sih semalam kamu tidur, Mas? Nggak biasanya seperti ini." aku bergumam. Rasa kecurigaan yang sudah mulai tenggelam Subuh tadi seakan kembali ke permukaan. 

Lebih baik aku bangunin Rara saja, tumbenan jam segini dia belum bangun. "Ra, Rara!" panggilku. Walaupun masih merasa gondok dengan Rara, aku berusaha menurunkan ego kalau bukan karena dia kuliah aku pun juga enggan membangunkannya.

Lama aku mengetuk pintu, Rara belum juga keluar. Ku putuskan untuk membangunkannya lewat telepon. Biasanya handphone selalu standby di samping telinganya.

Lama berdering, akhirnya di angkat juga.

"Ra, kamu nggak kuliah?" tanyaku to the point.

"Aaakk, enggak kak. Daring kuliahnya." Tut tut tut, telepon terputus begitu saja.

Sungguh Rara mulai berlaku tak sopan padaku. Lihat saja jika sudah bangun ku cecar abis-abisan. Anak mahasiswa kok kelakuannya kayak nggak dididik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status